Selasa, 23 Agustus 2016

HINDU DAN FILSAFAT JAWA

HINDU DAN FILSAFAT JAWA :
MENCARI GURU SEJATI

Dhandanggula

Ana pandhita akarya wangsit,                        Ada seorang pandita memberi petunjuk,
kaya kombang anggayuh tawang,                  Seperti kumbang ingin mencapai langit
susuh angin ngendi nggone,                           Sarang angin dimana tempatnya
lawan galihing kangkung,                              juga galih (Bali: les) Kangkung
watesane langit jaladri,                                  batasnya langit dan samudera,       
tapake kuntul anglayang,                               jejak burung Kuntul yang terbang,
lan gigiring punglu,                                        dan punggungnya peluru
pinda pesating supena,                                   ibarat sebuah mimpi,
ing sasmita, wahyuning hyang Hodipati        pertanda, turunnya wahyu Hyang Siwa,
weh daya katentreman. (7a).                          memberikan kekuatan dan ketentraman.

Mitos, mistis, dan magis seakan tak pernah lepas dalam kehidupan orang Jawa. Semuanya menyatu dalam keyakinan orang Jawa menjadi kesatuan ngelmu dan laku untuk mendapatkan kesempurnaan hidup. Cara penyampaiannya dengan menggunakan simbol, sanepan. Dilukiskan dengan kata-kata yang indah dalam selubung makna yang berlapis. Bagi yang ingin mengungkap maknanya yang terdalam maka ia harus menjadi orang yang ngelmu, yakni memiliki ilmu dan pengalaman. Ilmu hanya mengajak manusia memiliki pengetahuan “tentang” sesuatu, tetapi pengalaman memberikan pengetahuan “mengenai” sesuatu. Pengalaman mistis inilah yang sesungguhnya ingin disampaikan oleh pengarang lewat gending Dhandanggula di atas.

(1) Mencari Guru Sejati
Dalam baris pertama sang pengarang menyampaikan bahwa ada seorang Pandita yang memberikan petunjuk. Pandita menurut ajaran Agama Hindu adalah orang suci lahir batin. Suci secara lahir karena telah disucikan melalui proses diksa sehingga disebut dwijati, lahir dua kali. Kelahiran pertama dari orang tua lahiriah (Bapak Ibu), dan kelahiran kedua dari Guru Nabe, yaitu simbol dari Bhatara Siwa sekala. Dengan kata lain, kesucian Sang Pandita dianugerahkan langsung oleh Bhatara Siwa melalui Sang Guru Nabe. Kemudian, Sang Pandita juga suci secara bathin karena Beliau telah terbebas dari ikatan nafsu keduniawian. Oleh karena itu, pikiran, perkataan, dan perbuatan dari Sang Pandita hanya diarahkan untuk memberikan pelayanan kepada sesama dan mengupayakan kesejahteraan dunia. Hal ini sebagaimana diungkapkan dalam Kakawin Arjunawiwaha, Bab I, sloka 1.
ambek sang paramartha pandita, huwus limpad sangkeng sunyata,
Tan sangkeng wisaya prayojananira, lwir sangrahing lokika,
Sidhaning yasa wirya donira, sukaningrat kininkin nira
Santosa heletan kelir sira sangkeng sanghyang Jagatkarana”

Artinya:
Perilaku dari Sang Pandita utama (Paramartha Pandita), yang sudah melampaui kesunyataan.
Bukanlah kepuasan nafsu indriya yang menjadi tujuan dari segala perbuatan Beliau di dunia ini.
(tetapi) Segala yang Beliau lakukan, hanyalah untuk menciptakan kebahagiaan dunia.
Sentosa, (demikianlah) Beliau hanya dibatasi oleh sebidang kelir dari Sanghyang Jagatkarana (penyebab semesta).

Inilah ciri seorang Pendeta sejati, yaitu pendeta yang telah mencapai kesunyataan (Jiwan mukti). Kepada Pandita yang demikianlah, seseorang wajib untuk berguru terutama mengenai kesejatian dan kesempurnaan (ngegulang kawruh sejati). Sang Pandita yang demikian juga disebut Guru Sejati atau Guru Jagat. Namun demikian, orang Jawa meyakini bahwa apa yang ada di luar diri sesungguhnya juga ada di dalam diri karena antara Jagat Agung dan Jagat Alit adalah sama. Di Jagat Agung, manusia berguru pada Sang Catur Guru, yaitu Guru Rupaka, Guru Pengajian, Guru Wisesa, dan Guru Swadhyaya. Sementara di Jagat Alit, manusia berguru pada Sang Diri, Ingsun kang Sejati. Sang Diri-lah Guru Sejati itu. Inilah percakapan mistis orang Jawa mengenai Guru sejati.
Orang Jawa berkeyakinan bahwa guru yang sesungguhnya adalah Sang Diri (Atman) karena sesunggunya hakikat Atman sama dengan Brahman (Brahman Atman Aikyam). Hanya saja ketika Atman bertemu dengan unsur materi (prakerti), dirinya dibungkus oleh nafsu dan keinginan (triguna) sehingga menurun kesadarannya. Dalam kehidupan manusia, belenggu Triguna ini melahirkan suka-duka, susah-senang, baik-buruk, benar-salah, dan seterusnya. Oleh karena itu, tugas dari manusia adalah membebaskan Sang Diri dari belenggu nafsu dan keinginan sehingga dapat melihat Sapa Sejatining Ingsung dan Apa Sejatining Urip. Di sinilah tujuan tertinggi agama Hindu dapat dicapai, yakni bersatunya Atman dan Brahman (Manunggaling Kawulo-Gusti).
Manusia yang telah berhasil mendapatkan Guru Sejati, Sang Diri, maka dirinya akan menjadi suci. Dalam Serat Bimasuci dilukiskan bahwa saat Sang Bima bertemu dan berguru pada Dewa Ruci yang berbentuk Bima Kunting (Bima kecil) sesungguhnya sang Bima sedang berguru pada dirinya sendiri yang telah tersucikan dari segala kekotoran dari segala nafsu dan keinginan. Dengan demikian pesan yang ingin disampaikan oleh sang kawi wiku melalui gending di atas adalah proses pencarian sang diri sejati.
Dijelaskan dalam baris kedua bahwa proses mistis untuk menemukan sang diri sejati itu merupakan pekerjaan yang tidak mudah, ibarat seekor kumbang ingin mencapai langit. Artinya, diperlukan proses pendakian yang panjang bagi seorang yang ingin mencapainya. Mungkin ia akan gagal di tengah jalan, mungkin pula ia akan menemukannya seperti halnya Sang Bima. Mengapa dikatakan tidak mudah ? karena sang diri (atman) itu tak tergambarkan, tak terlukiskan, kecuali melalui pengalaman langsung. Untuk itulah yang pertama harus dilakukan oleh seorang yang ingin menemukan sang Diri adalah mencari dan menemukan sarang angin (susuhing angin). Sarang angin adalah sumber nafas (prana). Menemukan sumber nafas (prana) merupakan dasar dari praktik Yoga, yaitu melalui pengaturan nafas (pranayama). Dalam pandangan mistis Jawa ada sembilan jalannya nafas (babahan hawa sanga), yaitu dua lubang hidung, dua lubang telinga, mulut, pusar, dubur, kemaluan, dan ubun-ubun.
Langkah selanjutnya adalah menemukan galihing kangkung. Kata ini sepertinya sia-sia karena Kangkung adalah tanaman yang batangnya berongga sehingga tidak mungkin ditemukan galih-nya. Di sinilah manusia yang telah mampu menguasai semua jalannya nafas (babahan hawa sanga: sembilan sumber udara) dan telah duduk (jenek) dalam meditasi menemukan yang “ada” dalam yang “tiada” (Ana tan Hana). Hal ini dapat dilihat dalam bait Kakawin Arjuna Wiwaha bahwa Tuhan akan muncul kepada seseorang yang melaksanakan yoga Beliau menampakkan diri (ri angambeki yoga kiteng sekala). Inilah yang harus diupayakan oleh seorang sisya Yoga, yakni merasakan dan menemukan kehadiran Beliau dalam kekhusukan Samadhi.
Selanjutnya, menemukan watese langit jaladri (batasnya langit dan samudra) yang dimaksud adalah gambaran alam semesta ini. Sampai di tingkat yoga yang lebih tinggi seseorang akan mendapatkan kesadaran semesta, bahwa alam semesta dan tubuh manusia adalah sama (jagat gede jumbuh klawan jagat alit). Dalam istilah agama Hindu disebutkan bahwa dunia ini adalah bhuwana agung, sedangkan manusia dipandang sebagai bhuwana alit. Dimaksudkan sama di sini adalah bhuwana agung dan bhuwana alit terbentuk dari substansi yang sama, mengalami proses yang sama (utpeti, stiti, pralina) dan suatu saat kembali ke asalnya saat pralaya, ibarat laba-laba yang menarik benang-benangnya ke dalam tubuhnya (urnanabhawat), demikian dikatakan oleh Mundaka Upanisad. Dalam keyakinan mistis Jawa bahwa jagat alit ana sajroning jagat agung, jagat agung ana sajroning jagat alit (bhuwana alit adalah dalam bhuwana agung, sebaliknya bhuwana agung ada dalam bhuwana alit). Ungkapan ini hanya dapat dipahami dari sudut pandang mistis bahwa tubuh manusia berada di dalam alam semesta, dan sebaliknya alam semesta ada di dalam diri manusia. Bahwa tubuh manusia ada di dalam alam semesta secara empiris dapat dipahami kebenarannya, tetapi bahwa alam semesta ada di dalam diri manusia maka perlu pemahaman yang mendalam. Dalam Tattwa Jnana dijelaskan bahwa segala yang ada di bhuwana agung, sesungguhnya ada dalam bhuwana alit. Jika di dalam Bhuwana agung terdapat sapta loka, sapta patala, sapta parwata, sapta arnawa, dan sapta dwipa, maka di dalam tubuh manusia juga terdapat itu semua. Oleh karena itu dalam pandangan mistik Jawa, demikian juga Hindu menyatakan bahwa dengan memahami tubuh manusia secara utuh dan menyeluruh sesungguhnya manusia telah mengalami keberadaan alam semesta di dalam dirinya. Dalam cerita Mahabharata, saat Sri Krisna bertriwikrama di hadapan Arjuna maka tampaklah gambaran alam semesta di dalam dirinya. Dengan kesadaran inilah maka seorang Yogi tidak akan sulit menemukan batasnya langit dan samudra.
Kesadaran selanjutnya adalah menemukan tapaking kuntul anglayang (jejak burung Kuntul yang terbang). Mencari jejak burung yang terbang di udara, lagi-lagi merupakan hal yang tidak masuk akal karena secara kasat mata tak teramati. Bagi dunia mistis Jawa yang penuh dengan simbol (sanepan), “burung” merupakan simbol roh, sedangkan “kuntul” adalah simbol suci. Hal ini dapat dirujuk dari salah satu bait kidung Jawa lainnya, sebagai berikut “umpama manuk mabur, lepas sakeng kurunganeki, pundi mencoke mbenjang, aja kongsi keliru, upama wong jan sinanjan, ora wurung mesti bali mulih, mring asal kamulannya” (ibarat burung terbang, lepas dari sangkarnya, dimana bersinggahnya besuk, jangan sampai keliru, seumpama orang sedang berkunjung ke tetangga, pasti akan kembali ke asal mulanya). Jadi, digunakannya kata “burung kuntul” dimaksudkan dengan perjalanan roh suci. Perjalanan roh suci ini harus dipahami oleh orang yang melaksanakan mistis agar ia tidak salah jalan. Seorang mistikus harus memahami asal dan tujuan dari perjalanan roh suci. Asal dari Brahman kembali ke Brahman. Jadi, dalam mistis asal dan tujuan sesungguhnya tidaklah berbeda. Sampai di kesadaran ini maka sang atman tidak akan salah jalan untuk menemukan kembali asal mulanya.
Kesadaran tentang perjalanan roh suci tersebut dipertegas lagi oleh baris selanjutnya, yaitu gigiring punglu (punggungnya peluru). Peluru berbentuk bulat tidak lain adalah simbol cakra manggilingan yang tidak akan ditentukan punggugnya sebab ia tidak berpunggung, karena semua adalah punggung. Seseorang akan dapat menentukan punggung dari sebuah bulatan, jika dan hanya jika lingkaran itu berhenti dan ia dengan bebas dapat menentukan mana punggung dan mana perut. Sebab, selama lingkaran itu tetap berputar maka punggung dan perut akan selalu bergantian sehingga tiada satupun di antara keduanya dapat disebut punggung. Dalam keyakinan Hindu, yang selalu berputar (cakra manggilingan) itu adalah lingkaran samsara. Lingkaran samsara dijelaskan dalam Bhagavad Gita sebagai perpindahan roh dari tubuh yang satu menuju tubuh yang lain secara terus-menerus, dari tubuh yang telah rusak ke tubuh yang baru. Menurut  Wrehaspati Tattwa bahwa proses samsara ini akan berhenti tatkala sang roh menemukan kembali kesadarannya (matutur ikang atma ri jatinia). Sang diri sejati yang telah kembali kesadarannya mengenai asal mula dan tujuannya akan memutus lingkaran samsara dan mencapai kebahagiaan tertinggi.
Setelah sang yogi telah sampai pada kesadaran tertinggi maka ia akan menemukan kebahagiaan tertinggi dalam sebuah ekstasi spiritual. Keadaan ini berlangsung sangat singkat yang diibaratkan oleh pengarang seperti pinda pesating supena (ibarat munculnya sebuah impian). Mungkin pengarang tak mampu melukiskan pengalaman pada tingkat kesadaran tertinggi itu sehingga ia hanya mengungkapkan puncak mistis itu ibarat sebuah mimpi.  Bagi manusia yang telah mencapai tingkatan kesadaran melalui proses yoga seperti penguasaan nafas, kesadaran eksistensi keillahian,  kesadaran semesta, kesadaran atman, dan kesadaran tumimbal lahir (samsara) maka sesungguhnya mereka telah mencapai tingkat kesadaran paramakaiwalya. Dalam tingkat kesadaran paramakaiwalya ini manusia telah sampai pada puncak kesadaran tertinggi, yakni alam Paramasiwa. Semua anugerah akan terpenuhi, ia dapat membebaskan dirinya dari proses samsara dan mencapai moksa. Sang mistikus yang telah sampai di alam ini oleh Kakawin Arjunawiwaha disebut sebagai pandita huwus limpad sakeng sunyata (Pendeta yang telah melampaui kesunyataan), keadaan beliau hanya dibatasi oleh tirai yang sangat tipis dengan Sang Hyang Jagatkarana (santosa heletan kelir sira sangkeng sanghyang Jagatkarana).
Sang kawi menikmati keadaan ini sebagai pertanda turunnya wahyu dari Sang Hodipati. Wahyu yang diinginkan dan diterima oleh beliau tiada lain adalah kekuatan (daya) dan ketentraman. Ini menunjukkan bahwa setelah melampaui alam samadhi, maka sang yogi kembali kepada kesadaran awalnya bahwa beliau adalah manusia yang memiliki swadharma hidup sebagai manusia sehingga yang beliau perlukan adalah anugerah berupa kekuataan dan ketentraman. Tentunya anugrah kekuatan dan ketentraman itu tiada lain digunakan untuk kesejahteraan dan kebahagiaan semua makluk. Dalam Kakawin Arjunawiwaha disebutkan donira sukanikang rat kininkinira (tujuan beliau adalah mengupayakan kebahagiaan dunia).
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kidung Dhandanggula di atas merupakan karya sastra mistis Jawa. Tema yang diangkat oleh pengarang kidung tersebut tiada lain adalah Raja yoga, oleh masyarakat Jawa disebut semedi. Yoga atau semedi adalah proses spiritual untuk menuju kesadaran atman. Dalam pelaksanaannya seorang Yogi dituntun untuk memulai dari penguasaan nafas (prana), memahami eksistensi illahi dan eksistensi semesta (bhuwana agung dan bhuwana alit), eksistensi roh (atman), dan eksistensi tumimbal lahir (samsara). Dari pemahaman mengenai semua eksistensi rohani tersebut maka seorang Yogi akan menuju kesadaran esensial, yaitu kesadaran atman. Bagi seorang Yogi telah sampai kepada kesadaran atman, semua anugerah akan datang. Anugerah yang dimaksud tiada lain adalah dharma, artha, kama, dan moksa. Seorang Yogi  telah membunuh egoisme dalam dirinya sehingga semua anugerah yang didapatkan diwujudkan dalam swadharmanya untuk memberikan kesejahteraan dan kebahagiaan semua makluk (sarwa prani hitangkara).


Referensi Pendukung :

Endraswara, Suwardi. 2003. Mistik Kejawen. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Mehta, Rohit. 2005. Bertemu Tuhan Dalam Diri. Denpasar : Sarad

Mulder, Neils. 2007. Mistisisme Jawa: Ideologi Indonesia. Yogyakarta: LkiS

Mulyono, Sri. 1981. Simbolisme dan Mistisisme Wayang. Jakarta: CV Haji Mas Agung

Sura,dkk. I Gde. 2003. Siwatattwa. Denpasar: Pemerintah Propinsi Bali.

Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.

Tim. Penyusun. Tt. Kakawin Arjunawiwaha. Singaraja: Yayasan A.A. Panji Tisna.

Yasa, I Wayan Suka. 2006. Yajna Sang Kawi. Artikel. Dimuat dalam Majalah Dharmasmerti. Denpasar: Universitas Hindu Indonesia.

Zoetmulder, P.J. 2000. Manunggaling Kawula lan Gusti. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar