HINDU DAN FILSAFAT JAWA :
MENCARI GURU
SEJATI
Dhandanggula
Ana pandhita akarya wangsit, Ada seorang pandita
memberi petunjuk,
kaya kombang anggayuh tawang, Seperti
kumbang ingin mencapai langit
susuh angin ngendi nggone, Sarang
angin dimana tempatnya
lawan galihing kangkung, juga galih
(Bali: les) Kangkung
watesane langit jaladri, batasnya
langit dan samudera,
tapake kuntul
anglayang, jejak burung
Kuntul yang terbang,
lan gigiring punglu, dan
punggungnya peluru
pinda pesating supena, ibarat sebuah
mimpi,
ing sasmita, wahyuning hyang Hodipati pertanda,
turunnya wahyu Hyang Siwa,
weh daya katentreman. (7a). memberikan kekuatan
dan ketentraman.
Mitos, mistis, dan magis seakan tak pernah lepas dalam kehidupan orang
Jawa. Semuanya menyatu dalam keyakinan orang Jawa menjadi kesatuan ngelmu dan laku untuk mendapatkan kesempurnaan hidup. Cara penyampaiannya
dengan menggunakan simbol, sanepan. Dilukiskan
dengan kata-kata yang indah dalam selubung makna yang berlapis. Bagi yang ingin
mengungkap maknanya yang terdalam maka ia harus menjadi orang yang ngelmu, yakni memiliki ilmu dan
pengalaman. Ilmu hanya mengajak
manusia memiliki pengetahuan “tentang” sesuatu, tetapi pengalaman memberikan pengetahuan “mengenai”
sesuatu. Pengalaman mistis inilah yang sesungguhnya ingin disampaikan oleh
pengarang lewat gending Dhandanggula
di atas.
(1) Mencari Guru Sejati
Dalam baris pertama sang pengarang menyampaikan bahwa ada seorang
Pandita yang memberikan petunjuk. Pandita menurut ajaran Agama Hindu adalah
orang suci lahir batin. Suci secara lahir karena telah disucikan melalui proses
diksa sehingga disebut dwijati, lahir dua kali. Kelahiran pertama dari orang tua
lahiriah (Bapak Ibu), dan kelahiran kedua dari Guru Nabe, yaitu simbol dari
Bhatara Siwa sekala. Dengan kata
lain, kesucian Sang Pandita dianugerahkan langsung oleh Bhatara Siwa melalui
Sang Guru Nabe. Kemudian, Sang Pandita juga suci secara bathin karena Beliau
telah terbebas dari ikatan nafsu keduniawian. Oleh karena itu, pikiran,
perkataan, dan perbuatan dari Sang Pandita hanya diarahkan untuk memberikan
pelayanan kepada sesama dan mengupayakan kesejahteraan dunia. Hal ini
sebagaimana diungkapkan dalam Kakawin
Arjunawiwaha, Bab I, sloka 1.
“ambek sang paramartha pandita, huwus limpad
sangkeng sunyata,
Tan sangkeng wisaya
prayojananira, lwir sangrahing lokika,
Sidhaning yasa wirya donira,
sukaningrat kininkin nira
Santosa heletan kelir sira
sangkeng sanghyang Jagatkarana”
Artinya:
Perilaku
dari Sang Pandita utama (Paramartha Pandita), yang sudah melampaui kesunyataan.
Bukanlah
kepuasan nafsu indriya yang menjadi tujuan dari segala perbuatan Beliau di
dunia ini.
(tetapi)
Segala yang Beliau lakukan, hanyalah untuk menciptakan kebahagiaan dunia.
Sentosa,
(demikianlah) Beliau hanya dibatasi oleh sebidang kelir dari Sanghyang Jagatkarana (penyebab semesta).
Inilah ciri seorang Pendeta sejati, yaitu pendeta yang telah mencapai
kesunyataan (Jiwan mukti). Kepada Pandita yang demikianlah, seseorang wajib
untuk berguru terutama mengenai kesejatian dan kesempurnaan (ngegulang kawruh
sejati). Sang Pandita yang demikian juga disebut Guru Sejati atau Guru Jagat.
Namun demikian, orang Jawa meyakini bahwa apa yang ada di luar diri
sesungguhnya juga ada di dalam diri karena antara Jagat Agung dan Jagat Alit
adalah sama. Di Jagat Agung, manusia berguru pada Sang Catur Guru, yaitu Guru
Rupaka, Guru Pengajian, Guru Wisesa, dan Guru Swadhyaya. Sementara di Jagat
Alit, manusia berguru pada Sang Diri, Ingsun kang Sejati. Sang Diri-lah Guru
Sejati itu. Inilah percakapan mistis orang Jawa mengenai Guru sejati.
Orang Jawa berkeyakinan bahwa guru yang sesungguhnya adalah Sang Diri (Atman) karena sesunggunya hakikat Atman sama dengan Brahman (Brahman Atman Aikyam).
Hanya saja ketika Atman bertemu
dengan unsur materi (prakerti), dirinya dibungkus oleh nafsu dan
keinginan (triguna) sehingga menurun kesadarannya. Dalam
kehidupan manusia, belenggu Triguna ini melahirkan suka-duka, susah-senang,
baik-buruk, benar-salah, dan seterusnya. Oleh karena itu, tugas dari manusia
adalah membebaskan Sang Diri dari belenggu nafsu dan keinginan sehingga dapat
melihat Sapa Sejatining Ingsung dan Apa Sejatining Urip. Di sinilah tujuan
tertinggi agama Hindu dapat dicapai, yakni bersatunya Atman dan Brahman
(Manunggaling Kawulo-Gusti).
Manusia yang telah berhasil mendapatkan Guru Sejati, Sang Diri, maka
dirinya akan menjadi suci. Dalam Serat Bimasuci dilukiskan bahwa saat Sang Bima
bertemu dan berguru pada Dewa Ruci yang berbentuk Bima Kunting (Bima kecil)
sesungguhnya sang Bima sedang berguru pada dirinya sendiri yang telah
tersucikan dari segala kekotoran dari segala nafsu dan keinginan. Dengan
demikian pesan yang ingin disampaikan oleh sang kawi wiku melalui gending di atas adalah proses pencarian sang diri
sejati.
Dijelaskan dalam baris kedua bahwa proses mistis untuk menemukan sang
diri sejati itu merupakan pekerjaan yang tidak mudah, ibarat seekor kumbang
ingin mencapai langit. Artinya, diperlukan proses pendakian yang panjang bagi
seorang yang ingin mencapainya. Mungkin ia akan gagal di tengah jalan, mungkin
pula ia akan menemukannya seperti halnya Sang Bima. Mengapa dikatakan tidak
mudah ? karena sang diri (atman) itu
tak tergambarkan, tak terlukiskan, kecuali melalui pengalaman langsung. Untuk
itulah yang pertama harus dilakukan oleh seorang yang ingin menemukan sang Diri
adalah mencari dan menemukan sarang angin (susuhing
angin). Sarang angin adalah sumber nafas (prana). Menemukan sumber nafas (prana)
merupakan dasar dari praktik Yoga, yaitu melalui pengaturan nafas (pranayama). Dalam pandangan mistis Jawa
ada sembilan jalannya nafas (babahan hawa
sanga), yaitu dua lubang hidung, dua lubang telinga, mulut, pusar, dubur,
kemaluan, dan ubun-ubun.
Langkah selanjutnya adalah menemukan galihing kangkung. Kata ini sepertinya sia-sia karena Kangkung
adalah tanaman yang batangnya berongga sehingga tidak mungkin ditemukan galih-nya. Di sinilah manusia yang telah
mampu menguasai semua jalannya nafas (babahan
hawa sanga: sembilan sumber udara) dan telah duduk (jenek) dalam meditasi menemukan yang “ada” dalam yang “tiada” (Ana
tan Hana). Hal ini dapat dilihat dalam bait Kakawin
Arjuna Wiwaha bahwa Tuhan akan muncul kepada seseorang yang melaksanakan
yoga Beliau menampakkan diri (ri
angambeki yoga kiteng sekala). Inilah yang harus diupayakan oleh seorang
sisya Yoga, yakni merasakan dan menemukan kehadiran Beliau dalam kekhusukan
Samadhi.
Selanjutnya, menemukan watese
langit jaladri (batasnya langit dan samudra) yang dimaksud adalah gambaran
alam semesta ini. Sampai di tingkat yoga yang lebih tinggi seseorang akan
mendapatkan kesadaran semesta, bahwa alam semesta dan tubuh manusia adalah sama
(jagat gede jumbuh klawan jagat alit).
Dalam istilah agama Hindu disebutkan bahwa dunia ini adalah bhuwana agung, sedangkan manusia
dipandang sebagai bhuwana alit. Dimaksudkan
sama di sini adalah bhuwana agung dan
bhuwana alit terbentuk dari substansi
yang sama, mengalami proses yang sama (utpeti,
stiti, pralina) dan suatu saat
kembali ke asalnya saat pralaya, ibarat
laba-laba yang menarik benang-benangnya ke dalam tubuhnya (urnanabhawat), demikian dikatakan oleh Mundaka Upanisad. Dalam
keyakinan mistis Jawa bahwa jagat alit
ana sajroning jagat agung, jagat agung ana sajroning jagat alit (bhuwana alit adalah dalam bhuwana agung, sebaliknya bhuwana agung ada dalam bhuwana alit). Ungkapan ini hanya dapat
dipahami dari sudut pandang mistis bahwa tubuh manusia berada di dalam alam
semesta, dan sebaliknya alam semesta ada di dalam diri manusia. Bahwa tubuh
manusia ada di dalam alam semesta secara empiris dapat dipahami kebenarannya,
tetapi bahwa alam semesta ada di dalam diri manusia maka perlu pemahaman yang
mendalam. Dalam Tattwa Jnana dijelaskan
bahwa segala yang ada di bhuwana agung, sesungguhnya
ada dalam bhuwana alit. Jika di dalam
Bhuwana agung terdapat sapta loka, sapta patala, sapta parwata,
sapta arnawa, dan sapta dwipa, maka
di dalam tubuh manusia juga terdapat itu semua. Oleh karena itu dalam pandangan
mistik Jawa, demikian juga Hindu menyatakan bahwa dengan memahami tubuh manusia
secara utuh dan menyeluruh sesungguhnya manusia telah mengalami keberadaan alam
semesta di dalam dirinya. Dalam cerita Mahabharata, saat Sri Krisna bertriwikrama di hadapan Arjuna maka
tampaklah gambaran alam semesta di dalam dirinya. Dengan kesadaran inilah maka
seorang Yogi tidak akan sulit menemukan batasnya langit dan samudra.
Kesadaran selanjutnya adalah menemukan tapaking kuntul anglayang (jejak burung Kuntul yang terbang).
Mencari jejak burung yang terbang di udara, lagi-lagi merupakan hal yang tidak
masuk akal karena secara kasat mata tak teramati. Bagi dunia mistis Jawa yang
penuh dengan simbol (sanepan), “burung” merupakan simbol roh,
sedangkan “kuntul” adalah simbol suci. Hal ini dapat dirujuk dari salah satu
bait kidung Jawa lainnya, sebagai berikut “umpama
manuk mabur, lepas sakeng kurunganeki, pundi mencoke mbenjang, aja kongsi
keliru, upama wong jan sinanjan, ora wurung mesti bali mulih, mring asal
kamulannya” (ibarat burung terbang, lepas dari sangkarnya, dimana
bersinggahnya besuk, jangan sampai keliru, seumpama orang sedang berkunjung ke
tetangga, pasti akan kembali ke asal mulanya). Jadi, digunakannya kata “burung
kuntul” dimaksudkan dengan perjalanan roh suci. Perjalanan roh suci ini harus
dipahami oleh orang yang melaksanakan mistis agar ia tidak salah jalan. Seorang
mistikus harus memahami asal dan tujuan dari perjalanan roh suci. Asal dari Brahman kembali ke Brahman. Jadi, dalam mistis asal dan tujuan sesungguhnya tidaklah
berbeda. Sampai di kesadaran ini maka sang atman
tidak akan salah jalan untuk menemukan kembali asal mulanya.
Kesadaran tentang perjalanan roh suci tersebut dipertegas lagi oleh
baris selanjutnya, yaitu gigiring punglu (punggungnya
peluru). Peluru berbentuk bulat tidak lain adalah simbol cakra manggilingan yang tidak akan ditentukan punggugnya sebab ia tidak
berpunggung, karena semua adalah punggung. Seseorang akan dapat menentukan
punggung dari sebuah bulatan, jika dan hanya jika lingkaran itu berhenti dan ia
dengan bebas dapat menentukan mana punggung dan mana perut. Sebab, selama
lingkaran itu tetap berputar maka punggung dan perut akan selalu bergantian
sehingga tiada satupun di antara keduanya dapat disebut punggung. Dalam
keyakinan Hindu, yang selalu berputar (cakra
manggilingan) itu adalah lingkaran
samsara. Lingkaran samsara dijelaskan
dalam Bhagavad Gita sebagai perpindahan roh dari tubuh yang satu menuju tubuh
yang lain secara terus-menerus, dari tubuh yang telah rusak ke tubuh yang baru.
Menurut Wrehaspati Tattwa bahwa proses samsara
ini akan berhenti tatkala sang roh menemukan kembali kesadarannya (matutur ikang atma ri jatinia). Sang
diri sejati yang telah kembali kesadarannya mengenai asal mula dan tujuannya
akan memutus lingkaran samsara dan
mencapai kebahagiaan tertinggi.
Setelah sang yogi telah sampai pada kesadaran tertinggi maka ia akan
menemukan kebahagiaan tertinggi dalam sebuah ekstasi spiritual. Keadaan ini
berlangsung sangat singkat yang diibaratkan oleh pengarang seperti pinda pesating supena (ibarat munculnya
sebuah impian). Mungkin pengarang tak mampu melukiskan pengalaman pada tingkat
kesadaran tertinggi itu sehingga ia hanya mengungkapkan puncak mistis itu
ibarat sebuah mimpi. Bagi manusia yang
telah mencapai tingkatan kesadaran melalui proses yoga seperti penguasaan
nafas, kesadaran eksistensi keillahian,
kesadaran semesta, kesadaran atman,
dan kesadaran tumimbal lahir (samsara)
maka sesungguhnya mereka telah mencapai tingkat kesadaran paramakaiwalya. Dalam tingkat kesadaran paramakaiwalya ini manusia telah sampai pada puncak kesadaran
tertinggi, yakni alam Paramasiwa. Semua
anugerah akan terpenuhi, ia dapat membebaskan dirinya dari proses samsara dan mencapai moksa. Sang mistikus yang telah sampai
di alam ini oleh Kakawin Arjunawiwaha disebut
sebagai pandita huwus limpad sakeng
sunyata (Pendeta yang telah melampaui kesunyataan), keadaan beliau hanya
dibatasi oleh tirai yang sangat tipis dengan Sang Hyang Jagatkarana (santosa heletan kelir sira sangkeng
sanghyang Jagatkarana).
Sang kawi menikmati keadaan ini sebagai pertanda turunnya wahyu dari
Sang Hodipati. Wahyu yang diinginkan dan diterima oleh beliau tiada lain adalah
kekuatan (daya) dan ketentraman. Ini
menunjukkan bahwa setelah melampaui alam samadhi,
maka sang yogi kembali kepada kesadaran awalnya bahwa beliau adalah manusia
yang memiliki swadharma hidup sebagai
manusia sehingga yang beliau perlukan adalah anugerah berupa kekuataan dan
ketentraman. Tentunya anugrah kekuatan dan ketentraman itu tiada lain digunakan
untuk kesejahteraan dan kebahagiaan semua makluk. Dalam Kakawin Arjunawiwaha disebutkan donira
sukanikang rat kininkinira (tujuan beliau adalah mengupayakan kebahagiaan
dunia).
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kidung Dhandanggula di atas
merupakan karya sastra mistis Jawa. Tema yang diangkat oleh pengarang kidung
tersebut tiada lain adalah Raja yoga,
oleh masyarakat Jawa disebut semedi. Yoga
atau semedi adalah proses spiritual
untuk menuju kesadaran atman. Dalam
pelaksanaannya seorang Yogi dituntun untuk memulai dari penguasaan nafas (prana), memahami eksistensi illahi dan
eksistensi semesta (bhuwana agung dan
bhuwana alit), eksistensi roh (atman), dan eksistensi tumimbal lahir (samsara). Dari pemahaman mengenai semua
eksistensi rohani tersebut maka seorang Yogi akan menuju kesadaran esensial,
yaitu kesadaran atman. Bagi seorang
Yogi telah sampai kepada kesadaran atman,
semua anugerah akan datang. Anugerah yang dimaksud tiada lain adalah dharma, artha, kama, dan moksa. Seorang Yogi telah membunuh egoisme dalam dirinya sehingga
semua anugerah yang didapatkan diwujudkan dalam swadharmanya untuk memberikan kesejahteraan dan kebahagiaan semua
makluk (sarwa prani hitangkara).
Referensi
Pendukung :
Endraswara, Suwardi. 2003. Mistik Kejawen. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Mehta, Rohit. 2005.
Bertemu Tuhan Dalam Diri. Denpasar :
Sarad
Mulder, Neils. 2007. Mistisisme
Jawa: Ideologi Indonesia. Yogyakarta: LkiS
Mulyono, Sri. 1981. Simbolisme
dan Mistisisme Wayang. Jakarta: CV Haji Mas Agung
Sura,dkk. I Gde. 2003. Siwatattwa. Denpasar: Pemerintah Propinsi Bali.
Teeuw, A. 1984. Sastra
dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.
Tim. Penyusun. Tt. Kakawin
Arjunawiwaha. Singaraja: Yayasan A.A. Panji Tisna.
Yasa, I Wayan Suka. 2006. Yajna Sang Kawi. Artikel. Dimuat dalam Majalah Dharmasmerti.
Denpasar: Universitas Hindu Indonesia.
Zoetmulder, P.J. 2000. Manunggaling Kawula lan Gusti. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar