Selasa, 23 Agustus 2016

PERAN DESA PAKRAMAN DALAM PELESTARIAN ADAT, BUDAYA, DAN AGAMA HINDU

PERAN DESA PAKRAMAN DALAM PELESTARIAN
AGAMA HINDU DAN KEBUDAYAAN BALI

Oleh
Nanang Sutrisno, S.Ag, M.Si[1]

1.     Dinamika Kehidupan Sosial di Bali
Dasar-dasar pokok sistem sosial kemasyarakatan orang Bali menurut Geriya (2000:63) bertumpu pada empat landasan utama, yaitu kekerabatan, wilayah, agraris, dan kepentingan khusus. Ikatan kekerabatan telah membentuk sistem kekerabatan dan kelompok-kelompok kekerabatan. Sistem kekerabatan masyarakat Bali umumya berlandaskan prinsip patrilineal. Kelompok-kelompok kekerabatan merentang dari unit terkecil, yaitu keluarga inti, meluas ke unit menengah keluarga luas, sampai dengan klan patrilineal. Ikatan kesatuan wilayah terwujud dalam bentuk komunitas desa adat atau desa pakraman dengan sub-sistemnya banjar-banjar. Dalam bidang kehidupan agraris berkembang organisasi subak. Selanjutnya, dalam ikatan kelompok-kelompok kepentingan khusus terwujud sebagai organisasi (sekaa-sekaa).
Desa pakraman dalam konteks tri hita karana mengatur tiga hal pokok, yaitu (1) sukerta tata agama, artinya menata tertib hidup beragama; (2) sukerta tata pawongan, artinya menata hubungan harmonis antarkrama (manusia); dan (3) sukerta tata palemahan, artinya menata wilayah desa (tata ruang desa) agar tercipta lingkungan yang seimbang. Hal ini menunjukkan bahwa desa pakraman ditata dalam sistem pemerintahan yang simpel dan fleksibel, sederhana. Akan tetapi sukerta tata agama, pawongan, dan palemahan merupakan refleksi dari hakikat dan tujuan hidup manusia dalam perspektif Hindu. Hakikat hidup dalam pandangan Hindu merupakan kesatuan dan keseluruhan dari tiga penyebab kesejahteraan, yaitu Tuhan, manusia, dan alam (Widhi, manusa, dan bhuwana). Tujuan hidup dirumuskan dengan kesejahteraan lahir batin (sukerta sekala dan niskala) dicapai melalui formulasi catur purusa artha, yaitu dharma, artha, kama, dan moksa.
Akan tetapi, konsep ideal ini tidak mudah diwujudkan dalam konteks praksis. Masih munculnya konflik berdimensi adat seperti, bentrokan antar-banjar, perebutan setra, mengindikasikan bahwa desa pakraman di Bali harus mengadakan evaluasi,  pembelajaran, dan pendewasaan diri. Hal ini semakin berat dengan masuknya faktor-faktor eksternal seiring dengan menguatnya pengaruh globalisasi dan modernisasi. Oleh karena itu, desa pakraman sebagai pengawal adat, budaya, dan agama Hindu Bali harus diberdayakan keberadaannya agar dapat menjawab tuntutan zaman.  Jangan sampai energi desa pakraman habis untuk mengurusi konflik internal, sementara penetrasi budaya global bergerak begitu cepat dan rumit.

2.2 Peran dan Fungsi Desa Pakraman
Setidak-tidaknya, ada lima komponen utama yang membangun eksistensi desa pakraman di Bali, yaitu (1) Agama Hindu Bali sebagai sumber nilai atau jiwa desa pakraman; (2) palemahan (alam dan lingkungan) sebagai ruang berlangsungnya semua aktivitas desa pakraman; (3) pawongan (krama adat) sebagai pelaksana aktivitas adat, budaya, dan agama; (4) seni-budaya sebagai wujud aktivitas desa pakraman; (5) awig-awig sebagai seperangkat aturan yang mengatur kehidupan Desa Pakraman; dan (6) pemberdayaan ekonomi desa pakraman melalui pemberdayaan Lembaga Perkreditan Desa (LPD). Keenam komponen ini saling kait-mengait sebagai satu kesatuan sistem yang harus diberdayakan bersama untuk mewujudkan Sukertaning Tata Parhyangan, Pawongan, dan Palemahan. Masing-masing komponen tersebut dapat diuraikan sebagai berikut.
Pertama, agama Hindu Bali merupakan sumber nilai dan jiwa desa pakraman. Oleh karena itu, segala aktivitas di desa pakraman merupakan implementasi nyata dari pelaksanaan ajaran agama Hindu, baik secara individu maupun komunal. Keberadaan kahyangan tiga atau kahyangan desa sebagai syarat mutlak bagi sebuah desa pakraman semakin mempertegas makna bahwa dasar pembentukan desa pakraman adalah religiusitas. Dengan demikian, pemberdayaan Desa Pakraman harus dimulai dengan meningkatkan pemahaman krama adat terhadap ajaran agama Hindu Bali, menyangkut aspek tattwa, susila, dan acara. Dalam konteks inilah desa pakraman harus dapat menjadi pasraman bagi krama untuk mendalami dan meningkatkan sradha dan bhakti. Di samping itu, desa pakraman juga harus menjadi pusat terlaksanakannya seluruh aktivitas keagamaan Hindu dalam wujud panca yadnya.
Kedua, wilayah desa pakraman seringkali hanya dimaknai sebagai ruang material tempat manusia hidup dan beraktivitas. Wilayah palemahan desa merupakan replika kosmos di mana alam atas (swah loka), alam tengah (bwah loka) dan alam bawah (bhur loka) dipersatukan. Palemahan desa mempersatukan wilayah sakral dan profan manusia, ditandai dengan adanya pembagian wilayah untuk parhyangan, pawongan, dan palemahan. Apabila hal ini dipahami maka semua akan sepakat bahwa wilayah Desa Pakraman sesungguhnya adalah wilayah kekeran yang patut dijaga kelestariannya karena berkaitan erat dengan kehidupan manusia, baik sebagai makluk individu, makluk sosial, ataupun makluk Tuhan. Fenomena belakangan ini menunjukkan bahwa palemahan di Bali sedang mengalami persoalan yang cukup pelik. Ketika tanah tak produktif telah habis, maka lahan-lahan produktif pun tak luput dari sasaran. Akhirnya, tanah druwe desa atau palaba pura juga menjadi areal siap sewa atau siap jual. Hal ini terutama banyak terjadi di daerah padat penduduk atau destinasi wisata, seperti Denpasar dan Badung. Dengan alasan bahwa tanah druwe desa atau palaba pura sudah tidak produktif lagi, maka investor menjadi solusinya. Apabila hal ini dibiarkan, maka dampak yang ditimbulkan akan sangat merugikan, baik terhadap lingkungan, sosial, adat dan budaya Bali.
Mengingat besarnya dampak yang harus ditanggung oleh masyarakat Bali akibat alih fungsi lahan, maka jalan satu-satunya yang harus dilakukan adalah melindungi tanah Bali. Dalam konteks melindungi inilah, Desa Pakraman harus berperan aktif untuk menangkal kemungkinan terjadinya alih fungsi lahan. Langkah yang dapat dilakukan, antara lain : (1) menginventarisasi tanah druwe desa dan palaba pura; (2) Mempertegas batas wilayah kekeran, baik Kahyangan Tiga atau Kahyangan lainnya yang di-empon oleh krama; (3) Melindungi tanah produktif agar tidak beralih-fungsi; (4) Desa Pakraman harus berperan aktif dengan melakukan seleksi secara ketat terhadap proses jual-beli, terutama siapa yang membeli dan peruntukan tanah yang dibeli; dan (5) Setiap pembangunan yang akan dilakukan di wilayah Desa Pakraman harus mendapatkan persetujuan Bendesa Adat atas keputusan Paruman krama.
Ketiga, pengertian desa pakraman dibuka dengan kalimat kesatuan masyarakat (krama) hukum adat. Ini menegaskan bahwa desa pakraman adalah kumpulan orang-orang yang mengikatkan diri atas dasar kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup umat Hindu. Mengingat Desa Pakraman adalah kesatuan krama (keraman) maka unsur manusia menjadi kunci dalam pemberdayaan Desa Pakraman itu sendiri. Setidak-tidaknya, pemberdayaan krama desa pakraman harus diarahkan untuk membentuk manusia yang memiliki kecerdasan spiritual, emosional, dan intelektual. Dengan ketiga kecerdasan inilah krama Bali akan memiliki jati diri yang tangguh dalam menghadapi penetrasi budaya modern dan global. Agama Hindu adalah jiwa desa pakraman sehingga ketiga kecerdasan tersebut harus dibangun dengan pemahaman dan pendalaman nilai-nilai agama Hindu. Untuk membentuk manusia spiritual, diperlukan pemahaman yang mendalam terhadap tattwa Agama Hindu yang tertuang dalam kerangka panca sradha, dan Siwatattwa. Dalam aplikasinya, tattwa ini harus diejawantahkan dalam tindakan keagamaan melalui panca yadnya. Artinya, desa pakraman harus bisa menjamin keberlangsungan dan keberlanjutan pelaksanaan panca yadnya sebagai implementasi dari ajaran agama Hindu Bali.
Krama yang memiliki tiga kecerdasan di atas merupakan layak disebut sebagai manusia susila. Secara lebih rinci, krama desa pakraman yang susila dapat diuraikan sebagai berikut.
(a)    Subuddhi, yaitu krama desa yang berbudi luhur dan berakhlak mulia.
(b)    Susatya, yaitu krama desa yang cinta pada kebenaran dan setia kawan.
(c)    Sudharma, yaitu krama desa yang mengerti dan mampu melaksanakan tugas dan menjalankan kewajibannya.
(d)    Sukarya, yaitu krama desa yang bermental kuat dan pekerja keras.
(e)    Subhakti, yaitu krama desa yang tulus menjadi pelayan Tuhan, Alam/lingkungan, dan sesamanya.

Keempat, seni dan budaya begitu melekat pada identitas Bali dan dikenal orang dari belahan dunia manapun. Potensi seni dan budaya, serta taksu yang mengelilingi Bali, menjadikan pulau ini begitu disegani dan disenangi oleh dunia. Seni budaya ini juga, dalam beberapa dasa warsa terakhir telah menjadi potensi dominan yang menopang perekonomian Bali dan nasional melalui pengembangan kepariwisataan. Pariwisata budaya yang dikembangkan di Bali ternyata menjadi pembuka gerbang kesejahteraan masyarakat Bali. Geliat pengembangan seni-budaya Bali pada mulanya lahir dari sekaa-sekaa tradisional yang ada di Desa Pakraman, seperti sekaa subak, sekaa gong, sekaa pesantian, sekaa magenjekan, dan sebagainya. Dalam sekaa-sekaa tersebut terdapat nilai dominan yang menjadi spirit dalam berkesenian dan berkebudayaan, yakni ngayah. Oleh karena itu, desa pakraman harus dikembalikan peranannya dalam pemberdayaan seni-budaya Bali. Strategi yang dapat diterapkan dalam hal ini antara lain: (1) mengembalikan fungsi desa pakraman sebagai pusat pengembangan kesenian, tradisi, dan adat-istiadat; (2) membangkitkan kembali sekaa-sekaa tradisional di desa pakraman; dan (3) mendorong pemerintah agar menunjuk sekaa-sekaa lokal untuk mewakili Bali dalam berbagai event, baik lokal, nasional, maupun internasional. 

2.3 Tantangan Agama dan Budaya Hindu di Bali
Seiring dengan menguatnya pengaruh modernisasi dan budaya global, desa pakraman sebagai lembaga adat yang merepresentasikan tata nilai tradisional tentu akan menghadapi berbagai masalah dan tantangan. Menurut teori-teori modernisasi, perubahan sosial yang terjadi di masyarakat dapat diamati dari tingginya mobilitas penduduk, tingginya aktivitas pertukaran barang dan jasa, cepatnya perputaran uang, menjamurnya etalase-etalase kapitalis (seperti Mall, Ruko, Bar, Restoran, dll), dan sebagainya. Kemudian secara kultural, masyarakat modern dicirikan dengan menguatnya gaya hidup (life style) dan pencitraan diri (image). Selain itu, juga menguatnya pengarus nilai-nilai modern, seperti individualistis, materialistis, praksis (efektif dan efisien), demokratis, dan ketergantungan pada penggunaan informasi dan teknologi dalam berbagai bidang kehidupannya.
Kultur modern ini menyebabkan terjadinya benturan antara nilai modern dan tradisional dalam kehidupan di desa pakraman, sebagai berikut.
(1)  Dualitas desa (dinas dan adat) kerapkali menimbulkan masalah akibat kurang jelasnya job description masing-masing, juga tidak jarang muncul masalah dalam penarikan retribusi sumber-sumber ekonomi.
(2)  Benturan antara kepentingan ekonomi (pekerjaan/matapencaharian) dengan aktivitas adat yang frekuensinya cukup tinggi.  Selain itu, ketidakmampuan penduduk lokal dalam bersaing dengan pendatang (new comers) terutama dalam perebutan sektor-sektor ekonomi berujung pada anggapan bahwa adat memberatkan masyarakat dan menjadi penghalang untuk maju.
(3)  Munculnya pemikiran-pemikiran rasional dan radikal dari agen-agen perubahan di masyarakat, baik dari kalangan karismatik, intelektual, maupun pemilik kapital yang tidak jarang bertentangan dengan pemikiran tradisional.
(4)  Rasionalisasi awig-awig, yakni dipandang setaraf dengan sumber hukum positif menjadikan desa pakraman menerapkan aturan yang kaku kepada krama, bahkan untuk hal-hal yang dapat diselesaikan dengan musyawarah.
(5)  Fanatisme terhadap desa pakraman sendiri yang berlebihan sehingga mudah memicu selisih paham dengan desa pakraman  yang lain.
(6)  Masuknya kepentingan-kepentingan politik dan ekonomi ke desa pakraman.
(7)  Masuknya aliran-aliran keagamaan baru yang pelaksanaannya lebih praktis dan tidak menyita banyak waktu, menjadi alternatif bagi krama yang tidak mampu mengikuti padatnya aktivitas panca yadnya di desa pakraman.
(8)  Dicabutnya Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1957, yakni dihapusnya pengadilan adat Bali (raad van kertha) semakin melemahkan posisi adat dalam hubungannya dengan sengketa hukum. Misalnya, kasus pencurian pratima, sengketa tanah pelaba pura, pelanggaran radius kawasan suci, masalah perkawinan, perceraian, pengangkatan sentana, hak waris, tanah ayahan desa dan beberapa kasus adat lainnya diposisikan sebagai kasus hukum murni yang diselesaikan dengan hukum positif. Hal ini dapat mencederai rasa keadilan, terlebih lagi rasa agama dari krama adat karena dimensi adat di Bali erat kaitannya dengan agama Hindu.

4. Revitalisasi Peran dan Fungsi Desa Pakraman
 Salah satu kekuasaan yang dimiliki oleh desa pakraman sebagai institusi otonom adalah menetapkan Awig-awig berdasarkan musyawarah (paruman) krama. Awig-awig adalah seperangkat aturan yang menjadi panduan segala aktivitas yang dilaksanakan di desa pakraman. Awig-awig mengatur tiga landasan filosofis kebudayaan Bali, yakni Parhyangan, Pawongan, dan Palemahan. Melalui awig-awig, tata parhyangan, pawongan, dan palemahan ini diatur dan diarahkan untuk mencapai sukertha (seimbang, serasi, dan harmonis). Pada kenyatannya, awig-awig di satu desa pakraman biasanya berbeda dengan awig-awig di desa lainnya. Untuk itu, perlu dipikirkan untuk membuat aturan yang sama bagi semua desa adat di Bali untuk hal-hal khusus, seperti.
(a)   Di Bidang Parhyangan, perlu dipikirkan untuk membuat satu Awig-awig  seragam untuk seluruh Desa Pakraman di Bali, terutama berkaitan dengan persoalan-persoalan keagamaan yang seringkali menimbulkan kontroversi, seperti Manak salah, Nganten Negen, Salah Pati - Ulah Pati, dan sebagainya. Hal ini penting dilakukan agar setiap Desa Pakraman di Bali memiliki persepsi yang sama dalam menyikapi masalah-masalah keagamaan yang cukup krusial tersebut. Untuk menyusun Awig-awig di bidang Parhyangan ini buku “Seminar Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-aspek Agama Hindu” dapat dijadikan sebagai panduan.
(b)  Di bidang Pawongan, persoalan krusial yang sedang dihadapi Bali terutama adalah krama tamiu. Perbedaan Awig-awig antara daerah yang satu dengan yang lain, terkadang menimbulkan kerancuan dalam memperlakukan krama tamiu. Di satu desa pakraman bisa sangat longgar, tetapi di daerah yang lain bisa sangat ketat. Untuk itu perlu ada kesepakatan dari seluruh desa pakraman di Bali untuk dituangkan ke dalam awig-awig.
(c)   Di bidang Palemahan, ada persoalan krusial yang dihadapi Bali, yakni alih fungsi lahan dan pelanggaran radius kesucian Pura.
Di samping itu, pemberdayaan LPD hendaknya diarahkan untuk menopang perekonomian desa pakraman berdasarkan nilai-nilai ekonomi Hindu. Lembaga ekonomi Hindu setidaknya memiliki tiga fungsi, yaitu fungsi dharma, fungsi artha, dan fungsi kama. Fungsi dharma bahwa LPD mampu berkontribusi kepada desa pakraman (misalnya, masalah pendanaan) dalam pelaksanaan panca yadnya. Akan menjadi sebuah kebanggaan dan pertanda keberhasilan bila LPD telah mampu membiayai seluruh kegiatan yadnya di Desa Pakraman, misalnya karya di kahyangan tiga, sehingga umat tidak lagi terberatkan secara finansial dalam melaksanakan ajaran agama. Fungsi artha (fungsi investasi) bahwa LPD harus dikelola dengan baik sehingga modal yang dimiliki terus berkembang. Untuk itu, keberadaan LPD harus didukung sepenuhnya oleh krama desa pakraman. Di sinilah muncul hubungan timbal-balik yang saling menguntungkan, bahwa LPD dibesarkan oleh Desa Pakraman dan Desa Pakraman dimandirikan oleh LPD. Fungsi kama bahwa LPD dapat membuka lebih banyak peluang kerja bagi seluruh krama Desa Pakraman sehingga seluruh masyarakat adat memperoleh kesempatan yang sama untuk menikmati hidup yang layak. Peluang kerja yang dimaksud bahwa LPD mampu menyediakan modal kerja kepada krama yang mau berkembang. Apabila LPD dan Desa Pakraman telah mampu bekerjasama dalam membangun ekonomi masyarakat adat, niscaya segala kegiatan adat, budaya, dan agama akan dapat berlangsung dengan baik. Dengan demikian, ajegnya LPD bermakna ajegnya Desa Pakraman, dan ini artinya ajegnya Bali.
Pemberdayaan desa pakraman sebagai institusi otonom yang memiliki kekuasaan untuk menyelenggarakan rumah tangganya sendiri. Otonomi itu meliputi, otonom dalam membuat aturan-aturan (Awig-awig) sendiri; otonom dalam menjalankan organisasi yang telah mentradisi, dan otonom dalam penerapan aturan-aturan yang telah dibuat dan disepakati bersama melalui paruman desa. Dalam upaya pemberdayaan desa pakraman, sinergitas dengan pemerintah sangat diperlukan, tetapi bukan untuk menghegemoni desa pakraman sehingga kehilangan semangat otonomnya. Pembinaan yang dilakukan oleh pemerintah, serta pemberian perangsang berupa intensif atau sumbangan pembangunan, hendaknya diarahkan untuk meningkatkan gairah Desa Pakraman dalam melaksanakan swadharma-nya menjaga ketertiban, ketenteraman, dan keamanan masyarakat, serta terwujudnya sukerthaning tata parhyangan, pawongan, dan palemahan.

Daftar  Bacaan
Astra, I Gde. Semadi, Aron Meko Mbete, Ida Bagus Puja Astawa, I Nyoman Darma Putra, 2003, Guratan Budaya dalam Persepektif Multi Kultural, Denpasar : Kerja sama Program Studi Magister dan Doktor Kajian Budaya, Linguistik, dan Jurusan Antropologi, Fakultas Sastra dan Budaya Ubiversitas Udayana, dan CV Bali Media.

Atmadja, Nengah Bawa. 2005. “Bali Pada Era Globalisasi: Pula Seribu Pura Tidak Seindah Penampilannya”, Singaraja: Hasil Penelitian belum diterbitkan.

Geria, I Wayan. 2000. Transformasi Kebudayaan Bali Memasuki Abad  XXI, Denpasar: Percetakan Bali.

Gunadha, Ida Bagus. 2008. Pemberdayaan Desa Pakraman Sebagai Strategi Kebertahanan Adat, Budaya, dan Agama Hindu Bali. Denpasar: Kerjasama Kanwil Departemen Agama Prov. Bali dan UNHI Denpasar.

Oka, I Gusti Ngurah. 2001. Himpunan Peraturan Tentang Pemberdayaan Desa Pakraman di Bali.. Denpasar: Majelis Pembina Lembaga Adat Provinsi Bali.

Keputusan Paruman Para Wiku dalam Loksabha V Parisada Dharma Hindu Bali 28 Januari 2007. Piagam Campuhan Tentang Identitas Agama Hindu Bali. Gianyar: Pura Samuhan Tiga.

Putra, Ida Bagus. 2005. Hilangnya Peran Masyarakat Agraris Mengamcan Ajeg Bali. Orasi Ilmiah dalam Dies Natalis dan Wisuda Sarjana UNHI Denpasar.

Windia, Wayan P. 2008. Bali Mawacara: Gagasan Satu Hukum Adat (Awig-Awig) dan Pemerintahan di Bali. Denpasar: Pusat Penelitian Hukum Adat Universitas Udayana bekerjasama dengan Penerbit Pelawa Sari Denpasar.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar