EVOLUSI AGAMA HINDU DI INDONESIA
Agama Hindu telah masuk ke Indonesia sejak tarikh awal
Masehi. Perkembangan Hindu di Indonesia tidak saja ditunjukkan dengan lahirnya
kerajaan-kerajaan Hindu, tetapi juga tatanan keberagamaan yang unik dan
kompleks. Perkembangan kesusasteraan Hindu yang demikian pesat, bentuk-bentuk
pemujaan, dan artefak-artefak keagamaan lainnya menjadi petunjuk bahwa di
Indonesia agama Hindu mengalami perkembangan yang demikian pesat. Hampir
sejalan dengan evolusi agama Hindu di India yang mendapatkan pengaruh besar
dari peradaban lembah sungai Sindhu, juga agama Hindu di Indonesia menunjukkan
peranan kearifan lokal dalam menerima agama Hindu yang datang belakangan.
Dalam hubungannya dengan agama Hindu Indonesia, Subagya
(1981:6) menyimpulkan bahwa agama Hindu murni tidak pernah menjadi milik bangsa
Indonesia. Hinduisme tenggelam dalam lautan pemikiran asli dan dimanfaatkan
untuk lebih menegaskan pandangan hidup Indonesia yang masih samar-samar.
Artinya, agama Hindu yang datang ke Indonesia diterima oleh masyarakat setempat
dan berintegrasi dengan kepercayaan asli untuk menyempurnakan pandangan hidup
dan rohani mereka. Untuk menegaskan pandangan di atas, Sumardjo (2002:23-27)
menguraikan secara ringkas sejarah kerohanian Indonesia sebagai berikut.
Pertama,kepercayaan terhadap adanya alam kehidupan setelah mati; Kedua,kepercayaan animisme dan
dinamisme, yaitu keyakinan terhadap adanya daya-daya gaib pada benda-benda yang
ada di alam. Kepercayaan ini menjadi bibit lahirnya tindakan-tindakan magis dan
mistis, yakni saat manusia ingin mendapatkan daya-daya gaib tersebut; Ketiga, konsep tentang pola ruang kosmis
(keblat papat lima pancer) bahwa
ruang dibagi atas empat dimensi dan satu di tengah sebagai pusat. Pola ruang
primordial ini dapat berkembang menjadi pola delapan (Hindu: Astadala) dalam wilayah yang lebih luas;
dan Keempat, kepercayaan terhadap
ruang dan waktu relatif yang bersifat dualistik (binary oposition), seperti sakral-profan, gunung-laut, siang-malam,
absolut-relatif, dan sebagainya. Melalui perkawinan kosmis kedua polarisasi ini
diharmoniskan, direkonsiliasi, disatukan sehingga semuanya kembali ke Yang
Tunggal, Yang Absolut.
Keyakinan lokal dari agama asli Indonesia inilah yang
kemudian menjadi kekuatan sekaligus daya saring (filter) kebudayaan lokal ketika berhadapan dengan masuknya agama
Hindu dari India. Oleh karena itu, dalam perkembangannya agama Hindu Indonesia
menampakkan corak yang berbeda dengan tanah kelahirannya, India. Perbedaan ini
dapat dilihat pada seluruh wujud kebudayaannya, baik pada tataran ide maupun
aktivitas terutama pada artefak-artefak keagamaan (Magetsari dalam Ayatrohaedi,
1986:56). Dalam kerangka inilah menjadi sebuah keniscayaan untuk merunut
kembali evolusi agama Hindu melalui pendekatan sejarah dan kebudayaan. Berdasarkan
substansi evolusinya, agama Hindu di Indonesia dapat dibedakan, sebagai berikut
(1) Periode Awal (Kutai dan Tarumanegara); (2) Periode Siwa-Buddha (Jawa Tengah
dan Jawa Timur); (3) Agama Hindu Bali; dan (4) Hindu Pascakemerdekaan
Indonesia.
(1) Periode Awal (Kutai dan Tarumanegara)
Kutai adalah kerajaan Hindu pertama di Indonesia yang
diperkirakan lahir pada abad keempat Masehi. Bukti tentang kerajaan ini adalah
ditemukannya 7 (tujuh) buah yupa yang
tertulis keterangan sebagai berikut:
“Demikianlah Sri Maharaja
Kudungga yang amat mulia, berputera Aswawarman yang masyur pendiri wangsa (keluarga), seperti Sang Hyang
Angsuman. Beliau berputera tiga orang yang amat mulia bagaikan api suci, yang
terkemuka dari ketiganya, berbudi baik, kuat dan kuasa, Sri Maharaja
Mulawarman, telah mengadakan upacara korban emas yang amat banyak, dan untuk
memperingati yajna (kurban) itulah yupa didirikan oleh para Brahmana”
Berdasarkan yupa ini
dapat diketahui bahwa telah terjadi kontak kebudayaan antara India dengan
Indonesia pada masa itu. Dialektika kebudayaan yang terjadi bahwa nama “Kudungga”
bukanlah nama Sansekerta sehingga dimungkinkan adalah nama kepala suku penduduk
asli yang belum begitu terpengaruh kebudayaan India (Soekmono,
1981:35). Akan tetapi, nama “Aswawarman” berasal dari bahasa Sansekerta
sehingga menunjukkan adanya kontak kebudayaan yang lebih intensif. Sementara
itu, pernyataan bahwa Raja Mulawarman telah melaksanakan yajna besar dan persembahan kepada para Brahmana menunjukkan bahwa kerajaan Kutai telah melaksanakan
tradisi Hindu yang berasal dari India, khususnya agama Brahmana (Brahmanical Religion).
Selain yupa tersebut, memang tidak ditemukan
bukti sejarah lain yang secara jelas dapat mengungkapkan perkembangan agama
Hindu di Kutai. Akan tetapi, di wilayah sekitar Kalimantan dan Sulawesi
sesungguhnya juga ditemukan beberapa arca dewa-dewa Hindu yang menunjukkan
bahwa agama Hindu telah berkembang cukup luas pada masa itu. Meskipun tidak
ditemukan bukti sejarah berupa tulisan, tetapi berdasarkan petunjuk ini dapat
diasumsikan bahwa selain agama Brahmana, juga bersamaan dengan itu telah masuk
sekte-sekte yang lain. Mengingat pada abad ke-4 Masehi, juga di India sedang berkembang
agama Purana yang bercirikan munculnya banyak sekte atau mazhab keagamaan
Hindu.
Hampir
bersamaan dengan kerajaan Kutai, di Jawa Barat juga berdiri kerajaan Hindu
bernama Tarumanegara. Kerajaan Tarumanegara diperkirakan berdiri sekitar tahun
400-500 Masehi. Keberadaan kerajaan Tarumanegara dapat dilacak dari peninggalan
prasasti-prasasti di daerah Jawa barat. Di daerah Bogor terdapat prasati
Ciaruteun, Kebon Kopi, Jambu, Pasir Awi, dan Muara Cianten. Di daerah Jakarta
ditemukan prasasti Tugu dan Cilincing, dan di Banten Selatan ditemukan prasasti
desa Lebak dan Munjul (Soekmono, 1981:36). Salah satu prasasti yang
membicarakan tentang kerajaan Tarumanegara dengan rajanya bernama Purnawarman
adalah prasasti Ciaruteun. Dalam prasasti tersebut terdapat tapak kaki raja
yang diikuti dengan keterangan yang berbunyi “kedua tapak kaki raja Purnawarman
raja Tarumanegara yang gagah berani, bagaikan tapak kaki Sang Hyang Wisnu”.
Di
samping prasasti-prasasti tersebut, juga ditemukan beberapa arca, seperti arca
batu tanpa kepala (di Kampung Muara), gajah (di Ciampea), Raksasa, para dewa,
Brahma, Dwarapala, Kartikeyya, dan singa (di Cibodas), arca Siwa dari perunggu
(di Tanjung Barat), arca Durga, arca Rajarshi (di Tanjung Priok), dan tiga buah
arca Wisnu (di Cibuaya) (Dinas Purbakala
RI, 1964). Peninggalan purbakala ini memberikan petunjuk bahwa situasi
keagamaan Hindu pada masa kerajaan Tarumanegara diwarnai dengan adanya banyak
sekte. Boleh jadi, masing-masing sekte ini berkembang sendiri-sendiri
sebagaimana perkembangan agama Purana di India pada masa itu. Dari arca-arca
yang ditemukan tampak bahwa sekte Brahma, Wisnu, Siwa, Durga (Shakta), Ganapatya, dan subsekte lainnya
telah cukup berkembang pada masa itu.
Kerajaan Tarumanegara diperkirakan mengalami keruntuhan
sekitar abad ke-7 Masehi. Mengingat dalam naskah Wangsakerta (Ayatroehaedi,
2005) setelah Raja Linggawarman (666 – 669 M) tidak ditemukan catatan lagi
tentang raja yang memerintah Tarumanegara. Catatan sejarah berikutnya
menunjukkan munculnya Kerajaan Kalingga (618-906 M) yang juga dikenal dengan
nama Holing atau Kaling terletak di Jawa Tengah, tepatnya di kaki Gunung
Merbabu. Sejak tahu 647 M, kerajaan
Kalinggi dipimpin oleh seorang raja perempuan bernama Ratu Simha atau Ratu
Simo. Ratu Simha diyakini memiliki karakter yang keras dalam pemerintahannya,
tetapi semua didasarkan pada kejujuran yang ketat sebagai ajaran yang harus
dipegang teguh oleh setiap rakyatnya. Hal ini diperkuat dengan cerita yang
menyatakan bahwa ratu Simha memotong kaki salah satu putranya yang dengan tidak
segaja menyentuh satu kantung emas yang sengaja ditaruh di tengah jalan
(Soekmono, 1981:37).
Berita tentang kerajaan Kalingga (Holing) tidak didapatkan
secara pasti, tetapi menurut berita dari seorang pendeta Buddha I-Tsing
didapatkan informasi bahwa dalam tahun 664 M telah datang seorang pendeta
Buddha Mahayana yang bernama Hwi-ning di Holing dan tinggal di sana selama 3
(tiga) tahun. Kemudian, dengan bantuan pendeta Jnanabhadra, ia menterjemahkan
berbagai kitab suci agama Buddha Mahayana. Di samping berita China tersebut,
juga ditemukan prasasti di Tuk Mas yang berisi keterangan tentang suatu mata
air yang jernih, bersih. Sungai yang bersumber daripadanya dinamakan sungai Gangga.
Selain tulisan, juga pada batu itu ditemukan gambar Trisula, Sangkha, Cakra,
Bunga teratai, dan sebagainya yang kesemuanya menggambarkan tentang lambang
Dewa-dewa Agama Hindu (Soekmono, 1981:37). Berdasarkan data tersebut
dimungkinkan bahwa pada masa kerajaan Holing keagamaan Hindu masih bersifat
sektarian. Selain itu, juga menunjukkan telah terjadinya kontak antara agama
Hindu dengan Buddha Mahayana. Ini merupakan petunjuk awal untuk memahami fase perkembangan
Siwa-Buddha di Indonesia, khususnya Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Agama Hindu di Jawa tampaknya mengalami perkembangan yang
sangat pesat pada masa Kerajaan Mataram Kuno. Keberadaan kerajaan ini dapat
diketahui dari Prasasti Canggal tahun 732 M yang ditulis dengan huruf Pallawa
berbahasa Sansekerta dan berbunyi sebagai berikut :
“Pada
tahun Saka yang telah lalu ditandai dengan Saka Sruti Indriya Rasa (Sruti
berarti Catur Veda Samhita (4), Indriya berarti Panca Indria (5), dan rasa
bermakna Sad Rasa (6), jadi menunjuk angka tahun 654 Saka), pada hari Senin,
hari baik tanggal 13 bagian terang Bulan Kartika. Sang Raja Sanjaya mendirikan Lingga yang ditandai dengan tanda-tanda
di bukit yang bernama Sthirangga buat keselamatan rakyat" (Ardhana, 2002).
Adapun mengenai Lingga
yang dimaksud adalah tepatnya berada di Gunung wukir desa Canggal. Menurut
Soekmono (1981) bahwa sesungguhnya terdapat 3 (tiga) buah candi di Gunung
Wukir, tetapi tidak ada yang diketemukan secara utuh sehingga tidak dapat
diketahui bagaimana wujudnya. Lingga
dan Yoni terdapat di candi utama dan
prasasti Canggal ditemukan di depan candi ini. Perkembangan agama Hindu di
kerajaan Mataram Kuni terutama didominasi oleh mazhab Shiwa dan juga Buddha
Mahayana. Hal ini ditandai dengan pendirian bangunan-bangunan suci, baik yang
bercorak Hindu maupun Buddha. Candi-candi Hindu antara lain, Prambanan,
Gedongsanga, Dieng, Lorojonggrang, dan Ratu Baka, sedangkan candi Buddha antara
lain, Borobudur, Kalasan, Mendut, Sewu, Plaosan. Menarik dicermati bahwa
meskipun didominasi oleh Siwa, tetapi para Candi Prambanan – sebagai candi
Hindu terbesar pada masa itu – dilukiskan cerita Krsnayana yang identik dengan
kitab suci kelompok Waishnawa. Artinya, setiap sekte yang hidup pada masa itu
mendapatkan penghargaan dan diberikan kedudukan yang mulia dalam tradisi
Siwaistik.
Pada pihak yang lain, juga perkembangan agama Siwa (baca:
Hindu) di Mataram Kuno sudah semakin tertata secara konsep maupun praktiknya.
Hal ini misalnya, pada arca utama di Candi Prambanan telah dilakukan pemujaan
kepada Siwa sebagaimana tradisi Purana, yaitu Maharsi Agastya sebagai Bhatara
Guru, Ganesha, Lorojonggrang (Durga atau Uma), dan Siwa sendiri. Artinya,
keseluruhan aspek agama Hindu, baik tattwa
(filsafat), susila (etika), dan acara (ritual) agama Hindu telah
dilaksanakan secara simultan pada masa ini sebagai kelanjutan dari masa-masa
sebelumnya. Demikian juga kesusasteraan Hindu mengalami perkembangan yang pesat
pada masa ini.
Catatan penting lainnya dari masa Mataram Kuno adalah mulai
munculnya proses sinkritisasi Siwa-Buddha. Secara politis hal ini ditunjukkan
dengan perkawinan antara Rakai Pikatan (Sanjayawamsa – beragama Hindu) dengan
Pramodhawardani (Syailendrawamsa - beragama Buddha Mahayana). Di samping itu,
juga ditunjukkan dalam Prasasti Kalasan (778 M) yang menyebutkan bahwa candi
Kalasan ini dibangun atas kerjasama antara Wangsa Sanjaya yang beragama Hindu
(Siwa) dengan wangsa Syailendra yang beragama Buddha Mahayana. Candi Kalasan
sendiri adalah candi untuk pemujaan Dewi Tara. Tentang proses sinkritisasi
Siwa-Buddha di Mataram Kuno dijelaskan pula dalam Prasasti Klurak (782 M),
yaitu mengenai pembuatan arca Manjusri yang menggambarkan Buddha, Dharma, dan Sanggha
yang sama artinya dengan Brahma, Wisnu, dan Maheswara. Meskipun demikian, Siwa
dan Buddha pada masa Jawa Tengah (Mataram
Kuno) merupakan dua agama besar yang hidup berdampingan secara serasi, selaras,
dan harmonis dalam satu negara (Suamba, 2007:91). Mengikuti catatan Rassers
(1926:6) bahwa Siwa atau Buddha adalah agama negara yang terkait erat dengan
wangsa-wangsa kerajaan tertentu yang berkuasa (Sedyawati, 2009:19). Hal ini
penting untuk membedakan dengan percampuran Siwa-Buddha
pada masa kerajaan Hindu di Jawa Timur.
Bersamaan dengan perkembangan kerajaan Mataram Kuno, juga di
Jawa Timur telah berdiri kerajaan Hindu yang bernama Kanjuruhan. Berita tentang
kerajaan Kanjuruhan didapatkan dari tulisan prasasti Dinoyo, Malang yang
berangka tahun 760 M. Prasati ini menceritakan bahwa pada abad VIII ada sebuah
kerajaan yang rajanya bernama Dewasimha. Ia berputra Limwa yang setelah
menggantikan ayahnya menjadi raja bernama Gajayana. Pada masa ini didirikan
tempat pemujaan kepada Rsi Agastya berupa arca Agastya yang dibuat dari kayu
Cendana dan kemudian diganti dengan arca dari batu hitam (Soekmono, 1973:41).
Bangunan purbakala yang ditemukan di Kanjuron diduga berkaitan dengan kerajaan
ini, yaitu Candi Badut. Dalam candi Badut yang sampai sekarang masih berdiri
tegak didapatkan sebuah Lingga yang
diduga adalah perwujudan dari Agastya. Dalam panteon Hindu bahwa Rsi Agastya adalah
nama lain dari Siwa dalam wujudnya sebagai Mahaguru.
Jadi, dimungkinkan bahwa Lingga
tersebut didirikan untuk memuja Siwa dalam wujudnya sebagai Rsi Agastya.
Menurut Soekmono (1973) bahwa kerajaan Kanjuruhan diduga
berhubungan dengan kerajaan Kalingga dan Mataram Kuno, yaitu ketiganya
sama-sama beragama Siwa, sama-sama menggunakan Lingga sebagai lambang, dan candi Badut adalah candi yang bercorak
Jawa Tengah. Pergeseran pusat kekuasaan Hindu dari Jawa Tengah ke Jawa Timur
kemungkinan disebabkan oleh faktor politik, yaitu semakin menguatnya pengaruh
dinasti Syailendra yang beragama Buddha Mahayana di Jawa Tengah sehingga
dinasti Sanjaya mengalihkan pemerintahannya ke Jawa Timur. Hal ini kemungkinan
besar memiliki kebenaran karena kerajaan-kerajaan di Jawa Timur setelah Mataram
Kuno adalah kerajaan Hindu, sedangkan Buddha sendiri besar dan menemukan
kejayaannya di Sumatera (Sriwijaya).
Setelah tahun 929 M, pemerintahan Sanjayawamsa di Jawa Tengah
diperkirakan telah mengalami kemunduran. Sejak saat itu, di Jawa Tengah tidak
ditemukan lagi prasasti-prasasti yang dapat digunakan petunjuk tentang Dinasti
Sanjaya. Prasasti berikutnya justru ditemukan di Jawa Timur dari dinasti yang
berbeda, yaitu Dinasti Isana (Isanawamsa).
Raja pertama dari dinasti ini adalah Mpu Sindok (929-947 M). Pada masa Mpu
Sindok ini lahir kitab agama Buddha Mahayana, yaitu Tutur Sanghyang Kamahayanikan, tetapi Dinasti Isana sendiri adalah
beragama Siwa sebagaimana dapat diketahui dari prasasti-prasastinya. Pengganti Mpu Sindok adalah Sri Dharmawangsa
Teguh Anantawikramatunggadewa (991-1016). Memang tidak diketahui secara pasti
apakah raja ini keturunan Isana atau bukan. Akan tetapi, pada masa inilah agama
Hindu memperoleh perhatian yang luar biasa, yaitu dengan dicanangkannya mahakarya
“mengjawaken Byasa mata” atau membahasajawakan ajaran Maharsi Wyasa, yaitu
kitab Mahabharata - Astadasa Parwa.
Di samping itu, juga disusun kitab Siwasasana
yang secara umum berbicara mengenai aturan-aturan kependetaan agama Siwa.
Pemerintahan Dharmawangsa dikatakan hancur karena mengalami pralaya. Dalam prasasti yang tersimpan
di Calcutta, India, dikatakan bahwa keruntuhan pemerintahan Dharmawangsa Teguh
adalah karena serangan Raja Worawari yang diperkirakan adalah koloni dari
Sriwijaya. Dalam pralaya tersebut,
Airlangga yang pada saat itu masih berusia 16 tahun berhasil meloloskan diri
bersama Narottama dan bersembunyi di Wanagiri mengikuti para pertapa. Apabila
dikaji tentang kata “Narottama” yang berarti manusia utama, maka dimungkinkan
para pendetalah yang menyelamatkan Airlangga. Airlangga sendiri adalah putra
sulung dari perkawinan Mahendradatta dengan Udayana yang memerintah di Bali.
Mahendradatta adalah cucu dari Mpu Sindok, yaitu anak perempuan dari Sri
Isanatunggawijaya. Jadi, Airlangga adalah penerus atau pewaris dari kerajaan
Mpu Sindok. Hal ini memperkuat dugaan bahwa Airlangga diselamatkan para pendeta
karena merupakan putra mahkota.
Pada masa pemerintahan Airlangga digambarkan bahwa kerajaan menjadi
tenteram dan kehidupan keagamaan menjadi semakin baik. Dalam hal karya sastra,
pada masa Airlangga lahirlah sebuah karya sastra spiritual, yaitu Kakawin Arjunawiwaha yang penuh nilai
luhur. Airlangga memiliki seorang putri yang bernama Sanggramawijaya yang
dicalonkan untuk menaiki tahta kerajaan. Akan tetapi, di luar dugaan
Sanggramawijaya menolak menjadi raja dan memilih hidup kependetaan dan bertapa di pertapan Pucangan (Gunung
Penanggungan) dengan gelar dewi Kili Suci. Untuk menghindari terjadinya
perebutan kekuasaan oleh kedua anaknya maka dengan bantuan Mpu Bharadah
dipecahlah kerajaannya menjadi dua bagian, yaitu kerajaan Jenggala (Singhasari)
yang beribukota di Kahuripan dan kerajaan Panjalu (Kadiri) yang beribukota di
Daha. Setelah membagi kerajaannya tersebut, Airlangga mengundurkan diri sebagai
raja dan mengambil jalan hidup sipiritual dengan menjadi pertapa bergelar Rsi
Gentayu. Beliau wafat pada tahun 1049 M dan didharmakan di Candi Belahan,
sebuah bangunan suci yang terdiri atas kolam-kolam di lereng timur gunung
Penanggungan. Airlangga diwujudkan sebagai Garuda Wisnu Kencana, yaitu Dewa
Wisnu yang berkendaraan burung Garuda sebagai pemuliaan bahwa dirinya adalah
titisan Wisnu.
Dari dua kerajaan yang dibagi oleh Airlangga di akhir masa
pemerintahannya, tampaknya hanya Kadiri yang menunjukkan tanda-tanda kehidupan.
Raja pertama yang naik ke pentas sejarah adalah Sri Jayawarsa Digjaya
Sastraprabhu dengan prasastinya yang berangka tahun 1104 M. Ia menamakan
dirinya sebagai titisan Wisnu sebagaimana Airlangga. Kemudian dilanjutkan oleh
kameswara (1115-1130) yang menggunakan tengkorak bertaring sebagai lencana
kerajaannya, dan Beliau juga menamakan dirinya sebagai titisan Bhatara Kama. Cerita
tentang Kameswara dan Sri Kirana dalam cerita Panji digambarkan sebagai
romantika antara Panji Asmarabangun dan Galuh Candrakirana. Pada masa ini, Mpu
Dharmaja menggubah Kakawin Smaradahana.
Raja selanjutnya adalah Jayabaya (1130-1160) yang bergelar
Sri Maharaja Sri Dharmeswara Madhusudhanawataranindita Suhtrsingha Parakrama
Digjayotunggadewa. Beliau menggunakan Narasimha sebagai lencana kerajaan. Nama
Jayabaya terutama dikekalkan dalam kitab Bharatayuddha, sebuah kakawin yang
digubah oleh Mpu Sedah dalam tahun 1157 dan disempurnakan oleh Mpu Panuluh.
Raja Jayabaya diganti oleh Sarweswara (1160-1170), kemudian dilanjutkan oleh
Aryeswara (1170-1180) yang memakai Ganesha sebagai lencana kerajaan. Kemudian
dilanjutkan oleh raja Gandra yang bergelar Sri Krocarryadwipa
Handabhuwanapalaka Parakramanindita Digajyotunggadewanama Sri Gandra. Dalam
prasasti yang dikeluarkan pada masa-masa ini mulai diketahui bahwa para
petinggi kerajaan banyak menggunakan nama-nama binatang, seperti Kebo Slawah,
Manjangan Puguh, Lembu Agra, Gajah Kuning, Macan Putih dan sebagainya. Dari
tahun 1190-1200 yang memerintah adalah raja Srengga yang menggunakan kerang
bersayap (Sangkha) di atas bulan sabit sebagai lencana kerajaannya. Raja
terakhir adalah Krtajaya (1200 – 1222 M) yang pada tahun 1222 terpaksa
menyerahkan mahkota kerajaan kepada Singhasari. Dalam pertempuran di Genter
melawan Ken Arok, dikatakan bahwa Krtajaya kalah dan sekaligus menandai
berakhirnya kejayaan kerajaan Kadiri. Lencana negara yang digunakan oleh
Krtajaya adalah Garudamukha, seperti juga Airlangga (Soekmono, 1973:57—58).
Dari ringkasan sejarah tentang kerajaan Kadiri dapat
diketahui beberapa hal menarik dalam perkembangan Hindu di Jawa pada masa itu.
Para raja menggunakan nama dan simbol (lencana) negara dengan simbol-simbol
keagamaan Hindu. Apakah nama dan simbol tersebut menunjukkan ajaran agama atau
mashab yang dianut oleh raja pada masa itu tidaklah jelas, tetapi dari
simbol-simbol tersebut dimungkinkan bahwa pada masa itu telah berkembang
mashab-mashab antara lain Waisnawa (Wisnu), Tantrayana, Bairawa, Ganesha,
Pasupati dan mashab lainnya. Meskipun demikian, pada masa Kadiri agama Hindu
mengalami perkembangan yang sangat pesat ditunjukkan dengan munculnya
kitab-kitab (Kakawin) berbahasa Jawa
Kuno, seperti Kakawin Smaradahana oleh
Mpu Dharmaja, Cerita Panji, Kakawin
Bharatayudha oleh Mpu Sedah dan Mpu Panuluh, Lubdhaka (Siwalatri Kalpa)
dan Wrttasancaya oleh Mpu Tanakung, Krsnayana karya Mpu Triguna, dan Sumanasantaka karya Mpu Monaguna.
Kerajaan Singhasari didirikan oleh Ken Arok (1222—1227 M). Ken
Arok berhasil mengalahkan Krtajaya, Raja Kadiri dalam sebuah pertempuran di
Genter sehingga Ken Arok-pun diangkat sebagai raja Tumapel (Singhasari) dan
Kadiri yang secara resmi beribukota di Kutaraja. Kemudian, Ken Arok dibunuh
oleh Anusapati (anak tirinya) dan dicandikan di Kagenengan dalam bangunan suci
agama Siwa-Buddha. Sementara itu, Ken
Dedes sendiri tidak diketahui tahun wafatnya dan tempat dimuliakannya, tetapi dimungkinkan
bahwa Arca Prajnaparamita yang ditemukan di daerah Singhasari adalah
perwujudannya (Soekmono, 1973). Setelah Ken Arok wafat maka Anusapati memerintah
Singhasari (1227—1248 M), tetapi dia juga dibunuh oleh Tohjaya. Anusapati
dimuliakann di Candi Kidal, sebelah tenggara Kota Malang. Hanya beberapa bulan saja Tohjaya diperkirakan
memerintah Singhasari, sebelum akhirnya dibunuh oleh Ranggawuni – putra dari
Anusapati. Menurut sumber diketemukan bahwa Tohjaya dimuliakan di Katang
Lumbang, tetapi tempat tersebut tidak diketahui keberadaanya hingga sekarang
(Soekmono, 1973).
Sejak tahun 1248 M, Singhasari diperintah oleh Ranggawuni
dengan gelar Sri Jaya Wisnuwardhana dan menjadi raja Singhasari pertama yang
namanya dikekalkan dalam sebuah prasasti. Sementara itu, Mahisa Campaka, anak
dari Mahesa Wonga Teleng dinobatkan sebagai Ratu Anggabhaya dengan bergelar Narasimhamurti.
Dengan demikian, kerajaan Singhasari dipimpin oleh Rangga Wuni sebagai Raja
utama dan Mahesa Campaka sebagai Ratu Anggabhaya, yang diyakini keduanya
memerintah laksana Wisnu dan dewa Indra. Kemudian pada tahun 1254 M,
Wisnuwardhana melantik anaknya yang bernama Krtanegara sebagai raja Singhasari
walaupun dia sendiri tidak melengserkan diri dari singgasana kerajaan. Artinya,
secara formal Krtanegara telah diangkat sebagai raja, tetapi secara faktual
Wisnuwardhana tetap memerintah hingga dia meninggal 1268 M dan dicandikan di
Weleri sebagai Siwa, serta di candi Jago sebagai Buddha Amogapasha.
Pemerintahan Singhasari mencapai puncak kejayaan pada masa
pemerintahan Kertanegara. Hal ini dapat dilacak dari kitab Negarakertagama bahwa Kertanegara telah menaklukkan Bali, Pahang,
Sunda, Bakulapura (Kalimantan Barat) dan Gurun (Maluku). Pada masa ini, secara
politik Kertanegara juga telah bekerjasama dengan Campa dengan memberikan salah
satu putrinya kepada raja Campa, Jaya Simhawarman III. Akan tetapi, kejayaan
Singhasari pada tahun 1292 M mengalami kehancuran akibat serangan dari kerajaan
Kadiri yang bangkit lagi setelah diperintah oleh Jayakatwang. Bersama dengan
Arya Wiraraja, Jayakatwang menyerang Singhasari. Dalam penyerangannya ke
Singhasari, Jayakatwang menggunakan strategi penyerangan dari dua arah, yaitu
dari selatan dan dari utara. Serangan dari utara tampaknya dianggap cukup
serius oleh Kertanegara karena menimbulkan banyak kekacauan sehingga pertahanan
Singhasari difokuskan ke utara dengan mengirimkan Raden Wijaya (putra Lembu
Tal, cucu dari Mahisa Campaka) dan Arddharaja (putra Jayakatwang) untuk
menghadangnya. Rupanya strategi ini berhasil karena Jayakatwang berhasil masuk
dari selatan dan membunuh semua punggawa istana kerajaan Singhasari, termasuk
Kertanegara.
Diceritakan bahwa pada saat pasukan Kadiri memasuki kerajaan,
Kertanegara sedang minum sampai mabuk bersama para punggawa kerajaan
Singhasari. Menurut Soekmono (1981) sesungguhnya Kertanegara sedang
melaksanakan ritual Budha Tantra. Hal ini dikuatkan dengan bukti yang tertulis dalam
lapik arca Joko Dolok di Surabaya yang menyatakan bahwa Kertanegara telah
dinobatkan sebagai Jina (Dhyani
Buddha), yaitu sebagai Aksobhya dan Joko Dolog itu adalah arca perwujudannya
sendiri. Sebagai Jina dia bergelar Jnanasiwabajra. Setelah wafat, Kertanegara
dinamakan Siwabudha dalam kitab Pararaton, sedangkan dalam Negarakrtagama dia
dikatakan “mokteng Siwabuddhaloka” (Moksa di alam Siwabuddha), juga di
kitab-kitab lain disebut “lina ring
Siwabuddhalaya” dan “lumah ri
Siwabudha” dengan makna yang sama.
Kertanegara dimuliakan di Candi Jawi sebagai Siwa dan Buddha.
Dia juga dicandikan di Sagala bersama dengan permaisurinya Bajradewi, sebagai Jina (Wairocana); dan di Candi
Singhasari dicandikan sebagai Bhairawa (Soekmono, 1973). Pada zaman ini, rupanya
sinkritisme antara Siwa-Buddha sudah semakin menguat dan pelaksanaan ajaran
Tantrayana tidak lagi sebatas ajaran yang bersifat filosofis, tetapi telah
dilaksanakan secara ritual. Dengan demikian, dapat diyakini bahwa ajaran
Siwa-Buddha dan Tantrayana merupakan agama yang dianut oleh sebagian besar
rakyat Singhasari.
Diceritakan selanjutnya bahwa Raden Wijaya yang sedang
mengejar tentara Kediri ke utara terpaksa melarikan diri setelah tahu
Singhasari jatuh, sedangkan Arddharaja (putra dari Jayakatwang) berbalik
memihak Kadiri. Dengan bantuan lurah desa Kudadu Raden Wijaya dapat menyeberang
ke Madura, guna mencari perlindungan dan bantuan dari Arya Wiraraja di Sumeneb.
Atas saran dan jaminan Arya Wiraraja, Raden Wijaya menghambakan diri ke
Jayakatwang di Kadiri, dan ia dianugerahi tanah di desa Tarik. Kemudian atas
bantuan orang-orang Madura maka hutan Tarik tersebut dibuka dan berkembang
menjadi desa yang subur dengan nama Majapahit. Sementara itu tentara Tiongkok
sebanyak 20.000 orang yang diangkut 1.000 kapal berbekal untuk satu tahun telah
mendarat di Tuban dan di dekat Surabaya dengan tujuan menyerang Singhasari
untuk membalas penghinaan Krtanegara terhadap Kubilai Khan. Situasi ini
dimanfaatkan oleh Raden Wijaya, yaitu ikut menggabungkan diri dengan tentara
Tiongkok untuk menggempur Singhasari yang sesungguhnya sudah telah diperintah oleh
Jayakatwang. Dalam serangan tersebut akhirnya Jayakatwang menyerah. Akan
tetapi, saat tentara Tiongkok sampai di pelabuhan untuk kembali ke negerinya
maka Raden Wijaya dengan pengikut-pengikutnya berbalik menyerang tentara
Tiongkok sehingga banyak menimbulkan korban dan yang selamat melarikan diri
kembali ke negerinya, Tiongkok.
Dengan bantuan pasukan Singhasari yang kembali dari ekspansi Pamalayu ke Sumatra maka Raden Wijaya
dinobatkan sebagai raja pertama di kerajaan Majapahit bergelar Krtarajasa
Jayawardhana (1293—1309 M). Beliau memiliki 4 (empat) orang isteri, dimana yang
tertua bernama Tribhuwana/Dara Petak dan yang termuda bernama Gayatri yang
disebut juga Rajapatni dan dari padanyalah berlangsungnya raja-raja Majapahit
selanjutnya. Krtarajasa wafat di tahun 1309 M dan untuk memuliakannya dicandikan
dalam candi Siwa di Simping (Candi Sumberjati) – sebelah selatan Blitar, dan sebagai
Buddha dicandikan di Antahpura dalam kota Majapahit. Arca perwujudannya adalah Harihara, berupa Wisnu dan Siwa dalam
satu arca, sedangkan Tribhuwana dimuliakan di candi Rimbi di sebelah barat daya
Mojokerto dalam wujudnya sebagai Parwati.
Raden Wijaya meninggalkan 2 (dua) anak perempuan dari Gayatri
berjuluk Bhre Kahuripan dan Bhre Daha, serta satu anak laki-laki dari Dara
Petak yaitu Kalagemet/Jayanegara. Kalagemet kemudian menaiki tahta kerajaan
pada tahun 1309. Kalagemet/Jayanegara (1309—1328 M), yang dalam sebuah prasasti
dianggap sebagai titisan Wisnu dengan Lencana negara Minadwaya (dua ekor ikan).
Jayanegara wafat di tahun 1328 M tanpa seorang keturunan. Ia dicandikan di Sila
Petak dan Bubat dengan perwujudannya sebagai Wisnu, serta di Sukalila sebagai
Amoghasiddhi – candi-candi ini tidak dapat diketahui kembali. Pengganti Jayanegara
adalah Bhre Kahuripan yang mewakili ibunnya naik tahta dengan gelar
Tribhuwananottunggadewi Jayawisnuwardhani (1328—1360 M). Tahun 1331 muncul
pemberontakan di Sadeng dan Keta (daerah Besuki), saat itulah Gajah Mada tampil
sebagai Patih Majapahit yang berhasil menumpas pemberontakan. Gajah Mada
menunjukkan pengabdiannya mengeluarkan sumpah yang sangat terkenal, yaitu Sumpah Amukti Palapa – sumpah untuk
menyatukan seluruh nusantara di bawah kekuasaan Majapahit.
Tahun 1360 M, Tribhuwanottunggadewi menyerahkan tahta
kerajaan Majapahit kepada anaknya, yaitu Hayam Wuruk yang memerintah dengan
gelar Rajasanagara (1360—1369 M) dan Gajah Mada menjadi patihnya. Pada masa
inilah, Majapahit mengalami zaman keemasan. Selain sebagai negarawan, Gajah
mada juga dikenal pula sebagai ahli hukum dan politik. Gajah Mada menyusun
kitab Kutaramanwa sebagai kitab hukum
di Kerajaan Majapahit berdasarkan kitab hukum Kutarasastra (lebih tua) dan
kitab hukum Hindu Manawadharmasastra. Pada masa ini, juga terjadi penulisan
beberapa kitab Hindu berbahasa Jawa Kuna, yaitu Negara Krtagama oleh Mpu Prapanca, Arjunawijaya dan Sutasoma oleh
Mpu Tantular. Hayam Wuruk wafat tahun 1369 M dan diperkirakan dimuliakan di
Tayung (daerah Brebek Kediri). Pasca kematian Hayam Wuruk, Majapahit mengalami
masa suram dan menuju kehancurannya, sekaligus ditandai dengan masuknya Islam
ke Jawa. Satu-satunya kitab yang menunjukkan masa akhir Majapahit adalah Pararaton, meskipun uraiannya juga belum
sepenuhnya diterima oleh kalangan sejarah. Penerus Majapahit akhir adalah
Kertabumi atau Brawijaya yang memerintah pada tahun 1453—1478 M, tetapi tidak
diketahui mengenai perjalanan kerajaannya.
Berdasarkan catatan perkembangan
masa Siwa-Buddha, baik yang terjadi
di Jawa Tengah maupun Jawa Timur tampak bahwa perkembangan agama Hindu sudah
mengalami berbagai bentuk sinkretisme antar-sekte, bahkan Hindu dan Buddha.
Memang terdapat sedikit perbedaan antara Siwa-Buddha
pada masa Jawa Tengah dan Jawa Timur. Pada masa Jawa Tengah, Agama Siwa
(Hindu) dan Buddha berdiri sendiri-sendiri sebagai agama negara, tetapi mampu
bekerjasama (coalition) dalam kehidupan
keagamaan. Sebaliknya, Siwa-Buddha pada masa
pemerintahan di Jawa Timur telah
mengalami peleburan pada aspek metafisi dan ketuhanan. Siwa dan Buddha adalah
dua aspek dari satu kebenaran yang tunggal (Rassers, 1926:6; Sedyawati,
2009:19).
Siwa-Buddha adalah prinsip
kebenaran tertinggi yang tidak dapat dibedakan satu dengan yang lain. Konon berbeda, tetapi sesungguhnya satu karena tidak ada kebenaran yang
mendua. Hal ini lebih tegasnya
dapat disimak dalam salah satu baik Kakawin
Sutasoma, berikut ini.
“Rwaneka dhatu winuwus wara buddha wiswa/
bhineka rakwa ring apan kena
parwanosen/
mangka ng Jinatwa kalawan
Siwatwa tunggal/
bhineka tunggal ika tan hana
dharma mangrwa//
(Disebutkan dua perwujudan
Beliau, yaitu Buddha dan Siwa/
berbeda
konon, tetapi kapankah dapat dibagi dua/
demikianlah
kebenaran Buddha dan kebenaran Siwa itu satu/
yang
berbeda itu sesungguhnya satu jua, karena tidak ada dharma yang mendua//) (Kakawin Sutasoma).
(3)
Agama Hindu Bali
Agama Hindu Bali memiliki catatan
tersendiri dalam evolusinya. Meskipun mengalami pengaruh dari perkembangan agama
Hindu di Jawa Timur khususnya, tetapi agama Hindu di Bali juga mengalami
tahapan-tahapan perkembangan. Setidak-tidaknya, bukti-bukti peninggalan
purbakala di Bali menunjukkan bahwa orang Bali pra-Hindu telah memiliki
kepercayaan terhadap dewa-dewa lokal, leluhur, animisme dan dinamisme, serta
berbagai tradisi ritual. Kemudian, masuknya pengaruh Hindu dimungkinkan terjadi
bersamaan dengan kedatangan Maharsi Markandeya ke Bali sekitar abad ke-8
Masehi. Maharsi Markandhya bermaksud mengembangkan
inti-inti keimanan sekte Tri Sakti, yaitu Brahma, Waisnawa, dan Saiwa, serta
segala hal ikhwal upacara yajna (Ardana, 1982:22). Ini merupakan
pembabakan penting dalam sejarah masuknya pengaruh Hinduisme ke dalam sistem
kepercayaan lokal, yakni dikenalnya sekte Tri Sakti dan upacara yajna.
Tokoh pembaharu Hindu berikutnya adalah Mpu Kuturan yang
datang ke Bali sekitar abad ke-10. Dalam kurun waktu sejak kedatangan Maharsi Markandhya
hingga kedatangan Mpu Kuturan, rupanya
di Bali tengah terjadi dinamika keberagamaan dengan
munculnya banyak sekte yang diidentifikasi oleh Goris (1968:4) sebanyak 9
(sembilan) sekte, yaitu Saiwa Siddhanta,
Pasupata, Bhairawa, Wesnawa, Budha/Sogata, Brahma, Rsi, Sora, dan Ganapatya. Mpu Kuturan melaksanakan pasamuhan agung di Pura Samuhan Tiga dan berhasil memfusikan
kesembilan sekte tersebut ke dalam sekte Tri
Murti atau Tri Sakti, yakni sekte
Hindu yang awalnya telah diperkenalkan oleh Maharsi Markandhya. Dalam bidang
kemasyarakatan Mpu Kuturan telah berhasil menjadikan konsep Tri Murti sebagai
pengikat sistem sosial dengan mewajibkan pembangunan Kahyangan Tiga/Desa di
setiap desa pakraman (Ardana,
1982:30).
Pada masa pemerintahan Dalem Waturenggong (1460—1550 M),
Bali kembali kedatangan orang suci dari Jawa, yaitu Danghyang Dwijendra yang
juga dikenal dengan nama Danghyang Nirartha. Kedatangannya juga disusul oleh
keponakannya, yaitu Danghyang Astapaka. Danghyang Nirartha inilah dikenal sebagai leluhur
para Brahmana Siwa di Bali, sedangkan
Danghyang Astapaka sebagai leluhur para Brahmana Buddha (Anandakusuma,
1986:41). Sejak saat itu sampai sekarang, kedua brahmanawangsa
ini secara turun-temurun meneruskan tradisi diksa menjadi pendeta Siwa dan Buddha dengan gelar Padanda (Anandakusuma, 1986:42). Selain itu, juga Danghyang Dwijendra
mempelopori pendirian padmasana dan sanggah agung pada setiap pura di Bali sebagai tempat pemujaan
Sang Hyang Widhi Wasa atau Tuhan Yang Maha Esa (Ardana, 1982:36). Jadi, pada masa ini telah muncul pembaruan
Hindu, yaitu penerimaan konsep monotheisme dalam sistem ketuhanan Hindu dan
implementasinya dalam bentuk tempat suci.
Perkembangan keagamaan ini
menyebabkan agama Hindu di Bali memiliki keunikan dan kekhasannya, bahkan
berbeda dengan asalnya – India. Secara umum, konsep-konsep Hindu dari India
yang bersumber Weda, Upanisad, Samkhya, Yoga, Wedanta, Saiwa
Sidhanta, dan Agama (Tantra) diterima untuk memuliakan
kepercayaan lokal yang telah ada. Dalam konsep ketuhanan misalnya, umat Hindu
di Bali menganut konsep Ista Dewata (dewa-dewa
pujaan) sebagai implementasi dari konsep “Tuhan yang tunggal, dipuja dalam
banyak nama”. Implikasinya bahwa tidak hanya nama-nama dewa dari India yang
diterima, juga dewa-dewa lokal tetap mendapatkan tempat yang mulia. Dalam hal
ritual, konsep panya yajna dari India
disesuaikan dengan tradisi lokal Bali berupa sesajian yang disebut banten yang
terkandung aspek-aspek Tantra, khususnya
persembahan Panca Makara. Demikian
halnya pada aspek-aspek keagamaan, sosial, dan kebudayaan yang lain terjadi
akulturasi antara budaya lokal Bali dan tradisi Hindu dari India.
Berdasarkan paparan tersebut, dapat
dijelaskan beberapa ciri penting agama Hindu di Bali sebagai berikut.
- Terjadi penyatuan sekte-sekte (paksa) ke dalam sekte Siwa yang kemudian diimplementasikan menjadi konsep Tri Murti, yaitu Brahma, Wisnu, dan Iswara – sebagai perwujudan dari Siwa.
- Menerima konsep-konsep keagamaan Hindu yang bersumber dari Weda, Upanisad, Samhkya, Yoga, Wedanta, Saiwa Siddhanta, dan Tantra, yang ditafsirkan dalam kitab-kitab Siwatattwa dan lontar-lontar lainnya.
- Melaksanakan Panca Yajna yang disesuaikan dengan tradisi lokal, yaitu menggunakan babantenan Bali yang kental dengan persembahan Panca Makara (Tantrayana).
- Melaksanakan pemujaan kepada leluhur, bahkan secara berjenjang dari tingkat keluarga inti (Rong Tiga), keluarga besar (Panti dan Dadia), klan atau soroh (Padarman).
- Dalam sistem sosial-keagamaan ditandai dengan pentingnya kedudukan para Pendeta sebagai sumber otoritas upacara keagamaan, sekaligus menghantarkan persembahan umat kepada para Dewa.
- Masih kuatnya sistem feodalistik, menyebabkan
munculnya Puri dan Griya sebagai pusat-pusat keagamaan.
(4)
Hindu Modern
Sejalan
dengan pasang surut sejarah keagamaan Hindu di Indonesia yang salah satunya
ditandai dengan runtuhnya kerajaan Majapahit sebagai kerajaan Hindu terbesar di
Indonesia, maka perkembangan agama Hindu mengalami kemerosotan sampai titik
terendah. Kemudian, Bali menjadi satu-satunya pulau di nusantara yang
penduduknya tetap mempertahankan agama Hindu. Hal ini ditegaskan oleh
Swellengrebel (1960:21) bahwa Bali sudah berabad-abad Hindu atau Hindu Bali,
namun setelah itu ada Jawa-Bali atau lebih tepat Hindu Jawa-Bali. Pengaruh
Majapahit masih terasa pada agama orang Bali hingga masa kini. Oleh karena itu, Bali menjadi satu-satunya
pulau di Indonesia yang mayoritas
penduduknya masih beragama Hindu.
Hal ini menjadi petunjuk bahwa perkembangan agama Hindu di Bali,
memiliki pengaruh cukup besar bagi perkembangan agama Hindu di Indonesia.
Periode Hindu modern dapat dirujuk dari perkembangan agama Hindu di Bali dan di
Indonesia terutama pasca kemerdekaan Republik Indonesia pada tahun 1945. Oleh
karena itu, evolusi agama Hindu di Indonesia ditandai dengan upaya para tokoh
Hindu untuk mendapatkan pengakuan negara, seperti agama Islam dan Kristen.
Perjuangan ini secara ringkas dapat diformulasikan sebagai berikut. Pertama, terbentuknya Biro Urusan Agama Hindu Bali
pada Kementerian Kementrian Agama Republik Indonesia pada 2 Januari 1959. Kedua, terbentuknya Parisada Dharma Hindu Bali (PDHB) pada 23
Februari 1959. Ketiga, mengubah nama
PDHB menjadi Parisada Hindu Dharma (PHD) pada 10 Oktober 1964. Keempat, mengubah nama PHD menjadi
Parisada Hindu Dharma Pusat (PHDP) pada 27 September 1980. Kelima, mengubah nama PHDP menjadi Parisada Hindu Dharma Indonesia
(PHDI) pada 27 Februari 1986 sampai dengan sekarang.
Pada masa ini, Parisada menjadi
lembaga agama Hindu yang memiliki peranan dalam mengatur tata keagamaan umat
Hindu di Bali dan di Indonesia. Mengingat di dalam tubuh Parisada terdapat lembaga Bhisama
yang terdiri atas para pendeta atau sulinggih.
Dari sejak kelahirannya hingga Mahasabha ke-7, Parisada telah berhasil mengeluarkan beberapa konsep-konsep dan
keputusan penting berkaitan dengan keagamaan Hindu, sebagai berikut.
- Buku Upadesa yang berisi rumusan-rumusan tentang agama Hindu.
- Keputusan Hasil Seminar Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-aspek Agama Hindu yang membahas berbagai tata keagamaan Hindu yang dipandang perlu disistematisasikan kembali agar tidak menimbulkan kontroversi di masyarakat.
- Melakukan penataan dan pembinaan keumatan melalui program Dharma Agama dan Dharma Negara.
- Mendirikan Institut Hindu Dharma (IHD) yang menjadi UNHI sekarang pada 3 Oktober 1963 sebagai perguruan tinggi Hindu pertama di Bali dan Indonesia.
- Mendorong penerjemahan berbagai kitab suci Hindu, baik yang berasal dari India maupun Indonesia (Jawa Kuno).
- Menghapus berbagai sanksi adat yang dipandang tidak sejalan dengan ajaran agama Hindu, seperti Asu Pundung dan Manak Salah.
Demikianlah beberapa hasil kinerja Parisada Hindu Dharma Indonesia
(PHDI) dalam perkembangannya hingga Mahasabha VII, yaitu tahun 1997. Pada
Mahasabha VIII tepatnya tanggal 24 September 2011 terjadi kekacauan dalam tubuh
PHDI yang menurut Jelantik (dalam Mantik (ed), 2009:10),
konon perpecahan ini terjadi sebagai akibat adanya indikasi kelompok sampradaya yang ingin mengukuhkan
eksistensinya di kalangan pemeluk agama Hindu bercampur dengan kepentingan soroh yang belakangan menguat, atau
kepentingan politik, juga mungkin kepentingan pribadi. Pandangan ini didasari
oleh kenyataan, masuknya nama-nama tokoh sampradaya
dalam kepengurusan Parisada Pusat, bahkan dominannya sulinggih dari kelompok soroh
tertentu dalam kepengurusan sabha
pandita. Sampradaya yang dimaksud antara lain, Hare
Rama Hare Krishna, Sri Satya Sai Baba, Brahma Kumaris, Satguru Satsang, Ananda
Marga, Gandhi Ashram, dan lain sebagainya yang berafiliasi pada tradisi
Hindu India.
Berdasarkan penjelasan tersebut dapat dipahami beberapa ciri penting
periode Hindu Modern di Indonesia sebagai berikut.
- Munculnya kekuasaan keagamaan lain di luar Pendeta yang mengatur berbagai tata keagamaan Hindu, yaitu PHDI. PHDI dibentuk pada tingkat pusat, provinsi, kabupaten, dan kecamatan di seluruh Indonesia.
- Ajaran agama Hindu mulai diajarkan di sekolah-sekolah dan kepada masyarakat sehingga pengetahuan tentang agama Hindu semakin tersebar dan terbuka untuk dipelajari.
- Munculnya Sampradaya yang berafiliasi pada tradisi Hindu dari India.
- Munculnya gerakan-gerakan berbasis soroh atau klan dalam bidang keagamaan Hindu dengan berbagai isu dan kegiatan, seperti penyederhanaan upacara, upacara massal, dan reformasi adat.
- Secara umum muncul dua kelompok keagamaan Hindu, yaitu (a) kelompok konservatif yang ingin mempertahankan tradisi Hindu sebagaimana diwarisi dari semula, dan (b) kelompok progresif yang ingin mengubah agama Hindu sesuai dengan kondisi kekinian.
Evolusi agama Hindu di Indonesia diwarnai dengan perpaduan antara agama
Hindu yang datang dari India dan kepercayaan lokal. Artinya, agama Hindu
mengalami penyesuaian-penyesuaian dengan karakter lokal sehingga memiliki karakter
yang unik dan khas. Dalam hal ini, agama Hindu mampu memuliakan rohani
masyarakat Indonesia melalui berbagai bentuk akulturasi dan modifikasi
keagamaan. Secara umum, periodisasi evolusi Hindu di Indonesia dapat dibagi
menjadi empat periode, yaitu (1) periode awal (Kutai dan Tarumanegara) bahwa
agama Hindu masih bersifat sektarian; (2) periode Siwa-Buddha (Jawa Tengah dan
Jawa Timur) bahwa sudah mulai terjadi koalisi dan penyatuan antar-sekte, bahkan
antara Hindu dan Buddha yang tidak pernah terjadi sebelumnya di India; (3)
Agama Hindu Bali, yaitu konstruksi dan rekonstruksi keagamaan Hindu di Bali
dengan semakin kokohnya mazhab Saiwa Siddhanta yang menyatukan sekte-sekte di Bali. Agama
Hindu Bali pada akhirnya banyak mempengaruhi bentuk-bentuk keagamaan Hindu di
Indonesia pascaruntuhnya kerajaan Majapahit sampai dengan kemerdekaan RI; (4)
Hindu modern yang menandai terjadinya perubahan keagamaan secara radikal, yaitu
terjadinya pluralitas pemikiran dan praktek keagamaan Hindu karena masuknya
berbagai pemikiran dan kelompok-kelompok keagamaan baru.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar