HARI SUCI
GALUNGAN DAN KUNINGAN
Oleh
Nanang Sutrisno, S.Ag, M.Si[1]
A. Landasan
Sastra
Setiap
210 hari sekali umat Hindu di Bali merayakan hari Galungan, tepatnya pada hari
Budha Kliwon Dungulan. Salah satu ciri perayaan Galungan adalah dibuatnya
penjor pada hari Anggara Wage Dungulan. Dalam lontar Jayakasunu disebutkan
sebagai berikut.
Ring
Anggara Wage Dungulan patut apisuguh ring Ki Buta Tiga mungwing ajeng,
malarapan upacra “byakaon/tadah kala” dst…… Ring sorene patut nanceb penjor,
tegep saha rerasmenan: magantung-gantung, ubag-abig, sampian, gantungan,
jaja-jaja, abug, dodol, satuh, bakayu, bagina, tape maungkus, palawija,
palagantung, pala bungkah, pada sawentena, jinah 11 keteng… Mungwing kasuksman
penjor puniki, sapuniki: mungwing tetampen sang magama Hindu-Bali, sapadagingan
penjore, praja katur ring Hyang Batara lumingga ring Gunung Agung. Maka suksma:
ajatan bhakti, misadia ngaturang sarining tahun (sarining bhumi), dening ragane
sampun ngamikolihang upon-upon punika, saking sawah wiadin saking tegal abian.
Perayaan Galungan mulai dari
persiapan sampai dengan berakhirnya sebenarnya berjalan dalam kurun waktu yang
cukup lama yaitu mulai dari Tumpek Wariga sampai dengan Budha Kliwon Pahang.
Tumpek Wariga atau 25 hari sebelum Galungan ditandai dengan upacara yang
bermakna untuk mengingatkan tumbuh-tumbuhan agar berbuah lebat yang akan
digunakan untuk perayaan Galungan. Sementara itu dalam Himpunan Keputusan
Seminar Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-aspek Agama Hindu I – XV dijelaskan
bahwa filsafat Galungan berpusat pada pergulatan Dharma melawan A-Dharma dengan
kemenangan di pihak Dharma (1985:7). Hal ini rupanya terinspirasi dari adanya
perayaan Sradha Wijaya Dasami di India.
B. Upacara
dan Upakara
Rangkaian perayaan Galungan
sudah dimulai pada Sabtu Kliwon Wariga yang lebih dikenal dengan Tumpek Wariga.
Pada asaat ini masyarakat Hindu di Bali melakukan ritual dengan tujuan memohon
anugrah Hyang Widhi agar pohon-pohonan menghasilkan buah-buahan yang baik agar
dapat digunakan dalam perayaan Galungan yang akan dilaksanakan 25 hari
kemudian. Pada Wraspati Wage Sungsang disebut dengan Sugihan Jawa. Kata Jawa
ini mengingatkan pada bentuk biji-bijian ( kebutuhan akan pangan) yang akan
digunakan pada perayaan Galungan seperti ketan, beras dan lain sebagainya.
Keesokan harinya pada hari Sukra Kliwon Sungsang disebut Sugihan Bali. Kata
Bali dalam hal ini barangkali ada hubungannya dengan bebali yang bisa diartikan sebagai perlengkapan sandang. Redite
Paing Dungulan (panyekeban) saatnya
untuk mempersiapkan buah-buahan seperti pisang dan lain-lain agar menjadi
matang pada perayaan Galungan. Soma Pon Dungulan yang disebut juga sebagai hari
penyajaan (dari kata jaja = jajan)
saatnya membuat berbagai penganan untuk perayaan. Anggara Wage Dungulan adalah
hari penampahan Galungan, saatnya memotong hewan untuk kegiatan upacara. Hari panyekeban dimaknai sebagai
saat untuk melakukan pengekangan terhadap nafsu indriya, penyajaan dimaknai
sebagai keteguhan dan kesungguhan hati (dari kata saja = sungguh-sungguh).
Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa pada tradisi agraris perayaan Galungan
kemungkinan adalah perayaan pesta panen semacam ungkapan rasa sukur kepada
Hyang Widhi Wasa karena telah memberikan anugrahnya berupa makanan yang
berlimpah. Hal ini bisa dilihat mulai dari bentuk penjor yang berisikan berbagai bentuk hasil bumi yang
dipersembahkan kepada Hyang Giri Putri di Gunung Agung. Gunung sebagai pusat
orientasi pada agama agraris karena gunung dipandang sebagai alam dewa atau roh
suci leluhur. Gunung juga sebagai sumber kemakmuran karena hutan yang ada di
gunung memberikan sumber air untuk pertanian dan kehidupan manusia. Gunung
sebagai sthana Hyang Widhi kemudian dibuatkan replikanya dalam sistem pemujaan
sehingga memunculkan bentuk meru, tumpeng dan sebagainya.
Gunung sebagai sumber kemakmuran bagi
masyarakat dapat juga dijumpai dalam kisah pemutaran Gunung Mandara oleh para
Dewa dan Raksasa. Konon, para Dewa dan Raksasa bersepakat akan mencari Amrtha
yaitu air suci yang menyebabkan hidup kekal. Mereka kemudian menggunakan gunung
Mandara sebagai alat pemutarnya. Gunung ini kemudian dibawa ke kolam susu
dengan dialasi Bedawang (sejenis
kura-kura dengan moncong panjang). Bedawang ini berfungsi sebagai penyangga
agar gunung tidak tenggelam ketika diputar. Gunung ini kemudian dibelit dengan
naga, sehingga gunung ini dapat diputar ibaratnya gangsing. Pada bagian kepala
naga dipegang oleh para raksasa sedngkan pada bagian ekornya dipegang pada
dewa. Para dewa dan raksasa secara bergantian menarik ulur naga tersebut
sehingga menyebabkan gunung Mandara berputar seperti gangsing di kolam susu.
Setelah lama diputar maka susu mulai mengental. Setelah lama diputar maka dari
gunung Mandara kemudian keluar Dewi Sri dan Dewi Laksmi, Kuda Uccaisrawa, Manik
Kastuba, dan Amrtha. Secara hermeneutik segala sesuatu yang dihasilkan dari
pemutaran Gunung Mandara ini sebenarnya memberikan tuntunan kepada manusia
bahwa jika mereka bijaksana dalam mengelola alam ini (gunung) maka alam akan memberikan
segala yang dibutuhkan manusia seperti sandang dan pangan (Sri dan Laksmi, dan
Manik Kastuba), alat transportasi (kuda Uccaisrawa), serta kebahagian rohani
berupa Amrtha (Widyatmanta, 1958)
C. Fungsi dan Makna
Galungan adalah rarahinan jagat. Pada hari ini umat
Hindu larut dalam suka-cita menyambut kemenangan dharma. Seluruh kehidupan diabdikan untuk memberikan pelayanan
kepada Tuhan, sesama, dan alam semesta melalui aktivitas yadnya. Ruang hidup manusia dipenuhi lukisan illahi yang
menampilkan jalinan warna kebenaran (satyam),
kesucian (sivam), dan kebahagiaan (sundaram). Di sini, dharma benar-benar mendapatkan kesejatiannya menjadi dasar,
instrumen, dan tujuan hidup manusia. Momentum Galungan memang menjadi
kesempatan bagi umat Hindu untuk memperjuangkan tegaknya dharma dalam kehidupannya. Sayangnya, ritual ini kerapkali hanya
menjadi rutinitas belaka, dipandang sebagai ritual yang terberi dan terwariskan
begitu saja, sehingga makna hakikinya menjadi terabaikan. Dharma hanya dipertontonkan di dunia fenomenal, tetapi tidak pernah
menginternal dalam diri menjadi pedoman perilaku bajik.
Pemaknaan Galungan adalah
sebagai ungkapan rasa sukur kepada Hyang Widhi Wasa karena telah memberikan
anugrahNya berupa bahan sandang dan pangan yang disimbolkan dalam bentuk
penjor. Selanjutnya setelah makin kuatnya pengaruh Hindu Majapahit di Bali,
muncullah mitos tentang Raja Bali bernama Mayadanawa yang dikatakan sebagai
raja lalim yang melarang masyarakatnya melaksanakan kegiatan-kegiatan ritual
keagamaan, namun berhasil ditundukkan oleh Dewa Indra ( lihat Usana Bali, 1986;
Kusuma, 2005). Rupanya kisah ini dikaitkan dengan raja Bali yang disebut
Bedahulu yang berhasil dikalahkan oleh Gajah Mada (lihat Purana Bali Dwipa,
1986). Munculnya sebutan Bedahulu ini secara mitos dikatakan bahwa raja Bali
tersebut memiliki badan manusia tetapi berkepala babi. Berdasarkan hasil
Seminar Kesatuan Tafsir terhadap Aspek-aspek Agama Hindu yang dilaksanakan
mulai tahun 1985, Galungan ditafsirkan sebagai simbol kemenangan Dharma melawan
A Dharma.
Manusia dewasa ini makin sadar
bahwa seluruh krisis di bumi ini tidak hanya disebabkan oleh alasan material
tapi justru lebih pada sebab-sebab transendental. Dunia modern sekarang ini
tidak lagi memiliki horizon spiritual. Manusia modern melihat segala sesuatu
hanya dari sudut pandang pinggiran eksistensi, tidak pada “pusat spiritualitas
dirinya” sehingga mengakibatkan ia lupa siapa dirinya. Perhatian yang lebih
terpusat pada dunia materi memang telah memberikan kemajuan yang sangat mengangumkan,
tapi secara kualitatif dan keseluruhan tujuan hidupnya ternyata sangat dangkal.
Dekadensi atau kejatuhan manusia saat ini telah kehilangan pengetahuan tentang
dirinya, dan menjadi sangat tergantung
pada pengetahuan eksternal, yang tak langsung berhubungan dengan dirinya
(Hidayat, 2003 ).
Kecenderungan ini terjadi
karena proses rasionalisasi yang menyertai modernitas telah menciptakan
sekularisasi kesadaran dan memperlemah fungsi kanopi suci agama dari domain
kehidupan para pemeluknya, sehingga menimbulkan ketidakberartian pada diri
manusia modern. Hal-hal sakral yang berfungsi sebagai faktor sublimasi dan
penguatan eksistensi manusia, digantikan oleh hal-hal yang sertba rasional
sehingga terjadilah dekonstruksi transendensi kognisi manusia atau dengan istilah sekularisasi alam bathin
( Nashir, 1999 ). Dari paparan tersebut tampak bahwa agama diperlukan dalam
menata perilaku manusia. Hal ini menjadi penting karena pengalaman manusia yang
diperoleh dari ketidak pastian, ketidakberdayaan dan kelangkaan yang memang
merupakan karakteristik fundamental kondisi manusia. Dalam hal ini fungsi agama
adalah menyediakan dua hal. Pertama,
memberikan suatu cakrawala pandang tentang dunia luar yang tak terjangkau oleh
manusia, dalam arti di mana deprivasi dan frustasi dapat dialami sebagai
sesuatu yang mempunyai makna. Kedua,
menyediakan sarana ritual yang memungkinkan hubungan manusia dengan hal di luar
jangkauannya, yang memberikan jaminan dan keselamatan bagi manusia
mempertahankan moralnya (O’Dea, 1985).
D. Implementasi
dalam Kehidupan
Menurut Radhakrisnan, dalam
diri manusia senantiasa akan terjadi fermentasi (peragian) mental dan moral,
yaitu suatu ketegangan antara fakta dan keberadaannya sekarang dan keadaan diri
yang ingin dicapainya, antara materi yang menawarkan eksistensi dan roh yang
menempanya menjadi suatu keberadaan yang signifikan (Radhakrisnan, 2003).
Agama-agama berusaha untuk memuaskan kebutuhan fundamental manusia dengan
memberinya kepercayaan, cara hidup, suatu iman, dan suatu komunitas. Dengan demikian,
bisa memulihkan hubungan yang terputus antara dirinya dan dunia spiritual di atasnya dan dunia
manusia di sekitarnya. Kehidupan dewasa ini sekalipun secara kuantitatif telah
memberikan kenyamanan dan kenikmatan materi, ternyata belum mampu menghadirkan
kebahagiaan. Oleh karena itu manusia membutuhkan agama. Agama yang mampu
membebaskan manusia dari ketakutan, yang mampu membangkitkan keyakinan bukan
ketakutan – Abhaya. Radhakrisnan ( 2003) mengatakan bahwa:
“Ciri-ciri agama murni adalah abhaya atau terbebas dari ketakutan, pengungkapan diri dalam harmoni,
keseimbangan dan kesesuaian yang
sempurna antara tubuh dan jiwa, tangan dan otak, dan ahimsa atau kasih. Abhaya
dan ahimsa, kesadaran dan simpati, kebebasan dan kasih merupakan dua fitur
(ciri istimewa) teoritis dan praktis dari agama "
Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa manusia sangat membutuhkan agama lebih-lebih ketika mereka
mengalami problem-problem hidup. Ketika manusia menghadapi problem-problem
kemanusiaannya, mereka membutuhkan sarana penghubungan dengan Yang Maha Kuasa
yang diyakini mampu memberikannya perlindungan. Ringkasnya, secara fungsional
agama mengidentifikasikan individu dengan kelompok, menolong individu dalam
ketidakpastian, menghibur ketika dilanda kecewa, mengaitkannya dengan
tujuan-tujuan masyarakat, memperkuat moral, dan menyediakan unsur-unsur
identitas. Oleh karena itu, nilai-nilai agama harus selalu didekonstruksi, konstruksi, direkonstruksi
sehingga selalu aktual dalam membantu manusia mengatasi problema kehidupannya.
Dari paparan di atas kiranya
dapat disepakati bahwa reinterpretasi terhadap nilai-nilai agama memang
diperlukan, namun demikian harus dilakukan dengan hati-hati. Ritual adalah
sebuah ruang dan waktu bagi umat manusia untuk melakukan sublimasi agar
hidupnya menjadi lebih bermakna, sebab tantangan hidup akan selalu muncul
setiap saat. Ada saat untuk melakukan penghentian terhadap gerak hasrat yang
selalu bergerak liar bagaikan sebuah truk besar yang di lepaskan dari atas
bukit tanpa dilengkapi dengan rem. Ritual adalah pengingat, atau semacam rem agar
manusia tak terjebak dalam hiruk pikuk semarak hasrat yang bergerak tak
terkendali, sehingga dengan demikian manusia punya kesempatan untuk menyadari
kembali makna hidup dan kehidupannya.
ubag abig itu apa ya? maaf baru belajr buat penjor.
BalasHapus