DEKONSTRUKSI SASMITA
ZAMAN EDAN RANGGAWARSITA:
KAJIAN SEMIOTIKA
Oleh
Nanang Sutrisno
1. Pendahuluan
Ranggawarsita adalah pujangga
besar tanah Jawa abad ke-19. Pemilik nama lengkap Raden Mas Ngabehi Ranggawarsita
ini lahir dengan nama kecil Bagus Burhan di Kampung Yasadipuran Surakarta, pada
tanggal 15 Maret 1802 (Purwadi, 2003:105). Darah pujangga telah mengalir dalam
dirinya karena kakek-buyutnya yaitu, R.Ng. Yasadipura I adalah pujangga besar
Jawa abad ke-18 (Mulyanto, dkk., 1990). Kebesaran Ranggawarsita
sebagai pujangga dapat dilihat dari produktivitasnya dalam berkarya dan
kualitas karya-karyanya. Sekurang-kurangnya, Partokusumo mencatat sebanyak 50
judul, sedangkan Anjar Any mencatat 56 judul karya Ranggawarsita (Purwadi,
2003:161). Pemikiran filsafat, ilmu, sosial, politik dan kekuasan, kebatinan,
mistik, serta ramalan zaman mewarnai karya-karyanya, sekaligus menegaskan
keberadaannya sebagai seorang pujangga besar. Serat Pustaka Raja, Serat Jaka Ledhung, Wirid Hidayat Jati, Serat
Kalatidha, Serat Aji Dharma, Serat Cemporet, Serat Paramayoga, Suluk Saloka
Jiwa, dan Serat Jayabaya, adalah
sebagian kecil dari karya-karyanya yang cukup populer bagi masyarakat Jawa,
khususnya para penggiat sastra Jawa (Purwadi, 2003:149-162).
Ramalan menjadi salah satu keunggulan
dari karya-karya Ranggawarsita. Dikatakan unggul karena ramalannya seringkali
bersesuaian dengan dengan fenomena alam dan sosial yang terjadi. Salah satu
karya Ranggawarsita yang mungkin paling terkenal adalah Serat Kalatidha. Karya ini menguraikan ramalan Ranggawarsita
mengenai tanda-tanda (sasmita) zaman edan atau zaman Kalatidha (Purwadi, 2003:215). Sebuah
gambaran zaman yang penuh kekacauan, baik-buruk begitu sumir, orang baik
tersingkir, sebaliknya orang jahat menjadi penguasa. Ini merupakan petanda
zaman yang tidak dapat dihindari oleh siapapun karena telah menjadi bagian dari
siklus waktu. Menyikapi hal ini, Ranggawarsita mengingatkan manusia agar tidak larut
dalam situasi tersebut. Salah satunya dengan bercermin pada kearifan masa lalu
untuk memahami kembali arti baik-buruk sehingga dapat dijadikan pedoman hidup pada
zaman sekarang, yaitu tetap eling dan
waspada.
Sasmita zaman edan
adalah ramalan. Sebagian pihak memandang bahwa kemampuan Ranggawarsita meramal
dengan tepat adalah bersumber dari pengetahuan mistisnya, tetapi sebagian yang
lain memandangnya sebagai kerja rasionalitas belaka. Pandangan pertama, yang mengarah pada mistifikasi
karya sastra dan pengultusan pujangga dapat mengakibatkan mandegnya kerja
analitis-kritis karena pikiran dan kesadaran telah difinalkan pada kepercayaan.
Mengingat kepercayaan menjadi salah satu ukuran dari kebenaran mistis (Tafsir,
2006:121). Kehadiran Ranggawarsita, bahkan menjadi lebih penting daripada teks
yang ditulis karena kepercayaan yang berlebihan pada keunggulan batin sang
pujangga. Sebaliknya, pandangan kedua
juga, dapat melahirkan jebakan pada positivisme yang memandang teks ini hanya ditulis
sebagai bentuk penilaian (judgement), pernyataan (proposition), dan representasi (representation) sang pujangga sebagai
sesuatu yang objektif untuk menampilkan realitas apa adanya (Al-Fayyadl,
2005:30). Dengan kata lain, teks ini dipandang tidak memiliki keistimewaan apapun
karena realitas zaman edan dan zaman keemasan merupakan potret sosial yang
menyejarah. Oleh karena itu, munculnya zaman edan dapat dipandang sebagai
perulangan peristiwa sejarah yang lumrah terjadi dalam kehidupan. Kedua
pandangan ini boleh jadi benar, tetapi tidak dapat memuaskan semua pihak. Dengan
demikian ‘ramalan’ tersebut harus dikembalikan pada kenyataan asalinya sebagai teks,
guna mengatasi mistisisme dan positivisme yang membayanginya.
Mengembalikan ramalan tersebut
sebagai teks mensyaratkan adanya keberanian membebaskannya dari otoritas sang author. Kata ‘pengarang’ sebagai
terjemahan dari kata “author” dalam
bahasa Inggris ini, tampaknya kurang tepat digunakan di sini. Mengingat dari
kata author juga, kata “authority”
berasal, sehingga otoritas pengarang selalu melekat pada karyanya. Sebaliknya,
kata ‘pujangga’ yang umumnya disandangkan pada pencipta karya sastra jauh lebih
bebas dari problem otoritas. Pada kenyataannya memang tidak sedikit karya-karya
besar dan monumental di Jawa lahir dari pujangga yang menyandikan nama
terangnya atau bahkan anonimus sama
sekali. Maka dari itu, Ranggawarsita lebih tepat disebut pujangga, ketimbang seorang
pengarang. Artinya, begitu teks Serat
Kalatidha ditulis dan beredar, tidak ada otoritas dan pembawa wibawa yang
dapat menentukan mana tafsir yang benar tentang teks itu (Mohamad, dalam
Al-Fayyadl, 2005:xii).
Jargon “the dead of author” yang dipopulerkan Roland Barthes adalah maksud
dari semua ini. Walaupun demikian, Derrida tidak menerima begitu saja pandangan
Barthes tentang kematian sang pujangga. Menurut Derrida, sang pujangga tidak
benar-benar mati, melainkan muncul dan lenyap dalam teks yang ditulisnya
(Mohamad, dalam Al-Fayyadl, 2005:xii). Derrida sesungguhnya ingin mengatakan
bahwa teks itu hidup terus (survivre)
mengatasi atau melampui kehadiran. Ranggawarsita muncul dan lenyap dalam teks
yang ditulis bukanlah sebagai wujud kehadiran, tetapi “nama sebuah masalah”, seperti
halnya teks itu sendiri. Dengan demikian sasmita
(tanda-tanda) zaman edan adalah teks yang terbuka untuk ditafsirkan,
sekaligus menolak adanya ketunggalan makna. Ranggawarsita, di sini dan saat
ini, adalah pujangga masa lalu yang hidup di masa depan. Artinya, walaupun ia
telah menulis Serat Kalatidha
tersebut pada masa lalu, tetapi ia selalu muncul dan lenyap dalam teks yang
ditulisnya tersebut.
Serat Kalatidha adalah
karya sastra yang dicipta Ranggawarsita untuk menjelaskan zaman edan dalam
bentuk tanda-tanda (sasmita). Oleh
karena itu karya sastra ini dapat dipahami maknanya sesuai dengan konvensi
ketandaan, yaitu kajian utama dalam analisis semiotika. Dalam analisis
semiotika, segala sesuatu dapat dijabarkan sebagai bahasa. Bahasa pada
prinsipnya merupakan perangkat yang didasarkan pada konvensi sosial. Dalam
penggunaan sehari-hari, bahasa tidak dapat dilepaskan dari sistem pemaknaan
tertentu yang dipakai untuk menunjukkan suatu realitas. Tanpa sistem pemaknaan
ini, tidak mungkin terjadi komunikasi antarsesama individu. Sistem inilah yang
disebut “tanda”. Menurut Saussure, bahasa (langue)
adalah khasanah tanda (lexicon of
signification) (Sturrock, 2007:6). Bahasa bukanlah sekadar kata-kata,
melainkan juga semesta tanda. Tanda membentuk kode-kode yang melestarikan
fungsi bahasa (Sturrock, 2007:7). Jadi, semiotika merupakan perluasan jangkauan
(ekstensi) dari terma linguistik yang memandang bahasa adalah sistem tanda (Audifax,
2007:21). Karya sastra merupakan sistem semiotik tingkat kedua yang menggunakan
bahasa sebagai bahan semiotik tingkat pertama (Pradopo, 2003:108). Disebut
semiotik tingkat kedua atau jenis bahasa sekunder (Segers, 2000:14), karena
karya sastra dengan petandanya seperti, metafora, konotasi, dan ciri-ciri
penafsiran ganda lainnya bukanlah bahasa biasa, melainkan sistem komunikasi
yang telah sarat dengan pesan kebudayaan (Ratna, 2004:111).
Penggunaan metafor, baik dalam
karya sastra maupun percakapan sehari-hari sesungguhnya telah cukup familiar dalam
masyarakat Jawa. Bagi orang Jawa setiap kata bukanlah sekadar ucapan “uni”, melainkan ungkapan “unen-unen”. Oleh karena itu, metafor
merupakan inti dari ungkapan Jawa. Ungkapan Jawa umumnya memiliki sifat, (a)
menggunakan kata atau kalimat yang unik; (b) mengandung kebijaksanaan hidup;
(c) menggambarkan tindakan manusia; dan (d) menggunakan kiasan (Endraswara,
2005:21). Ungkapan ini lahir dari sari-sari pengalaman yang panjang, sekaligus
endapan kesadaran kolektif penggunanya (Danandjaja, 1989:28). Dengan menggunakan
cara kerja semiotika, tanda-tanda (sasmita) zaman edan yang ditulis Ranggawarsita
dalam Serat Kalatidha ditelusuri
maknanya.
2. Dari
Metafor ke Dekonstruksi
Pembalikan ke arah bahasa (linguistic turn) adalah gejala dominan
di era posmodern. Filsafat modern yang masih berbicara tentang “kesadaran”,
“akal”, “roh”, dan “pengalaman” mulai ditinggalkan, dan filsafat telah beralih
kepada “bahasa”. Pengaruhnya dapat dibuktikan dengan semakin berkembangnya
semiologi atau semiotika, hermeneutika, filsafat analitik, teori speech act, dan analisis wacana
(Sugiharto, 1996:79). Sementara itu, untuk memahami hubungan antara
posmodernisme dan “pembalikan ke arah bahasa” menjadi jelas dengan munculnya
kecenderungan pada pembicaraan tentang “metafor” (Sugiharto, 1996:80). Lebih
lanjut, Sugiharto (1996:80) menjelaskan bahwa pentingnya metafor bukan terletak
pada fungsi deskriptif bahasa, melainkan fungsi transformatifnya. Apabila
bahasa adalah semesta tanda, maka metafor merupakan inti bahasa. Dengan
demikian ‘metafor’ menjadi konsep penting dalam semiotika poststrukturalis.
Semiotika umumnya didefinisikan
adalah ilmu yang memelajari tentang tanda. Ada dua tokoh penting yang perlu
dikenal ketika berbicara semiotika atau semiologi, yaitu Ferdinand de Saussure
dan Charles Sanders Peirce. Merekalah yang meletakkan dasar pemikiran yang
menjadi landasan pengembangan semiotika. Dalam perkembangan lebih lanjut,
semiotika dipengaruhi oleh pemikiran strukturalisme dan psotstrukturalisme
melalui tokoh-tokoh seperti, Claude Levi Strauss, Louis Althusser, Jacques
Lacan, Michel Foucoult, Jacques Derrida, Julia Kristeva, Gilles Deleuze, Felix
Guattari, Umberto Eco, hingga Zlavoj Zizek (Budiman, 2004:4).
Saussure menjelaskan semiologi adalah
ilmu umum tentang tanda, sedangkan Pierce berpendapat bahwa semiotika merupakan
bentuk lain dari logika, yakni doktrin formal bagi tanda-tanda (Audifax,
2007:18). Saussure mengembangkan semiologi berdasarkan prinsip diadik, entitas
dua sisi (dyad) (Audifax, 2007:26;
Yasa, 2010:18). Bahasa adalah sistem tanda yang
merupakan kesatuan antara signifiant dan
signifie (Yasa, 2010:18). Signifiant
adalah penanda, yaitu citra akustik, aspek formal atau bentuk tanda itu.
Sebaliknya, signifie adalah petanda,
yaitu konsep atau citraan mental, aspek makna atau konseptual dari penanda (Cavallaro,
2004:30; Al-Fayyadl, 2005:37; Audifax, 2007:26; Yasa, 2010:18). Kedua aspek ini tidak dapat dipisahkan satu sama
lain (Teeuw, 1984:44, 56; Endraswara, 2003:64; Yasa, 2010:18).
Sementara itu, Peirce mengusulkan
istilah semiotics ‘semiotika’ sebagai
sinonom dari logika, yaitu bagaimana orang bernalar (Yasa, 2009:19), atau bentuk
formal bagi tanda-tanda (Audifax, 2007:18). Untuk itu Peirce mengembangkan
prinsip triadik. Ia menyatakan bahwa ada tiga faktor yang menentukan adanya
tanda, yaitu tanda itu sendiri, hal yang ditandai, dan sebuah tanda baru yang
terjadi dalam batin si penerima tanda. Antara tanda dan yang ditandai akan
melahirkan interpretasi di benak penerima (Yasa, 2010:19).
Berdasarkan hubungan antara tanda dan yang ditandai, Peirce membedakan tanda
menjadi tiga jenis: (1) ikon, yaitu tanda yang secara inheren memiliki kesamaan
dengan arti yang ditunjuk atau hubungan kemiripan; (2) indeks, yaitu tanda yang
mengandung hubungan kausal dengan apa yang ditandai atau hubungan eksistensi;
dan (3) simbol, yaitu tanda yang memiliki hubungan makna dengan yang ditandai
atau hubungan secara konvensional (Nurgiyantoro, dalam
Yasa, 2010:19).
Semiotisian membedakan antara
denotasi dan konotasi, terma yang menjabarkan relasi antara tanda dan
referennya. Denotasi mengarah pada paparan defisional atau pemaknaan “literal”
tanda, sedangkan konotasi merujuk pada sosio-kultural dan asosiasi personal
(ideologi, emosi, dan sebagainya) (Chandler, dalam Audifax, 2007:33). Dalam
filsafat bahasa, kedua relasi tanda ini menjadi perdebatan menarik. Pertama, kelompok yang beranggapan bahwa
filsafat wajib menggunakan bahasa denotatif-literal. Di sini, metafor
disisihkan, diremehkan, dan dianggap illusoris.
Pandangan ini terutama bertolak dari pandangan Aristoteles yang disebutnya logos apophanticos, yaitu
proposisi-proposisi logis. Dikatakan bahwa proposisi logis haruslah berasal
dari identitas asli, jika sesuatu itu “A” maka tidak mungkin ia sekaligus “bukan
A” (Sugiharto, 1996:122). Kedua, kelompok
yang beranggapan bahwa filsafat murni, justru yang metaforis, bukan literal.
Kelompok ini terutama merujuk pada pemikiran Nietzhe bahwa dasar kegiatan
berbahasa dan berpikir tiada lain adalah kegiatan bermetafor (Sugiharto,
1996:128). Ketiga, kelompok yang
beranggapan bahwa, baik bahasa literal maupun metafor mempunyai fungsinya
sendiri-sendiri yang unik. Ini adalah posisi yang diambil Paul Ricoeur bahwa
kendati memang terdapat hubungan intim antara wacana puitik atau ungkapan
metaforis dengan wacana filosofis spekulatif, toh wacana filosofis memiliki
kekhasan dan otonomi sendiri. Jadi, pentinglah untuk melihat bahwa pada
prinsipnya terdapat diskontinuitas
(antara filsafat dan metafor) yang mendasari otonomi wacana filosofis
(Sugiharto, 1996:138).
Kerja Ricoeur dalam menggeluti
persoalan metafor ini telah memberikan sumbangan yang mencengangkan dalam perkembangan
filsafat bahasa. Ricoeur memberikan cara untuk mengungkap nilai metafor dengan
tidak melihat metafor dari sudut “kata”, melainkan dari sudut “pernyataan”,
bahkan lebih jauh lagi dari sudut “diskursus” atau keseluruhan wacana
(Sugiharto, 1996:104). Dengan sendirinya ia telah bergerak dari wilayah
semiotika kata (tanda) ke arah semantika makna kalimat. Suatu kalimat adalah
unit wacana. Ricoeur menyatakan bahwa wacana sastra sebetulnya “maknanya adalah
struktur karya itu, sedangkan acuannya adalah ‘dunia’ yang ditampilkan oleh
karya itu”. Dari sinilah lantas, hermeneutik adalah teori yang mengatur
transisi dari struktur karya tadi ke ‘dunia’ yang ditampilkannya. Oleh karena
itu, menafsirkan suatu karya sastra berarti memajang ‘dunia’ yang diacu oleh
karya itu, melalui bentuk penataan, genre
(kodifikasi khas), dan gaya penulisannya (Sugiharto, 1996:105). Dengan
demikian metafor adalah suatu bentuk wacana yang bersifat retorik yang
memungkinkan terjadinya redeskripsi kenyataan – suatu kekuatan yang terutama
dimiliki oleh karya-karya fiksi atau sastra.
Sejalan dengan hal tersebut, Yasa
(2010:19) menjelaskan bahwa karya sastra merupakan
aktivitas bahasa yang tidak langsung dan bersifat hypogramik. Aktivitas dimaksud bersifat dialektik antara teks dan
pembaca; dan dialektik antara tataran mimetik dan tataran semiotik. Lebih
lanjut, Riffetere (dalam Yasa, 2010:20) mengusulkan
dua istilah yang perlu dibedakan dalam pemaknaan pusi, yaitu meaning “arti” dan significance “makna”. Dari segi arti, teks puisi merupakan satuan
informasi yang berturut-turut, yang dikonvensikan oleh teks pada tataran
mimetik. Sementara itu, dari segi makna teks puisi merupakan satu kesatuan
semantik. Artinya, pembaca sebagai pemberi makna harus mulai dari pembacaan heuristik, yakni pembacaan berdasarkan
kompetensi linguistik untuk menemukan arti. Kemudian, melanjutkan analisis
dengan hermeneutik, yakni pembacaan
struktural berdasarkan kompetensi sastra untuk menemukan pusat makna. Sampai di
sini, pembacaan heuristik dan hermeneutik telah menjadi metode analisis
semiotika untuk mendapatkan arti dan makna sebuah karya sastra, dalam hubungan
petanda dalam penanda.
Dalam perkembangan berikutnya,
masalah dalam semiotika justru bergulat pada konsep makna tanda (significance) itu sendiri. Malahan,
hermeneutika yang semula menjadi salah satu cara kerja semiotika berkembang
menjadi ilmu tersendiri dengan cara kerja yang khas pula. Freidrich Daniel
Ernst Schleiermacher, Wilhelm Dilthey, Hans-Georg Gadamer, Paul Ricoeur, Martin
Heiddiger, dan Pierre Derrida, adalah nama-nama yang menghiasi inklinasi mazhab
hermeneutika. Persoalan dalam hermeneutik terutama berpusat pada hubungan
pengarang (author) dengan teks dan
interpretan (Gadamer, 2006). Masalah ini juga, menjadi persoalan penting dalam
perkembangan teori semiotika, dari strukturalisme hingga prostrukturalisme.
Semiotika strukturalis Saussurean
misalnya, menyatakan bahwa konsep (petanda)
tidak memiliki makna apa-apa dalam dirinya sendiri. Petanda hanya akan memeroleh maknanya hanya dalam relasi
keberbedaannya. Bagi semua tujuan praktis, relasi yang paling penting di atas
semua terma adalah relasi oposisi biner. Seperti misalnya, laki-laki memeroleh
makna karena adanya perempuan; dan suami memeroleh makna karena adanya istri
(Arthur, dalam Audifax, 2007:28). Ini menegaskan pandangan strukturalis bahwa makna
teks lahir dari relasi yang hierarkis dan oposisional. Relasi ini mengisyaratkan
teks memiliki makna yang tunggal karena makna itu hadir dengan menidakkan yang
lain.
Derrida tidak bersepakat dengan
ini karena perbedaan tidak selalu mengisyaratkan hierarkis (yang satu lebih
unggul daripada yang lain) dan beroposisi (ada yang satu, menidakkan yang
lain). Derrida memberikan contoh sederhana tentang perbedaan hitam dan putih. Kategori hitam tidak
hanya dipakai untuk membedakan dengan yang putih,
atau menidakkan yang putih karena
dapat dibuat kategori yang lain misalnya, abu-abu.
Dengan adanya kategori abu-abu (yang
lain, ‘the others’), kedua kategori
sebelumnya tetap seperti sediakala. Oleh karena itu, usaha logos untuk merengkuh kebenaran dalam totalitasnya dengan menepikan
perbedaan-perbedaan yang implisit dalam totalitas itu hanyalah ilusi. Kebenaran
tidak bisa ditemukan di luar sistem diferensial yang membentuk bahasa,
kebenaran tidak tampil dalam ruang hampa, melainkan dirajut dari relasi rumit
yang sambung menyambung di dalam tubuh bahasa (Al-Fayyadl, 2005:76).
Derrida meradikalkan pengertian
teks sebagai pembebasan terhadap logika dan kategori metafisika yang bersifat
hierarkis dan oposisional. Teks merupakan perlawanan terhadap pusat yang secara
ontologis diyakini sebagai makna atau kebenaran yang intrinsik dalam satu hal.
Teks menetralkan pusat-pusat penandaan melalui diferensialitas tanda. Lantaran
aspek diferensialitasnya, operasi dan cara kerja teks selalu bersifat
diseminatif karena tanda-tanda yang termuat dalam sebuah teks menyebar dan
berhubungan dengan teks-teks yang lain. Dalam rangkaian intertekstualitas,
tidak ada lagi kebenaran atau makna yang otonom. Kebenaran dibentuk dari teks,
ditemukan dalam teks, diinvensi, dan direkayasa dalam teks (Al-Fayyadl,
2005:76-77). Seperti halnya Foucoult, Derrida menekankan diskontinuitas
diskursif dalam sebuah teks yang memugar tatanan-tatanan yang stabil dengan
menekankan penyebaran tanda-tanda secara produktif (diseminasi). Dalam
strukturalisme, penekanan pada struktur telah mengabaikan potensi tanda dalam menciptakan
kemungkinan-kemungkinan yang tidak terpikirkan dari teks. Padahal, struktur
yang terlihat koheren dan stabil juga dikonstruksi melalui permainan tanda (jeu) yang tidak mungkin difiksasi ke
dalam satu pusat atau makna tunggal (Al-Fayyadl, 2005:78).
Diseminasi menyajikan sebuah
strategi unik yang memperlihatkan betapa nyaris tidak mungkinnya menangkap
makna, kecuali memanfaatkan teks sebagai arena permainan yang terus menerus
ditransformasi dengan mensubstitusi penanda-penanda lama dengan penanda-penanda
baru. Dengan mempermainkan tanda, maka petanda yang hendak disimpulkan dari
sebuah teks dengan sendirinya tertunda (Al-Fayyadl, 2005:79). Diseminasi tanda
menjadikan teks layaknya sebuah labirin dengan kaca-kaca yang saling
memantulkan bayangan, tanpa arah yang jelas ke mana jalan itu menuju. Memasuki
teks, tak ubahnya seperti diterlantarkan untuk mencari sendiri marka jalan yang
dapat dijadikan pegangan (Al-Fayyadl, 2005:79). Operasi teks dan diseminasi
tanda adalah konsekuensi langsung dari pembacaan dekonstruktif. Menurut
Johnson, dekonstruksi adalah strategi mengurai teks. Istilah “de-konstruksi”
sebenarnya lebih dekat dengan etimologis dari kata ‘analisis’, yang berarti
mengurai, melepaskan, membuka (Al-Fayyadl, 2005:79; Audifax, 2007:46). Kedekatan
etimologis ini menunjukkan bahwa dekonstruksi lebih dimaksudkan sebagai
strategi mengurai struktur dan medan pemaknaan dalam teks, ketimbang operasi
untuk merusak teks itu sendiri. Dengan demikian, jika sebuah teks
didekonstruksi, bukanlah makna yang dihancurkan. Akan tetapi klaim bahwa satu
bentuk pemaknaan teks lebih benar ketimbang
pemaknaan lain yang berbeda (Al-Fayyadl, 2005:80).
Dekonstruksi bisa dikatakan salah
satu bentuk strategi literer terhadap teks-teks filsafat. Serangan nyata dari
kebenaran metaforis terhadap konstruksi filsafat yang cenderung bersifat literal.
Penjungkirbalikan gaya berpikir logosentris yang biasa ditemukan dalam
teks-teks filsafat, dan menjadikan teks-teks filsafat tak ubahnya sebagai teks
sastra. Ikhtiar Derrida terutama adalah mempertanyakan kembali klaim filsafat
bahwa sebuah teks memiliki makna yang univokal dan tidak menyertakan sedikit
pun ambiguitas di dalamnya. Dekonstruksi menggugat modus pemaknaan yang
terpusat dan cenderung bulat seperti yang mungkin diinginkan oleh teks. Dalam
dekonstruksi, makna lebih dialami sebagai proses dari penafsiran, dan bukan
hasil yang sudah jadi dan dapat dinikmati begitu saja. Makna ada di balik
layar, tetapi wujudnya bukan kehadiran, melainkan
proses menjadi yang terus menerus menunda pengertian yang dirasakan memadai dan
menggantikannya dengan penanda-penanda baru yang lebih terbuka dan ambigu
(Al-Fayyadl, 2005:82).
Membaca teks sastra adalah membaca
metafor sebagai inti bahasanya. Metafor adalah permainan bahasa (language game) yang tidak
sungguh-sungguh memaksudkan apa yang jelas-jelas dikatakannya. Makna sebuah
metafor mengatasi dirinya sendiri dan membimbing ke sesuatu yang justru tidak
dikatakannya. Menurut Derrida, makna selalu bersifat differance, seperti hantu yang bermain antara ada dan tiada;
keberadaannya adalah ketiadaannya, dan ketiadaannya adalah keberadaannya. Difference membayangi setiap teks dengan
kemungkinan-kemungkinan lain yang menawarkan kejutan, tak terduga, dan cukup
membuat cemas karena seolah-olah teks kehilangan makna (Al-Fayyadl, 2005:88).
3. Sasmita Zaman Edan dalam Serat
Kalatidha
Sasmita (tanda-tanda)
zaman edan merupakan salah satu “ramalan” pujangga Ranggawarsita yang mungkin
paling populer bagi masyarakat Jawa khususnya. Ramalan ini dirajut dalam sebuah
karya sastra berbentuk puisi yang diikat oleh metrum tembang Sinom, dan diberi nama Serat Kalatidha. Layaknya karya sastra
puisi lainnya, tanda-tanda zaman edan dilukiskan dalam pernyataan-pernyataan
metaforis sehingga diperlukan pembacaan ulang untuk mendapatkan maknanya.
Berikut ini akan diketengahkan Serat
Kalatidha yang dikutip dari buku “Sosiologi Mistik R.Ng. Ranggawarsita”
oleh Purwadi (2003: 216-222). Walaupun demikian, pembacaan tingkat pertama (heuristik) dilakukan sendiri oleh penulis untuk menemukan arti literal (meaning) dari teks tersebut, seperti
berikut.
Serat Kalatidha
Sinom
|
|
|
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
|
Mangkya darajating praja,
kawuryan wus sunyaruri,
rurah pangerehing ukara,
karana tanpa palupi,
atilar silastuti,
sujana sarjana kelu,
kalulun kala tida,
tidhem tandaning dumadi,
ardayengrat dene karoban
rubeda.
Ratune ratu utama,
patihe patih linuwih,
pra nayaka tyas raharja,
panekare becik-becik,
parandene tan dadi,
paliyasing kala bendu,
mandar mangkin andara,
rubeda angrebedi,
beda-beda ardaning wong
saknegara.
Katetangi tangisira,
sira Sang Paramengkawi,
kawileting tyas duhkita,
katamen ing ren wirangi,
dening upaya sandi,
samurana angrawung,
mangimur manuhara,
meh pamrih melik pikolih,
temah suka ing karsa tanpa
wiweka.
Dasar karoban pawarta,
beberatun ujar lamis,
pinudya dadya pangarsa,
wekasan malah kawuri,
yan pinikir sayekti,
mundhak apa aneng ngayun,
andhedher kaluputan,
siniraman banyu lali,
lamun tuwuh dadi kekembanging
beka.
Ujaring panitisastra,
awewarah asung peling,
ing jaman kening musibat,
wong ambeg jatmika kontit,
mengkono yen niteni,
pedah apa amituhu,
pawarta lolawara,
mundhak angreretna ati,
angurbaya angiket cariteng
kuna.
Keni kinarya darsana,
panglambang ala lan becik,
sayekti akeh kewala,
lelakon kang dadi tamsil,
masalahing ngaurip,
wahananira tinemu,
temahan anarima,
mupus papesthineng takdir,
puluh-puluh anglakoni
kaelokan.
Amenangi jaman edan,
ewuh aya ing pambudi,
milu edan nora tahan,
yen tan milu anglakoni,
boya kaduman melik,
keliren wekasanipun,
ndilalah karsa Allah,
sabegja-begjaning kang lali,
luwih begja kang eling lan
waspada.
Semana iku bebasan,
padu-padune kepingin,
enggih mekaten man doblang,
bener ingkang angarani,
nanging sajroning batin,
sejatine nyamut-nyamut,
wis tuwa arep apa,
muhung mahas ing asepi,
supayantuk pangaksamaning
hyang suksma.
Beda lan kang wus santosa,
kinarilah ing Hyang Widhi,
satiba malanganeya,
tan susah ngupaya kasil,
saking mangunah prapti,
pangeran paring pitulung,
marga samaning titah,
rupa sabarang pakolih,
parandene maksih taberi
ikthiyar.
Sakadare linakonan,
mung tumindak marga ati,
angger tan dadi prakara,
karana riwayat muni,
ikhtiyar iku yekti,
pamilihing reh rahayu,
sinambi budidaya,
kanti awas lan eling,
kanti kaesthi antuka parmaning
suksma.
Ya Allah ya Rasullulah,
kang sipat murah lan asih,
mugi-mugi aparinga,
pitulung ingkang martani,
ing alam awal akhir,
dumununging gesang ulun,
mangkya sampun awredha,
ing wekasan kadi pundi,
mula mugi wontena pitulung
tuwan.
Sageda sabar santosa,
mati sajeroning urip,
kalis ing reh aruhara,
murka angkara sumingkir,
tarlen meleng malat sih,
sanityasing tyas mematuh,
badharing sapudendha,
antuk mayar sawetawis,
borong angga sawarga mesi
martaya.
|
Beginilah keadaan negara saat ini,
kewibawaan sudah kosong melompong,
sulit digambarkan dengan kata-kata,
karena tidak ada lagi yang bisa jadi teladan,
semua telah meninggalkan susila,
para cendikiawan demikian juga,
semua ikut arus zaman Kalatida,
suasananya mencekam,
dunia penuh dengan kekacauan.
Rajanya, raja yang utama,
patihnya juga patih yang hebat,
semua pegawainya juga berhati baik,
pemuka masyarakat juga baik-baik,
tapi semua tidak bisa menciptakan kebaikan,
karena pengaruh zaman Kalabendhu,
malah semakin menjadi-jadi,
kekacauan yang terjadi,
berbeda-beda kehendak orang senegara.
Membuncahlah tangisnya,
seorang Kawi-Wiku yang utama,
diliputi pikiran berduka,
mendapat hinaan dan malu,
karena ulah manusia yang samar-samar,
semuanya tidak jelas,
seolah-olah melakukan kebaikan,
tapi hanya pamrih untuk mendapat sesuatu,
menuruti kehendak dan kesenangan
nafsu tanpa kebijaksanaan.
Dasarnya hanyalah kabar berita,
mempercayai cerita bohong,
dipercaya menjadi pemimpin,
akhirnya malah tidak menentu,
kalau dipikirkan benar-benar,
apa sih gunanya menjadi pemimpin,
kalau hanya menanam benih kesalahan,
apalagi disiram dengan air lupa,
kalaupun tumbuh hanya akan jadi bunga bangkai.
Menurut Panitisastra,
sebenarnya sudah ada peringatan,
di zaman yang penuh kekacauan,
orang yang berbudi tidak terpakai,
demikianlah kalau kita perhatikan,
apa faedah yang sebenaranya,
berita burung yang tidak jelas,
hanya akan menyusahkan hati,
lebih baik membuat cerita kuna.
Yang bisa dijadikan sesuluh,
perlambang baik dan buruk,
sesungguhnya banyak juga,
peristiwa yang bisa dijadikan teladan,
mengenai persoalan kehidupan,
sarana pemecahannya juga ditemukan,
kalaupun mau diterima,
menyerahkan diri pada putusan takdir,
tetap teguh melaksanakan kebaikan.
(apalagi) hidup di zaman edan,
memang sulit menentukan sikap,
ikut gila tidak tahan,
(tetapi) kalau tidak ikut melakukan,
tidak akan mendapatkan bagian apa-apa,
kelaparan pada akhirnya,
untungnya atas kehendak Tuhan,
seberuntung-beruntungnya orang yang lupa,
masih lebih beruntung orang yang ingat dan waspada.
Semua itu hanya kiasan,
padahal sesungguhnya juga kepingin,
benar begitu Paman Doblang?
benar bagi yang mengatakan,
tapi di dalam batin,
sesungguhnya juga kacau,
sudah tua mau apa?
hanya bisa menyepikan diri,
supaya mendapatkan ampunan dari Tuhan.
Beda dengan yang hidupnya sentosa,
yang mendapat anugerah Tuhan,
sejatuh-jatuhnya dan semalang-malangnya,
tidak susah mendapatkan hasil,
dari segala yang dilakukan,
(sepertinya) Tuhan memberi pertolongan,
demikian perjalanan manusia,
yang bisa mendapatkan segalanya,
tetapi masih juga suka berikhtiar.
Semua yang dijalani,
hanya bertindak karena hati,
selama tidak menjadi masalah,
karena menurut ajaran,
ikhtiar itu sungguh-sungguh,
menjadi pilihan untuk bahagia,
sambil tetap berusaha,
dengan tetap hati-hati dan ingat,
tentu akan mendapatkan pencerahan jiwa.
Ya Allah Ya Rasullulah,
yang bersifat Pemurah dan Penyayang,
semoga menganugerahkan,
pertolongan yang saya harapkan,
di alam dunia dan akhirat,
tempat saya hidup,
sekarang saya sudah tua,
(saya tidak tahu) kemudian akan seperti apa,
hanya saja, semoga ada pertolongan-Mu.
Dapatlah sabar dan sentosa,
mati dalam hidup,
terhindar dalam segala kekacauan,
murka dan angkara menyingkir,
tiada lain hanya dengan kasih-Mu,
pikiran dan hati saya pasrahkan,
lenyapkanlah segala hukuman,
demikianlah sementara,
semua terserah pada-Mu, bagaimana hidup seluruh warga nantinya.
|
4. Mendekonstruksi
Sasmita Zaman Edan
Dekonstruksi Derrida bertolak dari
pandangan bahwa teks merupakan permainan bahasa (language game). Penafsiran terhadap teks mengisyaratkan bahwa penafsir
(interpeter) juga, sedang menggumuli
permainan bahasa tersebut. Kebenaran dibentuk dari teks, ditemukan dalam teks,
diinvensi, dan direkayasa dalam teks (Al-Fayyadl, 2005:76-77). Mendekonstruksi
sebuah teks dicapai dengan mengenali dan menyoroti keganjilan internal teks
tersebut. Dekonstruksi tidaklah menganjurkan untuk menghancurkan teks,
melainkan sungguh-sungguh mengajak untuk mengidentifikasi cara-cara teks
membongkar dirinya sendiri melalui ketidakkonsistenan, ambiguitas, paradoks,
kebisuan, dan gap yang ada dalam teks
itu sendiri. Dekonstruksi bukanlah tindakan yang diperbuat orang terhadap teks,
tetapi tindakan yang telah senantiasa dilakukan teks terhadap dirinya sendiri
(Cavallaro, 2004:46). Adapun metode yang dipinjam Derrida untuk mendekonstruksi
teks adalah intertekstualitas dan diseminasi. Dengan metode ini juga, Serat Kalatidha tidak dipandang sebagai
teks yang benar-benar mandiri, tetapi teks yang terwujud sebagai mosaik
kutipan-kutipan, peresapan, dan transformasi dari teks-teks lain (Kristeva
dalam Teeuw, 1984:146). Hal ini dapat disimak langsung
dari Serat Kalatidha yang secara
tersirat menyebutkan Serat Panitisastra,
yaitu teks yang telah ditulis Ranggawarsita sebelumnya. Sementara itu,
diseminasi adalah strategi mempermainkan tanda sehingga petanda yang hendak
disimpulkan dari sebuah teks dengan sendirinya tertunda (Al-Fayyadl, 2005:79).
Dengan menggumuli permainan tanda dalam Serat
Kalatidha sebagai teks itu sendiri, maka jejaring makna dapat ditenun dari
kebenaran yang tersebar dalam teks.
Teks Serat Kalatidha dibuka dengan pernyataan “mangkya darajating praja” (‘beginilah keadaan negara saat ini’). Membaca
pernyataan ini, di sini-sekarang,
tentu tidak dimaksudkan untuk berimajinasi tentang keadaan negara, tempat dan
waktu kapan Ranggawarsita menulis teks tersebut. Di sini, Ranggawarsita telah
melenyapkan kehadirannya sendiri dalam teks tersebut sehingga teks ini dapat
dibaca oleh siapa pun, dalam ruang dan waktu apa pun. Dengan lenyapnya sang
pengarang maka tidak ada lagi otoritas yang membayanginya. Teks tersebut
benar-benar telah menjadi “milik kita”, menjadi “arena kita” untuk bermain-main
dengan pernyataan-pernyataan metafor yang tersurat. Dengan asumsi bahwa tidak
ada teks, betapa pun diklaim sebagai objektif, sungguh-sungguh melukiskan dunia
sebagaimana adanya (Cavallaro, 2004:46). Keadaan negara (darajating praja) yang dinyatakan, dengan demikian adalah keadaan negara
antah berantah.
Walaupun demikian, negara antah
berantah ini dikemas menjadi setting ruang
dan waktu untuk menggambarkan berlangsungnya zaman kalatidha. Menurut keyakinan orang Jawa, setiap babakan sejarah ada
yang namanya zaman keemasan (kertayuga)
dan zaman kesengsaraan (kalatidha)
(Purwadi, 2003:215). Keyakinan ini boleh jadi, merupakan pengaruh Hindu dalam
tradisi kejawen. Mengingat dalam
kitab-kitab purana khususnya, juga disebutkan
siklus empat zaman (catur yuga),
yaitu kertayuga/satyayuga, tretayuga,
dwaparayuga, dan kaliyuga (Phalgunadi,
2010:38). Dari sini dapat dipahami bahwa Serat
Kalatidha adalah hasil refleksi Ranggawarsita terhadap siklus zaman yang
senantiasa berulang dalam sejarah. Mengingat dalam teks-teks karyanya yang lain
seperti, Serta Jaka Lodhang dan Serat Sabda Tama, ia juga meramalkan
bangkitnya nasionalisme dan lahirnya kemerdekaan Indonesia, sebagaimana diafirmasi
dari hasil interpretasi Purwadi (2003:181-198). Apabila dipahami bahwa
kemerdekaan merupakan zaman keemasan Indonesia, maka dalam perjalanan
sejarahnya Indonesia juga akan mengalami masa kemunduran atau penderitaan yang
disebutnya zaman kalatidha. Dengan
demikian besar kemungkinan bahwa teks ini merupakan kelanjutan dari teks-teks
yang telah ditulis sebelumnya. Afirmasi ini membangun simpul makna bahwa negara
antah berantah yang dimaksudkan adalah Indonesia, tetapi tidak tertutup
kemungkinan adalah negara yang lain. Ambiguitas ini tidak terhindarkan karena globalisasi
telah menempatkan negara dan bangsa dalam satu desa global dengan batas-batas
yang semakin kabur. Jadi, mungkinkah zaman Kalatida
ini gejala yang mendunia? Entahlah.
Serat Kalatidha sendiri
tidak pernah menjelaskan secara gamblang kapan zaman kalatidha itu terjadi, kecuali permainan tanda-tanda (sasmita) zaman edan yang diurai dalam rangkaian
baris dan baitnya. Dikatakan bahwa zaman edan akan terjadi ketika suatu negara
kehilangan kewibawaannya (kawuryan wus
sunyaruri). Sunyaruri berarti
kekosongan yang benar-benar nihil. Ini adalah premis yang ambigu dalam dirinya
sendiri. Pernyataan hilangnya keteladanan pemimpin (karana tanpa palupi) sebagai sebab hilangnya kewibawaan negara
telah mendekonstruksi makna sunyaruri itu
sendiri. Mengingat yang hilang dari negara adalah keteladanan pemimpin, bukan
pemimpin yang hadir sebagai pengatur sistem pemerintahan. Atas paradoks ini
dapat dibangun logika bahwa kewibawaan suatu negara tentu tidak benar-benar
hilang, ketika sistem pemerintahan masih hadir (present) di dalamnya. Artinya, kewibawaan negara yang benar-benar
nihil hanya karena pemimpin yang tidak bisa lagi diteladani, mensyaratkan
pemimpin itu telah ditinggalkan seluruh rakyatnya. Pemimpin tanpa rakyat dalam
sebuah negara, tentu saja sesuatu yang non
sense. Setidak-tidaknya, dalam kemerosotan wibawa negara karena ulah dan
perilaku pemimpinnya masih tersisa “kebenaran-kebenaran lain”, yaitu hadirnya sistem
pemerintahan yang menciptakan tirani kekuasaan. Jadi, ungkapan kawuryan wus sunyaruri menunda makna
nihilnya kewibawaan secara literal, melainkan metafor bagi keadaan negara yang kacau
balau (chaos) karena tidak adanya pemimpin yang bisa dijadikan panutan bagi
rakyatnya. Makna ini dapat diafirmasi oleh petanda berikutnya bahwa pemimpin
tidak bisa lagi dijadikan panutan, bila ia telah mengabaikan nilai-nilai
kesusilaan (atilar silastuti). Dari
sini dapat dipahami bahwa teks ini menegasi kehadiran pemimpin secara fisikal
dengan mengafirmasi pemimpin sebagai simbol keteladanan dan kesusilaan.
Selanjutnya, kondisi chaos pada zaman edan ditandai dengan hilangnya
idealisme kaum cerdik pandai (sujana
sarjana kelu, kalulun kala tidha). Pernyataan ini merangkai jalinan makna
dengan pernyataan sebelumnya dengan mengafirmasi hadirnya liyan (the others)
sebagai sumber hilangnya kewibawaan negara. Liyan
itu adalah kaum cendikiawan yang kehilangan idealisme. Di sini tersirat
makna bahwa kewibawaan negara tidak hanya ditentukan oleh pemimpin, tetapi juga
para cendikiawan. Teks ini telah mengurai pentingnya hubungan antara birokrat
dan teknokrat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Cendikiawan yang ideal
digambarkan adalah sujana-sarjana atau
sarjana yang sujana. Idealisme kesarjanaan ditandai dengan karakter ilmuwan yang
kritis, rasional, logis, objektif, dan terbuka (Suriasumantri, 1978). Sementara
itu, idealisme ke-sujana-an merujuk
pada integritas moral cendikiwan. Secara ideal, seorang ilmuwan diharapkan dapat
mengambil peran dalam pembangunan dengan ilmu yang dimiliki, baik pada tataran
teleologis, etis, maupun integratif. Pada tataran teleologis bahwa ilmu yang
dimiliki digunakan untuk mewujudkan tujuan negara. Etis bahwa ilmuwan harus
mengembangkan ilmu yang mampu meningkatkan harkat dan martabat manusia dan
kemanusiaannya. Sementara itu, pada tataran integratif bahwa selain
meningkatkan harkat dan martabat manusia dan kemanusiaan, ilmuwan juga mampu
mengembangkan ilmu untuk meningkatkan kualitas struktur dan kultur masyarakat
(Siswomihardjo, 2010:14). Pada zaman edan ini para ilmuwan telah kehilangan
idealismenya karena terseret arus Kalatidha
(kelu kalulun kalatidha).
Teks ini menyuarakan ketidakmampuan
kaum intelektual mengontrol perubahan zaman yang terjadi, bahkan gagal melawan
tirani kekuasaan yang diciptakan oleh sistem pemerintahan dan kepemimpinan yang
korup. Meminjam gagasan Gramsci (Barker, 2000:370-371) tentang peran
intelektual dalam hegemoni negara dapat dibedakan atas intelektual tradisional
dan intelektual organis. Intelektual tradisional adalah orang-orang yang
mengisi posisi ilmiah, sastra, filsafat, dan keagamaan dalam masyarakat.
Sebaliknya, intelektual organis dikatakan sebagai bagian konstitutif dari
perjuangan kelas pekerja, mereka memikirkan dan mengorganisasi unsur-unsur dari
kelas kontra hegemoni dan sekutunya. Kedua kelompok ini terpisah, tetapi secara
historis dapat saling bertumpang tindih (Faruk, 2003:75). Boleh jadi, intelektual
tradisional inilah yang dipandang telah kehilangan idealismenya sehingga
bersama-sama dengan penguasa mereka turut melanggengkan hegemoni kekuasaan yang
penuh tirani. Di sini, Ranggawarsita muncul kembali melalui teks ini sebagai
intelektual organis yang melakukan perlawanan terhadap peran intelektual
tradisional tersebut. Teks ini ingin menegasi kehadiran kaum intelektual yang
berkoalisi dengan kekuasaan untuk melanggengkan ketidakadilan. Sebaliknya, teks
ini mewakili suara intelektual “yang lain”, yang melakukan kritik sosial dengan
teks. Hal ini sejalan dengan pandangan Williams (Faruk, 2003:79) bahwa
kesusasteraan dapat menjadi kekuatan sosial, politik, dan kultural yang
memungkinkan lahirnya gerakan perlawanan terhadap ketidakadilan.
Aktor intelektual tradisional yang
dimaksud adalah pemimpin (ratu),
wakil pemimpin (patih), pegawai
pemerintah (nayaka), dan pemuka
masyarakat (panekar). Ini menunjukkan
level kepemimpinan dari level top hingga
bottom dalam sistem pemerintahan.
Dikatakan bahwa kualitas pemimpin ini sesungguhnya cukup mumpuni untuk mengatur
pemerintahan. Akan tetapi, mereka gagal menciptakan kebaikan dalam masyarakat (becik-becik, parandene tan dadi). Ini
menunjukkan bahwa penanda kualitas pemimpin itu paradoks dalam dirinya sendiri.
Kualitas pemimpin yang utama (utama),
unggul (linuwih), tetapi gagal
menjadikan kehidupan rakyat lebih baik, menandai kausalitas positivistik yang
berpusat pada logos, akal-budi.
Kecerdasan intelektual dipandang telah gagal membangun keunggulan moral. Akal
rasional yang tanpa moral, justru menjadi sumber kesengsaraan bagi rakyat.
Seperti dikatakan Radhakrishnan (1987:9) bahwa perluasan akal-rasional yang
mengabaikan entitas kemanusiaan telah membawa dunia pada krisis moral yang
mencengangkan. Pemimpin yang hanya menggunakan akal-rasional tanpa kontrol
moral adalah sumber kekacauan negara, sehingga tidak layak lagi dijadikan
panutan rakyat.
Kondisi negara tanpa aturan
mengingatkan pada kondisi matsyanyaya dalam
konsep Hindu, yaitu berlakunya hukum ikan. Ikan besar memangsa ikan yang kecil.
Orang satu negara berbeda-beda hasratnya (beda-beda
ardaning wong saknegara), dan semua ingin agar hasratnya terpenuhi. Dunia
telah menjadi arena perayaan hasrat
(Lash, 2004:91). Hal ini menjadi keniscayaan, ketika negara sudah tanpa
aturan. Kalau pun ada, aturan itu sudah diabaikan oleh rakyat karena
pemimpinnya sudah terlebih dahulu melanggarnya. Hasrat untuk kaya dan berkuasa
menumbuh-kembangkan konglomerasi dan borjuasi tanpa kontrol, sehingga membunuh
hasrat kaum miskin, bahkan untuk sekadar memperoleh makanan yang layak. Akan
tetapi, teks ini tidak bermaksud meneguhkan oposisi borjuis-proletar, seperti
halnya gagasan Karl Marx. Pernyataan hasrat warga satu negara berbeda-beda,
juga mengisyaratkan makna demokrasi dalam arti seluas-luasnya. Demokrasi
menjadi ide filosofis tentang kedaulatan rakyat. Presiden Lincoln dalam
pidatonya memberikan kesimpulan yang bergema kuat tentang definisi terbaik
demokrasi dalam sejarah Amerika dengan menyatakan, “pemerintahan dari rakyat,
oleh rakyat, dan untuk rakyat” (Melvin I. Urofsky dalam Clack, 2001:2).
Pandangan modern umumnya menyepakati bahwa demokrasi merupakan model paling
ideal bagi setiap negara-bangsa. Akan tetapi, demokrasi juga bisa menjadi
tirani, ketika penindasan terhadap minoritas dan pembungkaman opini minoritas
tetap terjadi (Triguna, 2002). Serat Kalatidha telah menunjukkan bahwa demokrasi itu mitos karena
apresiasi terhadap perbedaan yang kebablasan, justru menjadikannya sumber
kekacauan.
Uraian di atas menunjukkan semacam
adanya gejala schizofrenia pada zaman
edan. Schizofrenia adalah gejala
perayaan hasrat yang luas biasa karena tubuh tidak lagi berfikir melalui
konsep, katagori, atau bahasa, melainkan melalui fantasma. Istilah fantasma
muncul dari analisis Freud mengenai fantasi, tetapi bagi Foucault fantasma
bukanlah citra Freudian ataupun tanda Lacanian, sebaliknya ia bersifat nyata
dan material. Menurut Foucault (Lash, 2004:73) bahwa produksi makna peristiwa
terjadi melalui perulangan fantasma yang muncul dalam nuansa teatrikal. Ini
artinya tindakan individu tidak lagi diproduksi berdasarkan aturan hidup,
melainkan atas hasrat individu. Pada akhirnya, dunia adalah teater yang
mempertontonkan nafsu-selera pelakunya. Hal ini digambarkan dengan metafor dening upaya sandi, samurana angrawung,
mangimur manuhara (ulah manusia samar-samar, semuanya tidak jelas,
seolah-olah semuanya menyenangkan). Ini menunjukkan bahwa zaman edan adalah
tempat individu bermain-main dengan hasratnya. Praktik-praktik kehidupan
semakin beragam sesuai dengan keinginan individu-individu yang tidak jarang
memicu munculnya tegangan dengan tradisi yang telah mapan. Kawi-wiku yang menangisi kondisi ini adalah simbol moralitas dan spiritualitas
yang diafirmasi oleh setiap kebudayaan dan kemanusiaan secara universal. Di
zaman edan tradisi bajik semakin tersisih dari panggung atraksi perayaan
intelektualitas dan hasrat manusia dan hanya menjadi suara-suara lirih tidak
ubahnya isak tangis yang nyaris tidak terdengar.
Pernyataan “meh pamrih melik pikolih, temah suka ing karsa tanpa wiweka” (‘hanya
pamrih untuk mendapatkan sesuatu, berburu kesenangan tanpa kebijaksanaan’) menegaskan motif di balik hasrat
manusia. Motif ini menunjuk pada pikiran materialistik dan hedonistik. Interaksi
sosial dibangun atas dasar motif ini. Tujuannya apalagi kalau bukan mencari
kekayaan dan kesenangan, meskipun harus mengabaikan kebijaksanaan. Ekonomi
menjadi konsep penting dalam pembicaraan ini. Pasar dalam hal ini muncul
sebagai kekuatan dalam membangun “dunia” kehidupan sehari-hari dengan
memindahkan batas dan ikatan tradisional mengikuti logika berpikir pasar.
Proses ini telah melahirkan privatisasi berbagai praktik sosial dengan
pemaknaan yang berbeda dengan konteks general. Konstruksi nilai telah dilakukan
dengan sangat kompetitif antara agen-agen yang berbeda, baik keluarga, adat,
media massa, pemerintah, maupun pasar (Abdullah, 2006:18). Mengikuti logika
pasar bahwa nilai sosial dikonstruksi individu dengan melibatkan hasrat yang
berusaha dipenuhi melalui hukum permintaan, penawaran, laba, dan rugi. Interaksi
sosial pada akhirnya lebih banyak ditentukan oleh faktor kepentingan (Soekanto,
2001:170) dan mendominasi aspek-aspek sosial lainnya.
Zaman edan menandai manusia yang
kehilangan kediriannya. Kesadaran diri tunduk pada nafsu-selera, hasrat, dan
libido yang mendorongan begitu kuat dari alam bawah sadarnya. Oleh karena itu,
hidupnya dipermainkan oleh berbagai agen yang ada di luar dirinya, tanpa mampu
mengontrol agen-agen tersebut. Serat
Kalatidha memberikan petanda zaman edan bahwa manusia lebih percaya pada
informasi (dasaring karoban pawarta),
meskipun informasi itu salah (ujar lamis).
Informasi telah menjadi barang kultural yang diperjuangkan manusia dalam
kehidupannya. Informasi bukan lagi sekadar representasi, yaitu sesuatu yang
hadir berhubungan dengan kenyataan yang pada prinsipnya dipahami sebagai
pencocokan hal yang lebih baik atau lebih buruk dan dapat dibandingkan. Akan
tetapi informasi adalah uraian-uraian deskriptif yang membangun argumentasi
diskursif sehingga orang akan segera bertindak berdasarkan informasi yang
diperoleh (Lash, 2004:54). Artinya, orang begitu cepat menerima informasi,
tanpa mempertimbangkan benar dan salahnya. Malahan, hanya berdasarkan atas informasi
saja seseorang dapat dipilih untuk mendudukan posisi kepemimpinan tertentu. Posisi
pemimpin kerapkali hanya ditentukan oleh “bisikan-bisikan” orang yang dekat
dengan kekuasaan. Akibatnya, kualitas dan kredibilitas pemimpin semakin jauh
panggang dari api. Pemimpin seperti ini hanya bisa menabur benih-benih
kesalahan (andhedher kaluputan).
Ditambah lagi lupa dengan amanat yang diemban (siniraman banyu lali), maka dirinya akan tumbuh sebagai pemimpin
yang tidak ubahnya seperti bunga bangkai (lamun
tuwuh dadi kekembanging beka). Fisiknya pemimpin, tetapi jiwanya bukan.
Pada dasarnya, sasmita zaman edan menandai situasi
negara yang penuh kekacauan (chaos).
Kekacauan ini muncul karena kehidupan telah terdiferensiasi sedemikian rupa
sehingga manusia sulit menentukan pilihan dalam bersikap (ewuh aya ing pambudi). Berbagai institusi terbentuk untuk mensahkan
perbedaan-perbedaan ini (Abdullah, 2006:109). Sementara itu sistem referensi tradisional
seperti, institusi moral dan agama semakin melemah peranannya. Orang-orang yang
berbudi pekerti luhur tidak dipakai (’wong
ambeg jatmika kontit’), sebaliknya yang larut dalam kegilaan zaman menjadi
pemimpin-pemimpin masyarakat. Akibatnya, orang-orang yang teguh pada tradisi
bajik tersudut dan terpinggirkan dari sistem sosial, menikmati kesahajaan dan
kesederhanaan hidup yang kadang-kadang juga bersinonim dengan kemiskinan (keliren wekasanipun).
Itulah sasmita zaman edan, tanda-tanda zaman kalatidha yang akan hadir dalam sejarah kehidupan manusia. Zaman
ini hadir sebagai “narasi agung” yang menghegemoni dunia sehingga tidak seorang
pun mampu melawannya. Akan tetapi, teks ini masih menyisakan ruang bagi
kesadaran manusia untuk berenang di zaman edan, tanpa harus terseret dalam
arusnya yang begitu kuat. Di sini, Ranggawarsita membangun wacana pencerahan “sabegja-begjaning kang lali, luwih begja
kang eling lan waspada” (‘seberuntung-beruntungnya orang yang lupa, akan
lebih beruntung orang yang tetap ingat dan waspada’). Meskipun ia juga ragu dalam keyakinannya, dapatkah narasi agung zaman
edan ini diruntuhkan dengan formula “eling”
dan “waspada”. Semua hanya
kemungkinan-kemungkinan (‘semana mung
bebasan’) yang dapat dinegasi,
atau sebaliknya diafirmasi kebenarannya. Hanya imanlah yang dapat mengatasi misteri differance ini. Sebagaimana Ranggawarsita membunuh kehadirannya sebagai
penafsir zaman edan dengan kalimat
“borong angga sawarga mesi martaya”
(‘semua terserah pada-Mu, hidup seluruh warga nantinya’).
5. Penutup
Serat Kalatida adalah
teks. Sebuah bentangan pemaknaan yang terhampar, bertaut tanpa akhir, jalin
menjalin, melimpah ruah ke segala penjuru, terus menerus, dan mengalir tanpa
henti (Al-Fayyadl, 2005:168). Sasmita zaman
edan, sekali lagi hanyalah ‘tanda’ yang ada banyak kebenaran di dalamnya. Mau
menerima atau menolak kebenaran itu, semua tergantung pilihan pembaca sebagai penafsirnya. Seluruh pembahasan ini ditutup dengan tanpa simpulan. Kecuali
ajakan kepada pembaca yang lain untuk berpetualang mencari jejak-jejak makna Serat Kalatidha dalam lorong-lorong
panjang yang tanpa ujung.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Irwan. 2006. Produksi dan Reproduksi Kebudayaan. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Al-Fayyadl, Muhammad. 2005. Derrida. Yogyakarta: LKiS Pelangi Aksara.
Audifax. 2007. Semiotika Tuhan: Tafsir Atas Pembacaan
Manusia Terhadap Tuhan. Yogyakarta: Pinus Book Publisher.
Barker, Chris. 2000. Culture Studies Teori dan Praktek. Yogyakarta:
Kreasi Wacana.
Budiman, Kris. 2004. Semiotika Visual. Yogyakarta: Buku Baik.
Cavallaro, Dani. 2004. Critical and Cultural Theory: Teori Kritis
dan Teori Budaya. Yogyakarta: Niagara.
Clack,
George, 2001, Demokrasi (Jurnal), A
March of The Lyberty: A Constitutional History of the United States (2nd
ed, 2001).
Danandjaja, James. 1989. Folklore Indonesia: Ilmu Gosip, Dongen, dan
Lain-lain. Jakarta: Graffiti.
Endraswara, Suwardi. 2005. Tradisi Lisan Jawa Warisan Abadi Budaya
Leluhur. Yogyakarta: Narasi.
Faruk. 2003. Pengantar Sosiologi Sastra dari
Strukturalisme Genetik sampai Post-Modernisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Gadamer, Hans-George. 2006. Hermeneutika. Yogyakarta: LKiS Pelangi Aksara.
Lash, Scott. 2004. Sosiologi
Postmodernisme. Yogyakarta: Kanisius.
Mohamad, Gunawan. 2005. “Sebuah
Rekomendasi untuk La Survie”. Pengantar. dalam Derrida. Yogyakarta: LKiS Pelangi
Aksara.
Mulyanto, dkk.
1990. Biografi Pujangga Ranggawarsita. Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Phalgunadhi, I Gusti Putu. 2010.
Sekilas Sejarah Evolusi Agama Hindu:
Edisi Revisi. Denpasar: Widya Dharma.
Pradopo, Rachmad Joko. 2003. Beberapa Teori
Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Purwadi, 2003. Sosiologi Mistik R. Ng. Ronggowarsito
Membaca Sasmita Jaman Edan. Yogyakarta: Persada.
Radhakrishnan, S. 1987. The Present Crisis of Faith. New Delhi: Orient Paperback.
Ratna, I Nyoman
Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Tekhnik
Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Segers. Rien T.
2000. Evolusi Teks Sastra. Yogyakarta:
Adicitra.
Siswomihardjo, Koento
Wibisono, dkk. 2003. “Ilmu Pengetahuan
Sebuah Sketsa Umum Mengenai Kelahiran dan Perkembangannya sebagai Pengantar
untuk Memahami Filsafat Ilmu”. Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat
UGM. Yogyakarta: Liberty.
Soekanto, Soerjono. 2001. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Raja
Grafindo Persada
Stturock, John. 2007. Dari Strukturalisme ke Poststrukturalisme. Yogyakarta:
LKiS Pelangi Aksara.
Sugiharto, I. Bambang. 1996. Postmodernisme Tantangan Bagi Filsafat. Yogyakarta:
Kanisius.
Suriasumantri, Jujus S.
2005. Filsafat Ilmu; Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: PT Pustaka Sinar
Harapan.
Tafsir, Ahmad, 2006, Filsafat
Ilmu: Mengurai Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi Pengetahuan, Bandung:
Remaja Rosdakarya.
Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra Pengantar Teori
Sastra. Jakarta Pusat: Pustaka Jaya.
Triguna, I.B.G Yudha. 2002. “Strategi
Pemberdayaan Masyarakat dan Kebudayaan Bali dalam Dinamika Multikultural” (Makalah). Denpasar: Balai Kajian.
Yasa, I Wayan Suka. 2010. Rasa Daya Estetik-Religius Geguritan Sucita.
Denpasar: Sari Kahyangan Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar