Sabtu, 20 Agustus 2016

NYEPI

NYEPI:
SEPI ING GAWE, RAME ING NABE

Nanang Sutrisno

Nyepi adalah momentum refleksi diri. Refleksi terjadi ketika subjek mampu memantulkan kebenaran mengenai Sang Diri dalam kesadarannya. Manusia menjadi subjek yang utama karena dari semua makhluk hanya manusialah yang mampu mengkonstitusi kesadarannya sendiri. Mengingat semua institusi pembentuk kesadaran, seperti indera, pikiran, buddhi, dan ego sepenuhnya ada dalam tubuh manusia. Oleh karena itu, refleksi berlangsung dalam ruang kesadaran manusia, yaitu pengetahuan, pengalaman, kehendak, dan intuisinya. Nyepi sebagai momentum refleksi diri mengisyaratkan berlangsungnya perenungan dan permenungan secara mendalam mengenai hakikat Sang Diri. Selanjutnya, hasil refleksivitas ini dapat digunakan untuk menata kembali seluruh institusi kesadaran manusia sehingga menjadi manusia yang benar-benar sadar diri.    
Sang Diri adalah asas rohani, asas jiwa, kebenaran sejati, suci murni. Pertemuannya dengan asas materi menyebabkan Sang Diri tertutupi kesadarannya, lupa pada kesejatiannya (tan patutur, aturu, papa wyamoha). Dalam dunia fenomenal, Sang Diri seolah-olah ikut terlibat dalam semua aktivitas badan (materi) sehingga menampakkan ‘jiwa-jiwa’ yang labil, tenggelam dalam suka-duka, dan larut dalam perubahan. Ketika kehidupan manusia dikendalikan dan ditentukan oleh kesadaran material, maka manusia semakin dijauhkan dari kesadaran rohani, tak lagi mengenali Sang Diri Sejati. Padahal semua tindakan yang hanya didasari oleh kesadaran material, akibat yang ditimbulkan adalah ikatan dan belenggu samsara. Belenggu inilah yang menghalangi Sang Diri menemukan kembali kesejatiannya (matutur ri jatinya) dan memustahilkan tercapainya pembebasan sejati (moksa).
Mengingat belenggu Sang Diri tercipta dari kesadaran materi yang sifatnya ilusif (maya) sehingga refleksivitas yang pertama dan utama dilakukan adalah menyadari kembali institusi pembentuk kesadaran. Institusi yang paling kasar adalah indriya, baik karmendriya (‘unsur-unsur gerak’) maupun budhindriya (‘unsur-unsur penyadar’). Indera-indera inilah yang berhubungan dengan objek sehingga memancing subjek untuk memikirkan dan menghendaki objek-objek tersebut. Pikiran yang mengkonstitusi objek, lalu membedakan sifat dan jenis objek tersebut dan mengirimnya untuk mendapat pertimbangan buddhiBuddhi memiliki kemampuan mempertimbangkan (wiweka jnana) baik-buruk, benar-salah, objek tersebut, sedangkan ego (ahamkara) berfungsi menghasratkannya. Seluruh proses ini mengkonstitusi pengetahuan, pengalaman, dan intuisi manusia mengenai objek-objek material, serta mendisposisikan tindakan yang akan dilakukan.
Untuk merefleksikan kesadaran rohani dalam seluruh proses kesadaran tersebut, maka hakikat Sang Diri harus disadari kembali. Sang Diri adalah mahasuci sehingga penyucian diri menjadi tindakan yang direkomendasikan. Secara simbolis, proses penyucian diri ini diwujudkan dalam upacara melasti dan tawur kasanga. Melis atau melasti yang dilaksanakan di sumber-sumber air terutama laut, bertujuan untuk menghanyutkan semua kekotoran diri (mikrokosmos) dan alam (makrokosmos), lalu mengambil intisari kehidupan di tengah samudera (‘anganyutaken papa klesa letehing bhuwana, angamet sarining tirta amerta kamandalu ri telenging samudera’).
Prosesi nyepi selanjutnya adalah tawur kasanga yang dikatagorikan sebagai upacara bhuta yadnya. Secara umum. upacara ini bertujuan menetralisir semua pengaruh jahat (bhuta) dan ditransformasikan menjadi kekuatan penggerak kebaikan. Konsep ‘somya’ dalam proses tawur kasanga jelas mengusung gagasan transformatif karena sifat-sifat keraksasaan ‘bhuta’ diubah (disomya) agar menjadi sifat-sifat kedewataan ‘dewa’. Upacara bhuta yadnya ini dilanjutkkan dengan pangrupukan yang dilaksanakan oleh masing-masing keluarga. Tak jauh berbeda dengan makna ajaran tawur kasanga, juga prosesi ini bertujuan nyomya kekuatan bhuta dalam lingkup keluarga.
Gagasan transformasi diri mengisyaratkan proses pembelajaran secara terus menerus, tanpa putus (‘taki-takining sewaka gunawidya’). Misalnya, kebodohan (awidya) ditransformasikan sebagai kekuatan meraih kecerdasan (widya) dengan menjadikan diri pembelajar. Artinya, nyepi dengan prosesi bhuta yadnya-nya mengajak seluruh umat manusia agar menjadi pembelajar yang tak kenal lelah. Kehidupan adalah guru terbaik! Kehidupan adalah seni bertahan hidup, memperindah hidup, dan memanfaatkan hidup agar berguna bagi semesta. Apabila hakikat kehidupan adalah hidup itu sendiri (hidup: jiv), maka Sang Diri adalah inti hidup (jivatman). Berguru pada kehidupan adalah berguru pada Sang Diri, Sang Guru Sejati.
Puncak pelaksanaan nyepi adalah catur brata penyepian. Ada empat aktivitas utama yang tidak boleh dilakukan pada hari ini, yaitu tidak menyalakan api (amati gni), tidak bekerja (amati karya), tidak bepergian (amati lalungan), dan tidak bersenang-senang (amati lalanguan). Apabila dicermati lebih jauh bahwa seluruh aktivitas tersebut berhubungan dengan institusi-institusi pembentuk kesadaran manusia. Kesadaran yang mengkonstitusi tindakan (karma) inilah yang harus dikenali dan dikendalikan – di dalam dan melalui refleksivitas serta transformasi diri. Dalam konteks ini, menyadari hakikat kerja dengan berguru pada Sang Diri Sejati merupakan refleksi nyepi yang penting dipahami.
Menyepikan diri dari aktivitas kerja yang diajarkan dalam catur brata panyepian merupakan penghentian kerja yang didasari oleh kesadaran materi. Padahal hakikat Sang Diri yang paling mungkin dikenali manusia adalah satyam (‘kebenaran’), sivam (‘kesucian’), dan sundaram (‘keindahan’). Jadi, ketiga hakikat inilah yang semestinya menjadi kesadaran rohani yang mendasari seluruh aktivitas kerja (karma). Berkenaan dengan itu, manggala Kakawin Arjuna Wiwaha meneladankan seorang pendeta utama yang telah melampaui kesunyataan (‘sang paramartha pandita, huwus limpat sangkeng sunyata’). Sang Paramartha Pandita menggambarkan kondisi jivanmukti, yaitu orang yang mencapai kelepasan dari semua belenggu material. Kewajiban seorang yang telah mencapai jivanmukti adalah menciptakan kebahagiaan dunia melalui kerja tanpa pamrih (’tan sangkeng wisaya prayojananira, lwir sanggraheng lokika, siddhaning yasa wirya, sukaning rat kininkin nira’). Inilah kesadaran karma kanda yang utama.
Dijelaskan dalam bait selanjutnya bahwa seorang karmin atau penganut karma kanda adalah orang yang selalu berbuat baik (’sang akarya hayu’) dengan berpegang teguh (‘ulah apagêh’) pada rasa, àgama, dan buddhi, secara tepat (têpêt). Ketiga kesadaran inilah yang selalu diupayakan dengan benar ”amuter tutur pinahayu’, karena ketiganya adalah penyebab kebahagiaan lahir dan batin, bila ditemukan (sukhàbhyudaya niskala yan katêmu). Melalui olah rasa, orang mengalami keindahan (sundaram); melalui olah àgama, orang mengalami kesucian (sivam); dan melalui olah buddhi, orang mengalami kebenaran dan kebijaksanaan (satyam). Ketiga kesadaran inilah yang mendasari tindakan (karma) dan pelayanan (bhakti) sang jivanmukti, yaitu menjadi laku utama.
Nyepi sebagai momentum refleksi diri adalah mengendalikan semua aktivitas kerja (‘sepi ing gawe’) yang semata-mata hanya didasari kesadaran material. Sebaliknya, nyepi mengajarkan untuk memperbanyak berguru (‘rame ing nabe’) pada Sang Diri melalui olah rasa, olah agama, dan olah buddhi. Dengan mengikuti petunjuk Sang Diri yang suci murni, manusia dapat menyadari kembali hakikat kerja, bukan sekadar kerja untuk memuaskan indera, egoisme, dan hasrat. Kerja adalah pelayanan tanpa pamrih pada semesta alam dan semua makhluk. Tujuan puncak dari semua kesadaran rohani tersebut adalah mewujudkan ketenteraman dan kedamaian lahir batin. Hal ini sebagaimana tujuan dari  acara penutup seluruh rangkaian hari suci nyepi, yaitu dharma santi. Dharma santi patut dirayakan untuk mengekspresikan kembalinya kesadaran dharma sebagai landasan kerja yang utama. Akhirnya, selamat merayakan Nyepi 1938 Saka, rahayu!  


Tidak ada komentar:

Posting Komentar