Sabtu, 20 Agustus 2016

BAHASA BALI, BAHASA HINDU?

BASA BALI, BAHASA HINDU?

Nanang Sutrisno

Kepunahan bahasa daerah! Pernyataan ini mulai kerap diwacanakan oleh para pecinta dan pemerhati kebudayaan ketika sejumlah fakta menunjukkan musnahnya beberapa bahasa daerah di bumi persada nusantara. Kepunahan bahasa daerah umumnya ditandai dengan tidak adanya lagi pengguna bahasa tersebut dalam komunikasi praktis. Hal ini tentu menjadi persoalan serius bagi bangsa Indonesia yang sedang berjuang untuk membangun jati diri dan karakter bangsa. Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa bahasa merupakan salah satu unsur kebudayaan yang begitu penting dalam pembentukan jati diri dan karakter bangsa, sebagaimana pepatah mengatakan “bahasa menunjukkan bangsa”.

Penetapan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan memang menjadi keharusan etis bagi bangsa Indonesia yang multietnis. Tanpa itu, sulit untuk menyatukan berbagai komunitas yang berbeda secara geografis, politis, dan kultural menjadi satu komunitas bangsa yang utuh. Pembentukan identitas nasional dapat dipahami menjadi gagasan utama yang mendasari penetapan bahasa Indonesia menjadi bahasa nasional sekaligus bahasa resmi negara. Walaupun demikian, pembentukan identitas nasional melalui penetapan bahasa Indonesia sesungguhnya tidak bermaksud untuk menghilangkan eksistensi bahasa daerah. Justru, keberadaan bahasa daerah harus dijaga, dilestarikan, dan dikembangkan untuk memajukan kebudayaan nasional, sebagaimana amanat UUD 1945, pasal 32.

Kondisi ideal tersebut tampaknya sulit diwujudkan saat ini, karena penggunaan bahasa Indonesia secara meluas di masyarakat ternyata malah meminggirkan bahasa daerah. Pewarisan bahasa daerah kepada anak-anak mengalami problematika yang begitu pelik, seiring dengan pragmatisme dan estetisasi kehidupan yang menjangkiti masyarakat modern. Untuk tujuan pragmatis, bahasa Indonesia dipandang lebih penting diajarkan sejak dini agar anak-anak dapat memasuki ranah komunikasi dan informasi yang lebih luas. Malahan menjadi kebanggaan bagi orang tua ketika anak-anaknya mampu berkomunikasi dengan bahasa Indonesia, bahkan bahasa asing. Sebaliknya, justru pelajaran bahasa daerah kerap menjadi momok yang menakutkan bagi anak-anak sehingga enggan mempelajarinya. Secara umum, bahasa daerah kini hanya menjadi bahasa kelas tiga dan harus segera bersiap-siap untuk ditinggalkan masyarakat dalam gelanggang komunikasi yang kian terbuka.

Menyikapi problematika tersebut, revitalisasi bahasa daerah menjadi gerakan yang harus segera dilakukan apabila bangsa ini tidak ingin kehilangan kekayaan budayanya yang adiluhung. Dikatakan adiluhung karena bahasa daerah sarat dengan tatanan dan tuntunan yang menyentuh rasa batin manusia. Bahasa Jawa dan Bali dapat dijadikan contoh betapa  kedua bahasa tersebut mengandung ajaran-ajaran budi pekerti yang luhur dalam konteks penggunaannya. Istilah “krama” dalam bahasa Jawa atau “sor singgih basa dalam bahasa Bali, menjadi aplikasi nyata ajaran sopan santun dalam praksis komunikasi. Sor-singgih basa dapat mewakili rasa hormat seseorang kepada lawan bicaranya sesuai dengan sopan santun yang seharusnya. Tatanan seperti ini tentunya tidak dapat ditemukan dalam percakapan bahasa Indonesia ataupun bahasa asing lainnya.
Bahasa daerah juga telah menjadi sarana yang begitu penting bagi para pujangga spiritual untuk menuangkan tuntunan hidup dan kehidupan dalam karya emasnya. Dalam perkembangan agama Hindu di Jawa dan Bali, ajaran Weda telah ditransformasikan begitu rupa melalui tradisi kesusasteraan Jawa Kuno.  Pascaruntuhnya Hindu di Jawa, kesusasteraan Jawa Tengahan muncul dalam berbagai sastra serat dan suluk yang sarat dengan ajaran spiritual dan budi pekerti di dalamnya. Pada masa itu, ajaran Hindu tetap mewarnai kesusasteraan Jawa walaupun unsur-unsur Islam-sufistik turut mewarnainya. Berbeda dengan itu, justru kesusasteraan Bali mengalami perkembangan yang pesat dan menunjukkan peranannya yang luar biasa dalam proses transformasi ajaran agama Hindu. Selain teks-teks Jawa Kuno, juga kesusasteraan Bali senantiasa hadir dalam berbagai momentum budaya dan agama terutama melalui tradisi mababasan.

Malahan secara kontekstual, pelaksanaan agama Hindu Bali nyaris tidak dapat dilepaskan dari peran bahasa Bali. Teologi Hindu Bali yang mengafirmasi kearifan lokal ternyata begitu akrab dengan nama-nama tuhan lokal (‘bhatara-bhatari’) yang menggunakan bahasa Bali, seperti Ratu Gede Mecaling (‘Bhatara yang bertaring’), Ratu Gede Puseh (‘Bhatara yang ber-sthana di Pura Puseh’), atau Bhatara Dalem. Transformasi seperti ini menandakan bahwa konsep teologi Hindu diajarkan melalui bahasa Bali sehingga bersesuaian dengan sistem pengetahuan dan kepercayaan umat Hindu. Dalam konteks moralitas Hindu, aturan berwacana (wacika parisudha) seperti dijelaskan dalam teks-teks kesusasteraan Hindu, juga mendapatkan makna seluas-luasnya dalam praktik berbahasa Bali. Ajaran untuk berujar yang halus dan sopan dapat dengan mudah ditransformasikan melalui sor-singgih basa. Melalui bahasa Bali, orang Bali dapat memahami kata-kata yang patut atau tidak patut diucapkan kepada lawan bicara. Ritual keagamaan (acara) yang dilaksanakan umat Hindu di Bali juga tidak pernah lepas dari penggunaan bahasa Bali.


Artinya, bahasa Bali menjadi media komunikasi yang mampu membumikan ajaran agama Hindu dalam konteks sosiokultural masyarakat Bali.   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar