BASA
BALI,
BAHASA HINDU?
Nanang
Sutrisno
Kepunahan
bahasa daerah! Pernyataan ini mulai kerap diwacanakan oleh para pecinta dan
pemerhati kebudayaan ketika sejumlah fakta menunjukkan musnahnya beberapa
bahasa daerah di bumi persada nusantara. Kepunahan bahasa daerah umumnya
ditandai dengan tidak adanya lagi pengguna bahasa tersebut dalam komunikasi
praktis. Hal ini tentu menjadi persoalan serius bagi bangsa Indonesia yang
sedang berjuang untuk membangun jati diri dan karakter bangsa. Tidak dapat
dipungkiri lagi bahwa bahasa merupakan salah satu unsur kebudayaan yang begitu
penting dalam pembentukan jati diri dan karakter bangsa, sebagaimana pepatah
mengatakan “bahasa menunjukkan bangsa”.
Penetapan bahasa
Indonesia sebagai bahasa persatuan memang menjadi keharusan etis bagi bangsa
Indonesia yang multietnis. Tanpa itu, sulit untuk menyatukan berbagai komunitas
yang berbeda secara geografis, politis, dan kultural menjadi satu komunitas
bangsa yang utuh. Pembentukan identitas nasional dapat dipahami menjadi gagasan
utama yang mendasari penetapan bahasa Indonesia menjadi bahasa nasional
sekaligus bahasa resmi negara. Walaupun demikian, pembentukan identitas
nasional melalui penetapan bahasa Indonesia sesungguhnya tidak bermaksud untuk menghilangkan
eksistensi bahasa daerah. Justru, keberadaan bahasa daerah harus dijaga,
dilestarikan, dan dikembangkan untuk memajukan kebudayaan nasional, sebagaimana
amanat UUD 1945, pasal 32.
Kondisi ideal tersebut
tampaknya sulit diwujudkan saat ini, karena penggunaan bahasa Indonesia secara
meluas di masyarakat ternyata malah meminggirkan bahasa daerah. Pewarisan
bahasa daerah kepada anak-anak mengalami problematika yang begitu pelik,
seiring dengan pragmatisme dan estetisasi kehidupan yang menjangkiti masyarakat
modern. Untuk tujuan pragmatis, bahasa Indonesia dipandang lebih penting
diajarkan sejak dini agar anak-anak dapat memasuki ranah komunikasi dan
informasi yang lebih luas. Malahan menjadi kebanggaan bagi orang tua ketika
anak-anaknya mampu berkomunikasi dengan bahasa Indonesia, bahkan bahasa asing.
Sebaliknya, justru pelajaran bahasa daerah kerap menjadi momok yang menakutkan
bagi anak-anak sehingga enggan mempelajarinya. Secara umum, bahasa daerah kini hanya
menjadi bahasa kelas tiga dan harus segera bersiap-siap untuk ditinggalkan
masyarakat dalam gelanggang komunikasi yang kian terbuka.
Menyikapi problematika
tersebut, revitalisasi bahasa daerah menjadi gerakan yang harus segera dilakukan
apabila bangsa ini tidak ingin kehilangan kekayaan budayanya yang adiluhung.
Dikatakan adiluhung karena bahasa daerah sarat dengan tatanan dan tuntunan yang
menyentuh rasa batin manusia. Bahasa Jawa dan Bali dapat dijadikan contoh betapa
kedua bahasa tersebut mengandung
ajaran-ajaran budi pekerti yang luhur dalam konteks penggunaannya. Istilah “krama” dalam bahasa Jawa atau “sor singgih basa” dalam bahasa Bali, menjadi aplikasi nyata ajaran sopan santun
dalam praksis komunikasi. Sor-singgih
basa dapat mewakili rasa hormat seseorang kepada lawan bicaranya sesuai
dengan sopan santun yang seharusnya. Tatanan seperti ini tentunya tidak dapat
ditemukan dalam percakapan bahasa Indonesia ataupun bahasa asing lainnya.
Bahasa daerah juga telah
menjadi sarana yang begitu penting bagi para pujangga spiritual untuk
menuangkan tuntunan hidup dan kehidupan dalam karya emasnya. Dalam perkembangan
agama Hindu di Jawa dan Bali, ajaran Weda telah ditransformasikan begitu rupa
melalui tradisi kesusasteraan Jawa Kuno. Pascaruntuhnya Hindu di Jawa, kesusasteraan Jawa
Tengahan muncul dalam berbagai sastra serat
dan suluk yang sarat dengan ajaran
spiritual dan budi pekerti di dalamnya. Pada masa itu, ajaran Hindu tetap
mewarnai kesusasteraan Jawa walaupun unsur-unsur Islam-sufistik turut
mewarnainya. Berbeda dengan itu, justru kesusasteraan Bali mengalami
perkembangan yang pesat dan menunjukkan peranannya yang luar biasa dalam proses
transformasi ajaran agama Hindu. Selain teks-teks Jawa Kuno, juga kesusasteraan
Bali senantiasa hadir dalam berbagai momentum budaya dan agama terutama melalui
tradisi mababasan.
Malahan secara
kontekstual, pelaksanaan agama Hindu Bali nyaris tidak dapat dilepaskan dari
peran bahasa Bali. Teologi Hindu Bali yang mengafirmasi kearifan lokal ternyata
begitu akrab dengan nama-nama tuhan lokal (‘bhatara-bhatari’)
yang menggunakan bahasa Bali, seperti Ratu
Gede Mecaling (‘Bhatara yang bertaring’), Ratu Gede Puseh (‘Bhatara yang ber-sthana di Pura Puseh’), atau Bhatara
Dalem. Transformasi seperti ini menandakan bahwa konsep teologi Hindu
diajarkan melalui bahasa Bali sehingga bersesuaian dengan sistem pengetahuan
dan kepercayaan umat Hindu. Dalam konteks moralitas Hindu, aturan berwacana (wacika parisudha) seperti dijelaskan dalam teks-teks kesusasteraan Hindu, juga
mendapatkan makna seluas-luasnya dalam praktik berbahasa Bali. Ajaran untuk
berujar yang halus dan sopan dapat dengan mudah ditransformasikan melalui sor-singgih basa. Melalui bahasa Bali,
orang Bali dapat memahami kata-kata yang patut atau tidak patut diucapkan
kepada lawan bicara. Ritual keagamaan (acara) yang dilaksanakan umat Hindu di Bali
juga tidak pernah lepas dari penggunaan bahasa Bali.
Artinya, bahasa Bali
menjadi media komunikasi yang mampu membumikan ajaran agama Hindu dalam konteks
sosiokultural masyarakat Bali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar