Sabtu, 20 Agustus 2016

MENGATASI DEKADENSI MORAL

MENGATASI DEKADENSI MORAL
PERSPEKTIF HINDU

Oleh:
Dr. Nanang Sutrisno, M.Si

A.    Pengantar
Dekadensi moral berarti kemerosotan atau penurunan kualitas moral (KBBI, 2005:245). Menurut Bertens (2002) bahwa moral adalah nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Ukuran moralitas adalah baik atau buruknya suatu perilaku. Acapkali nilai kebaikan dan keburukan itu bersifat relatif. Ukuran ‘baik’ menurut seseorang atau masyarakat, belum tentu ‘baik’ menurut orang atau masyarakat yang lain. Misalnya, bagi orang Indonesia memberikan sesuatu dengan tangan kiri dipandang kurang sopan, tetapi orang Barat tidak mempersoalkannya secara moral. Nilai ini tergantung pada sumber ajaran moral yang menjadi pedoman perilaku, seperti agama, adat-istiadat, keluarga, masyarakat, dan hukum.
Moralitas adalah ciri utama dan keutamaan manusia, karena hanya manusia yang dapat membedakan baik dan buruk. Manusia mampu menggunakan moralitasnya untuk menciptakan kebaikan bagi semua makhluk, sebaliknya juga manusia menjadi penyebab kehancuran. Berkaitan dengan keutamaan manusia dapat disimak dalam kitab Sarasamuccaya (2), berikut ini.
Ri sakwehning sarwa bhuta, iking janma wwang juga wenang gumayaken ikang subhāsubhakarma, kuneng pantentasakena ring subhakarma juga ikang asubhakarma, phalaning dadi wwang.
Artinya:
Di antara semua makhluk hidup, hanya yang dilahirkan menjadi manusia sajalah yang dapat melaksanakan perbuatan baik ataupun buruk, leburlah ke dalam perbuatan baik, segala perbuatan yang buruk itu. Demikianlah gunanya (pahalanya) menjadi manusia (Kadjeng, dkk., 1997:8).

Mengingat moralitas bertalian erat dengan kemanusiaan sehingga dekadensi moral menunjukkan penurunan kualitas kemanusiaan. Menurut Radhakrishnan (1987:9) bahwa kemanusiaan sekarang ini sedang mengalami krisis terbesar sepanjang sejarah umat manusia. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi ternyata tidak disertai dengan kemajuan yang sama di bidang spiritualitas. Malahan spiritualitas makin rapuh terbawa arus materialisme (‘memburu materi’), hedonisme (‘mencapai tujuan dengan segala cara’), dan pragmatisme (‘mengabaikan proses’). Kasus-kasus kriminalitas yang marak belakangan ini menjadi bukti, betapa manusia telah kehilangan sisi-sisi kemanusiaannya. Nyawa manusia seolah-olah makin tidak berharga sehingga orang tidak berpikir panjang untuk melakukan perbuatan yang membahayakan orang lain. Sebut saja misalnya, kasus makanan berbahan kimia berbahaya, perilaku ugal-ugalan di jalan, perkelahian antar-pemuda dan pembunuhan “Angeline” yang menggemparkan masyarakat belum lama ini.
Dalam kondisi tersebut, agama harus hadir kembali dalam kehidupan untuk memberikan penyadaran moral-kemanusiaan. Agama adalah sumber moral yang utama karena bersumber langsung dari wahyu Tuhan. Mengabaikan ajaran agama berarti mengabaikan Tuhan dan hukum karmaphala pasti akan berlaku. Menurut ajaran agama Hindu, tujuan hidup (moksartham jagadhita) hanya dapat dicapai berdasarkan kebaikan (dharma). Dharma adalah prinsip pengarah (guiding principle) perilaku manusia. Bagi yang melaksanakan dharma, juga hidupnya akan dilindungi dharma (dharma raksatah raksitah). Dengan demikian, menghadirkan dharma dalam setiap perilaku kehidupan menjadi upaya penting dan utama untuk mengatasi dekadensi moral yang melanda masyarakat dewasa ini.    

B.    Pembahasan
(1)  Pengetahuan Rohani
Albert Einstein menyatakan “ilmu tanpa agama buta, sedangkan agama tanpa ilmu lumpuh”. Pernyataan ini menegaskan pentingnya ilmu didasari agama sehingga ilmu itu benar-benar bermanfaat bagi kemanusiaan. Pada kenyataannya, banyak orang cerdas dan pintar yang menggunakan ilmunya untuk merusak kehidupan. Misalnya, orang yang pintar Ilmu Kimia, tetapi menggunakan kepintarannya untuk mencampur bahan kimia berbahaya ke dalam makanan. Sebaliknya, juga agama tanpa ilmu tidak akan membawa kemajuan bagi kehidupan. Kerjasama antara ilmu dan agama ini diperlukan agar manusia mencapai kesempurnaan hidup jasmani dan rohani. Tanpa ilmu mustahil kesejahteraan duniawi (jagadhita) dapat dicapai, sebaliknya tanpa agama juga mustahil dapat mencapai kebahagiaan rohani (moksa). Padahal, jagadhita dan moksa adalah tujuan hidup tertinggi manusia.
Ajaran agama Hindu menekankan keseimbangan antara keduanya sehingga pengetahuan rohani harus menjadi dasar perkembangan intelektual, moral, dan spiritual manusia. Melalui pengetahuan rohani, manusia akan mampu memahami dirinya, lingkungannya, dan tindakannya. Pentingnya pengetahuan rohani ini dijelaskan dalam kitab Bhagavadgita. IV.39, sebagai berikut.
Sraddhaval labhate jnanam, tat parah samyatendriyah,
Jnanam labdhva param santim acirenadhigacchati.
Artinya:
Dia yang memiliki keimanan dan menyerahkan diri pada pengetahuan rohani, yang menaklukan indria-indrianya, memenuhi syarat untuk mencapai pengetahuan itu, dan setelah pengetahuan ini tercapai, ia mendapatkan kedamaian yang mahasempurna.

Ajnas casraddhanas ca samsayatma vinasyati
Nayam loko sti na paro na sukham samsayatmanah.
Artinya:
Akan tetapi, orang yang bodoh, yang tidak percaya, yang ragu-ragu kepada kitab suci yang diwahyukan, tidak akan mencapai kesadaran ini, melainkan akan jatuh. Tidak ada kebahagiaan bagi orang yang ragu-ragu, baik di dunia ini maupun dikelahiran yang akan datang.
Kedua sloka tersebut menegaskan bahwa pengetahuan rohani adalah dasar untuk mencapai kedamaian dan kebahagiaan yang mahasempurna. Pengetahuan rohani harus dicapai dengan dasar keyakinan (sraddha), serta penyerahan diri secara tulus ikhlas (bhakti). Pengetahuan rohani membuat orang percaya pada kebenaran dari segala tindakan yang akan dilakukan. Sebaliknya, tanpa pengetahuan rohani orang akan selalu ragu-ragu dalam mengambil tindakan. Pengetahuan rohani membunuh keragu-raguan yang menghalangi manusia dalam melaksanakan kewajiban (swadharma). Pengetahuan inilah yang diajarkan Shri Krishna kepada Arjuna: “setelah engkau membunuh keragu-raguanmu dengan pengetahuan rohani ini, bangkit dan bertempurlah Arjuna!” (Bhagavadgita, IV.42). Dengan pengetahuan rohani yang mantap, akhirnya Arjuna berhasil menunaikan tugasnya untuk menegakkan dharma.
Tindakan ragu-ragu muncul karena orang tidak memiliki pengetahuan yang benar (awidya). Tindakan yang didasari awidya dapat berakibat fatal bagi dirinya sendiri dan orang lain. Oleh karena itu, pengetahuan rohani bertujuan melenyapkan awidya dalam diri. Pengetahuan rohani dapat dicapai melalui upaya yang serius dan sunggung-sungguh secara terus-menerus (abhyasa) dan keadaan yang tanpa nafsu atau tidak terikat pada objek-objek duniawi (vairagya). Hanya dengan usaha melepaskan diri dari nafsu-nafsu indriya manusia dapat mencapai kebebasan. Dengan demikian, pengetahuan rohani harus diasah dan dipupuk dengan belajar terus menerus. Dengan demikian, orang akan memperoleh kepastian-kepastian dari segala tindakannya beserta akibat-akibatnya. Mengetahuai sebab dan akibat dari perbuatan adalah hal terpenting dalam membangun moralitas menurut Hindu.

(2)  Pengendalian Diri dan Transformasi Sadripu
Na hi jnanena sadrsam pavitram iha vidyate,
Tat svayam yoga-samsiddhah kalenatmani vindati
‘Di dunia ini, tiada sesuatu pun yang semulia dan sesuci pengetahuan rohani. Dia yang telah disempurnakan oleh yoga akan menikmati pengetahuan ini sesudah beberapa waktu’ (Bhagavadgita, IV.38).
Sloka tersebut menegaskan bahwa pengetahuan rohani adalah pengetahuan yang paling suci dan tinggi. Pengetahuan rohani disempurnakan melalui yoga. Maharsi Patanjali menyebutkan bahwa “yoga citta vrtti nirodhah” (‘yoga adalah mengendalikan gerak-gerak pikiran’). Gerak-gerak pikiran (vrtti) menyebabkan manusia penuh keragu-raguan. Pikiran itu sulit dikendalikan karena bergerak ke segala arah dan dapat berubah setiap saat. Pikiran (citta) menyebabkan manusia terbelenggu pada objek-objek keduniawian (indriya). Objek-objek indriya inilah yang melahirkan berbagai nafsu dan keinginan (kama) dan menjadi penyebab utama penderitaan. Oleh karena itu, manusia harus mampu mengendalikan diri dari belenggu nafsu tersebut.
Pengendalian diri yang pertama berpusat pada pikiran. Hal ini karena pikiran bersifat liar, tidak pernah diam, penuh kegelisahan, penuh keinginan, seperti disebutkan dalam kitab Sarasamuccaya, 81, sebagai berikut.
Nihan ta krama nikang manah, bhnanta lungha svabhawanya, akweh mangen-angenya, dadi prathana, dadi sangsaya, pinakawaknya, hana pwa wwang ikang wenang humeret manah, sira tika menggeh amanggih sukha, mangke ring paraloka kabeh.
Artinya:
“Keadaan pikiran itu demikianlah tidak berkententuan jalannya, banyak yang dicita-citakannya, terkadang penuh kesangsian, demikianlah kenyataannya; jika ada orang dapat mengendalikan pikirannya, pasti orang itu beroleh kebahagiaan, baik sekarang maupun di dunia yang lain”.
Pikiran menjadi hal terpenting yang perlu dikendalikan karena pikiran menjadi sumber nafsu indriya. Menurut Hindu, nafsu-keinginan bersumber dari pikiran yang tanpa kesadaran atau mengalami kegelapan rohani (awidya). Awidya adalah sumber sad ripu (enam musuh dalam diri), yaitu keinginan (kama), kebodohan (moha), kerakusan (lobha), kemabukan (mada), kemarahan (krodha), dan keirihatian (matsarya). Keenam musuh ini ada dalam diri setiap manusia sehingga Kakawin Ramayana menyebutkan “ragadi musuh maparo, ri hati ya tonggwannya, tan madoh ring awak” (‘yang disebut musuh manusia itu, di hatilah tempatnya, tidak jauh dari badan’). Artinya, sadripu ini ada dalam diri setiap manusia sehingga harus dikendalikan dengan pengetahuan rohani. Dengan demikian, pengendalian diri menjadi dasar untuk mengalahkan sadripu.
Moha (kebodohan) adalah kondisi tanpa pengetahuan atau kecerdasan yang tidak didasari pengetahuan rohani. Kebodohan menjadikan orang kehilangan kepekaan dalam mengenali objek-objek material. Orang yang bodoh adalah orang yang tidak mengetahui benar-salah, baik-buruk, dan sebab-akibat dari tindakannya karena pikirannya telah ditutupi awidya (‘tanpa pengetahuan rohani’). Melihat objek-objek indriya sebagai kebenaran sejati dan menjadikannya tujuan adalah kebodohan yang sesungguhnya. Hal ini akan menjadikan seseorang dibelenggu oleh pengetahuannya sendiri, yaitu ketika kecerdasaannya hanya digunakan untuk memburu hal-hal duniawi. Kebodohan inilah yang menjadi lahan subur berkembangnya nafsu-selera (kama) dalam diri dan manusia gagal mengendalikannya.
Kama (nafsu-selera) menjerumuskan manusia pada upaya mengejar objek-objek kenikmatan duniawi yang tanpa batas. Acapkali manusia gagal memahami kemampuannya untuk memenuhi nafsu-nafsu tersebut sehingga menghalalkan segala cara untuk mencapainya. Berbagai bentuk kejahatan selalu lahir dari manusia yang tidak mampu mengendalikan nafsunya. Misalnya, nafsu untuk memiliki barang berharga diwujudkan dengan cara merampok atau mencuri. Kama yang tidak terkendali inilah yang akan menyebabkan manusia terjebak pada kegelapan-kegelapan rohani yang lain, seperti kerakusan (lobha), kemabukan (mada), kemarahan (krodha), dengki dan iri hati (matsarya).
 Kerakusan (lobha) tumbuh karena manusia cenderung memiliki sifat tidak pernah puas. Ketika satu keinginan terpenuhi, maka manusia cenderung mengejar pemenuhan keinginan yang lain. Begitu berlaku seterusnya sehingga sifat rakus itu tidak pernah menjauh darinya. Kerakusan menyebabkan kehancuran dunia dan kemanusiaan. Hal ini seperti disampaikan oleh Mahatma Gandhi bahwa:
“bumi ini cukup untuk memuaskan kebutuhan semua orang, tetapi tidak akan pernah cukup untuk memuaskan satu orang yang rakus”.

Orang rakus hanya berpikir untuk kepuasannya sendiri dan tidak pernah mempedulikan nasib orang lain. Ketika kerakusan menguasai manusia, maka seluruh objek duniawi berusaha untuk dikuasainya. Semakin banyak objek-objek yang berhasil dikuasai, maka semakin besar pula kecenderungan manusia menjadi mabuk (mada). Mabuk harta, mabuk ketampanan dan kecantikan, mabuk kekuasaan, dan seterusnya, sehingga dunia ini dipenuhi dengan orang-orang mabuk. Dengan segala yang dimiliki, manusia merasa dapat memenuhi kebutuhannya sendiri tanpa perlu bantuan dari siapapun, termasuk Tuhan. Keangkuhan dan kesombongan menjadi ciri manusia yang mabuk. Apabila sikap ini dipupuk terus menerus, maka manusia akan kehilangan sraddha dan bhaktinya pada Tuhan, kepedulian pada alam-lingkungan, dan cinta kasih dengan sesamanya.
Sebaliknya, kama yang tidak terkendali dan gagal dipenuhi menjerumuskan manusia pada kemarahan (krodha) dan keirihatian (matsarya). Kemarahan muncul karena manusia tidak mampu memenuhi keinginannya. Sementara itu, rasa iri hati tumbu ketika manusia cenderung mencerminkan dirinya dengan orang lain. Ketika orang lain mampu memenuhi keinginan yang sama dengannya, sedangkan dirinya tidak mampu, maka pikirannya menjadi murka, penuh dengan irihati, bahkan menganggap Tuhan tidak adil. Semua ini muncul karena manusia terkurung dalam kegelapan rohani (awidya) sehingaa tidak bisa membedakan keinginan dan kebutuhan, tidak mengenali potensi diri, bahkan tidak mengerti tujuan hidupnya sendiri.
Pengendalian diri diperlukan agar manusia dapat mentransformasi sad ripu menjadi solusi kehidupan. Kama dapat diarahkan untuk membuat seseorang bergairah dalam hidup ini. Dalam kitab Santi Parwa dijelaskan bahwa ”kama adalah orang tua dari dharma dan artha”. Tanpa kama, orang tidak akan menginginkan sesuatu dan karenanya juga tidak melakukan apa-apa. Dengan demikian, kama hendaknya menjadi sumber motivasi individu untuk melaksanakan kebaikan (dharma) dan memenuhi segala kebutuhan hidup (artha). Kama dapat merubah kebodohan (moha) menjadi ‘rasa bodoh’ sehingga manusia termotivasi untuk terus-menerus belajar. Kerakusan (lobha) dan kemabukan (mada) dipahami menjadi ‘rasa tidak puas’ sehingga manusia selalu termotivasi untuk meningkatkan kualitas diri dan menggapai tujuan hidup yang lebih tinggi. Seperti halnya Svami Vivekananda mengatakan:
 “Saat semua orang mabuk, aku juga mabuk. Namun kemabukanku lebih baik, karena aku mabuk untuk bertemu dengan Tuhan”.

‘Kemabukan spiritual’ akan mendorong manusia untuk mengejar kebajikan, kebenaran, dan kesucian. Kemarahan (krodha) juga dapat diubah menjadi ‘rasa berani’ (wira) sehingga orang bebas dari keragu-raguan dalam melaksanakan dharma. Sementara itu, keirihatian (matsarya) disublimasi menjadi ‘rasa jengah’, yaitu daya kompetitif (competitive pride) dalam berbagai bidang kehidupan. Memahami sad ripu dan mengubahnya menjadi kekuatan moral merupakan langkah penting untuk menghasilkan insan-insan yang berkualitas. Manusia yang berkualitas menurut Hindu adalah Subuddhi (berbudi luhur dan berakhlak mulia); Susatya (taat aturan dan setia kawan); Sudharma (mampu melaksanakan tugas dan kewajiban); Sukarya (bermental kuat dan pekerja keras);  dan Subhakti (tulus dalam pelayanan, baik kepada Tuhan, sesama, dan alam/lingkungan).
Melalui pengendalian pikiran orang akan mencapai kebebasan sejati, bukan bebas dalam arti liar. Pentingnya pikiran untuk dikendalikan karena pikiranlah yang berhubungan dengan objek-objek melalui indera (indriya). Sentuhan dengan objek duniawi ini menimbulkan bermacam-macam sensasi dan fenomena kejiwaan yang tercermin dalam setiap perbuatan manusia. Pikiranlah yang harus dikendalikan terlebih dahulu dari keterikatan pada objek-objek inderawi sehingga menjadi pikiran yang berkesadaran (consciousness mind). Hubungan antara Sang Diri, badan, kebijaksanaan, dan pikiran seperti digambarkan dalam Katha Upanisad I.3, berikut ini.
Atmanam rathinam viddhi, sariram rathamtu,
Budhim tu saradem viddhi, manah pragraham eva ca.

“Ketahuilah bahwa Sang Diri adalah tuannya kereta dan badan adalah keretanya. Ketahuilah bahwa kebijaksanaan itu adalah kusir dan pikiran adalah tali kekangnya”.
Secara praktis, kitab Sarasamuccaya mengajarkan bahwa pikiran (manah) harus diarahkan untuk berpikir positif, yaitu tidak menginginkan milik orang lain, kasih sayang pada semua makluk, dan percaya pada hukum Karmaphala. Demikian pentingnya pengendalian pikiran karena dari pikiranlah akan lahir perkataan dan perbuatan yang tidak baik. Adapun perkataan (wac) harus dikendalikan, yaitu tidak berkata-kata jahat, berkata kasar, memfitnah, dan berbohong. Kemudian, segi perbuatan (kayika) yang patut dikendalikan adalah tidak membunuh dan menyakiti, tidak mencuri, teguh dalam kewajiban. Dengan mengendalikan diri maka manusia akan sehat lahir dan batin; mengembangkan potensi diri secara optimal, menjadi generasi suputra, dan tetap tenang dalam suka dan duka.
(3)  Menegakkan Prinsip Kehidupan
Dalam rangka menegakkan moralitas kehidupan, agama Hindu mengajarkan enam prinsip utama sebagaimana dijelaskan dalam kitab Atharwa Weda.I.12, yaitu satya (‘kebenaran’), rta (‘hukum alam’), diksa (‘kesucian’), tapa (‘pengendalian diri’), brahmana (‘ritual, api suci pemujaan’), dan yadnya (‘persembahan dan pelayanan’). Keenam prinsip ini kekal-abadi dalam menjaga tegakknya dunia karena bersumber langsung dari Tuhan. Hal ini ditegaskan dalam Bhagawadgita, III.10, bahwa “Prajapati menciptakan manusia (praja) melalui persembahan (yadnya), dan dengan cara itu menjadi kamadhuk bagi keinginan manusia”. Kamadhuk adalah sapi dewata, yakni alam semesta dan segala isinya yang mampu memenuhi keinginan manusia. Artinya, Tuhan tidak hanya menciptakan manusia, tetapi juga menyediakan berbagai kebutuhan untuk memelihara eksistensinya. Oleh sebab itu, manusia memiliki kewajiban untuk membangun hubungan harmonis dengan Tuhan, sesama, dan alam semesta.
Satya berarti kebenaran sejati. Dunia akan tegak apabila manusia mendasari kehidupannya dengan prinsip-prinsip kebenaran. Kebenaran tertinggi adalah kebenaran Tuhan berdasarkan lima prinsip kepercayaan (panca sraddha). Artinya, moralitas harus dibangun berdasarkan kelima kepercayaan tersebut, yaitu percaya adanya Tuhan (Widhi sraddha), percaya adanya atman (atma sraddha), percaya adanya hukum karmaphala (karmaphala sraddha), percaya adanya punarbhawa (punarbhawa sraddha), dan percaya adanya moksa (moksa sraddha). Kehidupan ini bersumber dari Tuhan dan jiwa (atman) dalam diri manusia adalah percikan-percikan terkecil dari Tuhan. Dari kebenaran ini, lahir pandangan bahwa menghormati atman yang ada dalam diri semua makhluk sama dengan menghormati adanya Tuhan (Paramatman). Dari sinilah muncul prinsip tertinggi kemanusiaan yang disebut tattwam asi. Kehidupan manusia diikat oleh hukum karmaphala (‘sebab-akibat’ perbuatan). Hasil (pahala) perbuatan akan menentukan kehidupan manusia setelah kematiannya, punarbhawa (lahir kembali – reinkarnasi) ataukan moksa (menyatu dengan Paramatman). Jadi, berbuat baik atau moralitas akan menentukan pencapaian tujuan hidup manusia.
Prinsip berikutnya adalah Rta atau hukum alam (natural law). Tertib semesta merupakan hukum abadi yang tidak dapat dilawan manusia. Rta menjadi sumber kebahagiaan manusia, apabila manusia tunduk pada hukum-hukumnya. Menaati rta berarti menjaga keseimbangan dan kelestarian alam dengan mengendalikan seluruh nafsu serakah untuk mengeksploitasi alam secara sembarangan. Ini merupakan prinsip moral yang harus dipegang demi tertibnya kehidupan. Tiga prinsip utama dari rta yang adalah utpetti (lahir/tercipta), stithi (hidup/terpelihara), dan pralina (mati/kembali ke asalnya). Prinsip-prinsip ini tidak dapat dilawan siapapun. Dengan menyadari ini semua, orang akan terbebas dari kesombongan dan keangkuhan diri karena manusia memang tidak berarti apa-apa di hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa sebagai Sang Pengendali Rta (Rtawan).
Untuk menjaga diri agar selalu berada di jalan kebenaran (satya) dan tunduk pada Rta adalah melalui jalan penyucian (diksam). Penyucian dilakukan untuk memurnikan triguna, yaitu sattwam, rajas, dan tamas. Sattwam adalah sifat-sifat yang baik, penuh kesadaran, terang benderang; Rajas adalah sifat yang aktif, serakah, dan selalu menginginkan; sedangkan tamas berarti sifat yang malas, bodoh, dan berat. Ketiga guna (sifat) ini komposisinya berbeda-beda pada setiap orang sehingga karakter dan sifat seseorang juga berbeda. Ketiganya menjadikan rwa bhineda selalu muncul dalam kehidupan manusia sehingga melalui penyucian diri sifat-sifat sattwam dapat ditanamkan dalam diri secara terus-menerus. Penyucian diri manusia yang terutama adalah menyucikan pikiran, perkataan, dan perbuatannya (tri kaya parisudha).
Dalam rangka penyucian diri tersebut diperlukan pengendalian diri (tapa) dari nafsu-nafsu keduniawian. Pengendalian diri dilakukan untuk melepaskan diri dari belenggu-belenggu atman yang disebut panca klesa, yaitu awidya (kebodohan), asmita (kelakuan yang buruk), raga (nafsu serakah), dwesa (kebencian) dan abhinivesa (ketakutan). Klesa-klesa inilah yang menyebabkan Sang Diri (atman) lupa (aturu) pada kesejatiannya. Oleh karena itu, pikiran, kebijaksanaan, dan ego harus dikendalikan dari keterikatan pada objek-objek inderawi sehingga menjadi pikiran yang berkesadaran (consciousness mind). Dalam kesadaran inilah, Sang Diri akan dapat menemukan kembali hakikat diri sejatinya (matutur ikang atma ri jatinya).
Agar Sang Atman tetap berada dalam kesadaran murni, maka manusia tidak boleh melupakan pemujaan kepada Tuhan (brahmana). Melalui api suci pemujaan, manusia dapat membakar kekotoran dirinya dan menjadi suci-murni. Pemujaan ini dilaksanakan dalam bentuk panca yadnya (‘lima persembahan utama’), yaitu dewa yadnya, rshi yadnya, manusa yadnya, pitra yadnya, dan bhuta yadnya. Dengan mempersembahkan upacara dan upakara, manusia selalu dekat dengan Tuhan sehingga setiap gerak langkahnya selalu mendapatkan pencerahan dari Tuhan. Dengan demikian, manusia tidak akan melakukan perbuatan yang melenceng dari dharma
Yadnya tidak hanya berwujud upacara dan upacara, tetapi harus diperluas maknanya sebagai pelayanan secara tulus-ikhlas. Kewajiban manusia adalah melayani Tuhan, sesamanya, dan alam lingkunganya. Pelayanan kepada Tuhan diwujudkan dengan pemujaan dan persembahan (bhakti), serta mengikuti ajaran-ajarannya. Pelayanan kepada manusia diwujudkan dengan memupuk rasa persabahatan (maitri), cinta kasih (karuna), simpati dan empati dengan sesama (mudita), membantu tanpa pamrih (upeksa). Sementara itu, pelayanan pada alam-lingkungan diwujudkan dengan mengasihi semua makhluk dan menjaga kelestarian lingkungan.
Dengan memegang teguh keenam prinsip tersebut, niscaya kehidupan akan berjalan tertib, teratur, dan harmonis. Dalam prinsip moralitas Hindu, perbuatan baik tidak saja dimaksudkan dalam hubungan antara manusia dengan manusia yang lain. Akan tetapi, moralitas harus dibangun dalam diri individu karena ini mendasari seluruh tindakan manusia. Kewajiban moral adalah menjaga pikiran, perkataan, dan tindakan sehingga tercipta hubungan yang intim dengan Tuhan, karib dengan sesama, dan akrab dengan alam-lingkungannya. Dengan memperkuat prinsip tri hita karana ini, kiranya dekadensi moral yang terjadi dapat diatasi dalam pelayanan dan cinta kasih universal “love all, serve all” (‘cintailah semua, layanilah semua’).

C.    Penutup
Dekadensi moral adalah gejala yang memiriskan hati segenap masyarakat, yaitu ketika manusia mulai kehilangan kemanusiannya. Dalam upaya mengatasi dekadensi moral tersebut diperlukan kesadaran moral yang bersumber pada diri sendiri  dalam menyikapi berbagai pengaruh lingkungan. Oleh karena itu, bait sloka dalam Nitisatakam ini kiranya dapat dijadikan renungan secara mendalam.
Apakah keberuntungan di dunia ini? (Bergaul dengan orang baik);
Apakah  kesedihan itu? (Bergaul dengan orang jahat);
Apakah kerugian itu? (Tidak memanfaatkan waktu dengan baik);
Apakah kepandaian itu? (Selalu berpedoman kepada agama);
Siapakah yang pemberani? (Ia yang menang dari sebelas indrianya);
Siapakah kekasih yang sebenarnya? (Ia yang setia);
Apakah kekayaan itu? (Pengetahuan yang benar);
Apakah kebahagiaan itu? (Tidak tinggal di negeri orang);
Apakah pemerintahan yang baik? (Ketika tidak ada pelanggaran).
D.    Daftar Pustaka
Bertens, K. 2002. Etika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Depdiknas. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.

Gunadha, Ida Bagu. 2013. Panca Sraddha Lima Prinsip Keimanan Hindu. Denpasar: Program Pascasarjana Unhi bekerjasama dengan Yayasan Dharma Ghosa.

Kasturi, N. 1981. Pancaran Kasih (Prasthana Vahini) Bhagavan Shri Sathya Sai Baba. Jakarta: Yayasan Sai Centre Indonesia.

Kadjeng, dkk.  Nyoman. 1997. Sarasamuccaya dengan Teks Bahasa Sanskerta dan Jawa Kuna. Jakarta: Hanuman Shakti.

Mantra, Ida Bagus. 2009. Bhagawadgita Alih Bahasa & Terjemahan. Denpasar: Pemerintah Provinsi Bali.

Pendit, Nyoman S. 2002. Bhagavadgita. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Pudja, Gde. 1981. Bhagawad Gita. Jakarta: Hanuman Sakti.

Radhakrishnan, S. 2003. Agama-Agama Timur dan Pemikiran Barat. Denpasar: Program Magister Ilmu Agama dan Kebudayaan Universitas Hindu Indonesia.

Raganathananda, Swami. 1996. “Pelayanan sebagai Pemujaan”. Artikel dalam Yajna Basis Kehidupan (Sebuah Canag Sari). Suamba, Ida Bagus Putu. (ed), 1996. Denpasar: Warta Hindu Dharma.

Sudharta, Tjok. Rai dan Ida Bagus Oka Punyatmaja. 2001. Upadesa: tentang Ajaran-Ajaran Agama Hindu. Surabaya: Paramita.

Sudharta, Tjokorda Rai. 1990. Ajaran Moral dalam Bhagawadgita. Jakarta: Hanuman Sakti.


Sura, I Gde. 1997. Etika dan Pengendalian Diri. Denpasar: Pemerintah Provinsi Bali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar