Selasa, 23 Agustus 2016

MEDIA DAN PEMBANGUNAN KARAKTER BANGSA

MEDIA DAN PEMBANGUNAN KARAKTER BANGSA

Oleh
Dr. Nanang Sutrisno, S.Ag, M.Si

1.     Pendahuluan
Radhakrishnan (1987:9) menyatakan bahwa kemanusiaan sekarang ini mengalami krisis terbesar sepanjang sejarah umat manusia. Perkembangan sains dan teknologi ternyata tidak disertai dengan kemajuan yang sama di bidang spiritualitas. Malahan spiritualitas makin rapuh dibawa arus materialisme, hedonisme, pragmatisme peradaban modern. Krisis kemanusiaan sebagai konsekuensi modernitas memang sulit dihindari karena modernisasi itu bersifat hegemonik. Krisis ini mencakup dimensi intelektual, moral, dan spiritual, yaitu suatu krisis yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam catatan sejarah umat manusia. Malahan krisis ini telah merambah kehidupan berbangsa dan bernegara yang mencakup hajat hidup jutaan manusia di dalamnya.
Krisis multidimensi yang melanda bangsa Indonesia akhir-akhir ini merupakan bentuk nyata dari ancaman kemanusiaan tersebut. Nilai-nilai luhur bangsa yang terpatrikan dalam Pancasila, seperti gotong-royong, kekeluargaan, musyawarah-mufakat, toleransi, dan kesadaran bela negara telah jauh tereduksi oleh sikap individualistik-liberalistik atau kebebasan yang nyaris tanpa batas. Hal ini diperparah lagi dengan lemahnya idealisme kepemimpinan dan keteladanan para pemimpin bangsa ini (Syahnakri, 2012:1). Pernyataan ini menegaskan bahwa berbagai krisis yang terjadi merupakan akibat dari kegagalan bangsa Indonesia dalam mendialogkan modernisasi dengan kepribadian budaya bangsa. Pada satu sisi, negara industri modern menjadi orientasi transformasi sosial bangsa Indonesia, tetapi kegagalan dalam mendialogkannya dengan budaya lokal justru menjadikan wajah “Indo” budaya Indonesia (Kayam, dalam Sutrisno, 2003:84—85). Modernisasi yang berlangsung ternyata tidak serta-merta mampu membangun budaya Indonesia yang egaliter, demokratis, dan terbuka.
Dampak negatif modernisasi seperti itu disebut Gidens (2005:190) sebagai ketakberartian pribadi, yaitu pribadi yang tidak lagi berarti karena jati dirinya telah ditindas oleh pengetahuan yang diciptakannya sendiri. Sementara itu, Berger (1994:5) menyebutnya sebagai ketakberumahan (homelessness), yakni pengasingan individu dari rumah sosialnya Artinya, masyarakat modern berhasil menerima modernisasi karena rasionalisasi dan privatisasi berbagai praktik sosial dan budaya modern dipandang praktis, efektif, dan efisien untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingannya. Akan tetapi, masyarakat modern gagal mendialogkan modernitas dengan tata nilai dominan, seperti moral, agama, dan spiritualitas sehingga terasing dalam rumahnya sendiri. Sejalan dengan hal tersebut, Roosevelt (Syahnakri, 2012:1) menyatakan “to educate a person in mind and not in morals is to educate a manace to society (‘mendidik seseorang dalam aspek kecerdasaan otak dan bukan aspek moral adalah ancaman bagi masyarakat’).
Pernyataan tersebut menegaskan pentingnya penguatan jati diri dan karakter masyarakat untuk merespons modernitas sehingga tidak larut dan tenggelam dalam krisis kemanusiaan yang berkepanjangan. Mengingat modernitas dalam dirinya sendiri bersifat ambiguit dan paradoks. Pada satu sisi, modernitas memunculkan berbagai problematika, tetapi sekaligus menyediakan ruang bagi pemecahan masalah itu sendiri (Lash, 2004:23). Artinya, di balik sisi-sisi gelap modernitas, juga modernisasi penting bagi masyarakat untuk menyelesaikan masalah hidup dan kehidupannya. Oleh karena itu, modernitas dapat diterima setelah melalui proses adaptasi dialektis sehingga kehadirannya dapat memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kesejahteraan umat manusia, tanpa harus menghilangkan jati diri dan karakter suatu bangsa.
Salah satu model adaptasi dialektis yang dapat dilakukan adalah menjadikan modernitas sebagai instrumen untuk memperkuat nilai-nilai moral dan spiritual. Dalam hal ini, kreativitas lokal (genuine creativity) menjadi spirit kebudayaan yang perlu dibangun dalam diri masyarakat untuk menghadapi penetrasi budaya modern dan global (Mantra, 1996). Sejalan dengan itu, juga gagasan Wales (Magetsari, 1986:56) tentang local genious sebagai kemampuan kebudayaan lokal untuk beradaptasi dengan kebudayaan luar, juga perlu dikembangkan terus-menerus. Spirit kebudayaan inilah yang diperlukan untuk menghadapi penetrasi budaya modern sehingga modernitas menjadi fungsional dalam pembangunan jati diri dan karakter bangsa, bukan malah sebaliknya.
Pada dasarnya spirit ini juga dapat digunakan untuk membangun medan dialog dalam konteks budaya kontemporer, khususnya budaya massa dan budaya populer sebagai materi kajian budaya (culture studies) yang sering diabaikan (Hall, 1980:21). Tidak dapat dipungkiri bahwa budaya pop sedang menunjukkan geliat kebangkitan yang mengesankan di Indonesia belakangan ini. Secara umum, budaya pop ditandai dengan pergeseran dan perubahan budaya secara meluas dari pola hidup (life system) menuju gaya hidup (life style).  Dalam hal ini, peranan media massa dalam pembentukan gaya hidup masyarakat tidak dapat diabaikan. Mengingat budaya massa, baik cetak maupun elektronik tidak hanya bernilai ekonomi-finansial, tetapi juga bernilai ekonomi-kultural. Mengutip pendapat Fiske (Storey, 2007:31) bahwa ekonomi finansial menaruh perhatian pada nilai tukar, sedangkan ekonomi kultural terutama berfokus pada nilai guna – makna, kesenangan, dan identitas sosial. Media massa tidak hanya terlibat dalam pembentukan gaya hidup, tetapi telah menjadi bagian dari gaya hidup itu sendiri. Ini menegaskan bahwa media massa memiliki pengaruh yang signifikan dalam pembentukan jati diri dan karakter bangsa dengan segala konsekuensi paradoksnya.

2.     Pembahasan
Sebuah negara-bangsa (nation-state) penting untuk merumuskan identitas nasionalnya (national identity), seperti juga bangsa Indonesia. Identitas ini tidak saja untuk membedakannya dengan komunitas yang lain, tetapi lebih penting adalah untuk membangun rasa kasih sayang, tanggung jawab, dan kepentingan nasional. Pemahaman tentang identitas nasional menyatukan para anggotanya pada sekitar pemahaman diri, memberi fokus serta energi pada rasa memiliki bersama, membentuk citra diri kolektif, mengolah kebaikan-kebaikan yang relevan, memfasilitasi reproduksi diri komunitas dan kesinambungan antargenerasi, mempertahankan kesetiaan umum, serta menata kehidupan moral dan politik. Singkatnya, identitas nasional memiliki peranan yang sangat penting dalam masyarakat multikultur untuk menumbuhkan perasaan saling memiliki antara komunitas-komunitas yang beraneka ragam (Parekh, 2008:306).
Upaya pembentukan identitas nasional bangsa Indonesia sesungguhnya telah dilakukan dengan menempatkan empat pilar kebangsaan, yaitu Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan Bhineka Tunggal Ika. Keempat pilar ini tampaknya sejalan dengan pemamahaman dan kesadaran mengenai realitas bangsa Indonesia yang plural. Berkenaan dengan hal tersebut, Franz Magnis Suseno (2005:216) menjelaskan Ke-Indonesia-an dibangun bukan untuk menghilangkan identitas khas semua komponen bangsa, melainkan agar semuanya dapat menjadi warga negara Indonesia tanpa merasa terasing. Sikap saling menghormati dalam identitas masing-masing, kesediaan untuk tidak memaksakan pandangannya sendiri tentang hidup yang baik kepada siapapun, merupakan syarat keberhasilan masa depan Indonesia. Dengan demikian, pembangunan jati diri dan karakter bangsa harus dimulai dengan kesadaran multikulturalisme yang ditopang oleh empat pilar kebangsaan tersebut.
Walaupun demikian, membangun kesadaran multikulturalisme dalam sebuah negara-bangsa bukanlah upaya yang mudah. Empat pilar kebangsaan sebagai teks ideal yang diharapkan dapat menjadi identitas nasional ternyata mengalami penafsiran yang berbeda dalam berbagai orde pemerintahan. Pada masa Orde Lama, Soekarno menjadikan empat pilar ini sebagai wacana populis untuk menggairahkan semangat persatuan dan kesatuan bangsa guna melawan konstalasi kolonial melalui ide nasionalis, agama, dan komunis (Nasakom) (Nurkhoiron, 2007:3). Keberhasilan dalam membangun semangat kebangsaan melalui wacana perlawanan terhadap kolonial, ternyata tidak dibarengi dengan keberhasilan yang sama dalam konsolidasi politik nasional. Berbeda dengan Soekarno, pemerintahan Orde Baru telah mengambil peran dominan dalam kebijakan multikulturalisme melalui penafsiran tunggal terhadap Pancasila sebagai ideologi negara melalui kerja represif militeristik (Nurkhoiron, 2007:3). Berbagai isu, ideologi, dan ekspresi budaya liyan (the others) dianggap sebagai ancaman dan gangguan bagi stabilitas nasional sehingga harus dibungkam. Kemudian, era reformasi ditandai dengan kebebasan berekspresi dan berpendapat, justru melahirkan artikulasi politik identitas dengan membangkitkan berbagai aspirasi etnis, agama, dan isu lokalitas memang menjadi sinyal baru bagi dinamika politik mutakhir pasca-otoritarianisme Orde Baru (Nurkhoiron, 2007:4). Kebijakan otonomi daerah yang diharapkan dapat mengatasi masalah-masalah multikulturalisme di Indonesia, ternyata berubah menjadi hiperotonomi sehingga memunculkan politik kedaerahan yang semakin menajamkan prasangka-prasangka etnis, agama, dan lokalitas.
Kegagalan beberapa orde pemerintahan dalam membangun identitas nasional tampaknya lebih didasari oleh adanya interpretasi tunggal pemerintah terhadap multikulturalisme. Dalam konteks Indonesia, pemaknaan tunggal terhadap identitas nasional telah menciptakan luka sejarah yang mendalam. Indonesia telah melewati masa-masa sulit dengan model nasionalisme politik yang diterapkan pada Orde Lama dan Orde Baru. Phobia Orde Baru, bahkan telah mendorong pemerintah pasca-reformasi membuat kebijakan otonomi daerah sampai ke tingkat kabupaten dan kota yang berakibat pada munculnya hiperotonomi. Padahal identitas nasional harus dibangun secara terus-menerus dalam hubungannya dengan berbagai konstruksi sosial.
Hal ini sejalan dengan padangan Anthony D. Smith (Tilaar, 2004:109) bahwa identitas nasional merupakan kesinambungan reproduksi dan interpretasi atas pola nilai, simbol, mitos, dan tradisi yang membentuk warisan bangsa yang unik, serta identifikasi individu dengan pola dan warisan tersebut beserta unsur-unsur budayanya. Ini berarti bahwa identitas nasional harus terus-menerus diperbaharui dan disesuaikan dengan perkembangan masyarakat. Identitas nasional dibangun atas dasar multikulturalisme dengan menempatkan kebhinekaan sebagai modal budaya bangsa untuk maju, mengatasi kesulitan-kesulitan, dan menggalang kekuatan nasional terutama dalam era globalisasi. Dasar multikulturalisme adalah menggali kekuatan suatu bangsa yang tersembunyi dalam budaya yang berjenis-jenis (Tilaar, 2004:92). Modal budaya inilah yang seharusnya digali dan digalang menjadi kekuatan nasional, bukan saja untuk mengokohkan kebudayaan nasional, tetapi lebih penting adalah memberikan tempat yang setara dan sejajar bagi setiap kebudayaan untuk berpartisipasi aktif dalam pembangunan bangsa dan negara.
Film sebagai pertunjukan seni peran dalam tradisi visual ternyata memberi pengaruh yang sangat kuat bagi kultur suatu bangsa. Dalam khasanah kajian budaya (culture studies), studi film telah membangkitkan sebentangan teori dan metode. Film tidak hanya dipandang bernilai sebagai sebuah karya seni, tetapi juga produksi dan reproduksi budaya dapat bermula dari sana. Ini sebabnya, film seringkali dikutuk sebagai budaya industri yang berimplikasi luas terhadap nilai moral dan nilai budaya. Untuk memulai pembahasan ini, penting melihat kembali pandangan Theodor Adorno dan Mark Horkheimer tentang apa sebenarnya makna media dan implikasinya terhadap nilai moral dan nilai budaya.
Menurut Adorno (Tester, 2003:101) bahwa mengikuti budaya industri (budaya populer) dalam kehidupan sehari-hari pada titik paling menguntungkan hanya akan berimplikasi relatif sederhana, tetapi pada titik yang paling merugikan akan menjadi serangan terhadap kemungkinan pencerahan yang sarat makna. Sederhananya, budaya populer hanya akan membawa masyarakat pada kondisi dehumanisasi. Analisis ini didasari oleh hubungan sebab-akibat dan stimulus-respons dalam hubungan antara media dan audien. Adorno dan Horkheimer (Tester, 2003:107) merumuskan tiga persoalan. Pertama, budaya industri melihat dan menciptakan audien tunggal. Ini mengisyaratkan bahwa budaya industri adalah budaya monolitik sehingga audiennya juga menjadi monolitik. Kedua, audien monolitik yang tunggal dari budaya industri adalah massa yang pasif. Ketiga, budaya industri mempunyai dampak pengasingan (alienasi), bukan sekedar paradoks intelektual.
Film sebagai bentuk budaya industri tampaknya memiliki karakteristik monolitik dalam hubungannya dengan audien. Mengingat film dapat menurunkan level semua audien pada posisi yang sama dan secara pasif harus menerima alur cerita dan adegan yang diperankan oleh para aktornya. Di sini tidak tersedia ruang dialog bagi intelektualitas manusia untuk mengubah alur cerita atau mengganti karakter aktor agar sesuai dengan keinginannya. Termasuk di dalamnya, juga penyesatan-penyesatan logika dari sebuah adegan harus diterima audien sebagai “kebenaran”. Akhirnya, realitas imajiner yang dipertontonkan dalam sebuah cerita film terus-menerus menghegemoni struktur pengetahuan audien sehingga memaksanya untuk menerima begitu saja cerita itu sebagai kebenaran.
Bagi kaum strukturalis film adalah sebuah teks yang memungkinkan munculnya makna (Storey, 2007:70). Namun demikian, budaya industri yang menciptakan hubungan monolitik dengan audien yang pasif ini ternyata berimplikasi pada proses produksi dan reproduksi makna dalam diri audien. Pada satu sisi, hubungan monolitik ini memosisikan pemilik rumah sinema, produser film, sutradara, dan aktor semata-mata adalah agen industri yang hanya memproduksi film sebagai komoditas. Akan tetapi, ketika komoditas itu telah dilaunching ke bioskop atau televisi, maka audienlah yang sepenuhnya memiliki hak untuk memberikan penilaian dan pemaknaan terhadap seluruh cerita dan adegan dalam film tersebut. Artinya, ketika sebuah film telah dilempar ke ruang publik, ia telah hidup dengan nafasnya sendiri sehingga audien mendapatkan kebebasannya untuk menafsirkan pesan-pesan teks itu pada konteks ruang dan waktunya sendiri. Layaknya sebuah komoditas maka pihak produsen cenderung akan memperhitungkan nilai ekonomis finansialnya saja, sedangkan dampak kultural dan moral yang ditimbulkan sepenuhnya menjadi tanggung-jawab audien.
Sebagai sebuah teks, film tentu memiliki struktur naratif yang menentukan produksi makna (parole). Dalam tradisi strukturalisme Levi-Strauss misalnya, produksi makna dalam sebuah film dapat dilakukan dengan membagi inti cerita dan adegan ke dalam model oposisi biner. Seperti misalnya, masyarakat primitif – masyarakat maju, baik – buruk, pahlawan – penjahat, kuat – lemah, beradab – biadab, dan seterusnya. Dari sinilah muncul tokoh protagonis dan antagonis yang selalu diposisikan saling berseberangan. Pada model seperti ini, audien akan mudah digiring untuk mengidolakan tokoh utama (sang pahlawan), terlebih-lebih jika diperankan oleh aktor/aktris terkenal. Malahan, cara hidup, model pakaian, gaya berbicara, dan seluruh tingkah laku yang diperankan tokoh idola ini dipandang patut untuk ditiru.
Fase meniru inilah yang oleh Adorno dan Horkheimer disebut sebagai pengasingan (alienasi) dan bukan sekedar paradoks intelektual. Demikian juga dapat dirujuk dari pandangan psikoanalisis poststrukturalis Jacques Lacan. Menurut Adorno dan Horkheimer (Tester, 2003:108) bahwa pemujaan kepada bintang film dengan mengikuti gaya hidupnya menunjukkan proses penurunan level audien ke tingkat di mana ia harus mengidentifikasi dirinya sama dengan aktor/aktris pujaannya. Sementara itu, Lacan (Storey, 2007:74) menyebutnya sebagai fase cermin, yakni ketika seseorang mulai mengkonstruksi pemahaman akan diri. Fase cermin merupakan momen pintu masuk ke dalam tataran subjektivitas yang disebutnya sifat imajiner. Menurut Lacan (Storey, 2007:74), sifat imajiner adalah alam imaji-imaji yang di situ kita membuat identifikasi, namun dalam tindakan melakukan itu sendiri kita salah paham dan salah mengenali diri kita sendiri. Dan ketika anak tumbuh, ia akan terus membuat identifikasi-identifikasi imajiner dengan objek-objek tersebut dan ini adalah cara bagaimana ego dibangun.
Berdasarkan teori tersebut bahwa perilaku meniru gaya seorang bintang film merupakan salah satu dampak kultural yang ditimbulkan oleh film. Ini bukan sekedar paradoks intelektual. Dalam artian bahwa sesungguhnya audien memiliki pengetahuan tentang kebenaran film sebagai realitas imajiner, yaitu kenyataan yang direkayasa melalui alur cerita dan permainan peran aktor-aktornya. Akan tetapi, peran yang dimainkan secara apik oleh sang aktor, serta ditunjang oleh penampilan fisik yang mempesona telah menggiring audien untuk membangun dunia imajinasinya sendiri sehingga mengidentifikasi dirinya sama dengan aktor tersebut. Ini akan menjadi persoalan ketika peran yang dimainkan sang aktor pujaan tidak sesuai dengan nilai-nilai budaya dan moralitas yang berlaku di masyarakat. Misalnya, adegan yang mempertontonkan “sang pahlawan” sedang melakukan hubungan seksual -- tanpa ikatan pernikahan -- dengan seorang perempuan dalam sebuah misi kemanusiaan pembebasan sandera.
Secara moral, pahlawan yang melaksanakan misi kemanusiaan adalah figur yang patut diteladani. Namun demikian, melakukan hubungan seksual tanpa ikatan pernikahan menurut nilai budaya dan moralitas bangsa Indonesia adalah tindakan yang tercela. Lain daripada itu, penting juga dipahami bahwa dunia film merupakan dunia dramaturgi. Dalam dunia ini seorang bintang film memainkan dua peran sekaligus, yakni peran utama dalam sebuah film (front stage) dan latar kehidupan pribadinya (back stage). Boleh jadi kedua peran ini saling bertolak belakang sehingga apa yang diperankan di dalam sebuah film sesungguhnya tidak mencerminkan kehidupan pribadinya. Padahal, budaya industri juga mengungkap kehidupan para bintang film dalam komoditas budaya pop lainnya, yakni infotainment. Dapat dibayangkan ketika seseorang meniru gaya hidup bintang film pujaannya yang sama sekali tidak mencerminkan sikap kebaikan sebagaimana ditunjukkan melalui perannya dalam sebuah film. Contoh tersebut menunjukkan bahwa sebuah film berpotensi melahirkan ambiguitas makna dalam kaitannya dengan etika-moralitas.
Salah satu gejala sosiologis yang dikaitkan dengan dampak media dan budaya pop adalah kepanikan moral (moral panic). Stanley Cohen dalam bukunya Folk Devils and Moral Panic menunjukkan munculnya beragam bentuk budaya anak muda di Inggris yang melakukan tindakan menyimpang dan kriminal. Misalnya, Teddy Boys, Hippies, Hells Angles, Holigan, dan sebagainya (Tester, 2003:154). Belakangan ini, gejala tersebut juga terjadi di negeri ini ditandai dengan semakin maraknya budaya jalanan seperti, komunitas anak punk, trek-trekan ilegal, budaya dugem (clubing), dan sebagainya. Tidak dapat dipungkiri bahwa film memiliki peran signifikan dalam melegitimasi budaya-budaya tersebut. Oleh karena itu diperlukan kearifan untuk menyikapi dunia perfilman agar jangan sampai kehadirannya, justru menimbulkan degradasi moral generasi bangsa.
Dalam kerangka membentengi moralitas bangsa dari dampak negatif dunia perfilman, Richard Hoggart (Tester, 2003:118) menawarkan perlunya dikembangkan kritik moral atas dampak budaya industri yang disebutnya kritik mendidik (educational critique). Hoggart melancarkan kritiknya dengan menyatakan bahwa produksi ini adalah milik dunia penonton yang sensasional, mereka (budaya industri) tidak menawarkan sesuatu yang betul-betul bisa menawan otak dan hati. Artinya,  produksi media cenderung hanya memuaskan mata, tetapi belum sepenuhnya mampu memberi pencerahan bagi intelektualitas dan moralitas manusia. Akan tetapi, juga kritik ini secara tersirat mengungkapkan bahwa sesungguhnya produksi media memungkinkan bagi munculnya pencerahan.
Kebudayaan merupakan sistem nilai yang diproduksi terus-menerus melalui proses konstruksi, dekonstruksi, dan rekonstruksi. Oleh karena itu, kebudayaan bukanlah sesuatu yang terberi (given), tetapi sesuatu yang terus menjadi seiring dengan dinamika dan konstruksi sosial. Modernitas, disadari maupun tidak telah memberikan kesan dan pengalaman bagi berlangsungnya dinamika sosial budaya, bahkan memberikan tantangan yang luar biasa dalam pembangunan jati diri dan karakter bangsa. Di sinilah diperlukan kekuatan kreatif dalam merespons modernitas melalui proses adopsi dan adaptasi secara terus-menerus. Malahan modernitas sedapat mungkin dijadikan media dalam penguatan basis budaya lokal. Salah satunya melalui film – sebagai salah satu ikon modernitas – menjadi media pembangunan jati diri dan karakter bangsa Indonesia, yaitu empat pilar kebangsaan. Dalam hal ini, film harus mampu memainkan fungsi edukatif dan transformasi sosial bangsa Indonesia demi terwujudnya masyarakat Indonesia yang Pancasilais. 

5.     Daftar Pustaka

Ayatroehaedi, (ed). 1986. Kepribadian Budaya Bangsa. Jakarta: Pustaka Jaya.

 

Berger, Peter L., 1994, Langit Suci: Agama Sebagai Realitas Sosial (terjemahan: The Scred Canopy), Jakarta: Pustaka LP3ES.

 

Capra, Fritjop. 2002. Kearifan Tak Biasa: Percakapan Dengan Orang-Orang Luar Biasa. Yogyakarta: Bentang Budaya.
____________. 2004. Titik Balik Peradaban. Yogyakarta: Bentang Pustaka.

Lash, Scott. 2004. Sosiologi Postmodernisme. Yogyakarta: Kanisius

Mantra, Ida Bagus. 1996. Landasan Kebudayaan Bali. Denpasar: Upadasastra.

Nurkhoiron, M. 2007. “Minoritisasi dan Agenda Multikulturalisme di Indonesia: Sebuah Catatan Awal”, dalam Hak Minoritas Multikulturalisme dan Dilema Negara Bangsa. Editor: Marsudi Noorsalim, dkk. Jakarta: Yayasan Interseksi/The Interseksi Foundation.

O’Dea, Thomas F. 1985. Sosiologi Agama. Jakarta: CV. Rajawali.

Parekh, Bhiku. 2007. Rethinking Multikulturalism Keberagaman Budaya dan Teori Politik. Yogyakarta: Kanisius.


Radhakrisnan, S. 1987. The Present Crisis of Faith. New Delhi: Orient Paperback
___________.2003. Agama-Agama Timur dan Pemikiran Barat. Denpasar: Program Magister Ilmu Agama dan kebudayaan, Unhi.

Soetrisno, L. 2003. Konflik Sosial Studi Kasus Indonesia. Yogyakarta: Tajidu Press.

Storey, John. 2007. Culture Studies dan Kajian Budaya Pop. Yogyakarta: Jalasutra.

Suseno, Franz Magnis. 2005. Berebut Jiwa Bangsa. Jakarta: Kompas.

Sutrisno, Mudji & Hendar Putranto. 2005. Teori-Teori Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius.

Tester, Keith. 2003. Media, Budaya, dan Moralitas. Yogyakarta: Kreasi Wacana.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar