IDENTITAS BALI
DALAM NOVEL
“SUKRENI GADIS BALI”
Oleh
Nanang Sutrisno
1. Pendahuluan
Bali menjadi bagian dari pluralitas
bangsa Indonesia yang membentang dari Sabang sampai Merauke. Dikatakan demikian
karena Bali mewarisi keunikan dan kekhasan budaya yang tidak dimiliki oleh
etnis lain. Proses pergulatan cipta, rasa, dan karsa dari sejak zaman
prasejarah hingga Bali modern, menandai dinamika kebudayaan Bali sehingga menampakkan
wujudnya seperti sekarang ini. Spirit taksu
dan jengah yang menjadi basis
kreativitas masyarakat Bali dalam pengembangan kebudayaannya menjadikan kebudayaan Bali selalu berubah dan berkesimbangunan (change and continuity) untuk mencapai
taraf yang lebih mutakhir, baik
pada tataran ide, aktivitas,
maupun artefaktual (Mantra, 1996:12). Tampaknya, spirit ini telah mampu membangun
citra Bali di mata dunia internasional sehingga menjadikannya tujuan wisata
yang populer dan membanggakan bagi bangsa Indonesia.
Dalam hal ini citra positif Bali bukanlah
sesuatu yang terberi (given),
melainkan terjadi dari proses konstruksi yang panjang dan berliku. Sejak
pemerintah Belanda mempromosikan Bali kepada masyarakat Eropa dan Amerika, juga
semakin banyak wisatawan, seniman, dan ilmuwan yang mengunjungi Bali. Sebut
saja beberapa nama seperti, Walter Spies, Rudolf Bonnet
(pelukis), Miguel Covarrubias (penulis dan pelukis), Clifford Geertz, Thomas A.Reuters, David J.
Stuart Fox, Margaret Mead, Gregory Bateson (Antropolog), Ernest Schlager
(musisi), dan Theo Meier (pelukis) (Couteau, 1999:19). Para
wisatawan, seniman, dan ilmuwan ini bukan hanya datang untuk menikmati
keeksotisan alam dan budaya Bali, tetapi juga memberikan sumbangan besar dalam
mengkonstruksi identitas Bali. Rudolf Bonnet misalnya, sejak
kedatangannya di Ubud dan menetap di Peliatan pada tahun 1929, Bonnet terlibat
aktif dengan seniman-seniman lukis di Ubud dan mengajarkan teknis seni lukis
kepada beberapa seniman lukis Ubud (Couteau, 1999:22). Sementara itu, para antropolog dari Eropa dan
Amerika juga telah memberikan catatan yang mengesankan tentang realitas sosial,
budaya, dan agama masyarakat Bali dalam karya-karya mereka.
Kenyataan ini tampaknya mendasari
pendapat Vickers (1989:10) bahwa penjajah Belanda telah mendefinisikan kembali
citra Bali dari semula tempat yang liar dan tak beradab menjadi citra sebuah
pulau surga (the last paradise).
Pendapat ini ditegaskan oleh Picard (1997:186) bahwa Identitas manusia Bali
sekarang ini merupakan sebuah konstruksi yang terinspirasi oleh citra-citra
kolonial, citra Indonesia, dan citra touristik. Pejabat-pejabat kolonial
Belanda, intelektual-intelektual Bali dulu, dan pejabat pemerintah Indonesia
sekarang telah terlibat secara aktif dalam membangun pandangan resmi tentang
identitas Bali. Pada akhirnya, Bali as The
Last Paradise, The Island with Thousand Temple, The Morning of World, merupakan
citra yang dilekatkan pada Bali masa kini. Citra baru ini tampaknya telah
mengubur ingatan orang Bali sekarang tentang identitas Bali masa kolonial yang
dilukiskan Vickers (1989:11) sebagai “an
island of theft and murder" (pulau pencurian dan pembunuhan). Sebuah karakter
orang Bali yang sama sekali berbeda dengan pencitraannya sebagai masyarakat
yang religius, ramah, dan cinta damai.
Identitas Bali pada masa kolonial
inilah yang tampaknya menginspirasi A.A. Panji Tisna untuk menuangkannya dalam
novel Sukreni Gadis Bali. Mengingat
pujangga yang lahir di Singaraja, 11 Februari 1908 ini memang menjalani kehidupannya
pada masa penjajahan Belanda. Sementara itu, novel Sukreni Gadis Bali sendiri diterbitkan pertama kali pada tahun
1936. Dengan pengalaman hidup selama 36 tahun sampai terbitnya karya ini, tampaknya
Panji Tisna sudah cukup memahami kebudayaan masyarakat di sekitarnya yang
kemudian dijadikan setting lokasi dan
cerita. Oleh karena itu, novel ini dapat dijadikan salah satu referensi untuk
memahami identitas Bali dalam kronik sastra modern.
Secara teoretis, pemilihan tema
identitas ini didasari pemikiran tentang pentingnya identitas dalam kehidupan
masyarakat plural. Dengan demikian, tulisan ini dapat memberikan gambaran
tentang identitas Bali pada masa kolonial, baik kebudayaan maupun keagamaannya.
Sebaliknya secara praktis, pemilihan tema ini disesuaikan dengan rencana
disertasi penulis, yaitu “Konstruksi Identitas Keberagamaan Umat Hindu di
Kabupaten Banyuwangi”. Dengan demikian, penulisan makalah ini menjadi salah
satu cara untuk mendekatkan diri dengan masalah penelitian, atau
setidak-tidaknya menjadi media latihan untuk menulis tema yang sejalan dengan
rencana penelitian.
2. Sinopsis
Cerita
Sukreni Gadis Bali, karya A.A.
Pandji Tisna merupakan salah satu novel populer dalam ranah kesusasteraan
Indonesia modern. Seturut dengan judulnya, novel ini memang mengangkat dimensi
kehidupan seorang gadis Bali bernama Sukreni. Untaian cerita yang saling
menjalin antara satu segmen dengan segmen yang lain menjadi keunggulan karya
ini. Melalui karya ini pula, penulis menunjukkan pemahamannya yang mendalam
terhadap karmaphala, yaitu hukum
moral yang paling esensial dalam agama Hindu dan kebudayaan Bali. Meskipun pengarang
sendiri mengalami konflik identitas dalam kehidupan pribadinya karena banyak
pihak yang menganggap dia adalah seorang Kristiani.
Novel ini dimulai dengan cerita tentang
Men Negara, seorang pemilik warung di desa Bingin Banyah, sebuah kawasan
perkebunan kelapa di wilayah Singaraja. Men Negara sesungguhnya adalah seorang
perempuan dari daerah Karangasem yang pergi meninggalkan anak dan suaminya
karena mengikuti laki-laki lain. Kemudian, bersama laki-laki selingkuhannya ini
Men Negara memiliki dua orang anak, yaitu I Negara dan Ni Negari. Sementara itu
dari suami sebelumnya, ia juga memiliki seorang anak perempuan bernama Ni Widi.
Rupanya, kepergian sang ibu inilah yang memulai babak tragis kehidupan Ni Widi.
Bukan hanya karena ia harus menjalani hidup tanpa kasih sayang seorang ibu,
tetapi juga sang ibu ini nantinya akan menjadi aktor penyebab kehancuran hidupnya.
Diceritakan selanjutnya bahwa warung
makanan milik Men Negara cukup ramai dikunjungi pembeli. Pelanggannya berasal
dari berbagai kalangan, mulai dari para pekerja kebun kelapa, polisi, hingga
tokoh masyarakat. Pesatnya perkembangan warung Men Negara karena ia berhasil
memanfaatkan kecantikan Ni Negari putrinya, untuk menarik para pembeli, bahkan
dari luar desa. Malahan, juga Ni Negari berhasil dijadikan umpan untuk memikat
hati seorang kepala polisi yang bernama Gusti Made Tusan sehingga berbagai
praktik pelanggaran hukum yang dilakukan Men Negara dapat diampuni. Alhasil,
Men Negara benar-benar menikmati kehidupan ekonominya yang semakin membaik dan memupuk
sifat materalis dalam kehidupannya.
Klimaks cerita dimulai dari kedatangan
Sukreni ke Kampung Bingin Banyah. Sukreni sesungguhnya adalah Ni Widi, putri
Men Negara yang telah ditinggalkannyaa saat masih berumur delapan tahun. Ayah
Sukreni telah mengganti nama Ni Widi menjadi Ni Luh Sukreni. Dengan maksud agar
Sukreni tidak bisa lagi mengenali dan dikenali ibunya. Tujuan kedatangan
Sukreni ke desa Bingin Banyah adalah untuk menemui Ida Suamba guna meminta pendapat
dan solusi atas kasus waris yang terjadi di kampung halamannya. Pertemuan
pertama dengan Ida Gde Suamba belum mendapatkan solusi sehingga Sukreni datang
kembali di kemudian hari. Pada kedatangan yang kedua kalinya ini, Ida Gde
Suamba sedang keluar daerah sehingga Sukreni memutuskan untuk beristirahat di
rumah Men Negara. Sesungguhnya ini adalah pertemuan ibu dan anak, tetapi
kedua-duanya tidak saling mengenali.
Rupanya, keberadaan Sukreni di
warung Men Negara telah menarik perhatian para pelanggannya, tidak terkecuali
Gusti Made Tusan. Kecantikan Sukreni telah membangkitkan hasrat seksual Gusti
Made Tusan untuk mendapatkannya. Gayung bersambut, kacamata materialis Men
Negara segera menangkap adanya “komoditas” baru yang layak jual, yakni Sukreni.
Singkat cerita, strategipun diatur oleh Men Negara untuk memenuhi permintaan
Gusti Made Tusan. Saat Sukreni berada di rumah sendiri, Men Negara pergi
bersama anak-anaknya sehingga memberi kesempatan Gusti Made Tusan untuk
memperkosa Sukreni. Hingga keesokan harinya, saat hati Men Negara begitu
bergembira karena mendapatkan uang melimpah dari hasil “menjual” Sukreni, I
Negara juga datang dengan membawa berita gembira. Berita bahwa Sukreni adalah
saudara tirinya, anak dari Men Negara yang telah ditinggalkannya saat masih
bayi. Mendengar berita ini, Men Negara didera penyesalan yang tanpa akhir. Ia
merasa sangat berdosa karena telah tega menjual anaknya sendiri hanya untuk
memenuhi keserakahannya.
Setelah kejadian itu, Sukreni telah
meninggalkan rumah Men Negara pada pagi-pagi buta. Ia pergi terlunta-lunta tanpa
tujuan dengan membawa benih bayi dalam perutnya. Sampai akhirnya seorang yang
baik hati menerimanya, merawat kandungannya, hingga lahirlah bayi laki-laki
dari rahimnya. Bayi itu diberi nama Gustam. Ia tumbuh besar menjadi lelaki yang
gagah perkasa, tapi sayang jiwanya berandalan. Gustam tumbuh menjadi seorang
kepala kawanan perampok yang cukup disegani di daerah Singaraja. Hingga suatu
waktu, warung Men Negara menjadi sasaran aksinya. Perampokan dilakukan, bahkan
warung Men Negara dibakar oleh Gustam dan kawan-kawannya. Akan tetapi pada saat
yang bersamaan, Gusti Made Tusan sang kepala polisi sedang berada di sana untuk
melakukan patroli keamaan. Sampai akhirnya perkelahian antara perampok dan
polisi tidak terhindarkan.
Perkelahian berlangsung semakin seru
dan korban berjatuhan di kedua belah pihak. Hingga pada akhirnya Gusti Made
Tusan sang kepala polisi, kini berhadapan satu lawan satu dengan Gustam si
kepala perampok. Anak dan ayah yang tidak saling mengenal, bertarung dengan
senjata terhunus di tangannya masing-masing. Peluru Gusti Made Tusan menembus
dada Gustam, dan Gustam juga berhasil membabat leher sang ayah. Ayah dan anak
inipun mati, sebelum mereka sempat menyadari dengan siapa mereka saling bunuh. Tempat
itu telah menjadi saksi bisu kehancuran Sukreni Gadis Bali. Di tempat itu
Sukreni dijual ibunya sendiri dan di tempat ini pula si pemerkosa dan anaknya
meninggal bersama-sama.
3. Fiksi
di Ranah Culture Studies
Sukreni Gadis Bali
merupakan karya fiksi modern yang hadir di tengah belantara kesusasteraan
Indonesia abad XX. Novel ini cukup populer bagi para penggiat dan pengkaji sastra
Indonesia sehingga keberadaannya dapat disejajarkan dengan novel-novel populer
lainnya, seperti Layar Terkembang, Kasih Tak Sampai (Siti Nurbaya), Sengsara Membawa Nikmat, dan Di Atas
Sebuah Kapal. Kepopuleran karya-karya ini tentu tidak hanya disebabkan oleh
ceritanya yang indah dan menarik, tetapi karena wacana ideologis yang dibangun.
Hal ini sejalan dengan pandangan Williams (Faruk, 2003:79)
bahwa kesusasteraan dapat menjadi kekuatan sosial, politik, dan kultural yang
memungkinkan lahirnya gerakan perlawanan terhadap ketidakadilan. Fiksi modern seringkali hadir untuk melakukan
kritik sosial terhadap berbagai praktik penyimpangan budaya dominan, serta menjadi
corong kaum marjinal untuk melawan ketidakadilan. Oleh karena itu, harus diakui
bahwa kajian fiksi modern telah memainkan peran penting dalam analisis budaya
(Storey, 2007:36). Dengan kata lain bahwa karya sastra modern mencerminkan
perpaduan yang mengesankan antara struktur narasi, nilai estetis, dan
emansipasi budaya.
Pendapat tersebut menegaskan bahwa fiksi
modern tidak bisa lagi dipahami semata-mata narkotis yang hanya bisa membuat
pembacanya kecanduan, tetapi juga menawarkan sebuah pencerahan (Storey, 2007:36).
Pencerahan ini dapat diperoleh dengan membongkar wacana ideologis yang
terkandung di dalamnya. Hal ini mengantarkan Althuser pada konsep
“problematika”, yaitu struktur teoretis dan ideologis yang merangkai dan
memproduksi wacana yang saling silang dan berkompetisi secara terorganisasi
dalam sebuah teks. Dengan kata lain, teks itu sendiri adalah sebuah problematika.
Akan tetapi, pada saat yang bersamaan teks itu juga mendorong lahirnya
jawaban-jawaban (Storey, 2007:37). Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa dalam
teks sastra mengandung berbagai macam problematika dan sekaligus jawabannya,
baik secara tersurat maupun tersirat.
Segala yang tersurat dalam teks membangun
struktur naratif, seperti tema, tokoh, alur, dan setting. Sementara itu, segala
yang tersirat merupakan struktur makna teks. Struktur naratif lebih memerankan
fungsi deskriptif, yakni pelukisan cerita secara apa adanya dengan maksud
menggugah naluri estetis pembaca, bahkan tidak jarang memberi sentuhan
narkotis. Sebaliknya, struktur makna lebih banyak memerankan fungsi
transformatif, yaitu mengungkap kritik, wacana, ideologi, dan amanat yang
memungkinkan munculnya pencerahan (Sugiharto, 1996:80). Dalam ranah culture studies, kekuatan naratif suatu
karya sastra lebih bersifat metaforis. Artinya, keunggulan suatu narasi
terletak pada kepekaannya dalam memainkan wacana-wacana ideologis yang
berkembang di masyarakat. Di sini, karya sastra dipandang merupakan suatu unit
wacana dan acuannya
adalah “dunia” yang ditampilkan. Menafsirkan suatu karya sastra berarti
memajang ‘dunia’ yang diacu oleh karya itu, melalui bentuk penataan, genre (kodifikasi khas), dan gaya
penulisannya (Sugiharto, 1996:105). Dengan demikian, analisis
karya-karya fiksi harus diarahkan untuk mengungkap struktur naratif dan metafor
secara bersama-sama, sebagai sesuatu yang jalin-menjalin membangun keseluruhan
makna teks.
Suatu karya
sastra dapat dipahami maknanya sesuai dengan konvensi ketandaan, yaitu kajian
utama dalam analisis semiotika. Dalam analisis semiotika, segala sesuatu dapat
dijabarkan sebagai bahasa. Bahasa pada prinsipnya merupakan perangkat yang
didasarkan pada konvensi sosial. Dalam penggunaan sehari-hari, bahasa tidak
dapat dilepaskan dari sistem pemaknaan tertentu yang dipakai untuk menunjukkan
suatu realitas. Menurut Saussure, bahasa (langue)
adalah khasanah tanda (lexicon of
signification) (Sturrock, 2007:6). Bahasa bukanlah sekadar kata-kata,
melainkan juga semesta tanda. Tanda membentuk kode-kode yang melestarikan
fungsi bahasa (Sturrock, 2007:7). Jadi, semiotika merupakan perluasan jangkauan
(ekstensi) dari terma linguistik yang memandang bahasa adalah sistem tanda
(Audifax, 2007:21). Karya sastra merupakan sistem semiotik tingkat kedua yang
menggunakan bahasa sebagai bahan semiotik tingkat pertama (Pradopo, 2003:108).
Disebut semiotik tingkat kedua atau jenis bahasa sekunder (Segers, 2000:14),
karena karya sastra dengan petandanya seperti, metafora, konotasi, dan
ciri-ciri penafsiran ganda lainnya bukanlah bahasa biasa, melainkan sistem
komunikasi yang telah sarat dengan pesan kebudayaan (Ratna, 2004:111).
Berkenaan dengan pendapat tersebut
maka analisis terhadap bahasa sekunder, yaitu konotasi dan metafor merupakan
landasan utama untuk menangkap pesan sebuah karya sastra. Konotasi diartikan tautan pikiran yang
menimbulkan nilai rasa pada seseorang ketika berhadapan dengan sebuah kata;
makna yang ditambahkan pada makna denotasi (KBBI, 2005:588). Sementara itu, metafor adalah pemakaian
kata atau kelompok kata bukan dengan arti yang sebenarnya, melainkan sebagai lukisan
yang berdasarkan persamaan atau perbandingan (KBBI, 2005:739). Metafora adalah permainan bahasa (language game)
yang tidak sungguh-sungguh memaksudkan apa yang jelas-jelas dikatakannya. Makna
sebuah metafor mengatasi dirinya sendiri dan membimbing ke sesuatu yang justru
tidak dikatakannya (Sugiharto,
1995:106). Dengan
demikian, konotasi dan metafor merupakan jenis bahasa yang tidak bermakna
tunggal. Hal ini ditegaskan oleh Derrida (Al-Fayyadl,
2005:88) bahwa makna selalu
bersifat differance, seperti hantu
yang bermain antara ada dan tiada; keberadaannya adalah ketiadaannya, dan
ketiadaannya adalah keberadaannya. Difference membayangi setiap teks dengan kemungkinan-kemungkinan lain yang
menawarkan kejutan, tidak terduga, dan cukup membuat cemas karena seolah-olah teks kehilangan
makna.
Berkaitan dengan pembacaan terhadap
karya fiksi, Althuser (dalam Storey, 2007:37) menawarkan metode simptomatik
atau dekonstruksi teks. Metode simptomatik berarti menguak mekanisme
problematika, yaitu perubahan, distrosi, kebisuan, dan ketakhadiran
(simptom-simptom) dan dengan begitu membangun kondisi historis eksistensi
(Storey, 2007:37). Kemudian, menurut Johnson bahwa dekonstruksi adalah
strategi mengurai teks. Istilah “de-konstruksi” sebenarnya lebih dekat dengan
etimologi kata ‘analisis’ yang berarti mengurai, melepaskan, membuka
(Al-Fayyadl, 2005:79; Audifax, 2007:46). Kedekatan etimologis ini menunjukkan
bahwa dekonstruksi lebih dimaksudkan sebagai strategi mengurai struktur dan
medan pemaknaan teks, ketimbang operasi untuk merusak teks itu sendiri. Dengan
demikian, apabila sebuah teks didekonstruksi
maka bukanlah makna yang dihancurkan. Akan tetapi, klaim bahwa
– suatu bentuk pemaknaan teks
lebih benar daripada pemaknaan lain yang
berbeda – inilah yang
didekonstruksi (Al-Fayyadl, 2005:80). Intinya, dekonstruksi menolak pandangan tentang
ketunggalan makna dalam sebuah teks dan sebaliknya, mejunjung tinggi
diferensitas.
Metode pembacaan ini telah
diterapkan pada teks-teks fiksi oleh Pierre Macherey dalam buku A Theory of Literary Production (1978). Macherey dengan tegas menolak adanya
istilah “kesalahan interpretatif”, karena tidak ada teks yang memiliki makna tunggal.
Bagi Macherey, teks bukanlah teka-teki yang menyembunyikan makna, tetapi suatu
konstruksi dari berbagai makna (Storey, 2007:38). Hal ini sejalan dengan ikhtiar Derrida yang mempertanyakan kembali klaim filsafat bahwa sebuah teks memiliki makna
yang univokal dan tidak menyertakan sedikitpun ambiguitas di dalamnya.
Dekonstruksi menggugat modus pemaknaan yang terpusat dan cenderung bulat, seperti yang mungkin
diinginkan oleh teks. Dalam dekonstruksi, makna lebih dialami sebagai proses
dari penafsiran dan bukan hasil yang sudah jadi dan dapat dinikmati begitu saja. Makna
ada di balik layar, tetapi wujudnya bukan kehadiran,
melainkan proses menjadi yang terus-menerus menunda pengertian yang dirasakan memadai
dan menggantikannya dengan penanda-penanda baru yang lebih terbuka dan ambigu
(Al-Fayyadl, 2005:82). Berpijak pada kerangka teoretis tersebut maka Sukreni Gadis Bali dipandang sebagai
sebuah narasi yang dalam dirinya sendiri mengandung begitu banyak problematika
yang layak ditelusuri dan diuraikan kebenarannya, termasuk di dalamnya
persoalan identitas Bali.
4. Identitas
Bali dalam Sukreni Gadis Bali
Kebenaran yang hendak ditelusuri
dalam novel Sukreni Gadis Bali adalah
konstruksi identitas Bali di masa kolonial. Dalam dunia sosial, identitas
menjadi kebutuhan yang teramat penting bagi individu. Melalui identitas orang
bisa membedakan dirinya dengan yang lain, sekaligus memberi petanda kediriannya
bagi orang lain. Bagi filsuf eksistensialis, identitas mulai muncul justru
ketika manusia mulai mempertanyakan dirinya (Dagun, 1993). Ketika
manusia bertanya akan dirinya, di situlah sebenarnya manusia telah berupaya membedakan
dirinya dengan yang lain. Melalui identitas orang bisa membedakan “aku”,
“kita”, “dia”, dan “mereka”, penting bagi kehidupan masyarakat yang plural.
Walaupun demikian, identitas dalam ranah kebudayaan merupakan sesuatu
yang unik, khas, dan kompleks. Identitas budaya tidak
datang sendiri, tetapi dibentuk atau dibangun sebagai buah interaksi dinamis antara konteks historis dan construct. Oleh
karena itu, identitas bersifat situasional dan bisa
berubah, disusun dalam hubungannya dengan sejumlah others (Manuati, 2004:12). Identitas
sebuah etnik dapat ditentukan oleh faktor material budaya, seperti makanan,
pakaian, perumahan, peralatan, dan juga
faktor nonmaterial seperti bahasa, adat istiadat, kepercayaan,
cara berpikir, sikap, dan lain-lain (Liliweri,
2005:48).
Intinya, identitas itu adalah sesuatu yang cair (fluid) dan dapat dipertukarkan melalui konstruksi dan rekonstruksi
sosial sehingga tidak ada identitas yang tunggal.
Dalam novel Sukreni Gadis Bali, wacana identitas bergulat, muncul dan tenggelam
dalam keseluruhan narasi yang dibangun melalui interaksi antara teks dan
pembaca. Malahan, wacana ini tampak begitu samar, sesekali menampakkan diri
dalam narasi, tetapi pada saat yang lain berada di luar narasi. Hal mana
seperti dilambangkan oleh Derrida sebagai “lampu sorot”, maka struktur besar
naratif adalah lampu sorot itu (Al-Fayyadl, 2005:83). Ia memberi kejelasan
cerita dari awal hingga akhir. Sebaliknya, wacana identitas menjadi sisi lain
yang terkadang tercerahi oleh lampu sorot itu, namun seringkali menempati
sisi-sisi gelap di sampingnya. Wacana ini seolah-olah ada dalam ketiadannya. Ia
akan muncul, jika dan hanya jika, pembaca mampu membongkar dan menemukan
keberadaannya.
Penelusuran mengenai identitas Bali
dalam novel Sukreni Gadis Bali berpijak
pada pendapat Vikers (1989) dan Picard (1997) tentang peran kolonial dalam
membangun citra Bali masa kini. Pencitraan Bali sebagai pulau yang indah,
eksotis, dan religius, ternyata hanya wacana politik kolonial untuk menabur
simpati masyarakat Bali dan menanamkan hegemoni kekuasaannya. Sebaliknya,
identitas karakter kekerasan orang Bali sebagai “kebenaran lain”, ternyata tertutupi
dan terakumulasi dalam kesadaran orang Bali yang siap membuncah kapan saja.
Bukan tidak mungkin, meningkatnya intensitas konflik adat di Bali belakangan
ini menjadi gambaran nyata betapa karakter kekerasan merupakan bagian dari
kultur masyarakat Bali. Melalui cara kerja dekonstruksi dapat diuraikan
identitas Bali dalam novel Sukreni Gadis
Bali, seperti diuraikan dalam subbab berikut ini.
4.1 Konstruksi
Identitas
Problematika identitas dalam novel Sukreni Gadis Bali mulai muncul dengan
perubahan nama “Ni Widi” menjadi “Sukreni”. Dikatakan demikian karena “Sukreni”
telah menghilangkan identitas “Ni Widi”, walaupun kedua identitas ini menunjuk
pada subjek yang sama. Akan tetapi, identitas subjek ini sudah dikonstruksi
secara berbeda dalam dunia sosialnya. Ni Widi menunjuk pada identitas seorang
anak yang mempunyai ibu, sebaliknya Sukreni adalah identitas anak yang tanpa
ibu. Sukreni harus menerima takdir sosialnya, tumbuh dan berkembang tanpa
kehadiran seorang ibu. “Sukreni Kecil” menjadi simbol bahwa manusia yang tanpa
kesadaran identitas (unconsciousness
identity), akan menerima begitu saja identitasnya dipermainkan oleh aktor
lain.
Adapun aktor dibalik pergantian
identitas Ni Widi adalah ayahnya sendiri. Tujuannya agar Ni Widi tidak bisa
lagi mengenali dan dikenali ibunya, yaitu Men Widi. Diceritakan bahwa Men Widi
telah melarikan diri dari rumah karena mengikuti laki-laki lain yang bukan
suaminya. Singkatnya, Men Widi telah tega meninggalkan suami dan anaknya demi
laki-laki selingkuhannya. Apabila cerita ini dipandang sebagai potret kehidupan
masyarakat Bali, maka gejala perselingkuhan sudah terjadi pada masa itu. Secara
moral, seorang ibu yang berselingkuh, serta berani meninggalkan anak dan
keluarganya dicap sebagai ibu yang jahat sehingga tidak layak lagi untuk
dikenali oleh keluarga, bahkan anak kandungnya sendiri. Ibu seperti ini harus
benar-benar dihilangkan dari memori keluarga karena dianggap sebagai aib. Dari
sini dapat dipahami bahwa Pan Widi secara cerdas memainkan nilai-nilai moral
untuk mengkonstruksi identitas putrinya. Dengan demikian, Pan Widi adalah orang
yang sadar identitas karena dengan memainkan identitas Ni Widi, anak ini
benar-benar tidak dapat dikenali oleh ibunya. Terbukti bahwa ketika Sukreni
bertemu dengan Men Negara keduanya tidak saling mengenal.
Dalam perjalanan hidupnya Men Widi
telah berganti identitas menjadi Men Negara. Pergantian identitas ini merupakan
hasil konstruksi sosial dan budaya masyarakat Bali karena identitas Men Negara
diterima setelah ia memiliki anak bernama I Negara. Dalam sistem sosial
masyarakat Bali sudah lumrah terjadi bahwa untuk memanggil nama seorang laki-laki
atau perempuan yang sudah beranak, cukup dengan melekatkan nama panggilan anak
pertama di belakang kata “Pan” (ayah), atau “Men” (ibu). Walaupun Men Negara
sudah memiliki anak pertama dari suami sebelumnya, namun ia tidak lagi memakai
identitas itu. Ini menegaskan bahwa identitas merupakan sesuatu yang cair,
terbangun melalui akumulasi historis yang berhubungan dengan berbagai
konstruksi sosial. Lihat saja cerita Men Negara, dulu dia adalah Men Widi,
kemudian menjadi Men Negara, dan di akhir cerita menjadi anak buduh (orang gila).
Berbeda dengan Sukreni kecil yang
harus menerima identitasnya dipermainkan oleh aktor lain (ayahnya) dan Men
Negara yang identitasnya dikonstruksi oleh sistem sosial, cerita berikutnya
menunjukkan Sukreni yang semakin sadar identitas. Hal ini dapat disimak dari
pergantian nama Sukreni menjadi Ni Made Sari, setelah ia diperkosa oleh Gusti
Made Tusan. Dalam segmen ini, seolah-olah Sukreni ingin menghilangkan aib yang
menimpa dirinya dengan membangun identitas baru yang bebas dari predikat moral.
Artinya, dengan menjadi Ni Made Sari, Sukreni tetap menjadi “gadis suci” yang
tidak pernah membawa benih pemerkosa dalam dirinya. Kalaupun sekarang ada
wanita yang hamil tanpa suami maka itu bukanlah Sukreni, tetapi Ni Made Sari.
Uraian di atas menunjukkan model
konstruksi identitas yang terjadi pada masyarakat Bali. Proses konstruksi ini
relatif kompleks karena melibatkan peran-peran individu, baik sebagai aktor
maupun diri, dan juga sistem sosial. Pergantian nama Ni Widi menjadi Sukreni
oleh ayahnya, menunjukkan bahwa aktor memainkan peranan otoritas dan dominasi
dalam membangun identitas yang sah (legitimized
identity) (Castells, dalam Sutrisno dan Putranto, 2004:97). Dalam hal ini,
otoritas seorang ayah untuk menentukan identitas sah bagi anaknya merupakan sesuatu
yang berterima dengan norma dan pranata sosial masyarakat Bali. Selanjutnya, identitas
yang melekat pada Men Negara dapat dipandang sebagai model konstruksi identitas
dalam sistem sosial masyarakat Bali. Identitas Men Negara merupakan wujud fakta
sosial yang harus diterima ketika ia menjadi ibu dari I Negara, tanpa tersisa
ruang baginya untuk menjadi yang lain. Berbeda dengan kedua model di atas,
Sukreni yang merubah namanya menjadi Ni Made Sari menjadi bukti betapa individu
dapat mengkonstruksi identitasnya sendiri. Hal ini sejalan dengan pendapat
Giddens (1991:75) bahwa individu berusaha mengkonstruksi suatu narasi identitas
koheren, di mana “diri” membentuk suatu lintasan perkembangan diri masa lalu
sampai masa depan yang dapat diperkirakan. Dalam hal ini, Sukreni sadar diri
bahwa masa lalunya yang kelam tidak akan diterima masyarakat, baik secara moral
maupun sosial, walaupun dia hanyalah korban. Oleh karena itu, jejak-jejak
narasi tentang Sukreni sebagai korban perkosaan dihilangkan dengan cara membangun
narasi baru tentang Ni Made Sari, yakni wanita malang yang hamil tanpa suami.
4.2 Hegemoni
Budaya Patriarki
Masyarakat Bali menganut sistem
kekerabatan patrilineal dan bersamaan dengan itu, juga kekuasaan laki-laki atas
perempuan tampak dominan. Ideologi patriarki adalah ideologi yang menekankan
bahwa laki-laki lebih tinggi daripada perempuan, bahwa perempuan harus
dikontrol oleh laki-laki, dan bahwa perempuan adalah milik laki-laki (Bashin,
1994:4). Sementara itu, Adian (2006) menyatakan bahwa ideologi patriarki adalah
suatu ide yang menempatkan pria pada posisi dominan dan wanita pada posisi
subordinat. Terkait erat dengan ideologi patriarki ini adalah ideologi gender
dan ideologi seks. Hegemoni dan dominasi budaya patriarki dalam masyarakat Bali
inilah yang muncul dan tenggelam dalam belantara narasi Sukreni Gadis Bali.
Hal ini dapat disimak dari cerita
Ni Negari, gadis cantik putri Men Negara. Ia telah dijadikan alat ibunya untuk
memikat para pelanggan dengan kecantikan dan kelembutannya. Malahan dalam novel
ini diceritakan bahwa hampir seluruh pelanggan Men Negara adalah kaum
laki-laki. Setidak-tidaknya, terdapat dua problematika yang dapat dibaca dari
teks sosial ini, yaitu tidak diceritakan adanya perempuan yang gemar datang ke
warung Men Negara dan ketertarikan laki-laki kepada Ni Negari. Dengan
perspektif hegemoni ideologi patriarki kedua masalah ini dapat dijelaskan, seperti
berikut.
Ideologi patriarki cenderung
menempatkan dominasi laki-laki atas perempuan dalam bidang sosial ekonomi. Ini
terbukti bahwa pelanggan warung Men Negara adalah kaum laki-laki yang terdiri
atas berbagai profesi, seperti para pekerja kebun kelapa, para polisi, dan tokoh
masyarakat. Sementara itu, kaum perempuan lebih banyak memainkan peran-peran
domestik. Dalam perbedaan peran inilah, budaya makan dan minum di warung
cenderung menjadi milik laki-laki karena merekalah yang memiliki modal ekonomi
untuk itu. Budaya ini diperkuat dengan stigma moral yang cenderung menabukan
perempuan untuk nongkrong di warung. Ini
menegaskan pandangan Bashin (1994:27) bahwa agama (juga moralitas) memainkan
peran yang penting dalam menciptakan dan mengabadikan ideologi patriarki.
Pada sisi yang lain, Men Negara
menjadi simbol perempuan “lain” (the
others) yang berbeda dari keumuman perempuan. Ia menjadi perempuan yang mengambil
peran di sektor publik dengan mencari nafkah melalui warungnya. Malahan, ia
berhasil memainkan hegemoni budaya patriarki ini dengan memanfaatkan modal
tubuh anak perempuannya untuk meraup keuntungan material. Dalam hal ini, ideologi
patriarki menjadi arena permainan modal budaya dan modal ekonomi dalam kerangka
kapitalisme yang akut. Budaya patriarki cenderung mendorong hasrat laki-laki
untuk menjadikan tubuh perempuan sebagai objek sensual dan seksualnya. Seperti
dinyatakan Piliang (2004:210) bahwa tubuh wanita dalam wacana kapitalisme memproduksi
nilai guna (use value), nilai tukar (exchange value), dan nilai tanda (sign value) sehingga menjadi bagian
sentral dari politik kapitalisme, dengan segala prinsip dan hukum-hukumnya. Dalam
konteks ini, tubuh Ni Negari berhasil dimanfaatkan oleh Men Negara menjadi
modal ekonomi untuk mewujudkan kepentingannya mendapatkan materi yang melimpah.
Demikian halnya ketika Men Negara mendapatkan Sukreni sebagai komoditas baru
yang layak jual. Apalagi kehadiran Sukreni memang telah menarik dan
membangkitkan hasrat kelelakian Gusti Made Tusan untuk memilikinya.
Merujuk pada penjelasan di atas
dapat dipahami bahwa hegemoni budaya patriarki telah meminggirkan peran-peran
perempuan Bali di ranah publik. Novel ini tampaknya ingin mengungkap ideologi
tersebut, walaupun juga menyiratkan adanya kekhawatiran munculnya akibat-akibat
moral yang tidak menyenangkan. Pada satu sisi, wacana pencerahan dibangun
melalui penyadaran terjadinya dominasi dan hegemoni budaya patriarki terhadap
perempuan dalam kebudayaan Bali. Namun sebaliknya, peran perempuan di ruang
publik tidak seluruhnya berterima dengan norma moral dan sosial masyarakat Bali
dalam budaya patriarki yang akut. Pesan yang dapat ditangkap dari wacana
tersebut bahwa diperlukan kebijaksanaan dan kesadaran dari perempuan Bali dalam
mempertimbangkan pilihan-pilihan peran yang dapat dilakukan di ruang publik
sehingga tidak menjadikan dirinya komoditas bagi kaum laki-laki.
4.3 Pluralitas
Agama
Novel Sukreni Gadis Bali menggambarkan pluralitas agama di Bali pada masa
itu. Selain agama Hindu sebagai mayoritas, juga terdapat agama Islam dan
Kristen. Keberadaan agama Islam dapat dilihat dari orang yang pertama kali
menampung Men Negara dalam pelariannya bersama laki-laki lain adalah seorang
Haji di sebelah barat Singaraja. Sementara itu, keberadaan agama Kristen
ditunjukkan dengan kasus waris yang terjadi di desa Sukreni. Dalam cerita
tersebut dijelaskan bahwa persoalan waris bagi orang Hindu yang sudah masuk
Kristen menjadi salah satu masalah dalam pluralitas agama di Bali. Akan tetapi,
penjelasan Ida Gde Suamba dalam sebuah percakapan dengan I Made Aseman
menunjukkan sudah munculnya pemikiran baru dari generasi muda Hindu yang
mengarah pada terbentuknya masyarakat multikultural.
Walaupun demikian, salah satu
segmen penting dari novel Sukreni Gadis
Bali adalah identitas agama Hindu Bali. Wacana ini muncul dalam dialog Ida
Gde Suamba dengan Chaterjee, seorang ilmuwan dari India. Identitas Hindu Bali
yang dijelaskan antara lain, konsep tri
sadhaka (Siwa Siddhanta, Buddha, dan Sengguhu), Catur Warna, dan persamaan antarwangsa. Dikatakan bahwa Siwa
Siddhanta adalah yang dominan, kemudian Buddha atau Sogata yang berbeda dengan Buddha Gautama (Mahayana), serta pemuja
Wisnu yang pendetanya adalah orang jaba bernama
Sengguhu. Ida Gde Suamba juga
menjelaskan bahwa catur warna (catur wangsa) di Bali perbedaannya tidak setegas yang terjadi di India. Malahan,
sudah mengarah terjadinya pembauran antarwangsa dalam sebuah prosesi upacara. Selain
identitas agama Hindu Bali tersebut, novel ini juga menjelaskan hubungan adat
dengan agama Hindu. Terutama dalam persoalan hukum waris, antara adat dan agama
tampaknya sudah menjadi satu kesatuan struktural di Bali sehingga agama
menentukan kedudukan seseorang dalam sistem adat. Misalnya, dijelaskan dalam
kasus tersebut bahwa perkara waris terjadi karena anak yang semestinya menjadi
ahli waris sudah pindah ke agama Kristen.
Berdasarkan uraian di atas dapat
dipahami bahwa identitas agama Hindu di Bali dikonstruksi oleh berbagai macam sekte yang ada di Bali. Selain itu, juga
sistem adat turut mengonstruksi sistem keagamaan di Bali sehingga antara adat
dan agama merupakan dua fenomena dalam satu realitas. Penjelasan tentang agama Hindu
Bali dalam novel tersebut tampaknya lebih mengedepankan pendekatan emik,
daripada etik. Pendekatan ini berusaha memotret identitas agama Hindu di Bali
sesuai dengan realitas yang muncul di masyarakat secara apa adanya. Selain itu,
juga cerita ini menunjukkan cara orang Bali membangun citra agama Hindu Bali
kepada orang lain melalui perbandingan yang rasional.
4.4 Realitas
Kekerasan di Bali
Sukreni Gadis Bali merupakan
karya sastra tragedi dalam kehidupan masyarakat Bali. Hal ini dapat dipahami
dari inti cerita yang menguraikan kisah tragis Sukreni Gadis Bali. Menikmati
masa kecil tanpa seorang ibu, dijual oleh ibunya sendiri, diperkosa, dan
memiliki anak yang berandalan mewarnai kehidupan Sukreni. Selain itu, juga
kronik kekerasan mewarnai seluruh rangkaian cerita, baik simbolik maupun fisik.
Oleh karena itu, sisi kekerasan orang Bali merupakan realitas yang hendak diungkap
dalam novel ini.
Kekerasan simbolik telah dialami
Sukreni sejak masa kecilnya. Ia sama sekali tidak diberi ruang dan kesempatan
oleh ayahnya untuk mengenali siapa ibunya. Simbol bahwa dalam masyarakat
patriarki ayah memegang kendali utama dalam pengambilan keputusan keluarga.
Hegemoni dan dominasi ayah telah menentukan takdir sosial Sukreni sehingga
harus menerima status sebagai anak tanpa ibu. Tanpa disadari, kekerasan
simbolis ini menorehkan warna kelam dalam kehidupan Sukreni kemudian. Andai
saja Sukreni diberi kebebasan untuk mengenali ibunya, sejahat apapun sang ibu
itu, mungkin pertemuan Sukreni dengan Men Negara akan menjadi pertemuan yang
membahagiakan. Bukan sebaliknya, malah menjadi sebab derita yang dialami
Sukreni.
Bentuk kekerasan simbolik lainnya,
juga dialami Ni Negari dan Sukreni dalam permainan kapitalisme Men Negara. Baik
Ni Negari maupun Sukreni sama-sama menjadi objek pemuasan hasrat materialis Men
Negara untuk mendapatkan penghasilan yang melimpah. Tubuh mereka menjadi
komoditas untuk menarik hasrat laki-laki yang mengunjungi warungnya. Hal ini
berterima dengan budaya patriarki yang memandang wanita sebagai subordinat
sehingga kekerasan terhadap perempuan mendapatkan legitimasinya. Kekerasan
simbolik ini tampak nyata dialami Ni Negari misalnya, dipaksa harus tetap
tersenyum dan ramah, walaupun menerima perlakuan kurang menyenangkan dari kaum
laki-laki yang mengunjungi warungnya. Malahan, juga dia harus memberikan
pelayanan yang istimewa kepada Gusti Made Tusan, yakni orang yang sama sekali tidak
dicintainya. Akibat lebih buruk, justru diterima Sukreni dengan terjadinya
pemerkosaan yang menimpa dirinya.
Hal lain yang tidak kalah menarik
dicermati dari novel ini adalah karakter kekerasan yang tertanam dalam diri
orang Bali. Persaingan warung antara I Made Aseman dan Men Negara menjadi bukti
betapa orang Bali memandang setiap kehadiran orang lain di ranah yang sama
merupakan ancaman bagi eksistensi. Ini memupuk rasa dendam, kebencian, dan
berujung pada munculnya tindakan kekerasan untuk menghilangkan eksistensi yang
lain dengan segala cara. Gejala ini dapat direfleksikan dalam konteks kekinian
bahwa sifat-sifat iri hati dan dengki mewarnai kehidupan antar-pedagang lokal
Bali dalam kerangka persaingan yang tidak sehat. Dalam wacana sehari-hari orang
Bali, kerapkali terdengar ungkapan “pasti
ia bisa ngeleak” (pasti dia bisa
ilmu hitam/pangleakan), apabila
melihat warung seseorang ramai dikunjungi pelanggan.
Puncak dari karakter kekerasan
orang Bali semakin tergambar dari cerita tentang pencurian, perampokan, dan
premanisme yang diwakili oleh tokoh Gustam. Kondisi Bali yang kacau secamam ini
merupakan realitas sosial yang ditampilkan oleh Panji Tisna dalam novel ini. Boleh
jadi, realitas inilah yang mendasari pernyataan Vikers (1989) bahwa Bali adalah
pulau pencuri dan pembunuh. Ruang kritik sesungguhnya masih terbuka terhadap
pernyataan ini karena mewakili pemikiran kolonial. Semangat puputan yang dimiliki masyarakat Bali mungkin
menjadi bentuk perlawanan yang menakutkan bagi pemerintah kolonial Belanda
sehingga ia mengatakan orang Bali gemar berperang. Akan tetapi, juga tidak
tertutup kemungkinan bahwa ini merupakan realitas yang nyata terjadi pada masa
itu. Terlepas dari perbedaan kedua pandangan ini, jelas bahwa orang Bali
memiliki karakter yang keras dan berani mati demi harga diri dan kehormatannya.
5. Penutup
Berdasarkan uraian tersebut di
atas, ternyata novel Sukreni Gadis Bali mengungkap
begitu banyak problematika identitas Bali di masa kolonial. Identitas ini
timbul dan tenggelam dalam keseluruhan narasi dan membangun pluralitas makna
yang terpendar dari lampu sorot Derridean. Dengan mengungkap narasi-narasi
kecil dari keseluruhan cerita ditemukan bahwa (a) identitas orang Bali
merupakan hasil konstruksi yang bersifat cair (fluid); (b) identitas Bali ditandai dengan hegemoni dan dominasi
budaya patriarki; (c) identitas Hindu Bali merupakan sesuatu yang unik dan
khas; serta (d) orang Bali mewarisi karakter kekerasan, baik simbolik maupun
fisik. Temuan ini tidak hanya dimaksudkan untuk membongkar makna dari novel Sukreni Gadis Bali, tetapi lebih jauh
dapat dijadikan refleksi dalam menata kehidupan kekinian. Dengan demikian, Sukreni Gadis Bali menjadi wacana
pencerahan bagi orang Bali masa kini untuk menata identitasnya yang tidak
pernah final.
6. Daftar
Kepustakaan
Adian, Donny Gahral. 2006. Percik Pemikiran Kontemporer Sebuah
Pengantar Komprehensif. Yogyakarta: Jalasutra.
Al-Fayyadl, Muhammad. 2005. Derrida. Yogyakarta: LKiS Pelangi Aksara.
Audifax. 2007. Semiotika Tuhan: Tafsir Atas Pembacaan
Manusia Terhadap Tuhan. Yogyakarta: Pinus Book Publisher.
Bashin, K. 1994. Menggugat Patriarki Pengantar Tentang
Persoalan Dominasi terhadap Kaum Perempuan. Yogyakarta: Bentang Budaya.
Barker, Chris. 2000. Culture Studies Teori dan Praktek. Yogyakarta:
Kreasi Wacana.
Cavallaro, Dani. 2004. Critical and Cultural Theory: Teori Kritis
dan Teori Budaya. Yogyakarta: Niagara.
Couteau, Jean. 1999. Museum
Puri Lukisan. Ubud: Yayasan Ratna Wartha.
Dagun, M. 1990. Filsafat Eksistensialisme. Bandung:
Mizan
Faruk. 2003. Pengantar Sosiologi Sastra dari
Strukturalisme Genetik sampai Post-Modernisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Giddens, Anthony. 1991. Modernity and Self-Identity. Cambridge:
Polity Press,
Liliweri, Prof. Dr. Alo, M.S. 2005. Prasangka dan Konflik, Komunikasi Lintas
Budaya Masyarakat Multikultur. Yogyakarta: LkiS.
Mantra, Ida Bagus. 1994. Landasan Kebudayaan Bali. Denpasar: Yayasan
Dharma Sastra.
Maunati, Yekti. 2004. Identitas
Dayak, Komodifikasi dan Politik Kebudayaan. Yogyakarta: LkiS.
Picard, Michel. 1997. “Cultural
Tourism, Nation Building, and Regional Culture: The Making of an Identity”, in Tourism, Etnichity, and State in Asian and
Pasific Societies. Michel Picard & Robert E. Wood (eds), Honolulu:
University of Hawaii Press.
Piliang, Yasraf Amir. 1998. Dunia yang Dilipat Realitas Menjelang
Milenium Ketiga dan Matinya Posmodernisme. Bandung: Mizan.
Pradopo, Rachmad
Joko. 2003. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan
Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Segers. Rien T. 2000. Evolusi Teks Sastra. Yogyakarta:
Adicitra.
Storey, John. 2007. Cultural Studies dan Kajian Budaya Pop. Yogyakarta:
Jalasutra.
Stturock, John. 2007. Dari Strukturalisme ke Poststrukturalisme. Yogyakarta:
LKiS Pelangi Aksara.
Sugiharto, I. Bambang. 1996. Postmodernisme Tantangan Bagi Filsafat. Yogyakarta:
Kanisius.
Sutrisno,
Mudji & Hendar Putranto. 2004. Hermeneutika
Pascakolonial. Yogyakarta: Kanisius.
Tim Penyusun. 2005. Kamus Besar Bahasa
Indonesia. Jakarta: Depdiknas
– Balai Pustaka.
Tisna, A.A. Pandji. 1964. Sukreni Gadis Bali. Jakarta: Balai
Pustaka.
Vikers, Adrian. 1989. Bali a Paradise Created. Berkeley-Singapore:
Periplus Edition.