Sabtu, 20 Agustus 2016

TRI HITA KARANA

TRI HITA KARANA:
Dari Mpu Kuturan ke Milenium Ketiga

Nanang Sutrisno

Bumi semakin berat menahan beban manusia. Bukan karena jumlahnya, melainkan ketamakan dan kerakusannya. Mahatma Gandhi telah mengingatkan bahwa bumi ini cukup untuk memuaskan kebutuhan semua orang, tetapi tidak akan pernah cukup untuk memuaskan satu orang yang tamak. Keinginan dan hasrat menguasai, acapkali menjadikan manusia lupa untuk melayani. Saat logos (akal-rasional) berkuasa, manusia menjadi sentral dari segalanya. Manusia tidak lagi bergantung pada alam dan terikat pada Tuhan, apalagi dengan sesamanya. Perluasan akal-rasional yang mengabaikan entitas kemanusiaan telah membawa dunia pada krisis moral paling mencengangkan sepanjang sejarah umat manusia (Radhakrishnan, 1987). Inilah citraan dunia milenium ketiga yang oleh para agamawan disebut zaman kaliyuga, atau budayawan Jawa menyebutnya zaman edan, kalabendhu, atau kalatidha.
Zaman (yuga) adalah siklus waktu, perubahan yang datang dan berulang terus menerus. Berlindung pada kehendak zaman berarti menghentikan kreativitas kesadaran. Padahal, kekuatan untuk mengarungi perubahan adalah kesadaran dan kewaspadaan (eling lan waspada). Artinya, membiarkan diri tergilas oleh zaman tanpa upaya untuk memupuk kesadaran, sama saja dengan mempercepat proses kehancuran (pralaya). Dalam hal ini, rekonstruksi spiritual, moral, dan sosial berdasarkan ajaran agama mendapatkan makna pentingnya untuk dihadirkan kembali dalam kesadaran diri. Baik sebagai kontrol dan kendali perubahan maupun mencapai tujuan hidup tertinggi.
Pergulatan pemikiran manusia sejak dulu sampai sekarang sesungguhnya hanya berpusat pada tiga aspek, yaitu kosmos (alam), theos (Tuhan), dan anthropos (manusia). Dalam sejarah pemikiran Barat, setiap aspek ini cenderung dieksplorasi secara parsial sehingga mendominasi dan mendeterminasi yang lain. Saat kosmosentrisme berkuasa, alam menjadi pusat segala pemikiran dan peradaban manusia. Saat theosentrisme berjaya, gereja muncul sebagai kekuatan dominan yang meniadakan segala pemikiran lain di luarnya. Malahan segala pemikiran yang bertentangan gereja ditentang keras sehingga para ilmuwan menyebutnya abad kegelapan (the dark age). Selanjutnya, pada abad pencerahan (aufklarung) manusia mendapatkan kebebasan untuk mengeksplorasi rasionalitasnya sehingga manusia menjadi pusat dari segalanya (anthroposentrisme). Revolusi pemikiran Barat yang lebih holistik dan integral lahir dari sejumlah ilmuwan Barat yang mempelajari pemikiran Timur (terutama India, China, dan Arab).

Pemikiran Hindu, juga sesungguhnya berpusat pada tiga aspek tersebut sebagai prinsip 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar