MENGATASI
DEKADENSI MORAL
PERSPEKTIF
HINDU
Oleh:
Dr.
Nanang Sutrisno, M.Si
A.
Pengantar
Dekadensi moral berarti kemerosotan atau
penurunan kualitas moral (KBBI, 2005:245). Menurut Bertens (2002) bahwa moral
adalah nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau
suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Ukuran moralitas adalah baik atau
buruknya suatu perilaku. Acapkali nilai kebaikan dan keburukan itu bersifat
relatif. Ukuran ‘baik’ menurut seseorang atau masyarakat, belum tentu ‘baik’
menurut orang atau masyarakat yang lain. Misalnya, bagi orang Indonesia
memberikan sesuatu dengan tangan kiri dipandang kurang sopan, tetapi orang
Barat tidak mempersoalkannya secara moral. Nilai ini tergantung pada sumber ajaran
moral yang menjadi pedoman perilaku, seperti agama, adat-istiadat, keluarga, masyarakat,
dan hukum.
Moralitas adalah ciri utama dan
keutamaan manusia, karena hanya manusia yang dapat membedakan baik dan buruk.
Manusia mampu menggunakan moralitasnya untuk menciptakan kebaikan bagi semua
makhluk, sebaliknya juga manusia menjadi penyebab kehancuran. Berkaitan dengan
keutamaan manusia dapat disimak dalam kitab Sarasamuccaya
(2), berikut ini.
Ri
sakwehning sarwa bhuta, iking janma wwang juga wenang gumayaken ikang
subhāsubhakarma, kuneng pantentasakena ring subhakarma juga ikang asubhakarma,
phalaning dadi wwang.
Artinya:
Di antara semua makhluk hidup, hanya yang dilahirkan
menjadi manusia sajalah yang dapat melaksanakan perbuatan baik ataupun buruk,
leburlah ke dalam perbuatan baik, segala perbuatan yang buruk itu. Demikianlah
gunanya (pahalanya) menjadi manusia (Kadjeng, dkk., 1997:8).
Mengingat moralitas bertalian erat
dengan kemanusiaan sehingga dekadensi moral menunjukkan penurunan kualitas
kemanusiaan. Menurut Radhakrishnan (1987:9) bahwa kemanusiaan sekarang ini
sedang mengalami krisis terbesar sepanjang sejarah umat manusia. Perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi ternyata tidak disertai dengan kemajuan yang
sama di bidang spiritualitas. Malahan spiritualitas makin rapuh terbawa arus
materialisme (‘memburu materi’), hedonisme (‘mencapai tujuan dengan segala
cara’), dan pragmatisme (‘mengabaikan proses’). Kasus-kasus kriminalitas yang
marak belakangan ini menjadi bukti, betapa manusia telah kehilangan sisi-sisi
kemanusiaannya. Nyawa manusia seolah-olah makin tidak berharga sehingga orang
tidak berpikir panjang untuk melakukan perbuatan yang membahayakan orang lain. Sebut
saja misalnya, kasus makanan berbahan kimia berbahaya, perilaku ugal-ugalan di
jalan, perkelahian antar-pemuda dan pembunuhan “Angeline” yang menggemparkan
masyarakat belum lama ini.
Dalam kondisi tersebut, agama harus
hadir kembali dalam kehidupan untuk memberikan penyadaran moral-kemanusiaan. Agama
adalah sumber moral yang utama karena bersumber langsung dari wahyu Tuhan.
Mengabaikan ajaran agama berarti mengabaikan Tuhan dan hukum karmaphala pasti akan berlaku. Menurut
ajaran agama Hindu, tujuan hidup (moksartham
jagadhita) hanya dapat dicapai berdasarkan kebaikan (dharma). Dharma adalah
prinsip pengarah (guiding principle) perilaku manusia. Bagi yang
melaksanakan dharma, juga hidupnya akan
dilindungi dharma (dharma raksatah raksitah). Dengan
demikian, menghadirkan dharma dalam
setiap perilaku kehidupan menjadi upaya penting dan utama untuk mengatasi dekadensi
moral yang melanda masyarakat dewasa ini.
B.
Pembahasan
(1)
Pengetahuan Rohani
Albert Einstein menyatakan “ilmu tanpa
agama buta, sedangkan agama tanpa ilmu lumpuh”. Pernyataan ini menegaskan pentingnya
ilmu didasari agama sehingga ilmu itu benar-benar bermanfaat bagi kemanusiaan.
Pada kenyataannya, banyak orang cerdas dan pintar yang menggunakan ilmunya
untuk merusak kehidupan. Misalnya, orang yang pintar Ilmu Kimia, tetapi
menggunakan kepintarannya untuk mencampur bahan kimia berbahaya ke dalam makanan.
Sebaliknya, juga agama tanpa ilmu tidak akan membawa kemajuan bagi kehidupan.
Kerjasama antara ilmu dan agama ini diperlukan agar manusia mencapai
kesempurnaan hidup jasmani dan rohani. Tanpa ilmu mustahil kesejahteraan
duniawi (jagadhita) dapat dicapai,
sebaliknya tanpa agama juga mustahil dapat mencapai kebahagiaan rohani (moksa). Padahal, jagadhita dan moksa adalah
tujuan hidup tertinggi manusia.
Ajaran agama Hindu menekankan
keseimbangan antara keduanya sehingga pengetahuan rohani harus menjadi dasar
perkembangan intelektual, moral, dan spiritual manusia. Melalui pengetahuan
rohani, manusia akan mampu memahami dirinya, lingkungannya, dan tindakannya. Pentingnya
pengetahuan rohani ini dijelaskan dalam kitab Bhagavadgita. IV.39, sebagai berikut.
Sraddhaval
labhate jnanam, tat parah samyatendriyah,
Jnanam labdhva param santim acirenadhigacchati.
Artinya:
Dia yang memiliki keimanan dan menyerahkan diri pada
pengetahuan rohani, yang menaklukan indria-indrianya, memenuhi syarat untuk
mencapai pengetahuan itu, dan setelah pengetahuan ini tercapai, ia mendapatkan
kedamaian yang mahasempurna.
Ajnas
casraddhanas ca samsayatma vinasyati
Nayam loko sti na paro na sukham samsayatmanah.
Artinya:
Akan
tetapi, orang yang bodoh, yang tidak percaya, yang ragu-ragu kepada kitab suci
yang diwahyukan, tidak akan mencapai kesadaran ini, melainkan akan jatuh. Tidak
ada kebahagiaan bagi orang yang ragu-ragu, baik di dunia ini maupun dikelahiran
yang akan datang.
Kedua sloka tersebut menegaskan bahwa pengetahuan rohani adalah dasar
untuk mencapai kedamaian dan kebahagiaan yang mahasempurna. Pengetahuan rohani
harus dicapai dengan dasar keyakinan (sraddha),
serta penyerahan diri secara tulus ikhlas (bhakti).
Pengetahuan rohani membuat orang percaya pada kebenaran dari segala tindakan
yang akan dilakukan. Sebaliknya, tanpa pengetahuan rohani orang akan selalu
ragu-ragu dalam mengambil tindakan. Pengetahuan rohani membunuh keragu-raguan
yang menghalangi manusia dalam melaksanakan kewajiban (swadharma). Pengetahuan inilah yang diajarkan Shri Krishna kepada
Arjuna: “setelah engkau membunuh keragu-raguanmu dengan pengetahuan rohani ini,
bangkit dan bertempurlah Arjuna!” (Bhagavadgita,
IV.42). Dengan pengetahuan rohani
yang mantap, akhirnya Arjuna berhasil menunaikan tugasnya untuk menegakkan dharma.
Tindakan ragu-ragu muncul karena orang
tidak memiliki pengetahuan yang benar (awidya).
Tindakan yang didasari awidya dapat
berakibat fatal bagi dirinya sendiri dan orang lain. Oleh karena itu,
pengetahuan rohani bertujuan melenyapkan awidya
dalam diri. Pengetahuan rohani dapat dicapai melalui upaya yang serius dan
sunggung-sungguh secara terus-menerus (abhyasa)
dan keadaan yang tanpa nafsu atau tidak terikat pada objek-objek duniawi (vairagya). Hanya dengan usaha melepaskan
diri dari nafsu-nafsu indriya manusia
dapat mencapai kebebasan. Dengan demikian, pengetahuan rohani harus diasah dan
dipupuk dengan belajar terus menerus. Dengan demikian, orang akan memperoleh
kepastian-kepastian dari segala tindakannya beserta akibat-akibatnya. Mengetahuai
sebab dan akibat dari perbuatan adalah hal terpenting dalam membangun moralitas
menurut Hindu.
(2)
Pengendalian Diri dan Transformasi Sadripu
Na hi jnanena sadrsam pavitram iha
vidyate,
Tat
svayam yoga-samsiddhah kalenatmani vindati
‘Di
dunia ini, tiada sesuatu pun yang semulia dan sesuci pengetahuan rohani. Dia
yang telah disempurnakan oleh yoga akan
menikmati pengetahuan ini sesudah beberapa waktu’ (Bhagavadgita, IV.38).
Sloka tersebut menegaskan bahwa pengetahuan rohani adalah
pengetahuan yang paling suci dan tinggi. Pengetahuan rohani disempurnakan
melalui yoga. Maharsi Patanjali menyebutkan
bahwa “yoga citta vrtti nirodhah” (‘yoga adalah mengendalikan gerak-gerak
pikiran’). Gerak-gerak pikiran (vrtti) menyebabkan manusia penuh
keragu-raguan. Pikiran itu sulit dikendalikan karena bergerak ke segala arah
dan dapat berubah setiap saat. Pikiran (citta)
menyebabkan manusia terbelenggu pada objek-objek keduniawian (indriya). Objek-objek indriya inilah
yang melahirkan berbagai nafsu dan keinginan (kama) dan menjadi penyebab utama penderitaan. Oleh karena itu,
manusia harus mampu mengendalikan diri dari belenggu nafsu tersebut.
Pengendalian diri yang pertama berpusat
pada pikiran. Hal ini karena pikiran bersifat liar, tidak pernah diam, penuh
kegelisahan, penuh keinginan, seperti disebutkan dalam kitab Sarasamuccaya, 81, sebagai berikut.
Nihan
ta krama nikang manah, bhnanta lungha svabhawanya, akweh mangen-angenya, dadi
prathana, dadi sangsaya, pinakawaknya, hana pwa wwang ikang wenang humeret
manah, sira tika menggeh amanggih sukha, mangke ring paraloka kabeh.
Artinya:
“Keadaan
pikiran itu demikianlah tidak berkententuan jalannya, banyak yang
dicita-citakannya, terkadang penuh kesangsian, demikianlah kenyataannya; jika
ada orang dapat mengendalikan pikirannya, pasti orang itu beroleh kebahagiaan,
baik sekarang maupun di dunia yang lain”.
Pikiran menjadi hal terpenting yang perlu dikendalikan karena pikiran
menjadi sumber nafsu indriya. Menurut Hindu, nafsu-keinginan bersumber dari pikiran
yang tanpa kesadaran atau mengalami kegelapan rohani (awidya). Awidya adalah
sumber sad ripu (enam musuh dalam
diri), yaitu keinginan (kama), kebodohan (moha),
kerakusan (lobha), kemabukan (mada), kemarahan (krodha), dan keirihatian (matsarya).
Keenam musuh ini ada dalam diri setiap manusia sehingga Kakawin Ramayana menyebutkan “ragadi
musuh maparo, ri hati ya tonggwannya, tan madoh ring awak” (‘yang disebut
musuh manusia itu, di hatilah tempatnya, tidak jauh dari badan’). Artinya, sadripu ini ada dalam diri setiap
manusia sehingga harus dikendalikan dengan pengetahuan rohani. Dengan demikian,
pengendalian diri menjadi dasar untuk mengalahkan sadripu.
Moha (kebodohan) adalah kondisi tanpa pengetahuan atau
kecerdasan yang tidak didasari pengetahuan rohani. Kebodohan menjadikan orang
kehilangan kepekaan dalam mengenali objek-objek material. Orang yang bodoh
adalah orang yang tidak mengetahui benar-salah, baik-buruk, dan sebab-akibat
dari tindakannya karena pikirannya telah ditutupi awidya (‘tanpa pengetahuan rohani’). Melihat objek-objek indriya
sebagai kebenaran sejati dan menjadikannya tujuan adalah kebodohan yang
sesungguhnya. Hal ini akan menjadikan seseorang dibelenggu oleh pengetahuannya
sendiri, yaitu ketika kecerdasaannya hanya digunakan untuk memburu hal-hal
duniawi. Kebodohan inilah yang menjadi lahan subur berkembangnya nafsu-selera (kama) dalam diri dan manusia gagal
mengendalikannya.
Kama (nafsu-selera) menjerumuskan
manusia pada upaya mengejar objek-objek kenikmatan duniawi yang tanpa batas. Acapkali
manusia gagal memahami kemampuannya untuk memenuhi nafsu-nafsu tersebut
sehingga menghalalkan segala cara untuk mencapainya. Berbagai bentuk kejahatan
selalu lahir dari manusia yang tidak mampu mengendalikan nafsunya. Misalnya,
nafsu untuk memiliki barang berharga diwujudkan dengan cara merampok atau
mencuri. Kama yang tidak terkendali inilah
yang akan menyebabkan manusia terjebak pada kegelapan-kegelapan rohani yang
lain, seperti kerakusan (lobha),
kemabukan (mada), kemarahan (krodha), dengki dan iri hati (matsarya).
Kerakusan
(lobha) tumbuh karena manusia cenderung
memiliki sifat tidak pernah puas. Ketika satu keinginan terpenuhi, maka manusia
cenderung mengejar pemenuhan keinginan yang lain. Begitu berlaku seterusnya
sehingga sifat rakus itu tidak pernah menjauh darinya. Kerakusan menyebabkan
kehancuran dunia dan kemanusiaan. Hal ini seperti disampaikan oleh Mahatma
Gandhi bahwa:
“bumi ini cukup untuk memuaskan kebutuhan semua orang,
tetapi tidak akan pernah cukup untuk memuaskan satu orang yang rakus”.
Orang rakus hanya berpikir untuk
kepuasannya sendiri dan tidak pernah mempedulikan nasib orang lain. Ketika
kerakusan menguasai manusia, maka seluruh objek duniawi berusaha untuk
dikuasainya. Semakin banyak objek-objek yang berhasil dikuasai, maka semakin
besar pula kecenderungan manusia menjadi mabuk (mada). Mabuk harta, mabuk ketampanan dan kecantikan, mabuk
kekuasaan, dan seterusnya, sehingga dunia ini dipenuhi dengan orang-orang mabuk.
Dengan segala yang dimiliki, manusia merasa dapat memenuhi kebutuhannya sendiri
tanpa perlu bantuan dari siapapun, termasuk Tuhan. Keangkuhan dan kesombongan
menjadi ciri manusia yang mabuk. Apabila sikap ini dipupuk terus menerus, maka
manusia akan kehilangan sraddha dan bhaktinya pada Tuhan, kepedulian pada
alam-lingkungan, dan cinta kasih dengan sesamanya.
Sebaliknya, kama yang tidak terkendali dan gagal dipenuhi menjerumuskan manusia
pada kemarahan (krodha) dan
keirihatian (matsarya). Kemarahan
muncul karena manusia tidak mampu memenuhi keinginannya. Sementara itu, rasa
iri hati tumbu ketika manusia cenderung mencerminkan dirinya dengan orang lain.
Ketika orang lain mampu memenuhi keinginan yang sama dengannya, sedangkan
dirinya tidak mampu, maka pikirannya menjadi murka, penuh dengan irihati,
bahkan menganggap Tuhan tidak adil. Semua ini muncul karena manusia terkurung
dalam kegelapan rohani (awidya)
sehingaa tidak bisa membedakan keinginan dan kebutuhan, tidak mengenali potensi
diri, bahkan tidak mengerti tujuan hidupnya sendiri.
Pengendalian diri diperlukan agar
manusia dapat mentransformasi sad ripu menjadi
solusi kehidupan. Kama dapat
diarahkan untuk membuat seseorang bergairah dalam hidup ini. Dalam kitab Santi Parwa dijelaskan bahwa ”kama adalah orang tua dari dharma dan artha”. Tanpa kama, orang
tidak akan menginginkan sesuatu dan karenanya juga tidak melakukan apa-apa. Dengan
demikian, kama hendaknya menjadi
sumber motivasi individu untuk melaksanakan kebaikan (dharma) dan memenuhi segala kebutuhan hidup (artha). Kama dapat
merubah kebodohan (moha) menjadi
‘rasa bodoh’ sehingga manusia termotivasi untuk terus-menerus belajar.
Kerakusan (lobha) dan kemabukan (mada)
dipahami menjadi ‘rasa tidak puas’ sehingga manusia selalu termotivasi untuk
meningkatkan kualitas diri dan menggapai tujuan hidup yang lebih tinggi. Seperti
halnya Svami Vivekananda mengatakan:
“Saat semua orang
mabuk, aku juga mabuk. Namun kemabukanku lebih baik, karena aku mabuk untuk
bertemu dengan Tuhan”.
‘Kemabukan spiritual’ akan mendorong
manusia untuk mengejar kebajikan, kebenaran, dan kesucian. Kemarahan (krodha) juga dapat diubah menjadi ‘rasa
berani’ (wira) sehingga orang bebas dari
keragu-raguan dalam melaksanakan dharma. Sementara
itu, keirihatian (matsarya)
disublimasi menjadi ‘rasa jengah’,
yaitu daya kompetitif (competitive pride)
dalam berbagai bidang kehidupan. Memahami sad
ripu dan mengubahnya menjadi kekuatan moral merupakan langkah penting untuk
menghasilkan insan-insan yang berkualitas. Manusia yang berkualitas menurut
Hindu adalah Subuddhi (berbudi luhur
dan berakhlak mulia); Susatya (taat
aturan dan setia kawan); Sudharma (mampu
melaksanakan tugas dan kewajiban); Sukarya
(bermental kuat dan pekerja keras);
dan Subhakti (tulus dalam
pelayanan, baik kepada Tuhan, sesama, dan alam/lingkungan).
Melalui pengendalian pikiran orang akan
mencapai kebebasan sejati, bukan bebas dalam arti liar. Pentingnya pikiran
untuk dikendalikan karena pikiranlah yang berhubungan dengan objek-objek
melalui indera (indriya). Sentuhan
dengan objek duniawi ini menimbulkan bermacam-macam sensasi dan fenomena
kejiwaan yang tercermin dalam setiap perbuatan manusia. Pikiranlah yang harus
dikendalikan terlebih dahulu dari keterikatan pada objek-objek inderawi
sehingga menjadi pikiran yang berkesadaran (consciousness
mind). Hubungan antara Sang Diri, badan, kebijaksanaan, dan pikiran seperti
digambarkan dalam Katha Upanisad I.3,
berikut ini.
Atmanam rathinam viddhi, sariram rathamtu,
Budhim tu saradem viddhi, manah pragraham eva ca.
“Ketahuilah bahwa Sang Diri adalah tuannya kereta dan
badan adalah keretanya. Ketahuilah bahwa kebijaksanaan itu adalah kusir dan
pikiran adalah tali kekangnya”.
Secara praktis, kitab Sarasamuccaya
mengajarkan bahwa pikiran (manah) harus diarahkan untuk berpikir
positif, yaitu tidak menginginkan milik orang lain, kasih sayang pada semua
makluk, dan percaya pada hukum Karmaphala. Demikian pentingnya
pengendalian pikiran karena dari pikiranlah akan lahir perkataan dan perbuatan
yang tidak baik. Adapun perkataan (wac) harus dikendalikan, yaitu
tidak berkata-kata jahat, berkata kasar, memfitnah, dan berbohong. Kemudian,
segi perbuatan (kayika) yang patut dikendalikan adalah tidak
membunuh dan menyakiti, tidak mencuri, teguh dalam kewajiban. Dengan
mengendalikan diri maka manusia akan sehat lahir dan batin; mengembangkan
potensi diri secara optimal, menjadi generasi suputra, dan tetap tenang
dalam suka dan duka.
(3)
Menegakkan Prinsip Kehidupan
Dalam rangka menegakkan moralitas kehidupan, agama Hindu
mengajarkan enam prinsip utama sebagaimana dijelaskan dalam kitab Atharwa Weda.I.12, yaitu satya (‘kebenaran’),
rta (‘hukum alam’), diksa (‘kesucian’), tapa (‘pengendalian diri’), brahmana
(‘ritual, api suci pemujaan’), dan yadnya
(‘persembahan dan pelayanan’). Keenam prinsip ini kekal-abadi dalam menjaga
tegakknya dunia karena bersumber langsung dari Tuhan. Hal ini ditegaskan dalam Bhagawadgita, III.10, bahwa “Prajapati
menciptakan manusia (praja) melalui persembahan (yadnya),
dan dengan cara itu menjadi kamadhuk bagi keinginan manusia”. Kamadhuk adalah sapi dewata, yakni alam
semesta dan segala isinya yang mampu memenuhi keinginan manusia. Artinya, Tuhan
tidak hanya menciptakan manusia, tetapi juga menyediakan berbagai kebutuhan
untuk memelihara eksistensinya. Oleh sebab itu, manusia memiliki kewajiban
untuk membangun hubungan harmonis dengan Tuhan, sesama, dan alam semesta.
Satya berarti kebenaran sejati. Dunia akan
tegak apabila manusia mendasari kehidupannya dengan prinsip-prinsip kebenaran.
Kebenaran tertinggi adalah kebenaran Tuhan berdasarkan lima prinsip kepercayaan
(panca sraddha). Artinya, moralitas
harus dibangun berdasarkan kelima kepercayaan tersebut, yaitu percaya adanya
Tuhan (Widhi sraddha), percaya adanya
atman (atma sraddha), percaya adanya hukum karmaphala (karmaphala sraddha), percaya adanya punarbhawa (punarbhawa sraddha), dan percaya adanya moksa (moksa sraddha). Kehidupan
ini bersumber dari Tuhan dan jiwa (atman) dalam diri manusia adalah
percikan-percikan terkecil dari Tuhan. Dari kebenaran ini, lahir pandangan
bahwa menghormati atman yang ada
dalam diri semua makhluk sama dengan menghormati adanya Tuhan (Paramatman). Dari sinilah muncul prinsip
tertinggi kemanusiaan yang disebut tattwam
asi. Kehidupan manusia diikat oleh hukum karmaphala (‘sebab-akibat’ perbuatan). Hasil (pahala)
perbuatan akan menentukan kehidupan manusia setelah kematiannya, punarbhawa (lahir kembali – reinkarnasi)
ataukan moksa (menyatu dengan Paramatman). Jadi, berbuat baik atau
moralitas akan menentukan pencapaian tujuan hidup manusia.
Prinsip berikutnya adalah Rta atau hukum alam (natural
law). Tertib semesta merupakan hukum abadi yang tidak dapat dilawan
manusia. Rta menjadi sumber
kebahagiaan manusia, apabila manusia tunduk pada hukum-hukumnya. Menaati rta berarti menjaga keseimbangan dan
kelestarian alam dengan mengendalikan seluruh nafsu serakah untuk
mengeksploitasi alam secara sembarangan. Ini merupakan prinsip moral yang harus
dipegang demi tertibnya kehidupan. Tiga prinsip utama dari rta yang adalah utpetti (lahir/tercipta),
stithi (hidup/terpelihara), dan pralina (mati/kembali ke asalnya). Prinsip-prinsip
ini tidak dapat dilawan siapapun. Dengan menyadari ini semua, orang akan
terbebas dari kesombongan dan keangkuhan diri karena manusia memang tidak berarti
apa-apa di hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa sebagai Sang Pengendali Rta (Rtawan).
Untuk menjaga
diri agar selalu berada di jalan kebenaran (satya) dan tunduk pada Rta
adalah melalui jalan penyucian (diksam). Penyucian dilakukan untuk
memurnikan triguna, yaitu sattwam, rajas, dan tamas. Sattwam adalah
sifat-sifat yang baik, penuh kesadaran, terang benderang; Rajas adalah sifat yang aktif, serakah, dan selalu menginginkan; sedangkan
tamas berarti sifat yang malas,
bodoh, dan berat. Ketiga guna (sifat)
ini komposisinya berbeda-beda pada setiap orang sehingga karakter dan sifat
seseorang juga berbeda. Ketiganya menjadikan rwa bhineda selalu muncul dalam kehidupan manusia sehingga melalui
penyucian diri sifat-sifat sattwam dapat
ditanamkan dalam diri secara terus-menerus. Penyucian diri manusia yang
terutama adalah menyucikan pikiran, perkataan, dan perbuatannya (tri kaya parisudha).
Dalam rangka penyucian diri tersebut
diperlukan pengendalian diri (tapa)
dari nafsu-nafsu keduniawian. Pengendalian diri dilakukan untuk melepaskan diri
dari belenggu-belenggu atman yang
disebut panca klesa, yaitu awidya (kebodohan), asmita (kelakuan yang buruk), raga
(nafsu serakah), dwesa (kebencian)
dan abhinivesa (ketakutan). Klesa-klesa inilah yang menyebabkan Sang
Diri (atman) lupa (aturu) pada kesejatiannya. Oleh karena
itu, pikiran, kebijaksanaan, dan ego harus dikendalikan dari keterikatan pada
objek-objek inderawi sehingga menjadi pikiran yang berkesadaran (consciousness mind). Dalam kesadaran
inilah, Sang Diri akan dapat menemukan kembali hakikat diri sejatinya (matutur ikang atma ri jatinya).
Agar Sang
Atman tetap berada dalam kesadaran murni, maka manusia tidak boleh
melupakan pemujaan kepada Tuhan (brahmana).
Melalui api suci pemujaan, manusia dapat membakar kekotoran dirinya dan menjadi
suci-murni. Pemujaan ini dilaksanakan dalam bentuk panca yadnya (‘lima persembahan utama’), yaitu dewa yadnya, rshi yadnya, manusa yadnya, pitra yadnya, dan bhuta yadnya. Dengan mempersembahkan upacara dan upakara, manusia selalu dekat dengan Tuhan sehingga setiap gerak
langkahnya selalu mendapatkan pencerahan dari Tuhan. Dengan demikian, manusia
tidak akan melakukan perbuatan yang melenceng dari dharma.
Yadnya tidak hanya berwujud upacara
dan upacara, tetapi harus
diperluas maknanya sebagai pelayanan secara tulus-ikhlas. Kewajiban manusia
adalah melayani Tuhan, sesamanya, dan alam lingkunganya. Pelayanan kepada Tuhan
diwujudkan dengan pemujaan dan persembahan (bhakti),
serta mengikuti ajaran-ajarannya. Pelayanan kepada manusia diwujudkan dengan memupuk
rasa persabahatan (maitri), cinta
kasih (karuna), simpati dan empati
dengan sesama (mudita), membantu
tanpa pamrih (upeksa). Sementara itu,
pelayanan pada alam-lingkungan diwujudkan dengan mengasihi semua makhluk dan
menjaga kelestarian lingkungan.
Dengan memegang teguh keenam prinsip
tersebut, niscaya kehidupan akan berjalan tertib, teratur, dan harmonis. Dalam
prinsip moralitas Hindu, perbuatan baik tidak saja dimaksudkan dalam hubungan
antara manusia dengan manusia yang lain. Akan tetapi, moralitas harus dibangun
dalam diri individu karena ini mendasari seluruh tindakan manusia. Kewajiban
moral adalah menjaga pikiran, perkataan, dan tindakan sehingga tercipta
hubungan yang intim dengan Tuhan, karib dengan sesama, dan akrab dengan alam-lingkungannya.
Dengan memperkuat prinsip tri hita karana
ini, kiranya dekadensi moral yang terjadi dapat diatasi dalam pelayanan dan
cinta kasih universal “love all, serve
all” (‘cintailah semua, layanilah semua’).
C.
Penutup
Dekadensi moral adalah gejala yang
memiriskan hati segenap masyarakat, yaitu
ketika manusia mulai kehilangan kemanusiannya. Dalam upaya mengatasi dekadensi
moral tersebut diperlukan kesadaran moral yang bersumber pada diri sendiri dalam menyikapi berbagai pengaruh lingkungan.
Oleh karena itu, bait sloka dalam Nitisatakam ini kiranya dapat dijadikan
renungan secara mendalam.
Apakah keberuntungan di dunia ini? (Bergaul
dengan orang baik);
Apakah
kesedihan itu? (Bergaul dengan orang jahat);
Apakah kerugian itu? (Tidak memanfaatkan waktu dengan baik);
Apakah kepandaian itu? (Selalu berpedoman kepada agama);
Siapakah yang pemberani? (Ia yang
menang dari sebelas indrianya);
Siapakah kekasih yang sebenarnya? (Ia yang
setia);
Apakah kekayaan itu? (Pengetahuan
yang benar);
Apakah kebahagiaan itu? (Tidak tinggal di negeri orang);
Apakah pemerintahan yang baik? (Ketika
tidak ada pelanggaran).
D.
Daftar Pustaka
Bertens, K. 2002. Etika.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Depdiknas. 2005. Kamus
Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
Gunadha, Ida Bagu. 2013. Panca
Sraddha Lima Prinsip Keimanan Hindu. Denpasar: Program Pascasarjana Unhi
bekerjasama dengan Yayasan Dharma Ghosa.
Kasturi,
N. 1981. Pancaran Kasih (Prasthana Vahini) Bhagavan Shri Sathya Sai Baba. Jakarta: Yayasan Sai Centre
Indonesia.
Kadjeng,
dkk. Nyoman. 1997. Sarasamuccaya dengan Teks Bahasa Sanskerta dan Jawa Kuna. Jakarta:
Hanuman Shakti.
Mantra,
Ida Bagus. 2009. Bhagawadgita Alih Bahasa
& Terjemahan. Denpasar: Pemerintah Provinsi Bali.
Pendit,
Nyoman S. 2002. Bhagavadgita. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Pudja,
Gde. 1981. Bhagawad Gita. Jakarta:
Hanuman Sakti.
Radhakrishnan, S. 2003. Agama-Agama Timur
dan Pemikiran Barat. Denpasar: Program Magister Ilmu Agama dan Kebudayaan
Universitas Hindu Indonesia.
Raganathananda,
Swami. 1996. “Pelayanan sebagai Pemujaan”. Artikel
dalam Yajna Basis Kehidupan (Sebuah Canag Sari). Suamba, Ida Bagus
Putu. (ed), 1996. Denpasar: Warta Hindu Dharma.
Sudharta,
Tjok. Rai dan Ida Bagus Oka Punyatmaja. 2001. Upadesa: tentang Ajaran-Ajaran
Agama Hindu. Surabaya: Paramita.
Sudharta,
Tjokorda Rai. 1990. Ajaran Moral dalam
Bhagawadgita. Jakarta: Hanuman Sakti.
Sura,
I Gde. 1997. Etika dan Pengendalian Diri.
Denpasar: Pemerintah Provinsi Bali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar