MEDIA DAN PEMBANGUNAN KARAKTER BANGSA
Oleh
Dr. Nanang Sutrisno, S.Ag, M.Si
1.
Pendahuluan
Radhakrishnan (1987:9) menyatakan bahwa kemanusiaan
sekarang ini mengalami krisis terbesar sepanjang sejarah umat manusia.
Perkembangan sains dan teknologi ternyata tidak disertai dengan kemajuan yang
sama di bidang spiritualitas. Malahan spiritualitas makin rapuh dibawa arus
materialisme, hedonisme, pragmatisme peradaban modern. Krisis kemanusiaan
sebagai konsekuensi modernitas memang sulit dihindari karena modernisasi itu
bersifat hegemonik. Krisis ini mencakup dimensi intelektual, moral, dan
spiritual, yaitu suatu krisis yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam
catatan sejarah umat manusia. Malahan krisis ini
telah merambah kehidupan berbangsa dan bernegara yang mencakup hajat hidup
jutaan manusia di dalamnya.
Krisis
multidimensi yang melanda bangsa Indonesia akhir-akhir ini merupakan bentuk
nyata dari ancaman kemanusiaan tersebut. Nilai-nilai luhur bangsa yang
terpatrikan dalam Pancasila, seperti gotong-royong, kekeluargaan,
musyawarah-mufakat, toleransi, dan kesadaran bela negara telah jauh tereduksi
oleh sikap individualistik-liberalistik atau kebebasan yang nyaris tanpa batas.
Hal ini diperparah lagi dengan lemahnya idealisme kepemimpinan dan keteladanan
para pemimpin bangsa ini (Syahnakri, 2012:1). Pernyataan ini menegaskan bahwa
berbagai krisis yang terjadi merupakan akibat dari kegagalan bangsa Indonesia
dalam mendialogkan modernisasi dengan kepribadian budaya bangsa. Pada satu
sisi, negara industri modern menjadi orientasi transformasi sosial bangsa
Indonesia, tetapi kegagalan dalam mendialogkannya dengan budaya lokal justru
menjadikan wajah “Indo” budaya Indonesia (Kayam, dalam Sutrisno, 2003:84—85). Modernisasi
yang berlangsung ternyata tidak serta-merta mampu membangun budaya Indonesia
yang egaliter, demokratis, dan terbuka.
Dampak
negatif modernisasi seperti itu disebut Gidens (2005:190) sebagai ketakberartian pribadi, yaitu pribadi
yang tidak lagi berarti karena jati dirinya telah ditindas oleh pengetahuan
yang diciptakannya sendiri. Sementara itu, Berger (1994:5) menyebutnya sebagai ketakberumahan (homelessness), yakni pengasingan individu dari rumah sosialnya Artinya, masyarakat
modern berhasil menerima modernisasi karena rasionalisasi dan privatisasi berbagai
praktik sosial dan budaya modern dipandang praktis, efektif, dan efisien
untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingannya. Akan tetapi, masyarakat modern
gagal mendialogkan modernitas dengan tata nilai dominan, seperti moral, agama,
dan spiritualitas sehingga terasing dalam rumahnya sendiri. Sejalan dengan hal tersebut, Roosevelt (Syahnakri, 2012:1) menyatakan
“to educate a person in mind and not in
morals is to educate a manace to society (‘mendidik seseorang dalam aspek
kecerdasaan otak dan bukan aspek moral adalah ancaman bagi masyarakat’).
Pernyataan tersebut menegaskan pentingnya penguatan jati
diri dan karakter masyarakat untuk merespons modernitas sehingga tidak larut
dan tenggelam dalam krisis kemanusiaan yang berkepanjangan. Mengingat
modernitas dalam dirinya sendiri bersifat ambiguit dan paradoks. Pada satu
sisi, modernitas memunculkan berbagai problematika, tetapi sekaligus
menyediakan ruang bagi pemecahan masalah itu sendiri (Lash, 2004:23). Artinya,
di balik sisi-sisi gelap modernitas, juga modernisasi penting bagi masyarakat
untuk menyelesaikan masalah hidup dan kehidupannya. Oleh karena itu, modernitas
dapat diterima setelah melalui proses adaptasi dialektis sehingga kehadirannya
dapat memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kesejahteraan umat manusia,
tanpa harus menghilangkan jati diri dan karakter suatu bangsa.
Salah satu model adaptasi dialektis yang dapat dilakukan
adalah menjadikan modernitas sebagai instrumen untuk memperkuat nilai-nilai
moral dan spiritual. Dalam hal ini, kreativitas lokal (genuine creativity) menjadi spirit kebudayaan yang perlu dibangun
dalam diri masyarakat untuk menghadapi penetrasi budaya modern dan global
(Mantra, 1996). Sejalan dengan itu, juga gagasan Wales (Magetsari, 1986:56)
tentang local genious sebagai kemampuan kebudayaan lokal untuk beradaptasi dengan
kebudayaan luar, juga perlu dikembangkan terus-menerus. Spirit kebudayaan
inilah yang diperlukan untuk menghadapi penetrasi budaya modern sehingga
modernitas menjadi fungsional dalam pembangunan jati diri dan
karakter bangsa, bukan malah sebaliknya.
Pada dasarnya spirit ini juga dapat digunakan untuk membangun medan dialog dalam konteks budaya
kontemporer, khususnya budaya massa dan budaya populer sebagai materi kajian
budaya (culture studies) yang sering
diabaikan (Hall, 1980:21). Tidak dapat dipungkiri bahwa budaya pop sedang
menunjukkan geliat kebangkitan yang mengesankan di Indonesia belakangan ini.
Secara umum, budaya pop ditandai dengan pergeseran dan perubahan budaya secara
meluas dari pola hidup (life system)
menuju gaya hidup (life style). Dalam hal ini, peranan media massa dalam
pembentukan gaya hidup masyarakat tidak dapat diabaikan. Mengingat budaya
massa, baik cetak maupun elektronik tidak hanya bernilai ekonomi-finansial,
tetapi juga bernilai ekonomi-kultural. Mengutip pendapat Fiske (Storey,
2007:31) bahwa ekonomi finansial menaruh perhatian pada nilai tukar, sedangkan
ekonomi kultural terutama berfokus pada nilai guna – makna, kesenangan, dan
identitas sosial. Media massa tidak hanya terlibat dalam pembentukan gaya
hidup, tetapi telah menjadi bagian dari gaya hidup itu sendiri. Ini menegaskan
bahwa media massa memiliki pengaruh yang signifikan dalam pembentukan jati diri
dan karakter bangsa dengan segala konsekuensi paradoksnya.
2.
Pembahasan
Sebuah negara-bangsa (nation-state) penting untuk merumuskan identitas
nasionalnya (national identity),
seperti juga bangsa Indonesia. Identitas ini tidak saja untuk membedakannya
dengan komunitas yang lain, tetapi lebih penting adalah untuk membangun rasa
kasih sayang, tanggung jawab, dan kepentingan nasional. Pemahaman tentang
identitas nasional menyatukan para anggotanya pada sekitar pemahaman diri,
memberi fokus serta energi pada rasa memiliki bersama, membentuk citra diri
kolektif, mengolah kebaikan-kebaikan yang relevan, memfasilitasi reproduksi
diri komunitas dan kesinambungan antargenerasi, mempertahankan kesetiaan umum,
serta menata kehidupan moral dan politik. Singkatnya, identitas nasional
memiliki peranan yang sangat penting dalam masyarakat multikultur untuk
menumbuhkan perasaan saling memiliki antara komunitas-komunitas yang beraneka
ragam (Parekh, 2008:306).
Upaya pembentukan identitas nasional bangsa Indonesia
sesungguhnya telah dilakukan dengan menempatkan empat pilar kebangsaan, yaitu
Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan Bhineka Tunggal Ika. Keempat pilar ini
tampaknya sejalan dengan pemamahaman dan kesadaran mengenai realitas bangsa
Indonesia yang plural. Berkenaan dengan hal tersebut, Franz Magnis Suseno
(2005:216) menjelaskan Ke-Indonesia-an dibangun bukan untuk menghilangkan
identitas khas semua komponen bangsa, melainkan agar semuanya dapat menjadi
warga negara Indonesia tanpa merasa terasing. Sikap saling menghormati dalam
identitas masing-masing, kesediaan untuk tidak memaksakan pandangannya sendiri
tentang hidup yang baik kepada siapapun, merupakan syarat keberhasilan masa
depan Indonesia. Dengan demikian, pembangunan jati diri dan karakter bangsa
harus dimulai dengan kesadaran multikulturalisme yang ditopang oleh empat pilar
kebangsaan tersebut.
Walaupun demikian, membangun kesadaran multikulturalisme
dalam sebuah negara-bangsa bukanlah upaya yang mudah. Empat pilar kebangsaan sebagai teks ideal yang diharapkan
dapat menjadi identitas nasional ternyata mengalami penafsiran yang berbeda
dalam berbagai orde pemerintahan. Pada masa Orde Lama, Soekarno menjadikan
empat pilar ini sebagai wacana populis untuk menggairahkan semangat persatuan
dan kesatuan bangsa guna melawan konstalasi kolonial melalui ide nasionalis,
agama, dan komunis (Nasakom) (Nurkhoiron, 2007:3). Keberhasilan dalam membangun
semangat kebangsaan melalui wacana perlawanan terhadap kolonial, ternyata tidak
dibarengi dengan keberhasilan yang sama dalam konsolidasi politik nasional.
Berbeda dengan Soekarno, pemerintahan Orde Baru telah mengambil peran dominan
dalam kebijakan multikulturalisme melalui penafsiran tunggal terhadap Pancasila
sebagai ideologi negara melalui kerja represif militeristik (Nurkhoiron, 2007:3).
Berbagai isu, ideologi, dan ekspresi budaya liyan
(the others) dianggap sebagai
ancaman dan gangguan bagi stabilitas nasional sehingga harus dibungkam.
Kemudian, era reformasi ditandai dengan kebebasan berekspresi dan berpendapat,
justru melahirkan artikulasi politik identitas dengan membangkitkan berbagai
aspirasi etnis, agama, dan isu lokalitas memang menjadi sinyal baru bagi
dinamika politik mutakhir pasca-otoritarianisme Orde Baru (Nurkhoiron, 2007:4).
Kebijakan otonomi daerah yang diharapkan dapat mengatasi masalah-masalah
multikulturalisme di Indonesia, ternyata berubah menjadi hiperotonomi sehingga
memunculkan politik kedaerahan yang semakin menajamkan prasangka-prasangka
etnis, agama, dan lokalitas.
Kegagalan beberapa orde pemerintahan dalam membangun
identitas nasional tampaknya lebih didasari oleh adanya interpretasi tunggal
pemerintah terhadap multikulturalisme. Dalam konteks Indonesia, pemaknaan
tunggal terhadap identitas nasional telah menciptakan luka sejarah yang
mendalam. Indonesia telah melewati masa-masa sulit dengan model nasionalisme
politik yang diterapkan pada Orde Lama dan Orde Baru. Phobia Orde Baru, bahkan telah mendorong pemerintah pasca-reformasi
membuat kebijakan otonomi daerah sampai ke tingkat kabupaten dan kota yang
berakibat pada munculnya hiperotonomi. Padahal identitas nasional harus dibangun secara terus-menerus dalam hubungannya
dengan berbagai konstruksi sosial.
Hal ini sejalan dengan padangan Anthony D. Smith (Tilaar,
2004:109) bahwa identitas nasional merupakan kesinambungan reproduksi dan
interpretasi atas pola nilai, simbol, mitos, dan tradisi yang membentuk warisan
bangsa yang unik, serta identifikasi individu dengan pola dan warisan tersebut
beserta unsur-unsur budayanya. Ini berarti bahwa identitas nasional harus
terus-menerus diperbaharui dan disesuaikan dengan perkembangan masyarakat.
Identitas nasional dibangun atas dasar multikulturalisme dengan menempatkan
kebhinekaan sebagai modal budaya bangsa untuk maju, mengatasi
kesulitan-kesulitan, dan menggalang kekuatan nasional terutama dalam era
globalisasi. Dasar multikulturalisme adalah menggali kekuatan suatu bangsa yang
tersembunyi dalam budaya yang berjenis-jenis (Tilaar, 2004:92). Modal budaya
inilah yang seharusnya digali dan digalang menjadi kekuatan nasional, bukan
saja untuk mengokohkan kebudayaan nasional, tetapi lebih penting adalah
memberikan tempat yang setara dan sejajar bagi setiap kebudayaan untuk
berpartisipasi aktif dalam pembangunan bangsa dan negara.
Film sebagai pertunjukan seni peran dalam tradisi visual
ternyata memberi pengaruh yang sangat kuat bagi kultur suatu bangsa. Dalam
khasanah kajian budaya (culture studies),
studi film telah membangkitkan sebentangan teori dan metode. Film tidak hanya
dipandang bernilai sebagai sebuah karya seni, tetapi juga produksi dan
reproduksi budaya dapat bermula dari sana. Ini sebabnya, film seringkali
dikutuk sebagai budaya industri yang berimplikasi luas terhadap nilai moral dan
nilai budaya. Untuk memulai pembahasan ini, penting melihat kembali pandangan
Theodor Adorno dan Mark Horkheimer tentang apa sebenarnya makna media dan
implikasinya terhadap nilai moral dan nilai budaya.
Menurut Adorno (Tester, 2003:101) bahwa mengikuti budaya
industri (budaya populer) dalam kehidupan sehari-hari pada titik paling
menguntungkan hanya akan berimplikasi relatif sederhana, tetapi pada titik yang
paling merugikan akan menjadi serangan terhadap kemungkinan pencerahan yang
sarat makna. Sederhananya, budaya populer hanya akan membawa masyarakat pada
kondisi dehumanisasi. Analisis ini didasari oleh hubungan sebab-akibat dan stimulus-respons dalam hubungan antara media dan audien. Adorno dan
Horkheimer (Tester, 2003:107) merumuskan tiga persoalan. Pertama, budaya industri melihat dan menciptakan audien tunggal.
Ini mengisyaratkan bahwa budaya industri adalah budaya monolitik sehingga
audiennya juga menjadi monolitik. Kedua, audien
monolitik yang tunggal dari budaya industri adalah massa yang pasif. Ketiga, budaya industri mempunyai dampak
pengasingan (alienasi), bukan sekedar paradoks intelektual.
Film sebagai bentuk budaya industri tampaknya memiliki
karakteristik monolitik dalam hubungannya dengan audien. Mengingat film dapat menurunkan level semua audien pada posisi yang sama dan secara pasif harus menerima alur
cerita dan adegan yang diperankan oleh para aktornya. Di sini tidak tersedia
ruang dialog bagi intelektualitas manusia untuk mengubah alur cerita atau
mengganti karakter aktor agar sesuai dengan keinginannya. Termasuk di dalamnya,
juga penyesatan-penyesatan logika dari sebuah adegan harus diterima audien
sebagai “kebenaran”. Akhirnya, realitas imajiner yang dipertontonkan dalam
sebuah cerita film terus-menerus menghegemoni struktur pengetahuan audien
sehingga memaksanya untuk menerima begitu saja cerita itu sebagai kebenaran.
Bagi kaum strukturalis film adalah sebuah teks yang
memungkinkan munculnya makna (Storey, 2007:70). Namun demikian, budaya industri
yang menciptakan hubungan monolitik dengan audien yang pasif ini ternyata
berimplikasi pada proses produksi dan reproduksi makna dalam diri audien. Pada
satu sisi, hubungan monolitik ini memosisikan pemilik rumah sinema, produser
film, sutradara, dan aktor semata-mata adalah agen industri yang hanya
memproduksi film sebagai komoditas. Akan tetapi, ketika komoditas itu telah dilaunching ke bioskop atau televisi, maka audienlah yang sepenuhnya memiliki hak untuk memberikan
penilaian dan pemaknaan terhadap seluruh cerita dan adegan dalam film tersebut.
Artinya, ketika sebuah film telah dilempar ke ruang publik, ia telah hidup
dengan nafasnya sendiri sehingga audien mendapatkan kebebasannya untuk
menafsirkan pesan-pesan teks itu pada konteks ruang dan waktunya sendiri.
Layaknya sebuah komoditas maka pihak produsen cenderung akan memperhitungkan
nilai ekonomis finansialnya saja, sedangkan dampak kultural dan moral yang
ditimbulkan sepenuhnya menjadi tanggung-jawab audien.
Sebagai sebuah teks, film tentu memiliki struktur naratif
yang menentukan produksi makna (parole).
Dalam tradisi strukturalisme Levi-Strauss misalnya, produksi makna dalam sebuah
film dapat dilakukan dengan membagi inti cerita dan adegan ke dalam model
oposisi biner. Seperti misalnya, masyarakat primitif – masyarakat maju, baik –
buruk, pahlawan – penjahat, kuat – lemah, beradab – biadab, dan seterusnya.
Dari sinilah muncul tokoh protagonis dan antagonis yang selalu diposisikan
saling berseberangan. Pada model seperti ini, audien akan mudah digiring untuk
mengidolakan tokoh utama (sang pahlawan), terlebih-lebih jika diperankan oleh
aktor/aktris terkenal. Malahan, cara hidup, model pakaian, gaya berbicara, dan
seluruh tingkah laku yang diperankan tokoh idola ini dipandang patut untuk ditiru.
Fase meniru inilah yang oleh Adorno dan Horkheimer disebut
sebagai pengasingan (alienasi) dan bukan sekedar paradoks intelektual. Demikian
juga dapat dirujuk dari pandangan psikoanalisis poststrukturalis Jacques Lacan.
Menurut Adorno dan Horkheimer (Tester, 2003:108) bahwa pemujaan kepada bintang
film dengan mengikuti gaya hidupnya menunjukkan proses penurunan level audien
ke tingkat di mana ia harus mengidentifikasi dirinya sama dengan aktor/aktris
pujaannya. Sementara itu, Lacan (Storey, 2007:74) menyebutnya sebagai fase
cermin, yakni ketika seseorang mulai mengkonstruksi pemahaman akan diri. Fase
cermin merupakan momen pintu masuk ke dalam tataran subjektivitas yang
disebutnya sifat imajiner. Menurut Lacan (Storey, 2007:74), sifat imajiner adalah
alam imaji-imaji yang di situ kita membuat identifikasi, namun dalam tindakan
melakukan itu sendiri kita salah paham dan salah mengenali diri kita sendiri.
Dan ketika anak tumbuh, ia akan terus membuat identifikasi-identifikasi
imajiner dengan objek-objek tersebut dan ini adalah cara bagaimana ego
dibangun.
Berdasarkan teori tersebut bahwa perilaku meniru gaya seorang
bintang film merupakan salah satu dampak kultural yang ditimbulkan oleh film.
Ini bukan sekedar paradoks intelektual. Dalam artian bahwa sesungguhnya audien
memiliki pengetahuan tentang kebenaran film sebagai realitas imajiner, yaitu
kenyataan yang direkayasa melalui alur cerita dan permainan peran
aktor-aktornya. Akan tetapi, peran yang dimainkan secara apik oleh sang aktor, serta ditunjang oleh penampilan fisik yang mempesona telah
menggiring audien untuk membangun dunia imajinasinya sendiri sehingga
mengidentifikasi dirinya sama dengan aktor tersebut. Ini akan menjadi persoalan
ketika peran yang dimainkan sang aktor pujaan tidak sesuai dengan nilai-nilai
budaya dan moralitas yang berlaku di masyarakat. Misalnya, adegan yang
mempertontonkan “sang pahlawan” sedang melakukan hubungan seksual -- tanpa
ikatan pernikahan -- dengan seorang perempuan dalam sebuah misi kemanusiaan
pembebasan sandera.
Secara moral, pahlawan yang melaksanakan misi kemanusiaan
adalah figur yang patut diteladani. Namun demikian, melakukan hubungan seksual
tanpa ikatan pernikahan menurut nilai budaya dan moralitas bangsa Indonesia
adalah tindakan yang tercela. Lain daripada itu, penting juga dipahami bahwa
dunia film merupakan dunia dramaturgi. Dalam dunia ini seorang bintang film
memainkan dua peran sekaligus, yakni peran utama dalam sebuah film (front stage) dan latar kehidupan
pribadinya (back stage). Boleh jadi
kedua peran ini saling bertolak belakang sehingga apa yang diperankan di dalam
sebuah film sesungguhnya tidak mencerminkan kehidupan pribadinya. Padahal,
budaya industri juga mengungkap kehidupan para bintang film dalam komoditas
budaya pop lainnya, yakni infotainment. Dapat
dibayangkan ketika seseorang meniru gaya hidup bintang film pujaannya yang sama
sekali tidak mencerminkan sikap kebaikan sebagaimana ditunjukkan melalui
perannya dalam sebuah film. Contoh tersebut menunjukkan bahwa sebuah film
berpotensi melahirkan ambiguitas makna dalam kaitannya dengan etika-moralitas.
Salah satu gejala sosiologis yang dikaitkan dengan dampak
media dan budaya pop adalah kepanikan moral (moral panic). Stanley Cohen dalam bukunya Folk Devils and Moral Panic menunjukkan munculnya beragam bentuk
budaya anak muda di Inggris yang melakukan tindakan menyimpang dan kriminal.
Misalnya, Teddy Boys, Hippies, Hells
Angles, Holigan, dan sebagainya (Tester, 2003:154). Belakangan ini, gejala
tersebut juga terjadi di negeri ini ditandai dengan semakin maraknya budaya
jalanan seperti, komunitas anak punk, trek-trekan
ilegal, budaya dugem (clubing), dan
sebagainya. Tidak dapat dipungkiri bahwa film memiliki peran signifikan dalam
melegitimasi budaya-budaya tersebut. Oleh karena itu diperlukan kearifan untuk
menyikapi dunia perfilman agar jangan sampai kehadirannya, justru menimbulkan
degradasi moral generasi bangsa.
Dalam kerangka membentengi moralitas bangsa dari dampak
negatif dunia perfilman, Richard Hoggart (Tester,
2003:118)
menawarkan perlunya dikembangkan kritik moral atas dampak budaya industri yang
disebutnya kritik mendidik (educational
critique). Hoggart melancarkan kritiknya
dengan menyatakan bahwa produksi ini adalah milik dunia penonton yang
sensasional, mereka (budaya industri) tidak menawarkan sesuatu yang betul-betul
bisa menawan otak dan hati. Artinya,
produksi media cenderung hanya memuaskan mata, tetapi belum sepenuhnya
mampu memberi pencerahan bagi intelektualitas dan moralitas manusia. Akan
tetapi, juga kritik ini secara tersirat mengungkapkan bahwa sesungguhnya
produksi media memungkinkan bagi munculnya pencerahan.
Kebudayaan merupakan sistem nilai yang diproduksi
terus-menerus melalui proses konstruksi, dekonstruksi, dan rekonstruksi. Oleh
karena itu, kebudayaan bukanlah sesuatu yang terberi (given), tetapi sesuatu yang terus menjadi seiring dengan dinamika
dan konstruksi sosial. Modernitas, disadari maupun tidak telah memberikan kesan
dan pengalaman bagi berlangsungnya dinamika sosial budaya, bahkan memberikan
tantangan yang luar biasa dalam pembangunan jati diri dan karakter bangsa. Di
sinilah diperlukan kekuatan kreatif dalam merespons modernitas melalui proses
adopsi dan adaptasi secara terus-menerus. Malahan modernitas sedapat mungkin
dijadikan media dalam penguatan basis budaya lokal. Salah satunya melalui film
– sebagai salah satu ikon modernitas – menjadi media pembangunan jati diri dan
karakter bangsa Indonesia, yaitu empat pilar kebangsaan. Dalam hal ini, film
harus mampu memainkan fungsi edukatif dan transformasi sosial bangsa Indonesia
demi terwujudnya masyarakat Indonesia yang Pancasilais.
5.
Daftar Pustaka
Ayatroehaedi, (ed). 1986. Kepribadian
Budaya Bangsa. Jakarta: Pustaka Jaya.
Berger, Peter L., 1994, Langit
Suci: Agama Sebagai Realitas Sosial (terjemahan: The Scred Canopy),
Jakarta: Pustaka LP3ES.
Capra,
Fritjop. 2002. Kearifan Tak Biasa:
Percakapan Dengan Orang-Orang Luar Biasa. Yogyakarta: Bentang Budaya.
____________.
2004. Titik Balik Peradaban. Yogyakarta:
Bentang Pustaka.
Lash, Scott. 2004. Sosiologi
Postmodernisme. Yogyakarta: Kanisius
Mantra,
Ida Bagus. 1996. Landasan Kebudayaan
Bali. Denpasar: Upadasastra.
Nurkhoiron,
M. 2007. “Minoritisasi dan Agenda Multikulturalisme di Indonesia: Sebuah
Catatan Awal”, dalam Hak Minoritas
Multikulturalisme dan Dilema Negara Bangsa. Editor: Marsudi Noorsalim, dkk.
Jakarta: Yayasan Interseksi/The Interseksi Foundation.
O’Dea, Thomas F. 1985. Sosiologi Agama. Jakarta: CV. Rajawali.
Parekh,
Bhiku. 2007. Rethinking Multikulturalism
Keberagaman Budaya dan Teori Politik. Yogyakarta: Kanisius.
Radhakrisnan, S. 1987. The Present Crisis of Faith. New Delhi: Orient Paperback
___________.2003. Agama-Agama
Timur dan Pemikiran Barat. Denpasar: Program Magister Ilmu Agama dan
kebudayaan, Unhi.
Soetrisno, L. 2003. Konflik
Sosial Studi Kasus Indonesia. Yogyakarta: Tajidu Press.
Storey, John. 2007. Culture Studies dan Kajian Budaya Pop. Yogyakarta:
Jalasutra.
Suseno,
Franz Magnis. 2005. Berebut Jiwa Bangsa. Jakarta:
Kompas.
Sutrisno,
Mudji & Hendar Putranto. 2005. Teori-Teori
Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius.
Tester, Keith. 2003. Media,
Budaya, dan Moralitas. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar