Sabtu, 20 Agustus 2016

PENDIDIKAN HINDU TERABAIKAN

PENDIDIKAN HINDU:
Terbaikan dalam Geliat Kebangkitan Hindu Jawa

Nanang Sutrisno

Hindu di Jawa saat ini menunjukkan geliat kebangkitan yang mengesankan. Penyelenggaraan ritual, pembangunan pura, serta interaksi antarumat Hindu yang semakin dinamis melalui berbagai media, menjadi petanda meningkatnya kesadaran umat Hindu di Jawa. Kebangkitan ini disambut gempita oleh berbagai pihak yang peduli agama Hindu. Berbagai langkah strategis pun dilakukan, mulai dari penataan kelembagaan, pembinaan keagamaan, dukungan finansial, gerakan sosial, hingga praktik-praktik ritual. Tujuannya tentu adalah untuk menstimulus umat Hindu di Jawa agar semakin mantap sraddha dan bhaktinya. Kepedulian ini menguat dengan adanya kepercayaan berdasarkan klaim historis-mistikal mengenai kebangkitan Hindu Majapahit setelah 500 tahun keruntuhannya. Semua ‘seolah-olah’ begitu yakin bahwa momen yang ditunggu itu telah datang, dan sekaranglah saatnya melihat kebangkitan Hindu di tanah Jawa.
Berbagai upaya tersebut memperlihatkan hasil yang menggembirakan, paling tidak secara fisikal. Umat Hindu di Jawa semakin berani menunjukkan identitasnya, bahkan mengarah pada gejala euforia keagamaan. Atribut-atribut kultural Hindu dipertontonkan dalam arena-arena publik sehingga nuansa kebangkitan itu ‘seolah-olah’ benar adanya. Namun, benarkah itu sebuah kebangkian? Ataukah hanya sekedar ‘kebangkitan semu’ belaka? Nyatanya, problematika fundamental seperti konversi agama masih menjadi ancaman serius bagi eksistensi umat Hindu di Jawa hingga saat ini. Kerumitan dalam mengurus administrasi sipil, kurangnya guru agama Hindu, dan persoalan kemiskinan, acapkali menimbulkan dampak demoralisasi di kalangan umat Hindu yang berujung pada terjadinya konversi agama. Artinya, strategi pembinaan, pembangunan, dan pemberdayaan umat Hindu di Jawa yang dilaksanakan selama ini, cenderung masih bergerak di ranah permukaan, belum menyentuh persoalan esensial yang dihadapi umat Hindu sendiri.
Dalam perkembangannya, umat Hindu di Jawa memang kurang sekali mendapatkan sentuhan pendidikan agama dan keagamaan. Umat Hindu umumnya hanya mendapatkan pendidikan keagamaan melalui dharma wacana dan dharma thula yang diberikan pada berbagai momen keagamaan. Pendidikan ini tentu bersifat parsial karena tema-tema yang diberikan cenderung hanya berkaitan dengan momen-momen tersebut. Sebaliknya, pendidikan agama secara sistematis melalui kurikulum pendidikan formal dapat dibilang sangat lemah. Kurangnya guru agama Hindu, sedikitnya jumlah siswa, dan minimnya jam pelajaran untuk pendidikan agama Hindu menjadi kendala-kendala yang akrab dihadapi umat Hindu. Salah satu contoh yang dapat dikemukakan di sini adalah kondisi pendidikan agama Hindu di Kabupaten Banyuwangi, sebagai wilayah yang memiliki jumlah umat Hindu relatif besar di Jawa Timur dan seluruh pulau Jawa pada umumnya.
Pada tingkat sekolah dasar (SD), rasio guru agama Hindu dan jumlah sekolah berkisar antara 1:10, itupun dengan sebaran yang tidak merata di semua wilayah. Konsekuensinya bahwa ada beberapa siswa beragama Hindu yang tidak pernah mendapatkan pendidikan agama Hindu di sekolahnya, bahkan sampai tamat. Kondisi yang tidak jauh berbeda juga terjadi pada pendidikan agama Hindu tingkat SMP (rasio jumlah guru dan sekolah 1:6), dan tingkat SMA (rasio jumlah guru dan sekolah 1:7). Untuk menyiasati kondisi ini, guru agama Hindu biasanya merangkap mengajar di beberapa sekolah atau dengan bantuan tenaga guru honor. Mirisnya lagi, guru honor ini hanya mendapatkan penghasilan yang sangat kecil, antara Rp. 150.000,- sampai Rp. 500.000,- setiap bulannya. Penghasilan ini tentu tidak sebanding dengan jerih payah mereka, namun kiranya tetap dijalani karena semangat pengabdian yang begitu tulus kepada umat Hindu. Kondisi ini semakin parah ke depannya karena sebagian besar guru agama Hindu di Kabupaten Banyuwangi akan memasuki masa pensiun secara bergelombang pada seputaran tahun 2013 hingga 2020. Dengan kata lain, ancaman terjadinya kelangkaan guru agama Hindu senantiasa membayangi pendidikan agama Hindu di Kabupaten Banyuwangi.
Data tersebut, kiranya dapat dijadikan sebagai gambaran sekaligus refleksi tentang kondisi pendidikan agama Hindu yang secara umum  dihadapi umat Hindu di Jawa saat ini. Logika sederhananya, jika di Kabupaten Banyuwangi yang memiliki jumlah umat Hindu cukup besar saja seperti itu, bagaimana dengan wilayah-wilayah lain yang jumlah umat Hindunya lebih kecil. Tentu kondisinya tidak lebih baik daripada umat Hindu di Kabupaten Banyuwangi. Ironisnya, kondisi ini justru kurang mendapat perhatian dari berbagai pihak yang konon peduli dengan perkembangan umat Hindu di Jawa. Sebaliknya, pihak-pihak ini lebih senang untuk membangun infrastruktur fisik keagamaan dan berbagai ‘arena kultural’ yang meriah, tanpa sadar bahwa arena itu acapkali menjadi beban kultural bagi umat Hindu lokal.
Sulitnya menembus tembok birokrasi untuk pengadaan guru agama Hindu tampaknya menjadi alasan klasik yang sering dikemukakan. Meskipun PP. No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Keagamaan telah mengamanatkan bahwa setiap peserta didik mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianut dan diajar oleh guru yang seagama. Implikasi hukumnya bahwa keberadaan guru agama Hindu di setiap sekolah-sekolah formal wajib dipenuhi pemerintah. Seturut dengan itu, Undang-undang otonomi daerah juga telah memberikan kewenangan kepada setiap bupati/walikota untuk mengadakan PNS, termasuk guru agama Hindu di wilayahnya masing-masing. Artinya, lobi untuk itu sesungguhnya hanya berada pada tataran politik lokal sehingga memberikan peluang pada elite-elite Hindu untuk melakukan lobi sampai ke tingkat birokrasi daerah dengan dukungan data riil kebutuhan umat Hindu. Mungkin hal ini telah dilakukan, walaupun niat baik dari kepala daerah – mungkin juga tekanan mayoritas – masih menjadi sumbatan birokratis yang sulit ditembus.
Apabila jalur tersebut sulit ditembus, sesungguhnya para elite Hindu dapat memanfaatkan kondisi yang sudah ada, yaitu dengan mengoptimalkan tenaga guru honorer. Banyaknya sarjana agama Hindu yang enggan kembali ke daerah untuk mengabdik sebagai guru honorer, tampaknya bertalian erat dengan faktor penghasilan.  Faktor ini tidak dapat diabaikan karena bagaimana pun mereka juga butuh mendapatkan penghasilan yang layak untuk menopang kehidupan sehar-hari. Akan sangat berbeda, bila para guru honorer mendapatkan penghasilan yang memadai dan dananya disediakan secara swadaya yang dikoordinasikan langsung oleh kelembagaan umat Hindu, misalnya Parisada. Pada kenyataannya, hal ini tidak banyak dilakukan oleh para donatur Hindu di Jawa. Contoh sederhana, dana sebesar 1,2 milyar dapat dikumpulkan ‘hanya’ untuk membangun sebuah wantilan pura. Andaikata dana ini digunakan untuk menggaji guru honorer sebesar 1 juta per bulan, maka sudah ada 100 guru agama Hindu yang dapat dibiayai selama 1 tahun.
Pendidikan menjadi tantangan, peluang, sekaligus kunci keberhasilan dalam pembinaan dan pengembangan umat Hindi di Jawa. Walaupun bidang ini seakan-akan terlupakan, bahkan terabaikan di tengah euforia kebangkitan Hindu Jawa. Dampak demoralisasi dan minoritisasi yang dialami siswa Hindu karena terbaikannya bidang ini, justru berpotensi besar mengakibatkan putusnya generasi Hindu (lose generation). Kiranya, pemikiran sederhana ini dapat dijadikan refleksi bersama untuk menata kehidupan umat Hindu di Jawa yang lebih baik di masa depan. Rahayu!



1 komentar:

  1. sangat memperihatinkan.....di bali untuk guru mungkin cukup tapi puku ajar untuk hindu kurang walaupun ada isinya sangat tidak bermutu seperti dibikin asal asalan .....semoga kedepan hindu bangkit .....

    BalasHapus