PENGADILAN
AGAMA HINDU
(Sebuah
Telaah Sosiologis)
Nanang Sutrisno
1.
Pendahuluan
Sistem politik dan hukum Hindu adalah alat untuk
menegakkan dharma. Hal ini ditegaskan
oleh Maharsi Kautilya bahwa pentingnya Veda
dipelajari adalah untuk menegakkan dharma
(kewajiban) dalam masyarakat, yaitu catur varna dan catur
ashrama, seperti berikut.
Hukum yang ditulis dalam pengetahuan Veda bermanfaat untuk menjelaskan kewajiban masing-masing varna (Catur Varna: Brahmana, Ksatrya, Vaisya, Sudra) dan empat tingkatan kehidupan (Catur
Ashrama: Brahmacari, Grehasta, Vanaprastha, Parivrajaka atau Sanyasin) (Arthasastra, III.I.4).
Kemudian, juga dalam Kautilya
Arthasastra III.I.16 dan 17 dijelaskan tugas seorang kepala negara adalah
menjaga kewajiban hidup (catur varna dan
catur asrama) agar dapat dilaksanakan sepenuhnya. Mengingat pelanggaran terhadap pelaksanaan
kewajiban ini merupakan penyebab kehancuran dunia-kehidupan. Di sinilah, hukum (dandaniti)
mendapakan makna pentingnya dalam kehidupan umat manusia. Pemikiran ini telah mendorong para Maharsi Hindu di masa
lampu menyusun Dharmasastra sebagai kompedium hukum Hindu pada
setiap zaman (yuga) demi menjaga
tegaknya dharma. Sankha Likhita
mengelompokkan Dharmasastra menjadi
empat sebagai berikut.
1.Manawa
Dharmasastra, untuk zaman Kerta Yuga.
2.Gautama
Dharmasastra, untuk zaman Treta Yuga.
3.Sankha
Likhita Dharmasastra,
untuk zaman Dwapara Yuga.
4.Parasara Dharma Sastra, untuk zaman kali Yuga.
Kitab-kitab ini dapat dikatakan sebagai
sumber hukum Hindu yang pada bagian-bagian tertentu menginspirasi perkembangan
hukum Hindu di Indonesia. Dalam perkembangannya hukum Hindu di Indonesia dapat
ditelusuri dalam berbagai kitab, seperti Kutara
Manawa, Usana Gajahmada, Sarasamuscaya,
Adigama, Purwadigama Krtapati, Krtasima, Negara Kertagama, Rajasana,
Siwasasana, Putra Sasana, dan Rsi
Sasana. Kitab-kitab ini menunjukkan bahwa hukum Hindu telah diterapkan di
nusantara, bahkan jauh sebelum sistem hukum kolonial menjadi sumber hukum di
Indonesia. Perubahan sistem politik sejak masuknya Islam dan
berlanjut sampai zaman penjajahan Belanda secara
sistematis telah menenggelamkan hukum Hindu dalam sistem perpolitikan nasional.
Bali sebagai pulau yang mayoritas
pendudukannya beragama Hindu dan memiliki hukum adat yang kuat, tampaknya juga
tidak mampu melawan kekuatan negara. Peradilan adat Bali (raad van kertha) yang pernah lahir sekitar tahun 1930-an harus ditutup
dengan terbitnya Undang-undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951. Kemudian, juga
terbitnya Undang-undang Nomor 14 Tahun 1974 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman semakin memperkuat ketentuan penghapusan lembaga
peradilan adat tersebut. Mengingat dalam salah satu penjelasan UU No. 14/1974
menyebutkan bahwa peradilan adalah peradilan negara
dimaksudkan untuk menutup semua kemungkinan adanya atau akan diadakannya lagi
peradilan-peradilan swapradja atau peradilan adat yang dilakukan bukan badan
peradilan negara. Dengan adanya ketentuan ini, maka tertutup kemungkinan untuk membentuk
lembaga peradilan adat, kecuali bila dilakukan judicial review terhadap Undang-undang tersebut.
Walaupun demikian, tampaknya peluang
dibentuknya pengadilan agama masih cukup memungkinkan, bila mengacu pada alasan yuridis terbentuknya Peradilan Agama (Islam). Peradilan Agama ini
dibentuk berdasarkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989, tanggal 29 Desember 1989
tentang Peradilan Agama. Undang-undang ini diterbitkan untuk mengatur susunan,
kekuasaan, dan hukum acara pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama yang
selama ini masih beraneka karena didasarkan pada:
(1)
Peraturan
tentang Peradilan Agama di Jawa dan Madura (Staatsblad Tahun 1882 Nomor 152
dihubungkan dengan Staatsblad Tahun 1937 Nomor 116 dan 610).
(2)
Peraturan
tentang Kerapatan Qadi dan Qadi Besar untuk sebagian Residensi Kalimantan
Selatan dan Timur (Staatsblad Tahun 1937 Nomor 638 dan 639).
(3)
Peraturan
Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957 tentang Pembentukan Pengadilan Agama/Mahkamah
Sya’riah di Luar Jawa dan Madura (Lembaran Negara Tahun 1957 Nomor 99).
Undang-undang ini menjadi kekuatan hukum Peradilan Agama
Islam dalam menjalankan hukum Islam kepada para pemeluknya. Dalam kehidupan
negara yang demokratis berdasarkan Pancasila, tentu alasan pembentukan
Peradilan Agama Islam bukan karena Islam menjadi agama yang dipeluk mayoritas
penduduk Indonesia. Akan tetapi, ini merupakan bentuk pengakuan pemerintah pada
sistem hukum Islam yang khas dan spesifik. Dengan asumsi yang sama, juga
semestinya pemerintah memberikan pengakuan pada hukum Hindu, bila umat Hindu
mampu menunjukkan kekhasan dan kekhususan sistem hukumnya. Oleh karena itu,
diperlukan kajian yang lebih mendalam tentang Pengadilan Agama Hindu, baik aspek filosofis,
historis, yuridis, maupun sosiologisnya. Makalah ini secara khusus akan
mengungkap aspek sosiologisnya.
2.
Pembahasan
Ranah Hukum Hindu
Indonesia bukanlah negara agama ataupun
negara sekuler, tetapi negara hukum. Ketegasan tentang hal ini diatur dalam
Ketetapan MPRS Nomor XX Tahun 1966 yang kemudian, diganti dengan Tap MPR Nomor
3 Tahun 2000 tentang Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan Republik
Indonesia. Dengan adanya hirarki seperti ini, maka setiap produk
perundang-undangan dan peraturan hukum tidak boleh bertentangan dengan hirarki
yang lebih tinggi. Demikian juga dengan hukum agama yang mungkin diberlakukan
dalam sistem hukum di Indonesia tidak boleh bertentangan dengan sistem hukum nasional. Oleh karena itu, untuk menunjukkan sifat khas dan
kekhususan hukum Hindu perlu diungkap ranah hukum Hindu yang dapat diterapkan
dalam Peradilan Agama Hindu.
Penelusuran terhadap sistem hukum Hindu
dapat dilakukan dengan menggali kitab Dharmasutra dan berbagai pemikiran yang bersumber daripadanya. Topik pokok mengenai hukum Hindu disebut Wyawaharapada yang dikembangkan secara berbeda oleh beberapa penulis Dharmasutra, seperti Gautama, Apastambha, dan Baudhayana. Gautama membahas pokok-pokok hukum
pidana dan perdata yang ditulisnya dalam Gautama Dharmasastra, khususnya Bab XII. Berbeda dengan Gautama, Apastambha
menambahkan pokok-pokok materi Wyawaharapada
dengan beberapa masalah yang sebelumnya belum dibahas oleh Gautama, seperti (1) hukum tentang perzinahan;
(2) hukum tentang bunuh diri, pencurian, sengketa tanah;
(3) hukum tentang sengketa antara buruh dan majikan;
(4) hukum tentang pelanggaran dharma secara terus-menerus; dan (5) hukum tentang penyalahgunaan hak milik. Sementara itu, Baudhayana menambahkan pokok-pokok hukum dalam bebarapa topik,
seperti berikut.
(1)
Hukum
yang membenarkan seseorang membunuh orang lain karena membela diri.
(2)
Hukuman bagi
seorang Brahmana.
(3)
Penghukuman
atas golongan rendah yang dipersalahkan karena membunuh Brahmana.
(4)
Penghukuman
atas pembunuh yang hukumnya dibedakan menurut status orang yang dibunuh.
(5)
Penghukuman
atas pembunuhan yang dilakukan mengenai ternak orang lain dan hewan-hewan
lainnya.
Di
samping itu, juga Maharsi Wasistha menguraikan tentang hukum kekerabatan, anak, perkawinan, dan waris. Penjelasan lebih luas dapat disimak dari pandangan Manu dan Yajnawalkya dalam Dharmasastra. Kedua
penulis ini telah membahas beberapa topik hukum secara luas dan mendalam. Berdasarkan kitab Dharmasastra yang ditulis oleh Manu
(Manawa Dharmasastra atau Manu Smrti), paling
tidak terdapat 18 topik hukum atau wyawaharapada, sebagai berikut.
(1)
Rinadana (hukum tentang tidak membayar hutang);
(2)
Niksepa (hukum tentang deposito dan perjanjian);
(3)
Asmawi Wikraya (hukum
tentang penjualan
barang tak bertuan);
(4)
Sambhuya-Samutthana (hukum
tentang perikatan atau kontrak);
(5)
Dattasyanapakarma (hukum
tentang
hibah dan pemberian);
(6)
Wetanadana (hukum tentang tidak membayar upah);
(7)
Samwidwyatikarma (hukum tentang pengingkaran perjanjian);
(8)
Krayawikrayanusaya (hukum
tentang pelaksanaan
jual beli);
(9)
Swamipalawiwada (hukum
tentang perselisihan
antara buruh dan majikan);
(10)
Siwawiwada (hukum
tentang perselisihan
perbatasan);
(11)
Wakparusya (hukum
tentang penghinaan);
(12)
Dandapurusya (hukum
tentang penyerangan);
(13)
Steya (hukum tentang pencurian);
(14)
Sahasa (hukum
tentang kekerasan);
(15)
Strisamgraham (hukum tentang suami istri);
(16)
Stripundharma (hukum
tentang kewajiban
seorang istri);
(17)
Wibhaga (hukum tentang pembagian waris);
(18) Dyutasamahwaya (hukum tentang perjudian dan pertaruhan).
Dari delapan belas ranah hukum dalam Manawa Dharmasastra tersebut dapat dipahami bahwa hukum Hindu
menyangkut hukum perdata dan pidana. Dari
tema tersebut sebagian memang telah diatur penyelesaiannya menurut hukum negara
di Indonesia. Akan tetapi, terdapat tema-tema khusus yang memerlukan
penyelesaian secara khusus menurut hukum Hindu karena sistem negara tidak mampu
mengakomodasi seluruh kepentingan dan rasa keadilan umat Hindu. Oleh karena
itu, ranah ini dapat dikembangkan pada aspek-aspek khas dan khusus misalnya,
hukum tentang perkawinan dan perceraian, pencurian benda-benda sakral, hibah
dan pemberian, pengangkatan anak, dan hukum waris.
Selain
ranah hukum tersebut, juga Arthasastra menjelaskan tata urutan penyelesaian kasus-kasus hukum, meliputi (1) dharma, merujuk pada Manawa
Dharmasastra; (2) bukti,
berdasarkan kesaksian; (3) acara, tradisi yang diterima dan dipraktikkan di masyarakat; dan
(4) rajyasastra,
yaitu hukum tertulis dari Raja. Adapun hakim tertinggi
dari sistem hukum Hindu ini adalah Brahmanasista,
yaitu seorang pendeta yang telah memahami sistem hukum Hindu. Tata cara
penyelesaian kasus hukum ini tampaknya dapat digunakan untuk menunjukkan kekhasan
dan kekhususan sistem peradilan agama Hindu. Dengan kata lain, sistem peradilan
agama Hindu dapat dilakukan dengan menyesuaikan tata urutan tersebut dengan
sistem peradilan yang berlaku di Indonesia.
Hukum Hindu dan Hukum Adat
Secara sosiologis, umat Hindu di Indonesia berasal dari latar
belakang suku yang berbeda. Realitas sosial ini membuka peluang terjadinya dikontinuitas,
bahkan konfrontasi antara hukum Hindu
dan hukum adat yang diwarisi oleh umat Hindu di Indonesia pada daerah masing-masing.
Oleh karena itu, diperlukan pemikiran yang mendalam untuk mengatasi hal
tersebut sehingga kehadiran Pengadilan Agama Hindu menjadi fungsional untuk
memenuhi kebutuhan dan kepentingan umat Hindu. Di sinilah, landasan filosofis
dan yuridis hukum Hindu dieksplorasi secara mendalam untuk mengatasi persoalan
sosiologis yang akan muncul pada ranah-ranah tertentu.
Secara filosofis dan yuridis, sumber hukum Hindu dapat
dirujuk pada ajaran Manawa Dharmasastra, II. 6, sebagai berikut.
”Idanim dharma pramanamyaha,
wedo khilo dharma mulam,
smrti sile ca tadvidam,
Acara’s ca iwa sadhunam,
atmanastutirewa”.
Artinya:
Seluruh pustaka suci Weda (Sruti) merupakan sumber pertama dari dharma. Kemudian, smerti (tafsir
atas Weda), tingkah laku yang terpuji
dari orang-orang bijak yang mendalami ajaran suci Weda (sila), adat istiadat (acara), dan kepuasan pribadi (atmanastuti).
Dari sloka ini dapat dipahami bahwa sumber
hukum Hindu secara berurutan adalah Sruti,
Smerti, Sila, Acara, dan Atmanastuti.
Kelima sumber hukum Hindu ini dapat diinterpretasi lebih lanjut bahwa Sruti adalah kitab suci Veda (Catur Veda), sedangkan Smerti adalah seluruh kitab suci yang
merupakan penjabaran dan penafsiran dari Sruti.
Dalam konteks ini, seluruh kitab suci agama Hindu selain Catur Veda, seperti Manawa Dharmasastra, Sarasamuccaya, Kutara Manawa, Negara Kertagama,
Purwadigama, dan lain sebagainya dapat dikompilasikan menjadi sumber hukum
dalam sistem peradilan Hindu. Selanjutnya, sila
atau perilaku orang suci dapat diaplikasikan dalam sistem peradilan Hindu
dengan menjadikan orang-orang suci yang berkompeten ini sebagai saksi ahli. Kesaksian
dari orang suci ini dapat dijadikan salah satu pertimbangan dari hakim Pengadilan
Agama Hindu dalam memutuskan perkara. Kemudian, acara yang berarti adat istiadat dihargai dan dijadikan salah satu
pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara peradilan. Pada akhirnya, atmanastuti yang berarti kepuasan hati
dapat dimaknai sebagai pertimbangan final dari hakim untuk memutuskan perkara
demi terciptanya rasa keadilan semua pihak yang bersengketa.
Mencermati
sumber hukum Hindu tersebut, tampaknya Pengadilan Agama Hindu dapat dibentuk
tanpa harus mempertentangkan antara hukum Hindu dan hukum Adat. Mengingat dalam
sistem hukum Hindu, juga adat menjadi salah satu sumber hukum yang layak
dihormati dan dipatuhi. Dari sinilah, Pengadilan Agama Hindu harus dibangun
dengan menggunakan dua pendekatan sosiologis, yaitu monokultur dan multikultur.
Pendekatan monokultur berarti harus ada sistem hukum Hindu yang dapat
diterapkan secara universal bagi seluruh umat Hindu di Indonesia, misalnya
dalam Hukum Perkawinan, Pencurian Benda-benda Sakral, serta Hukum Hibah dan
Pemberian. Sebaliknya, pendekatan multikultur bahwa sistem hukum Hindu harus
mampu mengadopsi dan mengadaptasi hukum adat yang unik dan khas dari
masing-masing daerah, seperti dalam Hukum Perceraian, Waris, dan Pengangkatan
Anak.
(1) Hukum Perkawinan
Undang-undang
Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 pasal (2) menyatakan bahwa perkawinan adalah sah
apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu.
Interpretasi atas pasal ini bahwa perkawinan harus dilakukan dalam satu agama. Dalam
praktiknya, proses perkawinan umat Hindu di luar Bali seringkali mengalami
kendala terutama dalam pencatatan administratifnya. Malahan dalam kasus
perkawinan beda agama, proses adminitratif ini menjadi penyebab terjadinya
konversi agama karena hambatan-hambatan administratif untuk menikah secara
Hindu. Secara de yure, memang untuk
umat non-Islam pencatatan dilakukan di Catatan Sipil, tetapi secara de facto proses untuk itu seringkali
kurang berpihak pada umat Hindu. Oleh karena itu, diperlukan adanya instansi
yang secara khusus mengurusi administrasi perkawinan umat Hindu dan Pengadilan
Agama Hindu dapat mengambil peran tersebut.
Artinya, keberadaan Pengadilan Agama Hindu ini penting untuk memberikan kepastian
hukum bagi umat Hindu dalam penyelesaian proses administrasi perkawinan tanpa
diskriminasi.
Adapun
persyaratan sahnya perkawinan menurut agama Hindu dapat ditetapkan adalah tri saksi, yaitu dewa saksi, bhuta saksi, dan manusa
saksi. Bukti hukum dari dewa saksi dan
bhuta saksi adalah rohaniawan Hindu
yang muput upacara pawiwahan tersebut dengan berbagai
sebutan menurut tradisi lokal di masing-masing daerah. Seperti misalnya, pamangku, sulinggih (Bali dan Indonesia
umumnya), Wasi (terutama daerah Jawa
Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta), Dukun
(Tengger) atau pemuka-pemuka adat yang berafiliasi ke agama Hindu. Sementara
itu, manusa saksi dapat dibuktikan
legalitasnya dengan tanda tangan perangkat desa, Parisada, atau umat beragama
Hindu yang dibuktikan dengan KTP. Apabila seluruh persyaratan ini telah
dipenuhi maka Akta Perkawinan dapat diproses di Pengadilan Agama Hindu tanpa
melalui jalur administrasi yang panjang dan berbelit-belit.
(2) Hukum Pencurian
Benda Sakral
Pencurian
benda-benda sakral menjadi ranah penting yang perlu ditangani dengan sistem
hukum yang khusus, seperti peradilan Hindu. Mengingat ranah ini tidak
semata-mata menyangkut hukum pidana yang bernilai secara material, tetapi juga
religius-spiritualnya. Hukum negara yang hanya mempertimbangkan nilai material
dari kasus pencurian benda sakral cenderung mencederai rasa keadilan umat
Hindu. Misalnya, kasus pencurian pratima yang
sempat marak terjadi di Bali menjadi
salah satu bukti betapa sistem hukum negara tidak mampu mengakomodasi
kepentingan umat Hindu. Seorang pencuri pratima
divonis dengan hukuman 2 bulan penjara dalam proses persidangan selama 6
bulan sehingga sama artinya dengan bebas. Putusan ini benar secara hukum formal
karena nilai material pratima yang
bahan dasarnya kayu cendana relatif kecil. Akan tetapi, bila kasus seperti ini
diselesaikan dalam peradilan agama, bisa jadi hukuman yang diputuskan akan
lebih tinggi karena juga mempertimbangkan rasa keadilan umat Hindu.
(3) Hukum Hibah dan
Pemberian
Persoalan
Hibah dan Pemberian adalah masalah krusial yang dapat digarap dengan
terbentuknya Pengadilan Agama Hindu. Mengingat hibah dan pemberian ini
seringkali tidak dilengkapi dengan legalitas yang memadai sehingga dapat
menimbulkan konflik sosial. Hal ini dapat berkaca dari berbagai kasus sengketa palaba pura yang terjadi di Bali karena
penghibahan tanah palaba pura tidak
tercatat secara legal. Demikian juga dengan asset-asset yang dihibahkan, baik
oleh perorangan maupun kelompok kepada lembaga keagamaan Hindu seringkali
menjadi sumber ketegangan yang antiproduktif bagi kemajuan umat Hindu sendiri. Meskipun
aspek legal ini dapat diperoleh melalui sistem hukum negara, tetapi
penyelesaian hukum ketika terjadi sengketa terkadang tidak memuaskan berbagai
pihak. Misalnya, sengketa tanah palaba
pura dapat dimenangkan oleh pemberi hibah (atau keturunannya) karena secara
legal sertifikat tanah tersebut masih atas nama pemilik, bukan atas nama pura sehingga mencederai rasa keadilan
bagi pangemongnya. Dengan kasus
seperti ini, Pengadilan Agama Hindu dapat menyelesaikan sengketa dengan
pertimbangan dan keputusan yang mungkin berbeda dengan sistem peradilan hukum
negara.
(4) Hukum Perceraian
Perceraian
merupakan perkara yang menjadi kewenangan pengadilan agama (Islam) di
Indonesia. Dalam ranah hukum, perceraian tidak saja berhubungan dengan
pemutusan hubungan suami-istri, tetapi juga menyangkut kedudukan, hak, dan
kewajiban suami-istri yang telah bercerai. Artinya, ada dampak ikutan yang
mesti dipertimbangkan dari sebuah perceraian, seperti pembagian kekayaan,
pengasuhan anak, dan status sosial pada sistem sosial khusus misalnya, tradisi wangsa di Bali. Dalam konteks inilah
diperlukan pengadilan agama Hindu yang dapat memberikan keputusan tentang
perkara perceraian dan seluruh implikasi yang ditimbulkannya menurut Hukum
Hindu. Akan tetapi, pendekatan yang digunakan mesti multikultur dengan
mengadopsi sistem hukum adat yang berlaku di masing-masing daerah. Hal ini
sekaligus menegaskan karakter Hindu Indonesia yang mengedepankan nilai-nilai
kebhinekaan menurut desa, kala, dan patra.
Menyimak
proses peradilan agama Islam, tampaknya model pemutusan perkara perceraian dilakukan
dengan tiga langkah, yaitu pembinaan, mediasi, dan putusan persidangan. Model
ini pada dasarnya juga dapat diterapkan dalam sistem peradilan Hindu dengan
sifatnya yang spesifik. Pembinaan kepada pihak yang akan bercerai merupakan
pendekatan persuasif yang dapat memberikan efek positif bagi batalnya
perceraian. Dilanjutkan dengan mediasi yang melibatkan pihak ketiga dan
difasilitasi oleh pengadilan juga memungkinkan perceraian batal terjadi. Lebih
penting dari itu bahwa ketiga proses ini memerlukan waktu yang relatif lama karena
seluruh tahapan harus diikuti sebelum pengadilan memutuskan. Hal ini dapat
memberikan dampak psikologis bagi orang yang akan bercerai sehingga dapat
menekan angka perceraian itu sendiri. Artinya, model putusan perceraian yang
dibuat bertahap seperti ini dapat memberikan implikasi positif, baik secara
psikologis maupun sosiologis kepada umat Hindu untuk berpikir ulang sebelum
memasukkan masalah rumah tangga ke ranah perceraian.
Masalah
ikutan dari perceraian yang penting untuk diperhatikan adalah hak mengasuh
anak. Hal ini berkaitan erat dengan hukum adat yang dianut oleh masing-masing
umat Hindu sehingga sifatnya spesifik di tiap-tiap daerah. Bagi umat Hindu
etnis Bali yang menganut sistem patrilineal hak asuh anak dapat diberikan
kepada pihak laki-laki (purusa).
Sementara itu, bagi etnis Jawa yang menggunakan sistem paternalistik hak asuh
anak dapat mengadopsi sistem perundang-undangan negara, misalnya Undang-undang
No. 1 Tahun 1974. Boleh jadi, juga bagi umat Hindu yang berasal dari etnis
matrilineal juga penting diperhatikan sistem adatnya. Dengan asumsi seperti
ini, maka hukum perceraian Hindu dapat diatur dengan mengkombinasikan dua
pendekatan sekaligus, yaitu (1) tahapan perceraian dapat diberlakukan bagi
seluruh umat Hindu, dan (2) hak asuh anak diputuskan dengan mengadopsi sistem
hukum adat yang berlaku di masing-masing daerah. Penghargaan terhadap
multikulturalisme dalam sistem hukum ini, justru dimaksudkan untuk memberikan
rasa keadilan pada setiap umat Hindu.
(5) Hukum Waris
Mencermati
sistem waris yang diafirmasi dalam berbagai hukum adat, tampaknya hukum waris
Hindu memerlukan pembahasan khusus. Dengan model pendekatan multikultur hukum
adat diadopsi dan diadaptasi dengan penyesuaian-penyesuaian seperlunya. Pada
masyarakat Jawa yang menggunakan sistem kekerabatan paternalistik memiliki
beberapa sistem waris yang unik seperti contoh kasus berikut. Pak Sumitro punya
empat orang anak, yakni Susilo, Dhanu, Suyati, dan Endang. Sebelum meninggal,
Pak Sumitro ingin membagi warisannya berupa sawah seluas 1 hektar, sebuah rumah,
dan pekarangan seluas 50 are. Maka sistem pembagiannya adalah sebagai berikut.
(1)
Sawah 1 hektar dibagi
menjadi 5 bagian (masing-masing 20 are), yaitu 4 (empat) bagian untuk
anak-anaknya dan 1 (satu) bagian menjadi milik Pak Sumitro sebagai tunggu urip. Secara leksikal, tunggu urip berarti penunggu hidup,
tetapi di sini dimaksudkan adalah tanah milik keluarga (Bali: druwe tengah) yang tidak boleh dibagi
lagi selama Pak Sumitro masih hidup, bahkan juga setelah meninggal kecuali
untuk keperluan yang sangat mendesak. Misalnya, untuk biaya pengobatan Pak
Sumitro ketika sakit.
(2)
Secara tradisi, rumah
menjadi milik anak terakhir. Akan tetapi, karena pertimbangan khusus rumah ini
dapat dimiliki oleh anak yang tinggal bersama Pak Sumitro dengan asumsi
siapapun yang merawat Pak Sumitro selama hidupnya. Misalnya, Endang sebagai
anak terakhir ternyata menikah dan membangun rumah sendiri bersama suaminya,
sedangkan Suyati yang mau menempati rumah itu bersama suaminya. Maka secara
otomatis, hak atas rumah tersebut menjadi milik Suyati. Sementara itu,
pekarangannya tetap dibagi menjadi lima bagian (masing-masing 10 are), seperti pembagian
sawah di atas.
(3)
Pembagian warisan berupa
tanah pekarangan diatur secara adil menurut patokan jalan raya. Dengan maksud
bahwa ketika tanah itu dijual harganya relatif sama. Misalnya, tanah 50 are
tersebut posisinya memanjang ke belakang dengan ukuran (10 x 50 meter) dari
jalan raya. Kalau tanah ini dibagi menjadi 5 dengan sama-sama mendapatkan rai (muka, jalan raya), maka setiap
orang mendapat bagian 2 x 50 meter memanjang ke belakang. Posisi ini tentu
tidak akan produktif untuk keperluan tertentu, misalnya untuk membuat rumah.
Oleh karena itu, pembagiannya dapat diatur ulang dengan cara nyusuk, yaitu siapa yang mau mendapatkan
bagian paling dekat dengan jalan raya harus mengeluarkan uang tambahan untuk
membeli bagian yang lain sesuai dengan harga yang berlaku di daerah tersebut.
Di
samping sistem waris yang berlaku seperti tersebut di atas, pada beberapa
daerah di Jawa juga masih berlaku sistem pembagian waris yang membedakan antara
laki-laki dan perempuan dengan sistem sapikul-sagendongan.
Sapikul berarti pihak laki-laki mendapatkan 2 bagian, sedangkan perempuan
mendapatkan 1 bagian (sagendongan).
Sementara itu, masyarakat Bali yang menjadi mayoritas pemeluk agama Hindu dan
sekarang tersebar di berbagai daerah dapat tetap diadopsi sistem waris adatnya.
Mengingat terdapat beberapa kesamaan antara sistem waris adat Bali dengan Manawa Dharmasastra yang cenderung
mengarah ke sistem patrilineal. Artinya, diperlukan kecermatan dalam menyusun
kitab undang-undang hukum waris Hindu yang dapat diterapkan bagi seluruh umat
Hindu di Indonesia dengan tetap mengakomodir kepentingan lokal.
(6) Hukum Pengangkatan
Anak
Berkenaan
dengan hukum pengangkatan anak terdapat dua persoalan krusial yang harus
ditetapkan dalam sistem hukum Hindu, yaitu (1) keabsahan pengangkatan, baik
secara agama maupun dinas; (2) hak dan kewajiban anak yang diangkat; dan (3)
sistem waris kepada anak yang diangkat. Pada masalah pertama, Pengadilan Agama Hindu dapat menjadi institusi yang
melegitimasi pengangkatan seorang anak dengan mempertimbangkan upacara agama
dan kesaksian terkait dengan hal tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar