Selasa, 23 Agustus 2016

PENGADILAN HINDU

PENGADILAN AGAMA HINDU
(Sebuah Telaah Sosiologis)

Nanang Sutrisno

1.     Pendahuluan
Sistem politik dan hukum Hindu adalah alat untuk menegakkan dharma. Hal ini ditegaskan oleh Maharsi Kautilya bahwa pentingnya Veda dipelajari adalah untuk menegakkan dharma (kewajiban) dalam masyarakat, yaitu catur varna dan catur ashrama, seperti berikut.
Hukum yang ditulis dalam pengetahuan Veda bermanfaat untuk menjelaskan kewajiban masing-masing varna (Catur Varna: Brahmana, Ksatrya, Vaisya, Sudra) dan empat tingkatan kehidupan (Catur Ashrama: Brahmacari, Grehasta, Vanaprastha, Parivrajaka atau Sanyasin) (Arthasastra, III.I.4).
Kemudian, juga dalam Kautilya Arthasastra III.I.16 dan 17 dijelaskan tugas seorang kepala negara adalah menjaga kewajiban hidup (catur varna dan catur asrama) agar dapat dilaksanakan sepenuhnya. Mengingat pelanggaran terhadap pelaksanaan kewajiban ini merupakan penyebab kehancuran dunia-kehidupan. Di sinilah, hukum (dandaniti) mendapakan makna pentingnya dalam kehidupan umat manusia. Pemikiran ini telah mendorong para Maharsi Hindu di masa lampu menyusun Dharmasastra sebagai kompedium hukum Hindu pada setiap zaman (yuga) demi menjaga tegaknya dharma. Sankha Likhita mengelompokkan Dharmasastra menjadi empat sebagai berikut.
1.Manawa Dharmasastra, untuk zaman Kerta Yuga.
2.Gautama Dharmasastra, untuk zaman Treta Yuga.
3.Sankha Likhita Dharmasastra, untuk zaman Dwapara Yuga.
4.Parasara Dharma Sastra, untuk zaman kali Yuga.
Kitab-kitab ini dapat dikatakan sebagai sumber hukum Hindu yang pada bagian-bagian tertentu menginspirasi perkembangan hukum Hindu di Indonesia. Dalam perkembangannya hukum Hindu di Indonesia dapat ditelusuri dalam berbagai kitab, seperti Kutara Manawa, Usana Gajahmada, Sarasamuscaya, Adigama, Purwadigama Krtapati, Krtasima, Negara Kertagama, Rajasana, Siwasasana, Putra Sasana, dan Rsi Sasana. Kitab-kitab ini menunjukkan bahwa hukum Hindu telah diterapkan di nusantara, bahkan jauh sebelum sistem hukum kolonial menjadi sumber hukum di Indonesia. Perubahan sistem politik sejak masuknya Islam dan berlanjut sampai zaman penjajahan Belanda secara sistematis telah menenggelamkan hukum Hindu dalam sistem perpolitikan nasional.
Bali sebagai pulau yang mayoritas pendudukannya beragama Hindu dan memiliki hukum adat yang kuat, tampaknya juga tidak mampu melawan kekuatan negara. Peradilan adat Bali (raad van kertha) yang pernah lahir sekitar tahun 1930-an harus ditutup dengan terbitnya Undang-undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951. Kemudian, juga terbitnya Undang-undang Nomor 14 Tahun 1974 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman semakin memperkuat ketentuan penghapusan lembaga peradilan adat tersebut. Mengingat dalam salah satu penjelasan UU No. 14/1974 menyebutkan bahwa peradilan adalah peradilan negara dimaksudkan untuk menutup semua kemungkinan adanya atau akan diadakannya lagi peradilan-peradilan swapradja atau peradilan adat yang dilakukan bukan badan peradilan negara. Dengan adanya ketentuan ini, maka tertutup kemungkinan untuk membentuk lembaga peradilan adat, kecuali bila dilakukan judicial review terhadap Undang-undang tersebut.
Walaupun demikian, tampaknya peluang dibentuknya pengadilan agama masih cukup memungkinkan, bila mengacu pada alasan yuridis terbentuknya Peradilan Agama (Islam). Peradilan Agama ini dibentuk berdasarkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989, tanggal 29 Desember 1989 tentang Peradilan Agama. Undang-undang ini diterbitkan untuk mengatur susunan, kekuasaan, dan hukum acara pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama yang selama ini masih beraneka karena didasarkan pada:
(1)  Peraturan tentang Peradilan Agama di Jawa dan Madura (Staatsblad Tahun 1882 Nomor 152 dihubungkan dengan Staatsblad Tahun 1937 Nomor 116 dan 610).
(2)  Peraturan tentang Kerapatan Qadi dan Qadi Besar untuk sebagian Residensi Kalimantan Selatan dan Timur (Staatsblad Tahun 1937 Nomor 638 dan 639).
(3)  Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957 tentang Pembentukan Pengadilan Agama/Mahkamah Sya’riah di Luar Jawa dan Madura (Lembaran Negara Tahun 1957 Nomor 99).
Undang-undang ini menjadi kekuatan hukum Peradilan Agama Islam dalam menjalankan hukum Islam kepada para pemeluknya. Dalam kehidupan negara yang demokratis berdasarkan Pancasila, tentu alasan pembentukan Peradilan Agama Islam bukan karena Islam menjadi agama yang dipeluk mayoritas penduduk Indonesia. Akan tetapi, ini merupakan bentuk pengakuan pemerintah pada sistem hukum Islam yang khas dan spesifik. Dengan asumsi yang sama, juga semestinya pemerintah memberikan pengakuan pada hukum Hindu, bila umat Hindu mampu menunjukkan kekhasan dan kekhususan sistem hukumnya. Oleh karena itu, diperlukan kajian yang lebih mendalam tentang Pengadilan Agama Hindu, baik aspek filosofis, historis, yuridis, maupun sosiologisnya. Makalah ini secara khusus akan mengungkap aspek sosiologisnya.

2.     Pembahasan

Ranah Hukum Hindu
Indonesia bukanlah negara agama ataupun negara sekuler, tetapi negara hukum. Ketegasan tentang hal ini diatur dalam Ketetapan MPRS Nomor XX Tahun 1966 yang kemudian, diganti dengan Tap MPR Nomor 3 Tahun 2000 tentang Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia. Dengan adanya hirarki seperti ini, maka setiap produk perundang-undangan dan peraturan hukum tidak boleh bertentangan dengan hirarki yang lebih tinggi. Demikian juga dengan hukum agama yang mungkin diberlakukan dalam sistem hukum di Indonesia tidak boleh bertentangan dengan sistem hukum nasional. Oleh karena itu, untuk menunjukkan sifat khas dan kekhususan hukum Hindu perlu diungkap ranah hukum Hindu yang dapat diterapkan dalam Peradilan Agama Hindu.
Penelusuran terhadap sistem hukum Hindu dapat dilakukan dengan menggali kitab Dharmasutra dan berbagai pemikiran yang bersumber daripadanya. Topik pokok mengenai hukum Hindu disebut Wyawaharapada yang dikembangkan secara berbeda oleh beberapa penulis Dharmasutra, seperti Gautama, Apastambha, dan Baudhayana. Gautama membahas pokok-pokok hukum pidana dan perdata yang ditulisnya dalam Gautama Dharmasastra, khususnya Bab XII. Berbeda dengan Gautama, Apastambha menambahkan pokok-pokok materi Wyawaharapada dengan beberapa masalah yang sebelumnya belum dibahas oleh Gautama, seperti (1) hukum tentang perzinahan; (2) hukum tentang bunuh diri, pencurian, sengketa tanah; (3) hukum tentang sengketa antara buruh dan majikan; (4) hukum tentang pelanggaran dharma secara terus-menerus; dan (5) hukum tentang penyalahgunaan hak milik. Sementara itu, Baudhayana menambahkan pokok-pokok hukum dalam bebarapa topik, seperti berikut.
(1)  Hukum yang membenarkan seseorang membunuh orang lain karena membela diri.
(2)  Hukuman bagi seorang Brahmana.
(3)  Penghukuman atas golongan rendah yang dipersalahkan karena membunuh Brahmana.
(4)  Penghukuman atas pembunuh yang hukumnya dibedakan menurut status orang yang dibunuh.
(5)  Penghukuman atas pembunuhan yang dilakukan mengenai ternak orang lain dan hewan-hewan lainnya.
Di samping itu, juga Maharsi Wasistha menguraikan tentang hukum kekerabatan, anak, perkawinan, dan waris. Penjelasan lebih luas dapat disimak dari pandangan Manu dan Yajnawalkya dalam Dharmasastra. Kedua penulis ini telah membahas beberapa topik hukum secara luas dan mendalam. Berdasarkan kitab Dharmasastra yang ditulis oleh Manu (Manawa Dharmasastra atau Manu Smrti), paling tidak terdapat 18 topik hukum atau wyawaharapada, sebagai berikut.
(1)       Rinadana (hukum tentang tidak membayar hutang);
(2)       Niksepa (hukum tentang deposito dan perjanjian);
(3)       Asmawi Wikraya (hukum tentang penjualan barang tak bertuan);
(4)       Sambhuya-Samutthana (hukum tentang perikatan atau kontrak);
(5)       Dattasyanapakarma (hukum tentang hibah dan pemberian);
(6)       Wetanadana (hukum tentang tidak membayar upah);
(7)       Samwidwyatikarma (hukum tentang pengingkaran perjanjian);
(8)       Krayawikrayanusaya (hukum tentang pelaksanaan jual beli);
(9)       Swamipalawiwada (hukum tentang perselisihan antara buruh dan majikan);
(10)    Siwawiwada (hukum tentang perselisihan perbatasan);
(11)    Wakparusya (hukum tentang penghinaan);
(12)    Dandapurusya (hukum tentang penyerangan);
(13)    Steya (hukum tentang pencurian);
(14)    Sahasa (hukum tentang kekerasan);
(15)    Strisamgraham (hukum tentang suami istri);
(16)    Stripundharma (hukum tentang kewajiban seorang istri);
(17)    Wibhaga (hukum tentang pembagian waris);
(18)    Dyutasamahwaya (hukum tentang perjudian dan pertaruhan).
Dari delapan belas ranah hukum dalam Manawa Dharmasastra tersebut dapat dipahami bahwa hukum Hindu menyangkut hukum perdata dan pidana. Dari tema tersebut sebagian memang telah diatur penyelesaiannya menurut hukum negara di Indonesia. Akan tetapi, terdapat tema-tema khusus yang memerlukan penyelesaian secara khusus menurut hukum Hindu karena sistem negara tidak mampu mengakomodasi seluruh kepentingan dan rasa keadilan umat Hindu. Oleh karena itu, ranah ini dapat dikembangkan pada aspek-aspek khas dan khusus misalnya, hukum tentang perkawinan dan perceraian, pencurian benda-benda sakral, hibah dan pemberian, pengangkatan anak, dan hukum waris.
Selain ranah hukum tersebut, juga Arthasastra menjelaskan tata urutan penyelesaian kasus-kasus hukum, meliputi (1) dharma, merujuk pada Manawa Dharmasastra; (2) bukti, berdasarkan kesaksian; (3) acara, tradisi yang diterima dan dipraktikkan di masyarakat; dan (4) rajyasastra, yaitu hukum tertulis dari Raja. Adapun hakim tertinggi dari sistem hukum Hindu ini adalah Brahmanasista, yaitu seorang pendeta yang telah memahami sistem hukum Hindu. Tata cara penyelesaian kasus hukum ini tampaknya dapat digunakan untuk menunjukkan kekhasan dan kekhususan sistem peradilan agama Hindu. Dengan kata lain, sistem peradilan agama Hindu dapat dilakukan dengan menyesuaikan tata urutan tersebut dengan sistem peradilan yang berlaku di Indonesia.

Hukum Hindu dan Hukum Adat
Secara sosiologis, umat Hindu di Indonesia berasal dari latar belakang suku yang berbeda. Realitas sosial ini membuka peluang terjadinya dikontinuitas, bahkan  konfrontasi antara hukum Hindu dan hukum adat yang diwarisi oleh umat Hindu di Indonesia pada daerah masing-masing. Oleh karena itu, diperlukan pemikiran yang mendalam untuk mengatasi hal tersebut sehingga kehadiran Pengadilan Agama Hindu menjadi fungsional untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan umat Hindu. Di sinilah, landasan filosofis dan yuridis hukum Hindu dieksplorasi secara mendalam untuk mengatasi persoalan sosiologis yang akan muncul pada ranah-ranah tertentu.  
Secara filosofis dan yuridis, sumber hukum Hindu dapat dirujuk pada ajaran Manawa Dharmasastra, II. 6, sebagai berikut.
Idanim dharma pramanamyaha,
wedo khilo dharma mulam,
smrti sile ca tadvidam,
Acara’s ca iwa sadhunam,
atmanastutirewa”.
Artinya:
Seluruh pustaka suci Weda (Sruti) merupakan sumber pertama dari dharma. Kemudian, smerti (tafsir atas Weda), tingkah laku yang terpuji dari orang-orang bijak yang mendalami ajaran suci Weda (sila),  adat istiadat (acara), dan kepuasan pribadi (atmanastuti).
Dari sloka ini dapat dipahami bahwa sumber hukum Hindu secara berurutan adalah Sruti, Smerti, Sila, Acara, dan Atmanastuti. Kelima sumber hukum Hindu ini dapat diinterpretasi lebih lanjut bahwa Sruti adalah kitab suci Veda (Catur Veda), sedangkan Smerti adalah seluruh kitab suci yang merupakan penjabaran dan penafsiran dari Sruti. Dalam konteks ini, seluruh kitab suci agama Hindu selain Catur Veda, seperti Manawa Dharmasastra, Sarasamuccaya, Kutara Manawa, Negara Kertagama, Purwadigama, dan lain sebagainya dapat dikompilasikan menjadi sumber hukum dalam sistem peradilan Hindu. Selanjutnya, sila atau perilaku orang suci dapat diaplikasikan dalam sistem peradilan Hindu dengan menjadikan orang-orang suci yang berkompeten ini sebagai saksi ahli. Kesaksian dari orang suci ini dapat dijadikan salah satu pertimbangan dari hakim Pengadilan Agama Hindu dalam memutuskan perkara. Kemudian, acara yang berarti adat istiadat dihargai dan dijadikan salah satu pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara peradilan. Pada akhirnya, atmanastuti yang berarti kepuasan hati dapat dimaknai sebagai pertimbangan final dari hakim untuk memutuskan perkara demi terciptanya rasa keadilan semua pihak yang bersengketa.
Mencermati sumber hukum Hindu tersebut, tampaknya Pengadilan Agama Hindu dapat dibentuk tanpa harus mempertentangkan antara hukum Hindu dan hukum Adat. Mengingat dalam sistem hukum Hindu, juga adat menjadi salah satu sumber hukum yang layak dihormati dan dipatuhi. Dari sinilah, Pengadilan Agama Hindu harus dibangun dengan menggunakan dua pendekatan sosiologis, yaitu monokultur dan multikultur. Pendekatan monokultur berarti harus ada sistem hukum Hindu yang dapat diterapkan secara universal bagi seluruh umat Hindu di Indonesia, misalnya dalam Hukum Perkawinan, Pencurian Benda-benda Sakral, serta Hukum Hibah dan Pemberian. Sebaliknya, pendekatan multikultur bahwa sistem hukum Hindu harus mampu mengadopsi dan mengadaptasi hukum adat yang unik dan khas dari masing-masing daerah, seperti dalam Hukum Perceraian, Waris, dan Pengangkatan Anak.

(1)  Hukum Perkawinan
Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 pasal (2) menyatakan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu. Interpretasi atas pasal ini bahwa perkawinan harus dilakukan dalam satu agama. Dalam praktiknya, proses perkawinan umat Hindu di luar Bali seringkali mengalami kendala terutama dalam pencatatan administratifnya. Malahan dalam kasus perkawinan beda agama, proses adminitratif ini menjadi penyebab terjadinya konversi agama karena hambatan-hambatan administratif untuk menikah secara Hindu. Secara de yure, memang untuk umat non-Islam pencatatan dilakukan di Catatan Sipil, tetapi secara de facto proses untuk itu seringkali kurang berpihak pada umat Hindu. Oleh karena itu, diperlukan adanya instansi yang secara khusus mengurusi administrasi perkawinan umat Hindu dan Pengadilan Agama Hindu dapat mengambil peran tersebut.  Artinya, keberadaan Pengadilan Agama Hindu ini penting untuk memberikan kepastian hukum bagi umat Hindu dalam penyelesaian proses administrasi perkawinan tanpa diskriminasi.  
Adapun persyaratan sahnya perkawinan menurut agama Hindu dapat ditetapkan adalah tri saksi, yaitu dewa saksi, bhuta saksi, dan manusa saksi. Bukti hukum dari dewa saksi dan bhuta saksi adalah rohaniawan Hindu yang muput upacara pawiwahan tersebut dengan berbagai sebutan menurut tradisi lokal di masing-masing daerah. Seperti misalnya, pamangku, sulinggih (Bali dan Indonesia umumnya), Wasi (terutama daerah Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta), Dukun (Tengger) atau pemuka-pemuka adat yang berafiliasi ke agama Hindu. Sementara itu, manusa saksi dapat dibuktikan legalitasnya dengan tanda tangan perangkat desa, Parisada, atau umat beragama Hindu yang dibuktikan dengan KTP. Apabila seluruh persyaratan ini telah dipenuhi maka Akta Perkawinan dapat diproses di Pengadilan Agama Hindu tanpa melalui jalur administrasi yang panjang dan berbelit-belit.

(2)  Hukum Pencurian Benda Sakral
Pencurian benda-benda sakral menjadi ranah penting yang perlu ditangani dengan sistem hukum yang khusus, seperti peradilan Hindu. Mengingat ranah ini tidak semata-mata menyangkut hukum pidana yang bernilai secara material, tetapi juga religius-spiritualnya. Hukum negara yang hanya mempertimbangkan nilai material dari kasus pencurian benda sakral cenderung mencederai rasa keadilan umat Hindu. Misalnya, kasus pencurian pratima yang  sempat marak terjadi di Bali menjadi salah satu bukti betapa sistem hukum negara tidak mampu mengakomodasi kepentingan umat Hindu. Seorang pencuri pratima divonis dengan hukuman 2 bulan penjara dalam proses persidangan selama 6 bulan sehingga sama artinya dengan bebas. Putusan ini benar secara hukum formal karena nilai material pratima yang bahan dasarnya kayu cendana relatif kecil. Akan tetapi, bila kasus seperti ini diselesaikan dalam peradilan agama, bisa jadi hukuman yang diputuskan akan lebih tinggi karena juga mempertimbangkan rasa keadilan umat Hindu.

(3)  Hukum Hibah dan Pemberian
Persoalan Hibah dan Pemberian adalah masalah krusial yang dapat digarap dengan terbentuknya Pengadilan Agama Hindu. Mengingat hibah dan pemberian ini seringkali tidak dilengkapi dengan legalitas yang memadai sehingga dapat menimbulkan konflik sosial. Hal ini dapat berkaca dari berbagai kasus sengketa palaba pura yang terjadi di Bali karena penghibahan tanah palaba pura tidak tercatat secara legal. Demikian juga dengan asset-asset yang dihibahkan, baik oleh perorangan maupun kelompok kepada lembaga keagamaan Hindu seringkali menjadi sumber ketegangan yang antiproduktif bagi kemajuan umat Hindu sendiri. Meskipun aspek legal ini dapat diperoleh melalui sistem hukum negara, tetapi penyelesaian hukum ketika terjadi sengketa terkadang tidak memuaskan berbagai pihak. Misalnya, sengketa tanah palaba pura dapat dimenangkan oleh pemberi hibah (atau keturunannya) karena secara legal sertifikat tanah tersebut masih atas nama pemilik, bukan atas nama pura sehingga mencederai rasa keadilan bagi pangemongnya. Dengan kasus seperti ini, Pengadilan Agama Hindu dapat menyelesaikan sengketa dengan pertimbangan dan keputusan yang mungkin berbeda dengan sistem peradilan hukum negara.

(4)  Hukum Perceraian
Perceraian merupakan perkara yang menjadi kewenangan pengadilan agama (Islam) di Indonesia. Dalam ranah hukum, perceraian tidak saja berhubungan dengan pemutusan hubungan suami-istri, tetapi juga menyangkut kedudukan, hak, dan kewajiban suami-istri yang telah bercerai. Artinya, ada dampak ikutan yang mesti dipertimbangkan dari sebuah perceraian, seperti pembagian kekayaan, pengasuhan anak, dan status sosial pada sistem sosial khusus misalnya, tradisi wangsa di Bali. Dalam konteks inilah diperlukan pengadilan agama Hindu yang dapat memberikan keputusan tentang perkara perceraian dan seluruh implikasi yang ditimbulkannya menurut Hukum Hindu. Akan tetapi, pendekatan yang digunakan mesti multikultur dengan mengadopsi sistem hukum adat yang berlaku di masing-masing daerah. Hal ini sekaligus menegaskan karakter Hindu Indonesia yang mengedepankan nilai-nilai kebhinekaan menurut desa, kala, dan patra.
Menyimak proses peradilan agama Islam, tampaknya model pemutusan perkara perceraian dilakukan dengan tiga langkah, yaitu pembinaan, mediasi, dan putusan persidangan. Model ini pada dasarnya juga dapat diterapkan dalam sistem peradilan Hindu dengan sifatnya yang spesifik. Pembinaan kepada pihak yang akan bercerai merupakan pendekatan persuasif yang dapat memberikan efek positif bagi batalnya perceraian. Dilanjutkan dengan mediasi yang melibatkan pihak ketiga dan difasilitasi oleh pengadilan juga memungkinkan perceraian batal terjadi. Lebih penting dari itu bahwa ketiga proses ini memerlukan waktu yang relatif lama karena seluruh tahapan harus diikuti sebelum pengadilan memutuskan. Hal ini dapat memberikan dampak psikologis bagi orang yang akan bercerai sehingga dapat menekan angka perceraian itu sendiri. Artinya, model putusan perceraian yang dibuat bertahap seperti ini dapat memberikan implikasi positif, baik secara psikologis maupun sosiologis kepada umat Hindu untuk berpikir ulang sebelum memasukkan masalah rumah tangga ke ranah perceraian.
Masalah ikutan dari perceraian yang penting untuk diperhatikan adalah hak mengasuh anak. Hal ini berkaitan erat dengan hukum adat yang dianut oleh masing-masing umat Hindu sehingga sifatnya spesifik di tiap-tiap daerah. Bagi umat Hindu etnis Bali yang menganut sistem patrilineal hak asuh anak dapat diberikan kepada pihak laki-laki (purusa). Sementara itu, bagi etnis Jawa yang menggunakan sistem paternalistik hak asuh anak dapat mengadopsi sistem perundang-undangan negara, misalnya Undang-undang No. 1 Tahun 1974. Boleh jadi, juga bagi umat Hindu yang berasal dari etnis matrilineal juga penting diperhatikan sistem adatnya. Dengan asumsi seperti ini, maka hukum perceraian Hindu dapat diatur dengan mengkombinasikan dua pendekatan sekaligus, yaitu (1) tahapan perceraian dapat diberlakukan bagi seluruh umat Hindu, dan (2) hak asuh anak diputuskan dengan mengadopsi sistem hukum adat yang berlaku di masing-masing daerah. Penghargaan terhadap multikulturalisme dalam sistem hukum ini, justru dimaksudkan untuk memberikan rasa keadilan pada setiap umat Hindu.

(5)  Hukum Waris
Mencermati sistem waris yang diafirmasi dalam berbagai hukum adat, tampaknya hukum waris Hindu memerlukan pembahasan khusus. Dengan model pendekatan multikultur hukum adat diadopsi dan diadaptasi dengan penyesuaian-penyesuaian seperlunya. Pada masyarakat Jawa yang menggunakan sistem kekerabatan paternalistik memiliki beberapa sistem waris yang unik seperti contoh kasus berikut. Pak Sumitro punya empat orang anak, yakni Susilo, Dhanu, Suyati, dan Endang. Sebelum meninggal, Pak Sumitro ingin membagi warisannya berupa sawah seluas 1 hektar, sebuah rumah, dan pekarangan seluas 50 are. Maka sistem pembagiannya adalah sebagai berikut.
(1)  Sawah 1 hektar dibagi menjadi 5 bagian (masing-masing 20 are), yaitu 4 (empat) bagian untuk anak-anaknya dan 1 (satu) bagian menjadi milik Pak Sumitro sebagai tunggu urip. Secara leksikal, tunggu urip berarti penunggu hidup, tetapi di sini dimaksudkan adalah tanah milik keluarga (Bali: druwe tengah) yang tidak boleh dibagi lagi selama Pak Sumitro masih hidup, bahkan juga setelah meninggal kecuali untuk keperluan yang sangat mendesak. Misalnya, untuk biaya pengobatan Pak Sumitro ketika sakit.
(2)  Secara tradisi, rumah menjadi milik anak terakhir. Akan tetapi, karena pertimbangan khusus rumah ini dapat dimiliki oleh anak yang tinggal bersama Pak Sumitro dengan asumsi siapapun yang merawat Pak Sumitro selama hidupnya. Misalnya, Endang sebagai anak terakhir ternyata menikah dan membangun rumah sendiri bersama suaminya, sedangkan Suyati yang mau menempati rumah itu bersama suaminya. Maka secara otomatis, hak atas rumah tersebut menjadi milik Suyati. Sementara itu, pekarangannya tetap dibagi menjadi lima bagian (masing-masing 10 are), seperti pembagian sawah di atas.
(3)  Pembagian warisan berupa tanah pekarangan diatur secara adil menurut patokan jalan raya. Dengan maksud bahwa ketika tanah itu dijual harganya relatif sama. Misalnya, tanah 50 are tersebut posisinya memanjang ke belakang dengan ukuran (10 x 50 meter) dari jalan raya. Kalau tanah ini dibagi menjadi 5 dengan sama-sama mendapatkan rai (muka, jalan raya), maka setiap orang mendapat bagian 2 x 50 meter memanjang ke belakang. Posisi ini tentu tidak akan produktif untuk keperluan tertentu, misalnya untuk membuat rumah. Oleh karena itu, pembagiannya dapat diatur ulang dengan cara nyusuk, yaitu siapa yang mau mendapatkan bagian paling dekat dengan jalan raya harus mengeluarkan uang tambahan untuk membeli bagian yang lain sesuai dengan harga yang berlaku di daerah tersebut.
Di samping sistem waris yang berlaku seperti tersebut di atas, pada beberapa daerah di Jawa juga masih berlaku sistem pembagian waris yang membedakan antara laki-laki dan perempuan dengan sistem sapikul-sagendongan. Sapikul berarti pihak laki-laki mendapatkan 2 bagian, sedangkan perempuan mendapatkan 1 bagian (sagendongan). Sementara itu, masyarakat Bali yang menjadi mayoritas pemeluk agama Hindu dan sekarang tersebar di berbagai daerah dapat tetap diadopsi sistem waris adatnya. Mengingat terdapat beberapa kesamaan antara sistem waris adat Bali dengan Manawa Dharmasastra yang cenderung mengarah ke sistem patrilineal. Artinya, diperlukan kecermatan dalam menyusun kitab undang-undang hukum waris Hindu yang dapat diterapkan bagi seluruh umat Hindu di Indonesia dengan tetap mengakomodir kepentingan lokal.

(6)  Hukum Pengangkatan Anak
Berkenaan dengan hukum pengangkatan anak terdapat dua persoalan krusial yang harus ditetapkan dalam sistem hukum Hindu, yaitu (1) keabsahan pengangkatan, baik secara agama maupun dinas; (2) hak dan kewajiban anak yang diangkat; dan (3) sistem waris kepada anak yang diangkat. Pada masalah pertama, Pengadilan Agama Hindu dapat menjadi institusi yang melegitimasi pengangkatan seorang anak dengan mempertimbangkan upacara agama dan kesaksian terkait dengan hal tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar