NYEPI:
SEPI ING
GAWE, RAME ING NABE
Nanang Sutrisno
Nyepi adalah momentum refleksi diri. Refleksi terjadi ketika subjek
mampu memantulkan kebenaran mengenai Sang Diri dalam kesadarannya. Manusia
menjadi subjek yang utama karena dari semua makhluk hanya manusialah yang mampu
mengkonstitusi kesadarannya sendiri. Mengingat semua institusi pembentuk kesadaran,
seperti indera, pikiran, buddhi, dan
ego sepenuhnya ada dalam tubuh manusia. Oleh karena itu, refleksi berlangsung
dalam ruang kesadaran manusia, yaitu pengetahuan, pengalaman, kehendak, dan
intuisinya. Nyepi sebagai momentum
refleksi diri mengisyaratkan berlangsungnya perenungan dan permenungan secara
mendalam mengenai hakikat Sang Diri. Selanjutnya, hasil refleksivitas ini dapat
digunakan untuk menata kembali seluruh institusi kesadaran manusia sehingga
menjadi manusia yang benar-benar sadar diri.
Sang Diri adalah asas rohani, asas jiwa, kebenaran sejati,
suci murni. Pertemuannya dengan asas materi menyebabkan Sang Diri tertutupi
kesadarannya, lupa pada kesejatiannya (tan
patutur, aturu, papa wyamoha). Dalam dunia fenomenal, Sang Diri seolah-olah
ikut terlibat dalam semua aktivitas badan (materi) sehingga menampakkan ‘jiwa-jiwa’
yang labil, tenggelam dalam suka-duka, dan larut dalam perubahan. Ketika
kehidupan manusia dikendalikan dan ditentukan oleh kesadaran material, maka
manusia semakin dijauhkan dari kesadaran rohani, tak lagi mengenali Sang Diri
Sejati. Padahal semua tindakan yang hanya didasari oleh kesadaran material,
akibat yang ditimbulkan adalah ikatan dan belenggu samsara. Belenggu inilah yang menghalangi Sang Diri menemukan
kembali kesejatiannya (matutur ri jatinya)
dan memustahilkan tercapainya pembebasan sejati (moksa).
Mengingat belenggu Sang Diri tercipta dari kesadaran materi
yang sifatnya ilusif (maya) sehingga
refleksivitas yang pertama dan utama dilakukan adalah menyadari kembali
institusi pembentuk kesadaran. Institusi yang paling kasar adalah indriya, baik karmendriya (‘unsur-unsur gerak’) maupun budhindriya (‘unsur-unsur penyadar’). Indera-indera inilah yang
berhubungan dengan objek sehingga memancing subjek untuk memikirkan dan
menghendaki objek-objek tersebut. Pikiran yang mengkonstitusi objek, lalu
membedakan sifat dan jenis objek tersebut dan mengirimnya untuk mendapat pertimbangan
buddhi. Buddhi memiliki
kemampuan mempertimbangkan (wiweka jnana)
baik-buruk, benar-salah, objek tersebut, sedangkan ego (ahamkara) berfungsi menghasratkannya. Seluruh proses ini
mengkonstitusi pengetahuan, pengalaman, dan intuisi manusia mengenai objek-objek
material, serta mendisposisikan tindakan yang akan dilakukan.
Untuk merefleksikan kesadaran rohani dalam seluruh proses
kesadaran tersebut, maka hakikat Sang Diri harus disadari kembali. Sang Diri
adalah mahasuci sehingga penyucian diri menjadi tindakan yang direkomendasikan.
Secara simbolis, proses penyucian diri ini diwujudkan dalam upacara melasti dan tawur kasanga. Melis atau melasti
yang dilaksanakan di sumber-sumber air terutama laut, bertujuan untuk
menghanyutkan semua kekotoran diri (mikrokosmos) dan alam (makrokosmos), lalu
mengambil intisari kehidupan di tengah samudera (‘anganyutaken papa klesa letehing bhuwana, angamet sarining tirta
amerta kamandalu ri telenging samudera’).
Prosesi nyepi selanjutnya
adalah tawur kasanga yang dikatagorikan
sebagai upacara bhuta yadnya. Secara
umum. upacara ini bertujuan menetralisir semua pengaruh jahat (bhuta) dan ditransformasikan menjadi
kekuatan penggerak kebaikan. Konsep ‘somya’
dalam proses tawur kasanga jelas
mengusung gagasan transformatif karena sifat-sifat keraksasaan ‘bhuta’ diubah (disomya) agar menjadi sifat-sifat kedewataan ‘dewa’. Upacara bhuta yadnya ini
dilanjutkkan dengan pangrupukan yang
dilaksanakan oleh masing-masing keluarga. Tak jauh berbeda dengan makna ajaran tawur kasanga, juga prosesi ini
bertujuan nyomya kekuatan bhuta dalam lingkup keluarga.
Gagasan transformasi diri mengisyaratkan proses pembelajaran
secara terus menerus, tanpa putus (‘taki-takining
sewaka gunawidya’). Misalnya, kebodohan (awidya) ditransformasikan sebagai kekuatan meraih kecerdasan (widya) dengan menjadikan diri
pembelajar. Artinya, nyepi dengan
prosesi bhuta yadnya-nya mengajak
seluruh umat manusia agar menjadi pembelajar yang tak kenal lelah. Kehidupan
adalah guru terbaik! Kehidupan adalah seni bertahan hidup, memperindah hidup,
dan memanfaatkan hidup agar berguna bagi semesta. Apabila hakikat kehidupan
adalah hidup itu sendiri (hidup: jiv),
maka Sang Diri adalah inti hidup (jivatman).
Berguru pada kehidupan adalah berguru pada Sang Diri, Sang Guru Sejati.
Puncak pelaksanaan nyepi
adalah catur brata penyepian. Ada
empat aktivitas utama yang tidak boleh dilakukan pada hari ini, yaitu tidak
menyalakan api (amati gni), tidak
bekerja (amati karya), tidak
bepergian (amati lalungan), dan tidak
bersenang-senang (amati lalanguan).
Apabila dicermati lebih jauh bahwa seluruh aktivitas tersebut berhubungan
dengan institusi-institusi pembentuk kesadaran manusia. Kesadaran yang
mengkonstitusi tindakan (karma)
inilah yang harus dikenali dan dikendalikan – di dalam dan melalui
refleksivitas serta transformasi diri. Dalam konteks ini, menyadari hakikat
kerja dengan berguru pada Sang Diri Sejati merupakan refleksi nyepi yang penting dipahami.
Menyepikan diri dari aktivitas kerja yang diajarkan dalam catur brata panyepian merupakan
penghentian kerja yang didasari oleh kesadaran materi. Padahal hakikat Sang
Diri yang paling mungkin dikenali manusia adalah satyam (‘kebenaran’), sivam (‘kesucian’),
dan sundaram (‘keindahan’). Jadi,
ketiga hakikat inilah yang semestinya menjadi kesadaran rohani yang mendasari
seluruh aktivitas kerja (karma).
Berkenaan dengan itu, manggala Kakawin
Arjuna Wiwaha meneladankan seorang pendeta utama yang telah melampaui
kesunyataan (‘sang paramartha pandita,
huwus limpat sangkeng sunyata’). Sang
Paramartha Pandita menggambarkan kondisi jivanmukti, yaitu orang yang mencapai kelepasan dari semua belenggu
material. Kewajiban seorang yang telah mencapai jivanmukti adalah menciptakan kebahagiaan dunia melalui kerja tanpa
pamrih (’tan sangkeng wisaya prayojananira,
lwir sanggraheng lokika, siddhaning yasa wirya, sukaning rat kininkin nira’).
Inilah kesadaran karma kanda yang
utama.
Dijelaskan dalam bait selanjutnya bahwa seorang karmin atau penganut karma kanda adalah orang yang selalu
berbuat baik (’sang akarya hayu’)
dengan berpegang teguh (‘ulah apagêh’) pada rasa, àgama, dan buddhi,
secara tepat (têpêt). Ketiga
kesadaran inilah yang selalu diupayakan dengan benar ”amuter tutur pinahayu’, karena ketiganya adalah penyebab
kebahagiaan lahir dan batin, bila ditemukan (sukhàbhyudaya niskala yan katêmu). Melalui olah rasa, orang
mengalami keindahan (sundaram);
melalui olah àgama, orang mengalami kesucian (sivam); dan melalui olah buddhi, orang mengalami kebenaran dan kebijaksanaan (satyam). Ketiga kesadaran inilah yang mendasari tindakan (karma) dan pelayanan (bhakti) sang jivanmukti, yaitu menjadi laku utama.
Nyepi sebagai momentum refleksi diri adalah mengendalikan semua
aktivitas kerja (‘sepi ing gawe’) yang
semata-mata hanya didasari kesadaran material. Sebaliknya, nyepi mengajarkan untuk memperbanyak berguru (‘rame ing nabe’) pada Sang Diri melalui olah rasa, olah agama, dan olah
buddhi. Dengan mengikuti petunjuk Sang Diri yang suci murni, manusia dapat
menyadari kembali hakikat kerja, bukan sekadar kerja untuk memuaskan indera,
egoisme, dan hasrat. Kerja adalah pelayanan tanpa pamrih pada semesta alam dan
semua makhluk. Tujuan puncak dari semua kesadaran rohani tersebut adalah
mewujudkan ketenteraman dan kedamaian lahir batin. Hal ini sebagaimana tujuan
dari acara penutup seluruh rangkaian
hari suci nyepi, yaitu dharma santi. Dharma santi patut
dirayakan untuk mengekspresikan kembalinya kesadaran dharma sebagai landasan kerja yang utama. Akhirnya, selamat merayakan Nyepi 1938 Saka, rahayu!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar