Selasa, 23 Agustus 2016

GALUNGAN DAN KUNINGAN

HARI SUCI GALUNGAN DAN KUNINGAN

Oleh
Nanang Sutrisno, S.Ag, M.Si[1]


A.    Landasan Sastra
            Setiap 210 hari sekali umat Hindu di Bali merayakan hari Galungan, tepatnya pada hari Budha Kliwon Dungulan. Salah satu ciri perayaan Galungan adalah dibuatnya penjor pada hari Anggara Wage Dungulan. Dalam lontar Jayakasunu disebutkan sebagai berikut.
Ring Anggara Wage Dungulan patut apisuguh ring Ki Buta Tiga mungwing ajeng, malarapan upacra “byakaon/tadah kala” dst…… Ring sorene patut nanceb penjor, tegep saha rerasmenan: magantung-gantung, ubag-abig, sampian, gantungan, jaja-jaja, abug, dodol, satuh, bakayu, bagina, tape maungkus, palawija, palagantung, pala bungkah, pada sawentena, jinah 11 keteng… Mungwing kasuksman penjor puniki, sapuniki: mungwing tetampen sang magama Hindu-Bali, sapadagingan penjore, praja katur ring Hyang Batara lumingga ring Gunung Agung. Maka suksma: ajatan bhakti, misadia ngaturang sarining tahun (sarining bhumi), dening ragane sampun ngamikolihang upon-upon punika, saking sawah wiadin saking tegal abian.

Perayaan Galungan mulai dari persiapan sampai dengan berakhirnya sebenarnya berjalan dalam kurun waktu yang cukup lama yaitu mulai dari Tumpek Wariga sampai dengan Budha Kliwon Pahang. Tumpek Wariga atau 25 hari sebelum Galungan ditandai dengan upacara yang bermakna untuk mengingatkan tumbuh-tumbuhan agar berbuah lebat yang akan digunakan untuk perayaan Galungan. Sementara itu dalam Himpunan Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-aspek Agama Hindu I – XV dijelaskan bahwa filsafat Galungan berpusat pada pergulatan Dharma melawan A-Dharma dengan kemenangan di pihak Dharma (1985:7). Hal ini rupanya terinspirasi dari adanya perayaan Sradha Wijaya Dasami di India.  

B.    Upacara dan Upakara
Rangkaian perayaan Galungan sudah dimulai pada Sabtu Kliwon Wariga yang lebih dikenal dengan Tumpek Wariga. Pada asaat ini masyarakat Hindu di Bali melakukan ritual dengan tujuan memohon anugrah Hyang Widhi agar pohon-pohonan menghasilkan buah-buahan yang baik agar dapat digunakan dalam perayaan Galungan yang akan dilaksanakan 25 hari kemudian. Pada Wraspati Wage Sungsang disebut dengan Sugihan Jawa. Kata Jawa ini mengingatkan pada bentuk biji-bijian ( kebutuhan akan pangan) yang akan digunakan pada perayaan Galungan seperti ketan, beras dan lain sebagainya. Keesokan harinya pada hari Sukra Kliwon Sungsang disebut Sugihan Bali. Kata Bali dalam hal ini barangkali ada hubungannya dengan bebali yang bisa diartikan sebagai perlengkapan sandang. Redite Paing Dungulan (panyekeban) saatnya untuk mempersiapkan buah-buahan seperti pisang dan lain-lain agar menjadi matang pada perayaan Galungan. Soma Pon Dungulan yang disebut juga sebagai hari penyajaan (dari kata jaja = jajan) saatnya membuat berbagai penganan untuk perayaan. Anggara Wage Dungulan adalah hari penampahan Galungan, saatnya memotong hewan untuk kegiatan upacara.  Hari panyekeban dimaknai sebagai saat untuk melakukan pengekangan terhadap nafsu indriya, penyajaan dimaknai sebagai keteguhan dan kesungguhan hati (dari kata saja = sungguh-sungguh).
            Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pada tradisi agraris perayaan Galungan kemungkinan adalah perayaan pesta panen semacam ungkapan rasa sukur kepada Hyang Widhi Wasa karena telah memberikan anugrahnya berupa makanan yang berlimpah. Hal ini bisa dilihat mulai dari bentuk penjor yang berisikan berbagai bentuk hasil bumi yang dipersembahkan kepada Hyang Giri Putri di Gunung Agung. Gunung sebagai pusat orientasi pada agama agraris karena gunung dipandang sebagai alam dewa atau roh suci leluhur. Gunung juga sebagai sumber kemakmuran karena hutan yang ada di gunung memberikan sumber air untuk pertanian dan kehidupan manusia. Gunung sebagai sthana Hyang Widhi kemudian dibuatkan replikanya dalam sistem pemujaan sehingga memunculkan bentuk meru, tumpeng dan sebagainya.
Gunung sebagai sumber kemakmuran bagi masyarakat dapat juga dijumpai dalam kisah pemutaran Gunung Mandara oleh para Dewa dan Raksasa. Konon, para Dewa dan Raksasa bersepakat akan mencari Amrtha yaitu air suci yang menyebabkan hidup kekal. Mereka kemudian menggunakan gunung Mandara sebagai alat pemutarnya. Gunung ini kemudian dibawa ke kolam susu dengan dialasi  Bedawang (sejenis kura-kura dengan moncong panjang). Bedawang ini berfungsi sebagai penyangga agar gunung tidak tenggelam ketika diputar. Gunung ini kemudian dibelit dengan naga, sehingga gunung ini dapat diputar ibaratnya gangsing. Pada bagian kepala naga dipegang oleh para raksasa sedngkan pada bagian ekornya dipegang pada dewa. Para dewa dan raksasa secara bergantian menarik ulur naga tersebut sehingga menyebabkan gunung Mandara berputar seperti gangsing di kolam susu. Setelah lama diputar maka susu mulai mengental. Setelah lama diputar maka dari gunung Mandara kemudian keluar Dewi Sri dan Dewi Laksmi, Kuda Uccaisrawa, Manik Kastuba, dan Amrtha. Secara hermeneutik segala sesuatu yang dihasilkan dari pemutaran Gunung Mandara ini sebenarnya memberikan tuntunan kepada manusia bahwa jika mereka bijaksana dalam mengelola alam ini (gunung) maka alam akan memberikan segala yang dibutuhkan manusia seperti sandang dan pangan (Sri dan Laksmi, dan Manik Kastuba), alat transportasi (kuda Uccaisrawa), serta kebahagian rohani berupa Amrtha (Widyatmanta, 1958)


C. Fungsi dan Makna
Galungan adalah rarahinan jagat. Pada hari ini umat Hindu larut dalam suka-cita menyambut kemenangan dharma. Seluruh kehidupan diabdikan untuk memberikan pelayanan kepada Tuhan, sesama, dan alam semesta melalui aktivitas yadnya. Ruang hidup manusia dipenuhi lukisan illahi yang menampilkan jalinan warna kebenaran (satyam), kesucian (sivam), dan kebahagiaan (sundaram). Di sini, dharma benar-benar mendapatkan kesejatiannya menjadi dasar, instrumen, dan tujuan hidup manusia. Momentum Galungan memang menjadi kesempatan bagi umat Hindu untuk memperjuangkan tegaknya dharma dalam kehidupannya. Sayangnya, ritual ini kerapkali hanya menjadi rutinitas belaka, dipandang sebagai ritual yang terberi dan terwariskan begitu saja, sehingga makna hakikinya menjadi terabaikan. Dharma hanya dipertontonkan di dunia fenomenal, tetapi tidak pernah menginternal dalam diri menjadi pedoman perilaku bajik.
Pemaknaan Galungan adalah sebagai ungkapan rasa sukur kepada Hyang Widhi Wasa karena telah memberikan anugrahNya berupa bahan sandang dan pangan yang disimbolkan dalam bentuk penjor. Selanjutnya setelah makin kuatnya pengaruh Hindu Majapahit di Bali, muncullah mitos tentang Raja Bali bernama Mayadanawa yang dikatakan sebagai raja lalim yang melarang masyarakatnya melaksanakan kegiatan-kegiatan ritual keagamaan, namun berhasil ditundukkan oleh Dewa Indra ( lihat Usana Bali, 1986; Kusuma, 2005). Rupanya kisah ini dikaitkan dengan raja Bali yang disebut Bedahulu yang berhasil dikalahkan oleh Gajah Mada (lihat Purana Bali Dwipa, 1986). Munculnya sebutan Bedahulu ini secara mitos dikatakan bahwa raja Bali tersebut memiliki badan manusia tetapi berkepala babi. Berdasarkan hasil Seminar Kesatuan Tafsir terhadap Aspek-aspek Agama Hindu yang dilaksanakan mulai tahun 1985, Galungan ditafsirkan sebagai simbol kemenangan Dharma melawan A Dharma.
Manusia dewasa ini makin sadar bahwa seluruh krisis di bumi ini tidak hanya disebabkan oleh alasan material tapi justru lebih pada sebab-sebab transendental. Dunia modern sekarang ini tidak lagi memiliki horizon spiritual. Manusia modern melihat segala sesuatu hanya dari sudut pandang pinggiran eksistensi, tidak pada “pusat spiritualitas dirinya” sehingga mengakibatkan ia lupa siapa dirinya. Perhatian yang lebih terpusat pada dunia materi memang telah memberikan kemajuan yang sangat mengangumkan, tapi secara kualitatif dan keseluruhan tujuan hidupnya ternyata sangat dangkal. Dekadensi atau kejatuhan manusia saat ini telah kehilangan pengetahuan tentang dirinya, dan  menjadi sangat tergantung pada pengetahuan eksternal, yang tak langsung berhubungan dengan dirinya (Hidayat, 2003 ).
Kecenderungan ini terjadi karena proses rasionalisasi yang menyertai modernitas telah menciptakan sekularisasi kesadaran dan memperlemah fungsi kanopi suci agama dari domain kehidupan para pemeluknya, sehingga menimbulkan ketidakberartian pada diri manusia modern. Hal-hal sakral yang berfungsi sebagai faktor sublimasi dan penguatan eksistensi manusia, digantikan oleh hal-hal yang sertba rasional sehingga terjadilah dekonstruksi transendensi kognisi manusia  atau dengan istilah sekularisasi alam bathin ( Nashir, 1999 ). Dari paparan tersebut tampak bahwa agama diperlukan dalam menata perilaku manusia. Hal ini menjadi penting karena pengalaman manusia yang diperoleh dari ketidak pastian, ketidakberdayaan dan kelangkaan yang memang merupakan karakteristik fundamental kondisi manusia. Dalam hal ini fungsi agama adalah menyediakan dua hal. Pertama, memberikan suatu cakrawala pandang tentang dunia luar yang tak terjangkau oleh manusia, dalam arti di mana deprivasi dan frustasi dapat dialami sebagai sesuatu yang mempunyai makna. Kedua, menyediakan sarana ritual yang memungkinkan hubungan manusia dengan hal di luar jangkauannya, yang memberikan jaminan dan keselamatan bagi manusia mempertahankan moralnya (O’Dea, 1985).

D.    Implementasi dalam Kehidupan
Menurut Radhakrisnan, dalam diri manusia senantiasa akan terjadi fermentasi (peragian) mental dan moral, yaitu suatu ketegangan antara fakta dan keberadaannya sekarang dan keadaan diri yang ingin dicapainya, antara materi yang menawarkan eksistensi dan roh yang menempanya menjadi suatu keberadaan yang signifikan (Radhakrisnan, 2003). Agama-agama berusaha untuk memuaskan kebutuhan fundamental manusia dengan memberinya kepercayaan, cara hidup, suatu iman, dan suatu komunitas. Dengan demikian, bisa memulihkan hubungan yang terputus antara dirinya  dan dunia spiritual di atasnya dan dunia manusia di sekitarnya. Kehidupan dewasa ini sekalipun secara kuantitatif telah memberikan kenyamanan dan kenikmatan materi, ternyata belum mampu menghadirkan kebahagiaan. Oleh karena itu manusia membutuhkan agama. Agama yang mampu membebaskan manusia dari ketakutan, yang mampu membangkitkan keyakinan bukan ketakutan – Abhaya. Radhakrisnan ( 2003) mengatakan bahwa:
“Ciri-ciri agama murni adalah abhaya atau terbebas dari  ketakutan, pengungkapan diri dalam harmoni, keseimbangan dan kesesuaian  yang sempurna antara tubuh dan jiwa, tangan dan otak, dan ahimsa atau kasih. Abhaya dan ahimsa, kesadaran dan simpati, kebebasan dan kasih merupakan dua fitur (ciri istimewa) teoritis dan praktis dari agama "

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa manusia sangat membutuhkan agama lebih-lebih ketika mereka mengalami problem-problem hidup. Ketika manusia menghadapi problem-problem kemanusiaannya, mereka membutuhkan sarana penghubungan dengan Yang Maha Kuasa yang diyakini mampu memberikannya perlindungan. Ringkasnya, secara fungsional agama mengidentifikasikan individu dengan kelompok, menolong individu dalam ketidakpastian, menghibur ketika dilanda kecewa, mengaitkannya dengan tujuan-tujuan masyarakat, memperkuat moral, dan menyediakan unsur-unsur identitas. Oleh karena itu, nilai-nilai agama harus selalu  didekonstruksi, konstruksi, direkonstruksi sehingga selalu aktual dalam membantu manusia mengatasi problema kehidupannya.
Dari paparan di atas kiranya dapat disepakati bahwa reinterpretasi terhadap nilai-nilai agama memang diperlukan, namun demikian harus dilakukan dengan hati-hati. Ritual adalah sebuah ruang dan waktu bagi umat manusia untuk melakukan sublimasi agar hidupnya menjadi lebih bermakna, sebab tantangan hidup akan selalu muncul setiap saat. Ada saat untuk melakukan penghentian terhadap gerak hasrat yang selalu bergerak liar bagaikan sebuah truk besar yang di lepaskan dari atas bukit tanpa dilengkapi dengan rem. Ritual adalah pengingat, atau semacam rem agar manusia tak terjebak dalam hiruk pikuk semarak hasrat yang bergerak tak terkendali, sehingga dengan demikian manusia punya kesempatan untuk menyadari kembali makna hidup dan kehidupannya.

1 komentar: