PENDIDIKAN HINDU:
Terbaikan
dalam Geliat Kebangkitan Hindu Jawa
Nanang
Sutrisno
Hindu di Jawa saat ini menunjukkan geliat kebangkitan yang
mengesankan. Penyelenggaraan ritual, pembangunan pura, serta interaksi antarumat Hindu yang semakin dinamis melalui
berbagai media, menjadi petanda meningkatnya kesadaran umat Hindu di Jawa. Kebangkitan
ini disambut gempita oleh berbagai pihak yang peduli agama Hindu. Berbagai
langkah strategis pun dilakukan, mulai dari penataan kelembagaan, pembinaan
keagamaan, dukungan finansial, gerakan sosial, hingga praktik-praktik ritual.
Tujuannya tentu adalah untuk menstimulus umat Hindu di Jawa agar semakin mantap
sraddha dan bhaktinya. Kepedulian ini menguat dengan adanya kepercayaan
berdasarkan klaim historis-mistikal mengenai kebangkitan Hindu Majapahit
setelah 500 tahun keruntuhannya. Semua ‘seolah-olah’ begitu yakin bahwa momen
yang ditunggu itu telah datang, dan sekaranglah saatnya melihat kebangkitan
Hindu di tanah Jawa.
Berbagai upaya tersebut memperlihatkan hasil yang
menggembirakan, paling tidak secara fisikal. Umat Hindu di Jawa semakin berani
menunjukkan identitasnya, bahkan mengarah pada gejala euforia keagamaan. Atribut-atribut kultural Hindu dipertontonkan
dalam arena-arena publik sehingga nuansa kebangkitan itu ‘seolah-olah’ benar
adanya. Namun, benarkah itu sebuah kebangkian? Ataukah hanya sekedar
‘kebangkitan semu’ belaka? Nyatanya, problematika fundamental seperti konversi
agama masih menjadi ancaman serius bagi eksistensi umat Hindu di Jawa hingga
saat ini. Kerumitan dalam mengurus administrasi sipil, kurangnya guru agama
Hindu, dan persoalan kemiskinan, acapkali menimbulkan dampak demoralisasi di
kalangan umat Hindu yang berujung pada terjadinya konversi agama. Artinya,
strategi pembinaan, pembangunan, dan pemberdayaan umat Hindu di Jawa yang
dilaksanakan selama ini, cenderung masih bergerak di ranah permukaan, belum
menyentuh persoalan esensial yang dihadapi umat Hindu sendiri.
Dalam perkembangannya, umat Hindu di Jawa memang kurang
sekali mendapatkan sentuhan pendidikan agama dan keagamaan. Umat Hindu umumnya hanya
mendapatkan pendidikan keagamaan melalui dharma
wacana dan dharma thula yang
diberikan pada berbagai momen keagamaan. Pendidikan ini tentu bersifat parsial
karena tema-tema yang diberikan cenderung hanya berkaitan dengan momen-momen
tersebut. Sebaliknya, pendidikan agama secara sistematis melalui kurikulum
pendidikan formal dapat dibilang sangat lemah. Kurangnya guru agama Hindu,
sedikitnya jumlah siswa, dan minimnya jam pelajaran untuk pendidikan agama
Hindu menjadi kendala-kendala yang akrab dihadapi umat Hindu. Salah satu contoh
yang dapat dikemukakan di sini adalah kondisi pendidikan agama Hindu di Kabupaten
Banyuwangi, sebagai wilayah yang memiliki jumlah umat Hindu relatif besar di
Jawa Timur dan seluruh pulau Jawa pada umumnya.
Pada tingkat sekolah dasar (SD), rasio guru agama Hindu dan
jumlah sekolah berkisar antara 1:10, itupun dengan sebaran yang tidak merata di
semua wilayah. Konsekuensinya bahwa ada beberapa siswa beragama Hindu yang
tidak pernah mendapatkan pendidikan agama Hindu di sekolahnya, bahkan sampai
tamat. Kondisi yang tidak jauh berbeda juga terjadi pada pendidikan agama Hindu
tingkat SMP (rasio jumlah guru dan sekolah 1:6), dan tingkat SMA (rasio jumlah
guru dan sekolah 1:7). Untuk menyiasati kondisi ini, guru agama Hindu biasanya
merangkap mengajar di beberapa sekolah atau dengan bantuan tenaga guru honor. Mirisnya
lagi, guru honor ini hanya mendapatkan penghasilan yang sangat kecil, antara
Rp. 150.000,- sampai Rp. 500.000,- setiap bulannya. Penghasilan ini tentu tidak
sebanding dengan jerih payah mereka, namun kiranya tetap dijalani karena
semangat pengabdian yang begitu tulus kepada umat Hindu. Kondisi ini semakin
parah ke depannya karena sebagian besar guru agama Hindu di Kabupaten
Banyuwangi akan memasuki masa pensiun secara bergelombang pada seputaran tahun
2013 hingga 2020. Dengan kata lain, ancaman terjadinya kelangkaan guru agama
Hindu senantiasa membayangi pendidikan agama Hindu di Kabupaten Banyuwangi.
Data tersebut, kiranya dapat dijadikan sebagai gambaran
sekaligus refleksi tentang kondisi pendidikan agama Hindu yang secara umum dihadapi umat Hindu di Jawa saat ini. Logika
sederhananya, jika di Kabupaten Banyuwangi yang memiliki jumlah umat Hindu
cukup besar saja seperti itu, bagaimana dengan wilayah-wilayah lain yang jumlah
umat Hindunya lebih kecil. Tentu kondisinya tidak lebih baik daripada umat
Hindu di Kabupaten Banyuwangi. Ironisnya, kondisi ini justru kurang mendapat
perhatian dari berbagai pihak yang konon peduli dengan perkembangan umat Hindu
di Jawa. Sebaliknya, pihak-pihak ini lebih senang untuk membangun infrastruktur
fisik keagamaan dan berbagai ‘arena kultural’ yang meriah, tanpa sadar bahwa
arena itu acapkali menjadi beban kultural bagi umat Hindu lokal.
Sulitnya menembus tembok birokrasi untuk pengadaan guru agama
Hindu tampaknya menjadi alasan klasik yang sering dikemukakan. Meskipun PP. No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Keagamaan telah mengamanatkan bahwa setiap peserta didik mendapatkan
pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianut dan diajar oleh guru yang
seagama. Implikasi hukumnya bahwa keberadaan guru agama Hindu di setiap sekolah-sekolah
formal wajib dipenuhi pemerintah. Seturut dengan itu, Undang-undang
otonomi daerah juga telah memberikan kewenangan kepada setiap bupati/walikota untuk
mengadakan PNS, termasuk guru agama Hindu di wilayahnya masing-masing. Artinya,
lobi untuk itu sesungguhnya hanya berada pada tataran politik lokal sehingga
memberikan peluang pada elite-elite Hindu untuk melakukan lobi sampai ke tingkat
birokrasi daerah dengan dukungan data riil kebutuhan umat Hindu. Mungkin hal
ini telah dilakukan, walaupun niat baik dari kepala daerah – mungkin juga
tekanan mayoritas – masih menjadi sumbatan birokratis yang sulit ditembus.
Apabila jalur tersebut sulit ditembus, sesungguhnya para
elite Hindu dapat memanfaatkan kondisi yang sudah ada, yaitu dengan
mengoptimalkan tenaga guru honorer. Banyaknya sarjana agama Hindu yang enggan
kembali ke daerah untuk mengabdik sebagai guru honorer, tampaknya bertalian erat
dengan faktor penghasilan. Faktor ini
tidak dapat diabaikan karena bagaimana pun mereka juga butuh mendapatkan
penghasilan yang layak untuk menopang kehidupan sehar-hari. Akan sangat
berbeda, bila para guru honorer mendapatkan penghasilan yang memadai dan
dananya disediakan secara swadaya yang dikoordinasikan langsung oleh
kelembagaan umat Hindu, misalnya Parisada. Pada kenyataannya, hal ini tidak
banyak dilakukan oleh para donatur Hindu di Jawa. Contoh sederhana, dana
sebesar 1,2 milyar dapat dikumpulkan ‘hanya’ untuk membangun sebuah wantilan pura. Andaikata dana ini
digunakan untuk menggaji guru honorer sebesar 1 juta per bulan, maka sudah ada
100 guru agama Hindu yang dapat dibiayai selama 1 tahun.
Pendidikan menjadi tantangan, peluang, sekaligus kunci
keberhasilan dalam pembinaan dan pengembangan umat Hindi di Jawa. Walaupun
bidang ini seakan-akan terlupakan, bahkan terabaikan di tengah euforia kebangkitan Hindu Jawa. Dampak
demoralisasi dan minoritisasi yang dialami siswa Hindu karena terbaikannya bidang
ini, justru berpotensi besar mengakibatkan putusnya generasi Hindu (lose generation). Kiranya, pemikiran
sederhana ini dapat dijadikan refleksi bersama untuk menata kehidupan umat
Hindu di Jawa yang lebih baik di masa depan. Rahayu!
sangat memperihatinkan.....di bali untuk guru mungkin cukup tapi puku ajar untuk hindu kurang walaupun ada isinya sangat tidak bermutu seperti dibikin asal asalan .....semoga kedepan hindu bangkit .....
BalasHapus