MODERNITAS HARI RAYA GALUNGAN
Nanang Sutrisno
Agama dalam realitas sosiologis merupakan sesuatu yang bersifat
cair dan dinamis. Cair karena bentuknya dapat berubah mengikuti ruang tempatnya
berada. Dinamis karena agama senantiasa bergerak seiring dengan hukum-hukum
masyarakat dan perubahannya. Dalam dimensi idealnya, agama menjadi sumber nilai
yang dianut masyarakat dengan menyediakan gagasan kolektif tentang cara hidup
yang baik dan benar. Namun dalam dimensi praktisnya, juga agama tidak pernah
bebas dari penafsiran, pemahaman, serta penghayatan individu dan/atau
masyarakat. Oleh karena itu, praktik hidup beragama senantiasa bergerak
mengikuti dinamika sosial budaya yang terjadi di masyarakat.
Dewasa ini, kehidupan sosioreligius umat Hindu mengalami perubahan
yang begitu cepat, bahkan absurd seiring menguatnya hegemoni modernitas. Budaya
modern yang bertumpu pada ekonomi finansial dan merambah ke ranah ekonomi
kultural telah menyediakan tata nilai baru, serta memaksa penyesuaian nilai dan
norma dalam kehidupan masyarakat tradisional. Perubahan tersebut
dapat dilihat pada tiga tahapan, yaitu masuknya pasar ke dalam masyarakat petani, terjadinya integrasi pasar, dan ekspansi pasar. Proses ini melahirkan privatisasi berbagai praktik sosial dengan pemaknaan
yang berbeda-beda dalam konteks general[i]. Artinya, pasar telah menjadi kekuatan baru yang menentukan
pola pikir dan perilaku masyarakat dalam berbagai aspek kehidupan sosiokultural,
termasuk juga dalam religiusitas umat Hindu.
Menguatnya ideologi pasar dalam kehidupan sosioreligius umat
Hindu tampak pada berbagai momentum ritual. Mengikuti logika berpikir pasar
bahwa uang menjadi kekuatan utama yang menentukan keberhasilan ritual, bahkan
ritual itu sendiri dipandang sebagai pasar yang potensial untuk mendistribusikan
berbagai komoditas. Hal ini terlihat jelas dalam pelaksanaan hari raya Galungan
sebagai momentum rutin ritual umat Hindu, setiap 210 hari sekali. Menjelang
hari raya Galungan, berbagai alat pemenuh kebutuhan upacara Galungan menyerbu
pasar tradisional terutama di perkotaan. Malahan pinggiran jalan raya juga
berhasil disulap menjadi lokasi pasar baru oleh para pedagang musiman yang
khusus menjual sarana dan prasarana ritual Galungan. Umat Hindu pun merasa dimanjakan
dengan kondisi tersebut karena dengan uang semua urusan akan beres.
Implikasinya bahwa pemenuhan atas sarana dan prasarana
upacara menjadi orientasi utama dalam pelaksanaan Galungan, sedangkan nilai dan
makna ritual justru terpinggirkan. Kesadaran bahwa ‘alat’ lebih penting
daripada ‘hakikat’ tertanam begitu kuat dalam struktur psikis umat Hindu. Hal
ini karena perayaan Galungan dalam modernitas tidak bisa lepas dari dimensi
ekonomi finansial. Bagi masyarakat modern, ritual tidak hanya menjadi ekspresi
religius, tetapi juga bertransformasi menjadi arena perayaan hasrat individu dalam
pemaknaan seputar representasi dan citra (image)[ii].
Hal ini ditunjukkan dengan kegairahan umat Hindu dalam
mengeksplorasi berbagai aksesoris Galungan yang dipertontonkan pada panggung
depan (front stage) keberagamaan,
misalnya penjor dan busana
sembahyang. Nilai sebuah penjor kini
mulai diukur berdasarkan jumlah uang yang harus dikeluarkan untuk membuatnya.
Malahan kesan jor-joran kian terasa
ketika harga sebuah penjor terbilang
fantastis. Demikian halnya busana sembahyang saat Galungan, kerap diidentikkan
dengan busana yang harus baru dan mengikuti trend mode yang sedang berkembang. Sebaliknya,
panggung belakang (back stage)
perayaan Galungan tidak menampakkan perubahan kesadaran yang berarti. Upacara
Galungan tetap dilaksanakan sebagaimana tradisi religius yang diwarisi selama
ini, termasuk tradisi non-religius yang menyertainya seperti, mebat dan ngelawar. Aroma perayaaan hasrat melalui pesta pora dan berjudi
juga masih mewarnai pelaksanaan hari raya Galungan.
Artinya, pelaksanaan Galungan dalam konteks sosiokultural
merepresentasikan pengulangan kesadaran kolektif dan disiplin tindakan umat
Hindu yang dibingkai dalam tradisi, baik religius maupun nonreligius. Malahan hampir
seluruh energi umat Hindu dihabiskan untuk menyiapkan terlaksananya tradisi
tersebut dengan sebaik-baiknya. Bagi keluarga yang lemah secara finansial, bahkan
tradisi ini kerap dipandang sebagai beban kultural karena harus berbagi dengan
kebutuhan hidup yang lain. Memandang ritual sebagai beban tentu tidak sejalan
dengan maksud dan tujuan upacara, bahkan menjauhkan makna religius dari upacara
itu sendiri.
Perbedaan antara panggung depan dan panggung belakang dalam
pelaksanaan hari raya Galungan merupakan keniscayaan sosioreligius akibat terjadinya
pergeseran nilai dan norma dalam kehidupan masyarakat modern. Agama telah
menjadi wilayah privat sehingga setiap individu dapat meracik dan menentukan
sendiri model beragama yang dikehendaki. Hal ini bertali-kelindan dengan
semakin melemahnya tata nilai dominan yang menjadi pedoman perilaku dan
tindakan religius umat Hindu. Apabila panggung depan mewakili tanda modernitas berwujud
artefak representasi dan citra, maka panggung belakangnya tetap menjadi
representasi tradisi agraris. Padahal dalam dimensi idealnya, religiusitas
bukanlah persoalan representasi diri, melainkan ekspresi kepercayaan yang
mendasar dan sublim terhadap Realitas Tertinggi, Yang Sakral, Hyang Sangkan Paranig Sarat.
Fenomena tersebut menegaskan bahwa modernitas hari raya Galungan
telah menciptakan problematika dan paradoks dalam kehidupan beragama umat
Hindu. Hal ini tidak lepas dari realitas budaya modern yang dalam dirinya
sendiri memang bersifat paradoks. Modernitas adalah masalah sekaligus solusi[iii].
Paradoks mendasar dari modernitas terjadi pada seputar ekonomi kapitalistik
yang menempatkan ekonomi finansial sebagai basis struktur masyarakat yang
kemudian bergerak merambah ke ranah ekonomi kultural.
Mencermati fenomena tersebut, maka keberdayaan ekonomi umat
Hindu menjadi solusi atas problematika yang ditimbulkan oleh modernitas.
Kiranya gagasan ini penting digelorakan agar umat Hindu dapat berenang dalam
arus budaya modern yang sulit dibendung. Pembangunan dan pemberdayaan ekonomi
umat Hindu harus berjalan beriringan dan terintegrasi dengan upaya membangun kesadaran
kultural dan religiusitas. Mengingat tidak mungkin lagi membebaskan agama dari
struktur ekonomi sebagai basis kehidupan masyarakat modern. Tanpa kesadaran
tersebut, umat Hindu akan terus tenggelam dalam keterasingan (alienation) dan ketakberumahan (homeless) dari dunia sosial karena kegagalannya dalam mengidentifikasi diri di
tengah belantara modernitas.
Alienasi dan ketakberumahan yang melanda kedirian masyarakat
modern terjadi karena individu kehilangan tata nilai dominan sebagai pegangan
dan pedoman hidupnya. Sekali waktu, ia mengidentifikasi diri sebagai manusia modern
sehingga merasa harus beragama secara praktis, efektif, dan efisien. Di lain
waktu, ia mengidentifikasi diri sebagai manusia tradisional yang harus beragama
dengan mempertahankan tradisi yang diwarisi selama ini. Pada akhirnya, tradisi
menjadi arena penyemaian nilai-nilai modern dan ketika itu terjadi secara
massif, maka ekonomi-uang menjadi persoalan yang kerap membelit umat Hindu
dalam setiap pelaksanaan Galungan.
Alih-alih menyelami dan menghayati makna hari raya Galungan,
justru umat Hindu lebih senang berlomba-lomba untuk memenuhi aksesoris Galungan
demi representasi diri dan citra. Pada akhirnya, Galungan hanya berhenti pada
kemeriahan ritual yang mempertontonkan eksploitasi hasrat dan libido kekuasaan.
Padahal, Galungan dengan keluhuran nilai yang terkandung di dalamnya merupakan arena
transformasi diri demi terwujudnya kehidupan yang lebih bermakna pada masa
depan berlandaskan dharma. Rahayu!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar