INTEGRASI IMPLISIT
PERAYAAN TAHUN BARU
Nanang
Sutrisno
Perayaan tahun baru
adalah ciri peradaban. Hampir semua peradaban besar dunia memiliki tradisi perayaan
pergantian tahun. Perayaan tahun baru dilaksanakan sejak penetapan ‘tanggal pertama’
yang dipakai acuan dalam penentuan siklus tahun suatu sistem kalender. Setiap
peradaban umumnya telah memiliki sistem kalender berdasarkan astronomi dan
astrologi yang spesifik, tetapi acapkali belum menentukan secara pasti tahun
pertama dimulainya perhitungan sistem kalender tersebut. Penetapan tahun
pertama dalam sistem kalender cenderung dilakukan belakangan dan alasan
penetapannya pun beraneka-ragam, tetapi umumnya karena peristiwa sejarah atau keyakinan
mistis-religius.
Tahun Saka ditetapkan untuk
memperingati keberhasilan Raja Kanishka I dalam mendamaikan pertikaian
suku-suku di India. Tahun baru Islam (hijriyah)
ditetapkan untuk memperingati hijrahnya Nabi Muhammad SAW dari Mekkah ke
Madinah. Tahun pertama Imlek ditetapkan oleh Kaisar Han Wudi (Dinasti Han) berdasarkan
tahun kelahiran Konfuzi (Confusius) sebagai bentuk penghormatan kepada Confusius
yang telah mencanangkan penggunaan sistem kalender dari Dinasti Xia. Sementara
itu, tahun baru Masehi ditetapkan untuk memperingati kelahiran Yesus Kristus.
Hal ini menegaskan bahwa penetapan tahun baru sarat dengan nilai yang begitu
berharga bagi suatu peradaban.
Setiap bangsa dan/atau
umat beragama memiliki tradisi perayaan tahun barunya sendiri. Akan tetapi,
hegemoni Barat dalam penetapan sistem kalender internasional berhasil
mentransformasi perayaan tahun baru Masehi sebagai tradisi yang mendunia. Dalam
perayaannya pun masyarakat mengikuti gaya Barat yang identik dengan pesta pora
yang dihiasi gemerlap cahaya kembang api, dentuman petasan, hingga
hingar-bingar musik disko. Artinya, perayaan tahun baru Masehi telah melampaui
batasan ruang dan waktu peradaban sehingga masyarakat dunia terintegrasi dalam
satu momentum pesta global. Berbeda halnya dengan perayaan tahun baru di
belahan dunia Timur, seperti perayaan tahun baru Hindu, Islam, dan China yang
cenderung dirayakan secara sektarian dengan berbagai muatan religius di
dalamnya.
Hegemoni Barat dalam
perayaan tahun baru Masehi tidak lepas dari imperialisme dan kolonialisme
budaya yang berlangsung seiring dengan modernisasi dan globalisasi. Hubungan
antarbangsa dan negara yang kian terbuka mewajibkan adanya satu sistem tanda
yang disepakati bersama oleh semua bangsa. Tanggal, bulan, dan tahun adalah
penanda waktu konvensional yang menjadi rujukan setiap bangsa dalam mencatatkan
perjalanan sejarahnya. Dalam hal ini, dunia Barat sebagai pengikut sistem
kalender Masehi berhasil merebut konvensi waktu internasional sehingga
mewajibkan bangsa-bangsa di belahan dunia yang lain untuk mengikutinya. Implikasi
dari itu semua bahwa partisipasi masyarakat non-Barat dalam perayaan tahun baru
Masehi menjadi keniscayaan kultural bagi bangsa-bangsa yang telah terhegemoni
oleh budaya Barat melalui penetapan konvensi internasional tersebut.
Pada prinsipnya, hegemoni
merupakan organisasi konsensus yang beroperasi dalam ruang kesadaran manusia. Individu
dan masyarakat yang terhegemoni kesadarannya akan menganggap bahwa berbagai
momentum sosial budaya yang dipraktikkan secara umum merupakan kewajaran dan
keniscayaan etik. Malahan dipandang tidak etis jika mereka tidak ikut
berpartisipasi dalam momentum tersebut. Artinya, semakin kuat nilai konsensus
yang dibangun oleh sebuah praktik budaya, maka semakin kuat pula praktik
hegemoni akan berlangsung di dalamnya. Proses ini tampaknya juga terjadi dalam
konteks perayaan tahun baru Masehi, di mana sebagian besar masyarakat tidak
lagi mempersoalkan latar belakang budaya perayaan tersebut. Mereka ikut dan
larut dalam kemeriahan perayaan tahun baru, bahkan menjadi tradisi tahunan yang
selalu dinantikan kehadirannya. Baik disadari maupun tidak, perayaan tahun baru
Masehi telah membangun integrasi implisit masyarakat dari berbagai latar
belakang sosial, budaya, dan agama untuk turut serta berpartisipasi di
dalamnya.
Walaupun demikian,
kesadaran manusia senantiasa berubah seiring perkembangan pengetahuan dan
pengalaman yang dicerap dari lingkugannya. Perubahan kesadaran ini membuka
ruang dan kesempatan bagi manusia untuk melakukan resistensi atau bahkan serangan
balik (counter hegemony) terhadap
berbagai praktik hegemoni yang berlangsung dalam kehidupan sosial dan
budayanya. Dalam konteks perayaan tahun baru Masehi, bentuk perlawanan ini dapat
dilihat dari munculnya wacana ‘haram’ bagi umat Islam yang merayakan tahun baru,
bahkan untuk sekedar memberikan ucapan selamat. Sebagian pihak lainnya mencoba
memberikan makna lain dengan memperlakukan perayaan tahun baru Masehi sama
dengan perayaan tahun baru agamanya, misalnya dengan menggelar ibadah dan doa
bersama. Di sisi lain, kalangan pengusaha justru melihat perayaan tahun baru
ini sebagai peluang bisnis yang dapat dieksplorasi untuk meraup pundi-pundi
keuntungan.
Berbagai tanggapan tersebut
memberikan sinyalemen bahwa kesadaran kultural yang lebih bermakna dan
produktif dalam perayaan tahun baru harus segera diupayakan. Hanya dalam
kesadaran kultural inilah momentum perayaan tahun baru Masehi dapat
didinamisasikan dengan semangat zaman, karena peluang untuk mengubah konvensi
kalender internasional sudah nyaris tertutup. Begitu juga dengan umat Hindu
yang telah melakukan integrasi implisit ke dalam kultur ini, mau tidak mau,
juga harus mengikuti konvensi tersebut dengan segala dinamikanya. Apalagi
tatanan kehidupan pada ranah sekuler seperti dunia kerja, juga telah menetapkan
sistem kalender masehi sebagai ukuran waktu kerja. Artinya, umat Hindu yang
terlibat dalam ruang sekuler-publik tersebut harus mengikuti konvensi waktu yang
berlaku. Oleh karena itu, dengan dan melalui kesadaran kultural, integrasi
implisit ini dapat diberdayakan untuk memperkuat sendi-sendi kehidupan umat
Hindu.
Agama Hindu percaya bahwa
waktu sejatinya tanpa batas (nishkala),
tetapi dunia fenomenal menampilkannya dalam siklus yang terbatas (sakala). Pergantian tahun, apapun sistem
kalender yang digunakan, hanyalah ‘tanda’ perulangan siklus waktu tersebut. Awal
bulan menuju akhir tahun dan kembali ke awal bulan lagi di tahun berikutnya,
begitu seterusnya. Walaupun demikian, manusia pada umumnya melihat perjalanan
tahun secara linear karena selalu dibatasi oleh awal dan akhir. Awal tahun
dimaknai sebagai ‘hari baru’ untuk memulai aktivitas baru yang harus diselesaikan
dan dipertanggungjawabkan pada akhir tahun. Begitu juga cara manusia memandang
kehidupannya, kelahiran dianggap sebagai awal yang bergerak menuju akhir, yakni
kematian. Dalam pemahaman linear inilah, pergantian tahun menandai perjalanan
usia manusia yang akan berhenti saat tutup usia. Jadi, merayakan pergantian
tahun adalah kesempatan manusia untuk merayakan hidupnya sekarang—kini, karena
awal tahun berikutnya adalah misteri.
Perjalanan usia manusia
ditandai dengan pertumbuhan dan perkembangan diri. Pertumbuhan ditandai dengan
perubahan fisik, sedangkan perkembangan ditandai dengan perubahan mental. Pergantian
tahun menandai bertambahnya usia, yaitu pertumbuhan dan perkembangan diri
menuju fase kehidupan yang baru. Oleh karena itu, sudah sepatutnya fase
kehidupan yang baru ini diisi dengan pembelajaran yang bermakna guna meraih
kesadaran sempurna mengenai hidup dan kehidupan. Seperti halnya Kakawin Nitisastra mengimbau manusia agar senantiasa mengisi fase-fase kehidupannya
dengan pengetahuan yang berguna (taki-takining
sewaka guna widya). Jadi, pergantian tahun dapat dimaknai sebagai momentum penyadaran
diri mengenai fase-fase kehidupan dan kewajiban yang harus dituntaskan dalam
setiap fase tersebut. Dengan kesadaran ini, perayaan tahun baru tidak hanya
berhenti pada kemeriahan yang nihil makna. Rahayu!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar