Sabtu, 20 Agustus 2016

GALUNGAN MODERN

MODERNITAS HARI RAYA GALUNGAN

Nanang Sutrisno

Agama dalam realitas sosiologis merupakan sesuatu yang bersifat cair dan dinamis. Cair karena bentuknya dapat berubah mengikuti ruang tempatnya berada. Dinamis karena agama senantiasa bergerak seiring dengan hukum-hukum masyarakat dan perubahannya. Dalam dimensi idealnya, agama menjadi sumber nilai yang dianut masyarakat dengan menyediakan gagasan kolektif tentang cara hidup yang baik dan benar. Namun dalam dimensi praktisnya, juga agama tidak pernah bebas dari penafsiran, pemahaman, serta penghayatan individu dan/atau masyarakat. Oleh karena itu, praktik hidup beragama senantiasa bergerak mengikuti dinamika sosial budaya yang terjadi di masyarakat.
Dewasa ini, kehidupan sosioreligius umat Hindu mengalami perubahan yang begitu cepat, bahkan absurd seiring menguatnya hegemoni modernitas. Budaya modern yang bertumpu pada ekonomi finansial dan merambah ke ranah ekonomi kultural telah menyediakan tata nilai baru, serta memaksa penyesuaian nilai dan norma dalam kehidupan masyarakat tradisional. Perubahan tersebut dapat dilihat pada tiga tahapan, yaitu masuknya pasar ke dalam masyarakat petani, terjadinya integrasi pasar, dan ekspansi pasar. Proses ini melahirkan privatisasi berbagai praktik sosial dengan pemaknaan yang berbeda-beda dalam konteks general[i]. Artinya, pasar telah menjadi kekuatan baru yang menentukan pola pikir dan perilaku masyarakat dalam berbagai aspek kehidupan sosiokultural, termasuk juga dalam religiusitas umat Hindu.
Menguatnya ideologi pasar dalam kehidupan sosioreligius umat Hindu tampak pada berbagai momentum ritual. Mengikuti logika berpikir pasar bahwa uang menjadi kekuatan utama yang menentukan keberhasilan ritual, bahkan ritual itu sendiri dipandang sebagai pasar yang potensial untuk mendistribusikan berbagai komoditas. Hal ini terlihat jelas dalam pelaksanaan hari raya Galungan sebagai momentum rutin ritual umat Hindu, setiap 210 hari sekali. Menjelang hari raya Galungan, berbagai alat pemenuh kebutuhan upacara Galungan menyerbu pasar tradisional terutama di perkotaan. Malahan pinggiran jalan raya juga berhasil disulap menjadi lokasi pasar baru oleh para pedagang musiman yang khusus menjual sarana dan prasarana ritual Galungan. Umat Hindu pun merasa dimanjakan dengan kondisi tersebut karena dengan uang semua urusan akan beres.   
Implikasinya bahwa pemenuhan atas sarana dan prasarana upacara menjadi orientasi utama dalam pelaksanaan Galungan, sedangkan nilai dan makna ritual justru terpinggirkan. Kesadaran bahwa ‘alat’ lebih penting daripada ‘hakikat’ tertanam begitu kuat dalam struktur psikis umat Hindu. Hal ini karena perayaan Galungan dalam modernitas tidak bisa lepas dari dimensi ekonomi finansial. Bagi masyarakat modern, ritual tidak hanya menjadi ekspresi religius, tetapi juga bertransformasi menjadi arena perayaan hasrat individu dalam pemaknaan seputar representasi dan citra (image)[ii].
Hal ini ditunjukkan dengan kegairahan umat Hindu dalam mengeksplorasi berbagai aksesoris Galungan yang dipertontonkan pada panggung depan (front stage) keberagamaan, misalnya penjor dan busana sembahyang. Nilai sebuah penjor kini mulai diukur berdasarkan jumlah uang yang harus dikeluarkan untuk membuatnya. Malahan kesan jor-joran kian terasa ketika harga sebuah penjor terbilang fantastis. Demikian halnya busana sembahyang saat Galungan, kerap diidentikkan dengan busana yang harus baru dan mengikuti trend mode yang sedang berkembang. Sebaliknya, panggung belakang (back stage) perayaan Galungan tidak menampakkan perubahan kesadaran yang berarti. Upacara Galungan tetap dilaksanakan sebagaimana tradisi religius yang diwarisi selama ini, termasuk tradisi non-religius yang menyertainya seperti, mebat dan ngelawar. Aroma perayaaan hasrat melalui pesta pora dan berjudi juga masih mewarnai pelaksanaan hari raya Galungan.
Artinya, pelaksanaan Galungan dalam konteks sosiokultural merepresentasikan pengulangan kesadaran kolektif dan disiplin tindakan umat Hindu yang dibingkai dalam tradisi, baik religius maupun nonreligius. Malahan hampir seluruh energi umat Hindu dihabiskan untuk menyiapkan terlaksananya tradisi tersebut dengan sebaik-baiknya. Bagi keluarga yang lemah secara finansial, bahkan tradisi ini kerap dipandang sebagai beban kultural karena harus berbagi dengan kebutuhan hidup yang lain. Memandang ritual sebagai beban tentu tidak sejalan dengan maksud dan tujuan upacara, bahkan menjauhkan makna religius dari upacara itu sendiri.
Perbedaan antara panggung depan dan panggung belakang dalam pelaksanaan hari raya Galungan merupakan keniscayaan sosioreligius akibat terjadinya pergeseran nilai dan norma dalam kehidupan masyarakat modern. Agama telah menjadi wilayah privat sehingga setiap individu dapat meracik dan menentukan sendiri model beragama yang dikehendaki. Hal ini bertali-kelindan dengan semakin melemahnya tata nilai dominan yang menjadi pedoman perilaku dan tindakan religius umat Hindu. Apabila panggung depan mewakili tanda modernitas berwujud artefak representasi dan citra, maka panggung belakangnya tetap menjadi representasi tradisi agraris. Padahal dalam dimensi idealnya, religiusitas bukanlah persoalan representasi diri, melainkan ekspresi kepercayaan yang mendasar dan sublim terhadap Realitas Tertinggi, Yang Sakral, Hyang Sangkan Paranig Sarat.
Fenomena tersebut menegaskan bahwa modernitas hari raya Galungan telah menciptakan problematika dan paradoks dalam kehidupan beragama umat Hindu. Hal ini tidak lepas dari realitas budaya modern yang dalam dirinya sendiri memang bersifat paradoks. Modernitas adalah masalah sekaligus solusi[iii]. Paradoks mendasar dari modernitas terjadi pada seputar ekonomi kapitalistik yang menempatkan ekonomi finansial sebagai basis struktur masyarakat yang kemudian bergerak merambah ke ranah ekonomi kultural.
Mencermati fenomena tersebut, maka keberdayaan ekonomi umat Hindu menjadi solusi atas problematika yang ditimbulkan oleh modernitas. Kiranya gagasan ini penting digelorakan agar umat Hindu dapat berenang dalam arus budaya modern yang sulit dibendung. Pembangunan dan pemberdayaan ekonomi umat Hindu harus berjalan beriringan dan terintegrasi dengan upaya membangun kesadaran kultural dan religiusitas. Mengingat tidak mungkin lagi membebaskan agama dari struktur ekonomi sebagai basis kehidupan masyarakat modern. Tanpa kesadaran tersebut, umat Hindu akan terus tenggelam dalam keterasingan (alienation) dan ketakberumahan (homeless) dari dunia sosial karena kegagalannya dalam mengidentifikasi diri di tengah belantara modernitas.
Alienasi dan ketakberumahan yang melanda kedirian masyarakat modern terjadi karena individu kehilangan tata nilai dominan sebagai pegangan dan pedoman hidupnya. Sekali waktu, ia mengidentifikasi diri sebagai manusia modern sehingga merasa harus beragama secara praktis, efektif, dan efisien. Di lain waktu, ia mengidentifikasi diri sebagai manusia tradisional yang harus beragama dengan mempertahankan tradisi yang diwarisi selama ini. Pada akhirnya, tradisi menjadi arena penyemaian nilai-nilai modern dan ketika itu terjadi secara massif, maka ekonomi-uang menjadi persoalan yang kerap membelit umat Hindu dalam setiap pelaksanaan Galungan.
Alih-alih menyelami dan menghayati makna hari raya Galungan, justru umat Hindu lebih senang berlomba-lomba untuk memenuhi aksesoris Galungan demi representasi diri dan citra. Pada akhirnya, Galungan hanya berhenti pada kemeriahan ritual yang mempertontonkan eksploitasi hasrat dan libido kekuasaan. Padahal, Galungan dengan keluhuran nilai yang terkandung di dalamnya merupakan arena transformasi diri demi terwujudnya kehidupan yang lebih bermakna pada masa depan berlandaskan dharma. Rahayu!



[i] Abdullah, Irwan. 2006. Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hal. 16.
[ii] Jean Boudrillard dalam Storey, John. 2004. Teori Budaya dan Budaya Pop. Yogyakarta: Qalam.
[iii] Lash, Scott. 2004. Sosiologi Posmodernisme. Yogyakarta: Kanisius. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar