Sabtu, 20 Agustus 2016

TAHUN BARU

INTEGRASI IMPLISIT
PERAYAAN TAHUN BARU

Nanang Sutrisno

Perayaan tahun baru adalah ciri peradaban. Hampir semua peradaban besar dunia memiliki tradisi perayaan pergantian tahun. Perayaan tahun baru dilaksanakan sejak penetapan ‘tanggal pertama’ yang dipakai acuan dalam penentuan siklus tahun suatu sistem kalender. Setiap peradaban umumnya telah memiliki sistem kalender berdasarkan astronomi dan astrologi yang spesifik, tetapi acapkali belum menentukan secara pasti tahun pertama dimulainya perhitungan sistem kalender tersebut. Penetapan tahun pertama dalam sistem kalender cenderung dilakukan belakangan dan alasan penetapannya pun beraneka-ragam, tetapi umumnya karena peristiwa sejarah atau keyakinan mistis-religius.

Tahun Saka ditetapkan untuk memperingati keberhasilan Raja Kanishka I dalam mendamaikan pertikaian suku-suku di India. Tahun baru Islam (hijriyah) ditetapkan untuk memperingati hijrahnya Nabi Muhammad SAW dari Mekkah ke Madinah. Tahun pertama Imlek ditetapkan oleh Kaisar Han Wudi (Dinasti Han) berdasarkan tahun kelahiran Konfuzi (Confusius) sebagai bentuk penghormatan kepada Confusius yang telah mencanangkan penggunaan sistem kalender dari Dinasti Xia. Sementara itu, tahun baru Masehi ditetapkan untuk memperingati kelahiran Yesus Kristus. Hal ini menegaskan bahwa penetapan tahun baru sarat dengan nilai yang begitu berharga bagi suatu peradaban.

Setiap bangsa dan/atau umat beragama memiliki tradisi perayaan tahun barunya sendiri. Akan tetapi, hegemoni Barat dalam penetapan sistem kalender internasional berhasil mentransformasi perayaan tahun baru Masehi sebagai tradisi yang mendunia. Dalam perayaannya pun masyarakat mengikuti gaya Barat yang identik dengan pesta pora yang dihiasi gemerlap cahaya kembang api, dentuman petasan, hingga hingar-bingar musik disko. Artinya, perayaan tahun baru Masehi telah melampaui batasan ruang dan waktu peradaban sehingga masyarakat dunia terintegrasi dalam satu momentum pesta global. Berbeda halnya dengan perayaan tahun baru di belahan dunia Timur, seperti perayaan tahun baru Hindu, Islam, dan China yang cenderung dirayakan secara sektarian dengan berbagai muatan religius di dalamnya.

Hegemoni Barat dalam perayaan tahun baru Masehi tidak lepas dari imperialisme dan kolonialisme budaya yang berlangsung seiring dengan modernisasi dan globalisasi. Hubungan antarbangsa dan negara yang kian terbuka mewajibkan adanya satu sistem tanda yang disepakati bersama oleh semua bangsa. Tanggal, bulan, dan tahun adalah penanda waktu konvensional yang menjadi rujukan setiap bangsa dalam mencatatkan perjalanan sejarahnya. Dalam hal ini, dunia Barat sebagai pengikut sistem kalender Masehi berhasil merebut konvensi waktu internasional sehingga mewajibkan bangsa-bangsa di belahan dunia yang lain untuk mengikutinya. Implikasi dari itu semua bahwa partisipasi masyarakat non-Barat dalam perayaan tahun baru Masehi menjadi keniscayaan kultural bagi bangsa-bangsa yang telah terhegemoni oleh budaya Barat melalui penetapan konvensi internasional tersebut.

Pada prinsipnya, hegemoni merupakan organisasi konsensus yang beroperasi dalam ruang kesadaran manusia. Individu dan masyarakat yang terhegemoni kesadarannya akan menganggap bahwa berbagai momentum sosial budaya yang dipraktikkan secara umum merupakan kewajaran dan keniscayaan etik. Malahan dipandang tidak etis jika mereka tidak ikut berpartisipasi dalam momentum tersebut. Artinya, semakin kuat nilai konsensus yang dibangun oleh sebuah praktik budaya, maka semakin kuat pula praktik hegemoni akan berlangsung di dalamnya. Proses ini tampaknya juga terjadi dalam konteks perayaan tahun baru Masehi, di mana sebagian besar masyarakat tidak lagi mempersoalkan latar belakang budaya perayaan tersebut. Mereka ikut dan larut dalam kemeriahan perayaan tahun baru, bahkan menjadi tradisi tahunan yang selalu dinantikan kehadirannya. Baik disadari maupun tidak, perayaan tahun baru Masehi telah membangun integrasi implisit masyarakat dari berbagai latar belakang sosial, budaya, dan agama untuk turut serta berpartisipasi di dalamnya.

Walaupun demikian, kesadaran manusia senantiasa berubah seiring perkembangan pengetahuan dan pengalaman yang dicerap dari lingkugannya. Perubahan kesadaran ini membuka ruang dan kesempatan bagi manusia untuk melakukan resistensi atau bahkan serangan balik (counter hegemony) terhadap berbagai praktik hegemoni yang berlangsung dalam kehidupan sosial dan budayanya. Dalam konteks perayaan tahun baru Masehi, bentuk perlawanan ini dapat dilihat dari munculnya wacana ‘haram’ bagi umat Islam yang merayakan tahun baru, bahkan untuk sekedar memberikan ucapan selamat. Sebagian pihak lainnya mencoba memberikan makna lain dengan memperlakukan perayaan tahun baru Masehi sama dengan perayaan tahun baru agamanya, misalnya dengan menggelar ibadah dan doa bersama. Di sisi lain, kalangan pengusaha justru melihat perayaan tahun baru ini sebagai peluang bisnis yang dapat dieksplorasi untuk meraup pundi-pundi keuntungan.

Berbagai tanggapan tersebut memberikan sinyalemen bahwa kesadaran kultural yang lebih bermakna dan produktif dalam perayaan tahun baru harus segera diupayakan. Hanya dalam kesadaran kultural inilah momentum perayaan tahun baru Masehi dapat didinamisasikan dengan semangat zaman, karena peluang untuk mengubah konvensi kalender internasional sudah nyaris tertutup. Begitu juga dengan umat Hindu yang telah melakukan integrasi implisit ke dalam kultur ini, mau tidak mau, juga harus mengikuti konvensi tersebut dengan segala dinamikanya. Apalagi tatanan kehidupan pada ranah sekuler seperti dunia kerja, juga telah menetapkan sistem kalender masehi sebagai ukuran waktu kerja. Artinya, umat Hindu yang terlibat dalam ruang sekuler-publik tersebut harus mengikuti konvensi waktu yang berlaku. Oleh karena itu, dengan dan melalui kesadaran kultural, integrasi implisit ini dapat diberdayakan untuk memperkuat sendi-sendi kehidupan umat Hindu.

Agama Hindu percaya bahwa waktu sejatinya tanpa batas (nishkala), tetapi dunia fenomenal menampilkannya dalam siklus yang terbatas (sakala). Pergantian tahun, apapun sistem kalender yang digunakan, hanyalah ‘tanda’ perulangan siklus waktu tersebut. Awal bulan menuju akhir tahun dan kembali ke awal bulan lagi di tahun berikutnya, begitu seterusnya. Walaupun demikian, manusia pada umumnya melihat perjalanan tahun secara linear karena selalu dibatasi oleh awal dan akhir. Awal tahun dimaknai sebagai ‘hari baru’ untuk memulai aktivitas baru yang harus diselesaikan dan dipertanggungjawabkan pada akhir tahun. Begitu juga cara manusia memandang kehidupannya, kelahiran dianggap sebagai awal yang bergerak menuju akhir, yakni kematian. Dalam pemahaman linear inilah, pergantian tahun menandai perjalanan usia manusia yang akan berhenti saat tutup usia. Jadi, merayakan pergantian tahun adalah kesempatan manusia untuk merayakan hidupnya sekarang—kini, karena awal tahun berikutnya adalah misteri.

Perjalanan usia manusia ditandai dengan pertumbuhan dan perkembangan diri. Pertumbuhan ditandai dengan perubahan fisik, sedangkan perkembangan ditandai dengan perubahan mental. Pergantian tahun menandai bertambahnya usia, yaitu pertumbuhan dan perkembangan diri menuju fase kehidupan yang baru. Oleh karena itu, sudah sepatutnya fase kehidupan yang baru ini diisi dengan pembelajaran yang bermakna guna meraih kesadaran sempurna mengenai hidup dan kehidupan. Seperti halnya Kakawin Nitisastra mengimbau manusia agar senantiasa mengisi fase-fase kehidupannya dengan pengetahuan yang berguna (taki-takining sewaka guna widya). Jadi, pergantian tahun dapat dimaknai sebagai momentum penyadaran diri mengenai fase-fase kehidupan dan kewajiban yang harus dituntaskan dalam setiap fase tersebut. Dengan kesadaran ini, perayaan tahun baru tidak hanya berhenti pada kemeriahan yang nihil makna. Rahayu!!!




Tidak ada komentar:

Posting Komentar