TRI HITA KARANA:
Dari Mpu Kuturan ke Milenium Ketiga
Nanang Sutrisno
Bumi
semakin berat menahan beban manusia. Bukan karena jumlahnya, melainkan
ketamakan dan kerakusannya. Mahatma Gandhi telah mengingatkan bahwa bumi ini cukup
untuk memuaskan kebutuhan semua orang, tetapi tidak akan pernah cukup untuk
memuaskan satu orang yang tamak. Keinginan dan hasrat menguasai, acapkali menjadikan
manusia lupa untuk melayani. Saat logos (akal-rasional)
berkuasa, manusia menjadi sentral dari segalanya. Manusia tidak lagi bergantung
pada alam dan terikat pada Tuhan, apalagi dengan sesamanya. Perluasan
akal-rasional yang mengabaikan entitas kemanusiaan telah membawa dunia pada krisis
moral paling mencengangkan sepanjang sejarah umat manusia (Radhakrishnan, 1987). Inilah citraan dunia milenium ketiga yang oleh para
agamawan disebut zaman kaliyuga, atau
budayawan Jawa menyebutnya zaman edan,
kalabendhu, atau kalatidha.
Zaman
(yuga) adalah siklus waktu, perubahan yang datang dan berulang terus
menerus. Berlindung pada kehendak zaman berarti menghentikan kreativitas
kesadaran. Padahal, kekuatan untuk mengarungi perubahan adalah kesadaran dan
kewaspadaan (eling lan waspada). Artinya, membiarkan diri
tergilas oleh zaman tanpa upaya untuk memupuk kesadaran, sama saja dengan
mempercepat proses kehancuran (pralaya).
Dalam hal ini, rekonstruksi spiritual, moral, dan sosial berdasarkan ajaran
agama mendapatkan makna pentingnya untuk dihadirkan kembali dalam kesadaran
diri. Baik sebagai kontrol dan kendali perubahan maupun mencapai tujuan hidup
tertinggi.
Pergulatan
pemikiran manusia sejak dulu sampai sekarang sesungguhnya hanya berpusat pada
tiga aspek, yaitu kosmos (alam), theos (Tuhan), dan anthropos (manusia). Dalam sejarah pemikiran Barat, setiap aspek
ini cenderung dieksplorasi secara parsial sehingga mendominasi dan
mendeterminasi yang lain. Saat kosmosentrisme berkuasa, alam menjadi pusat
segala pemikiran dan peradaban manusia. Saat theosentrisme berjaya, gereja
muncul sebagai kekuatan dominan yang meniadakan segala pemikiran lain di
luarnya. Malahan segala pemikiran yang bertentangan gereja ditentang keras
sehingga para ilmuwan menyebutnya abad kegelapan (the dark age). Selanjutnya, pada abad pencerahan (aufklarung) manusia mendapatkan
kebebasan untuk mengeksplorasi rasionalitasnya sehingga manusia menjadi pusat
dari segalanya (anthroposentrisme). Revolusi pemikiran Barat yang lebih
holistik dan integral lahir dari sejumlah ilmuwan Barat yang mempelajari
pemikiran Timur (terutama India, China, dan Arab).
Pemikiran
Hindu, juga sesungguhnya berpusat pada tiga aspek tersebut sebagai prinsip
Tidak ada komentar:
Posting Komentar