PERAN DESA PAKRAMAN DALAM
PELESTARIAN
AGAMA HINDU DAN
KEBUDAYAAN BALI
Oleh
Nanang Sutrisno, S.Ag, M.Si[1]
1.
Dinamika Kehidupan Sosial di
Bali
Dasar-dasar pokok sistem sosial
kemasyarakatan orang Bali menurut Geriya
(2000:63) bertumpu pada empat landasan utama, yaitu kekerabatan, wilayah,
agraris, dan kepentingan khusus. Ikatan kekerabatan telah membentuk sistem
kekerabatan dan kelompok-kelompok kekerabatan. Sistem kekerabatan masyarakat
Bali umumya berlandaskan prinsip patrilineal.
Kelompok-kelompok kekerabatan merentang dari unit terkecil, yaitu keluarga
inti, meluas ke unit menengah keluarga luas, sampai dengan klan patrilineal. Ikatan kesatuan wilayah
terwujud dalam bentuk komunitas desa adat atau desa pakraman dengan sub-sistemnya banjar-banjar. Dalam bidang kehidupan agraris berkembang organisasi
subak. Selanjutnya, dalam ikatan kelompok-kelompok kepentingan khusus terwujud
sebagai organisasi (sekaa-sekaa).
Desa pakraman dalam
konteks tri hita karana mengatur tiga hal pokok, yaitu (1) sukerta tata agama, artinya menata tertib hidup beragama; (2) sukerta tata pawongan, artinya menata
hubungan harmonis antarkrama
(manusia); dan (3) sukerta tata palemahan,
artinya menata wilayah desa (tata ruang desa) agar tercipta lingkungan yang
seimbang. Hal ini menunjukkan bahwa desa
pakraman ditata dalam sistem pemerintahan yang simpel dan fleksibel,
sederhana. Akan tetapi sukerta tata
agama, pawongan, dan palemahan
merupakan refleksi dari hakikat dan tujuan hidup manusia dalam perspektif
Hindu. Hakikat hidup dalam pandangan Hindu merupakan kesatuan dan keseluruhan
dari tiga penyebab kesejahteraan, yaitu Tuhan, manusia, dan alam (Widhi, manusa, dan bhuwana). Tujuan hidup dirumuskan dengan kesejahteraan lahir batin
(sukerta sekala dan niskala) dicapai
melalui formulasi catur purusa artha,
yaitu dharma, artha, kama, dan moksa.
Akan tetapi, konsep ideal ini tidak mudah
diwujudkan dalam konteks praksis. Masih munculnya konflik berdimensi adat seperti,
bentrokan antar-banjar, perebutan setra, mengindikasikan bahwa desa pakraman di Bali harus mengadakan
evaluasi, pembelajaran, dan pendewasaan
diri. Hal ini semakin berat dengan
masuknya faktor-faktor eksternal seiring dengan menguatnya pengaruh globalisasi
dan modernisasi. Oleh karena itu, desa
pakraman sebagai pengawal adat, budaya, dan agama Hindu Bali harus
diberdayakan keberadaannya agar dapat menjawab tuntutan zaman. Jangan sampai energi desa pakraman habis untuk mengurusi konflik internal, sementara
penetrasi budaya global bergerak begitu cepat dan rumit.
2.2 Peran dan Fungsi Desa Pakraman
Setidak-tidaknya, ada lima komponen utama yang membangun
eksistensi desa pakraman di Bali,
yaitu (1) Agama Hindu Bali sebagai sumber nilai atau jiwa desa pakraman; (2) palemahan (alam
dan lingkungan) sebagai ruang berlangsungnya semua aktivitas desa pakraman; (3) pawongan (krama adat)
sebagai pelaksana aktivitas adat, budaya, dan agama; (4) seni-budaya sebagai wujud aktivitas desa pakraman; (5) awig-awig sebagai
seperangkat aturan yang mengatur kehidupan Desa
Pakraman; dan (6) pemberdayaan ekonomi desa
pakraman melalui pemberdayaan Lembaga Perkreditan Desa (LPD). Keenam
komponen ini saling kait-mengait sebagai satu kesatuan sistem yang harus
diberdayakan bersama untuk mewujudkan Sukertaning
Tata Parhyangan, Pawongan, dan Palemahan.
Masing-masing komponen tersebut dapat diuraikan sebagai berikut.
Pertama, agama Hindu Bali merupakan sumber nilai dan jiwa desa pakraman. Oleh karena itu, segala
aktivitas di desa pakraman merupakan
implementasi nyata dari pelaksanaan ajaran agama Hindu, baik secara individu
maupun komunal. Keberadaan kahyangan tiga atau kahyangan desa sebagai syarat mutlak
bagi sebuah desa pakraman semakin
mempertegas makna bahwa dasar pembentukan desa
pakraman adalah religiusitas. Dengan demikian, pemberdayaan Desa Pakraman harus dimulai dengan
meningkatkan pemahaman krama adat terhadap
ajaran agama Hindu Bali, menyangkut aspek tattwa,
susila, dan acara. Dalam konteks
inilah desa pakraman harus dapat
menjadi pasraman bagi krama untuk mendalami dan meningkatkan sradha dan bhakti. Di samping itu, desa
pakraman juga harus menjadi pusat terlaksanakannya seluruh aktivitas
keagamaan Hindu dalam wujud panca yadnya.
Kedua, wilayah desa pakraman seringkali
hanya dimaknai sebagai ruang material tempat manusia hidup dan beraktivitas. Wilayah
palemahan desa merupakan replika
kosmos di mana alam atas (swah loka), alam tengah (bwah loka) dan alam bawah (bhur loka) dipersatukan. Palemahan desa mempersatukan wilayah
sakral dan profan manusia, ditandai dengan adanya pembagian wilayah untuk parhyangan, pawongan, dan palemahan. Apabila hal ini dipahami maka
semua akan sepakat bahwa wilayah Desa
Pakraman sesungguhnya adalah wilayah kekeran
yang patut dijaga kelestariannya karena berkaitan erat dengan kehidupan
manusia, baik sebagai makluk individu, makluk sosial, ataupun makluk Tuhan. Fenomena belakangan ini menunjukkan bahwa palemahan di Bali sedang mengalami
persoalan yang cukup pelik. Ketika tanah tak
produktif telah habis, maka lahan-lahan produktif pun tak luput dari sasaran.
Akhirnya, tanah druwe desa atau palaba pura juga menjadi areal siap sewa
atau siap jual. Hal ini terutama banyak terjadi di daerah padat penduduk atau
destinasi wisata, seperti Denpasar dan Badung. Dengan alasan bahwa tanah druwe desa atau palaba pura sudah tidak produktif lagi,
maka investor menjadi solusinya. Apabila hal ini dibiarkan, maka dampak yang
ditimbulkan akan sangat merugikan, baik terhadap lingkungan, sosial, adat dan
budaya Bali.
Mengingat besarnya dampak yang harus ditanggung oleh
masyarakat Bali akibat alih fungsi lahan, maka jalan satu-satunya yang harus
dilakukan adalah melindungi tanah Bali. Dalam konteks melindungi inilah, Desa Pakraman harus berperan aktif untuk
menangkal kemungkinan terjadinya alih fungsi lahan. Langkah yang dapat
dilakukan, antara lain : (1) menginventarisasi tanah druwe desa dan palaba pura; (2)
Mempertegas batas wilayah kekeran, baik
Kahyangan Tiga atau Kahyangan lainnya yang di-empon oleh krama; (3) Melindungi tanah produktif agar tidak beralih-fungsi;
(4) Desa Pakraman harus berperan
aktif dengan melakukan seleksi secara ketat terhadap proses jual-beli, terutama
siapa yang membeli dan peruntukan tanah yang dibeli; dan (5) Setiap pembangunan
yang akan dilakukan di wilayah Desa Pakraman
harus mendapatkan persetujuan Bendesa
Adat atas keputusan Paruman krama.
Ketiga, pengertian desa pakraman
dibuka dengan kalimat kesatuan masyarakat (krama) hukum adat. Ini menegaskan bahwa desa pakraman adalah kumpulan orang-orang yang mengikatkan diri
atas dasar kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup umat Hindu.
Mengingat Desa Pakraman adalah
kesatuan krama (keraman) maka unsur manusia menjadi kunci dalam pemberdayaan Desa Pakraman itu sendiri. Setidak-tidaknya, pemberdayaan krama desa pakraman harus diarahkan
untuk membentuk manusia yang memiliki kecerdasan spiritual, emosional, dan
intelektual. Dengan ketiga kecerdasan inilah krama Bali akan memiliki jati diri yang tangguh dalam menghadapi
penetrasi budaya modern dan global. Agama Hindu adalah jiwa desa pakraman sehingga ketiga kecerdasan tersebut harus dibangun dengan pemahaman
dan pendalaman nilai-nilai agama Hindu. Untuk membentuk manusia spiritual,
diperlukan pemahaman yang mendalam terhadap tattwa
Agama Hindu yang tertuang dalam kerangka panca sradha, dan Siwatattwa.
Dalam aplikasinya, tattwa ini
harus diejawantahkan dalam tindakan keagamaan melalui panca yadnya. Artinya, desa
pakraman harus bisa menjamin keberlangsungan dan keberlanjutan pelaksanaan panca yadnya sebagai implementasi dari
ajaran agama Hindu Bali.
Krama yang memiliki tiga kecerdasan di atas merupakan layak
disebut sebagai manusia susila. Secara
lebih rinci, krama desa pakraman yang
susila dapat diuraikan sebagai
berikut.
(a)
Subuddhi, yaitu krama desa yang berbudi luhur dan berakhlak mulia.
(b)
Susatya, yaitu krama desa yang cinta pada kebenaran dan setia kawan.
(c)
Sudharma, yaitu krama desa yang mengerti dan mampu melaksanakan tugas dan
menjalankan kewajibannya.
(d)
Sukarya, yaitu krama desa yang bermental kuat dan pekerja keras.
(e)
Subhakti, yaitu krama desa yang tulus menjadi pelayan Tuhan, Alam/lingkungan, dan
sesamanya.
Keempat, seni dan budaya begitu melekat pada identitas Bali dan
dikenal orang dari belahan dunia manapun. Potensi seni dan budaya, serta taksu yang mengelilingi Bali, menjadikan
pulau ini begitu disegani dan disenangi oleh dunia. Seni budaya ini juga, dalam
beberapa dasa warsa terakhir telah menjadi potensi dominan yang menopang
perekonomian Bali dan nasional melalui pengembangan kepariwisataan. Pariwisata
budaya yang dikembangkan di Bali ternyata menjadi pembuka gerbang kesejahteraan
masyarakat Bali. Geliat pengembangan seni-budaya Bali pada mulanya lahir dari sekaa-sekaa tradisional yang ada di Desa Pakraman, seperti sekaa subak, sekaa gong, sekaa pesantian,
sekaa magenjekan, dan sebagainya. Dalam sekaa-sekaa
tersebut terdapat nilai dominan yang menjadi spirit dalam berkesenian dan
berkebudayaan, yakni ngayah. Oleh karena
itu, desa
pakraman harus dikembalikan peranannya dalam pemberdayaan seni-budaya Bali.
Strategi yang dapat diterapkan dalam hal ini antara lain: (1) mengembalikan
fungsi desa pakraman sebagai pusat pengembangan
kesenian, tradisi, dan adat-istiadat; (2) membangkitkan kembali sekaa-sekaa tradisional di desa pakraman; dan (3) mendorong
pemerintah agar menunjuk sekaa-sekaa lokal
untuk mewakili Bali dalam berbagai event, baik lokal, nasional, maupun internasional.
2.3 Tantangan
Agama dan Budaya Hindu di Bali
Seiring dengan menguatnya pengaruh
modernisasi dan budaya global, desa
pakraman sebagai lembaga adat yang merepresentasikan tata nilai tradisional
tentu akan menghadapi berbagai masalah dan tantangan. Menurut teori-teori
modernisasi, perubahan sosial yang terjadi di masyarakat dapat diamati dari
tingginya mobilitas penduduk, tingginya aktivitas pertukaran barang dan jasa,
cepatnya perputaran uang, menjamurnya etalase-etalase kapitalis (seperti Mall, Ruko,
Bar, Restoran, dll), dan sebagainya. Kemudian secara kultural, masyarakat
modern dicirikan dengan menguatnya gaya hidup (life style) dan pencitraan diri (image). Selain itu, juga menguatnya pengarus nilai-nilai modern, seperti individualistis, materialistis,
praksis (efektif dan efisien), demokratis, dan ketergantungan pada penggunaan
informasi dan teknologi dalam berbagai bidang kehidupannya.
Kultur modern ini menyebabkan terjadinya benturan antara nilai modern
dan tradisional dalam kehidupan di desa
pakraman, sebagai berikut.
(1) Dualitas desa (dinas dan adat) kerapkali
menimbulkan masalah akibat kurang jelasnya job
description masing-masing, juga tidak jarang muncul masalah dalam penarikan
retribusi sumber-sumber ekonomi.
(2) Benturan antara kepentingan ekonomi
(pekerjaan/matapencaharian) dengan aktivitas adat yang frekuensinya cukup
tinggi. Selain itu, ketidakmampuan
penduduk lokal dalam bersaing dengan pendatang (new comers) terutama dalam perebutan sektor-sektor ekonomi berujung
pada anggapan bahwa adat memberatkan
masyarakat dan menjadi penghalang untuk maju.
(3) Munculnya pemikiran-pemikiran rasional dan
radikal dari agen-agen perubahan di masyarakat, baik dari kalangan karismatik,
intelektual, maupun pemilik kapital yang tidak
jarang bertentangan dengan pemikiran tradisional.
(4) Rasionalisasi awig-awig, yakni dipandang
setaraf dengan sumber hukum positif menjadikan desa pakraman menerapkan aturan yang kaku kepada krama, bahkan untuk hal-hal yang dapat
diselesaikan dengan musyawarah.
(5) Fanatisme terhadap desa pakraman sendiri yang berlebihan sehingga mudah memicu selisih
paham dengan desa pakraman yang lain.
(6) Masuknya kepentingan-kepentingan politik dan
ekonomi ke desa pakraman.
(7) Masuknya aliran-aliran keagamaan baru yang
pelaksanaannya lebih praktis dan tidak menyita banyak waktu, menjadi alternatif
bagi krama yang tidak mampu mengikuti
padatnya aktivitas panca yadnya di desa pakraman.
(8) Dicabutnya Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun
1957, yakni dihapusnya pengadilan adat Bali (raad van kertha) semakin
melemahkan posisi adat dalam hubungannya dengan sengketa hukum. Misalnya, kasus
pencurian pratima, sengketa tanah pelaba pura, pelanggaran radius kawasan
suci, masalah perkawinan, perceraian,
pengangkatan sentana, hak waris,
tanah ayahan desa dan beberapa kasus
adat lainnya diposisikan sebagai kasus hukum murni yang diselesaikan dengan
hukum positif. Hal ini dapat mencederai rasa keadilan, terlebih lagi rasa agama dari krama adat karena dimensi adat di Bali erat kaitannya dengan agama
Hindu.
4. Revitalisasi Peran dan Fungsi Desa Pakraman
Salah satu kekuasaan yang dimiliki oleh desa pakraman sebagai institusi otonom
adalah menetapkan Awig-awig berdasarkan
musyawarah (paruman) krama. Awig-awig adalah seperangkat aturan yang menjadi panduan segala
aktivitas yang dilaksanakan di desa
pakraman. Awig-awig mengatur tiga landasan filosofis kebudayaan Bali, yakni
Parhyangan, Pawongan, dan Palemahan. Melalui awig-awig, tata parhyangan,
pawongan, dan palemahan ini
diatur dan diarahkan untuk mencapai sukertha
(seimbang, serasi, dan harmonis). Pada kenyatannya, awig-awig di satu desa
pakraman biasanya berbeda dengan awig-awig
di desa lainnya. Untuk itu, perlu dipikirkan untuk membuat aturan yang sama
bagi semua desa adat di Bali untuk
hal-hal khusus, seperti.
(a)
Di Bidang Parhyangan, perlu dipikirkan untuk
membuat satu Awig-awig seragam untuk seluruh Desa Pakraman di Bali, terutama
berkaitan dengan persoalan-persoalan keagamaan yang seringkali menimbulkan
kontroversi, seperti Manak salah, Nganten
Negen, Salah Pati - Ulah Pati, dan sebagainya. Hal ini penting dilakukan
agar setiap Desa Pakraman di Bali
memiliki persepsi yang sama dalam menyikapi masalah-masalah keagamaan yang
cukup krusial tersebut. Untuk menyusun Awig-awig
di bidang Parhyangan ini buku
“Seminar Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-aspek Agama Hindu” dapat dijadikan
sebagai panduan.
(b)
Di bidang Pawongan, persoalan krusial yang sedang
dihadapi Bali terutama adalah krama
tamiu. Perbedaan Awig-awig antara
daerah yang satu dengan yang lain, terkadang menimbulkan kerancuan dalam
memperlakukan krama tamiu. Di satu desa pakraman bisa sangat longgar,
tetapi di daerah yang lain bisa sangat ketat. Untuk itu perlu ada kesepakatan
dari seluruh desa pakraman di Bali
untuk dituangkan ke dalam awig-awig.
(c)
Di bidang Palemahan, ada persoalan krusial yang
dihadapi Bali, yakni alih fungsi lahan dan pelanggaran radius kesucian Pura.
Di samping
itu, pemberdayaan LPD hendaknya diarahkan untuk menopang perekonomian desa pakraman berdasarkan nilai-nilai
ekonomi Hindu. Lembaga ekonomi Hindu setidaknya memiliki tiga fungsi, yaitu
fungsi dharma, fungsi artha, dan fungsi kama. Fungsi dharma bahwa
LPD mampu berkontribusi kepada desa
pakraman (misalnya, masalah pendanaan) dalam pelaksanaan panca yadnya.
Akan menjadi sebuah kebanggaan dan pertanda keberhasilan bila LPD telah mampu
membiayai seluruh kegiatan yadnya di Desa Pakraman, misalnya karya di kahyangan tiga, sehingga umat tidak lagi terberatkan secara
finansial dalam melaksanakan ajaran agama. Fungsi artha (fungsi
investasi) bahwa LPD harus
dikelola dengan baik sehingga modal yang dimiliki terus berkembang. Untuk itu,
keberadaan LPD harus didukung sepenuhnya oleh krama desa pakraman. Di sinilah muncul hubungan timbal-balik yang
saling menguntungkan, bahwa LPD dibesarkan oleh Desa Pakraman dan Desa
Pakraman dimandirikan oleh LPD. Fungsi kama bahwa LPD dapat membuka lebih banyak peluang kerja bagi seluruh krama
Desa Pakraman sehingga seluruh masyarakat adat memperoleh kesempatan yang
sama untuk menikmati hidup yang layak. Peluang kerja yang dimaksud bahwa
LPD mampu menyediakan modal kerja kepada krama
yang mau berkembang. Apabila LPD dan Desa
Pakraman telah mampu bekerjasama dalam membangun ekonomi masyarakat adat, niscaya
segala kegiatan adat, budaya, dan agama akan dapat berlangsung dengan baik.
Dengan demikian, ajegnya LPD bermakna ajegnya Desa Pakraman, dan ini artinya ajegnya Bali.
Pemberdayaan desa
pakraman sebagai institusi otonom yang memiliki kekuasaan untuk
menyelenggarakan rumah tangganya sendiri. Otonomi itu meliputi, otonom dalam
membuat aturan-aturan (Awig-awig)
sendiri; otonom dalam menjalankan organisasi yang telah mentradisi, dan otonom dalam penerapan aturan-aturan yang telah dibuat
dan disepakati bersama melalui paruman
desa. Dalam upaya pemberdayaan desa
pakraman, sinergitas dengan pemerintah
sangat diperlukan, tetapi bukan untuk menghegemoni desa pakraman sehingga kehilangan semangat otonomnya. Pembinaan yang dilakukan oleh
pemerintah, serta pemberian perangsang berupa intensif atau sumbangan
pembangunan, hendaknya diarahkan untuk meningkatkan gairah Desa Pakraman dalam melaksanakan swadharma-nya menjaga ketertiban, ketenteraman, dan keamanan masyarakat,
serta terwujudnya sukerthaning tata
parhyangan, pawongan, dan palemahan.
Daftar Bacaan
Astra, I Gde. Semadi, Aron Meko
Mbete, Ida Bagus Puja Astawa, I Nyoman Darma Putra, 2003, Guratan Budaya dalam Persepektif Multi Kultural, Denpasar : Kerja
sama Program Studi Magister dan Doktor Kajian Budaya, Linguistik, dan Jurusan
Antropologi, Fakultas Sastra dan Budaya Ubiversitas Udayana, dan CV Bali Media.
Atmadja, Nengah Bawa. 2005. “Bali Pada Era Globalisasi: Pula Seribu Pura
Tidak Seindah Penampilannya”, Singaraja: Hasil Penelitian belum
diterbitkan.
Geria, I Wayan. 2000. Transformasi Kebudayaan Bali Memasuki
Abad XXI, Denpasar: Percetakan Bali.
Gunadha, Ida Bagus. 2008. Pemberdayaan Desa Pakraman
Sebagai Strategi Kebertahanan Adat, Budaya, dan Agama Hindu Bali. Denpasar: Kerjasama Kanwil Departemen Agama Prov. Bali dan
UNHI Denpasar.
Oka, I Gusti Ngurah. 2001. Himpunan Peraturan Tentang Pemberdayaan Desa
Pakraman di Bali.. Denpasar: Majelis Pembina Lembaga Adat Provinsi Bali.
Keputusan Paruman Para Wiku
dalam Loksabha V Parisada Dharma Hindu Bali 28 Januari 2007. Piagam Campuhan Tentang Identitas Agama
Hindu Bali. Gianyar: Pura Samuhan Tiga.
Putra, Ida Bagus. 2005. Hilangnya Peran Masyarakat Agraris Mengamcan
Ajeg Bali. Orasi Ilmiah dalam Dies Natalis dan Wisuda Sarjana UNHI
Denpasar.
Windia, Wayan P. 2008. Bali Mawacara: Gagasan Satu Hukum Adat
(Awig-Awig) dan Pemerintahan di Bali. Denpasar: Pusat Penelitian Hukum Adat
Universitas Udayana bekerjasama dengan Penerbit Pelawa Sari Denpasar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar