Selasa, 23 Agustus 2016

MULTIKULTURALISME HINDU

MULTIKULTURALISME DALAM HINDU:
Membangun Harmoni Hidup Beragama

Oleh
Dr. Nanang Sutrisno, S.Ag, M.Si

1.     Pendahuluan
Pluralitas bangsa Indonesia adalah kenyataan sosial yang harus diterima dan dihormati keberadaannya. Berkenaan dengan hal tersebut, Franz Magnis Suseno (2005:216) menjelaskan bahwa Indonesia hanya dapat bersatu jika pluralitas yang menjadi kenyataan sosialnya dihormati. Ke-Indonesia-an dibangun bukan untuk menghilangkan identitas khas semua komponen bangsa, melainkan agar semuanya dapat menjadi warga negara Indonesia tanpa merasa terasing. Sikap saling menghormati dalam identitas masing-masing, kesediaan untuk tidak memaksakan pandangannya sendiri tentang hidup yang baik kepada siapapun, merupakan syarat keberhasilan masa depan Indonesia. Dengan demikian, pluralitas menjadi modal dasar pembangunan apabila perbedaan itu dihargai dan selanjutnya dikembangkan menjadi bentuk-bentuk kerjasama dan kebersamaan dalam rangka mewujudkan tujuan pembangunan nasional.
Indonesia sebagai sebuah negara bangsa (nation-state) yang multietnis dan multikultural sudah sejak awal memiliki masalah legitimasi kultural. Ketimpangan sosial, ketidakadilan, ketidakmerataan pembangunan, dan tirani minoritas pada berbagai daerah di Indonesia telah menjadi luka sejarah yang sulit dilupakan. Gerakan-gerakan artikulasi identitas yang mengedepankan sentimen-sentimen agama, etnisitas, dan lokalitas yang marak belakangan ini dapat dipandang sebagai kesadaran baru di antara komponen-komponen bangsa ini bahwa kebanggaan dalam kehidupan berbangsa selama ini ternyata hanyalah banyang-bayang semu. Boleh jadi, hal ini membenarkan pernyataan Anderson (1999:21) yang memaknai bangsa hanyalah sebuah komunitas imajiner (imagined communities). Pada akhirnya, identitas nasional menjadi paradoks dalam dirinya sendiri karena terkandung potensi perpecahan, dan sekaligus kesatuan (Parekh, 2007:307).
Pemahaman tentang identitas nasional penting dilakukan untuk menyatukan masyarakat Indonesia pada sekitar pemahaman diri, memberi fokus serta energi pada rasa memiliki bersama, membentuk citra diri kolektif, mengolah kebaikan-kebaikan yang relevan, memfasilitasi reproduksi diri komunitas dan kesinambungan antargenerasi, mempertahankan kesetiaan umum, memperkuat kohesi sosial, serta menata kehidupan moral dan politik (Parekh, 2008:306). Singkatnya, identitas nasional memiliki peran yang sangat penting dalam masyarakat multikultur untuk menumbuhkan perasaan saling memiliki antara komunitas-komunitas yang beraneka ragam. Membangun kesadaran masyarakat tentang makna keadilan, kesetaraan, dan penghargaan atas liyan, sesungguhnya menjadi misi penting multikulturalisme (Tilaar, 2004; Parekh, 2007). Oleh karena itu, pendidikan multikultural harus diarahkan untuk membangun kesadaran, seperti (a) hak akan budaya (right to culture); (b) identitas budaya lokal; (c) identitas nasional berbasis multikulturalisme; (d) multikulturalisme normatif; (e) pemahaman lintas budaya dan komunikasi antarbudaya; dan (f) kebebasan, demokrasi, dan kesetaraan (Tilaar, 2004:159–190).
Akan tetapi, justru belakangan ini muncul gerakan politik identitas yang bertumpu pada primordialisme agama, etnis, dan kebangsaan. Fenomena ini, menurut Jurgensmeyer (Hidayat, 2008:83) merupakan bentuk Perang Dingin Baru” (New Cold War), yaitu perang antara nasionalisme agama melawan nasionalisme sekuler. Agama dan etnis memunculkan geliat di berbagai belahan dunia sebagai sentimen baru ikatan masyarakat. Tumbuh suburnya religious nationalism dan etno-nationalism sebagai identitas-identitas politik baru mengkonstruksi imaji tentang sebuah komunitas agama dan etnis yang seolah-olah seragam (Suaedy, dkk. 2007:345). Identitas baru ini memberikan harapan kepada masyarakat akan munculnya kekuatan lain di luar kapitalisme dan modernisme, yaitu agama. Akan tetapi, poros eksklusif yang terbentuk justru seringkali menjadi sumber kekerasan dan konflik sosial sehingga identitas baru ini sekaligus juga mengerikan (Suaedy, dkk. 2007:346). Gerakan nasionalisme agama seringkali gagal menghadapi paradoks global sehingga perlawanan terhadap modernisasi dan globalisasi, justru berujung pada kekerasan simbolik dan fisik misalnya, gerakan anti-Amerika.
Fenomena tersebut menegaskan bahwa agama memiliki kekuatan untuk melakukan transformasi sosial, tanpa harus berkonfrontasi dengan modernitas. Mengingat nilai-nilai modern, seperti demokrasi, keadilan sosial, efisiensi, birokrasi modern, ilmu pengetahuan dan teknologi, juga penting diterima agama-agama secara apresiatif dan selektif (Hidayat, 2008:85). Sikap apresiatif dan selektif terhadap masuknya kebudayaan asing sesungguhnya menjadi karakter dominan bangsa Indonesia, yaitu kecerdasan lokal (local genious) dan kearifan lokal (local wisdom). Untuk itu, diperlukan kesiapan dari setiap umat beragama untuk melakukan reinterpretasi, revitalisasi, dan rekontekstualisasi ajaran agamanya sesuai dengan perkembangan masyarakat kontemporer.
   
2.     Kohesi Sosial dan Peran Agama-agama
Kohesi sosial umumnya didefinisikan sebagai perekat yang menyatukan masyarakat, membangun keselarasan dan semangat kemasyarakatan, serta komitmen untuk mencapai tujuan-tujuan bersama (Colletta, et.al., 2001:2). Kohesi sosial merupakan syarat dasar bagi sebuah masyarakat (Shiddique, 2001:18). Memang tidak ada definisi kohesi sosial yang disepakati secara universal. Dewan Eropa mendefinisikan kohesi sosial sebagai kemampuan suatu masyarakat untuk menjamin kesejahteraan anggotanya, menekan perbedaan dan menghindari polarisasi. Masyarakat yang kohesif merupakan komunitas yang terdiri atas individu-individu bebas yang saling mendukung untuk mencapai tujuan bersama secara demokratis. Sebaliknya, Ritzen et., al. (2000) lebih menekankan aspek modal sosial dari kohesi sosial, yaitu suatu keadaan sekelompok orang menunjukkan kemampuan untuk berkolaborasi dan menghasilkan iklim untuk perubahan.
Lima dimensi utama dari kohesi sosial ditemukan dari empat dokumen kebijakan pemerintah Perancis dan Kanada, OECD, dan Kelompok Roma. Lima dimensi tersebut mencakup (a) kebersamaan – isolasi (nilai-nilai bersama, identitas, perasaan komitmen), (b) pengikutsertaan – pengesampingan (kesempatan yang setara untuk memperoleh akses), (c) partisipasi – ketidakterlibatan (dalam hal kehidupan politik, ekonomi, sosial, dan budaya), (d) penerimaan – penolakan (menghargai dan mentoleransi perbedaan dalam masyarakat majemuk) dan (e) legitimasi – ilegitimasi (akan institusi-institusi yang berperan sebagai mediator dalam konflik pada masyarakat majemuk) (Berger-Schmitt, 2000). Ulasan ini mengidentifikasi dua dimensi tujuan dari kohesi sosial, yaitu (1) upaya memperkuat hubungan, interaksi, dan ikatan sosial, dan (2) cara mengurangi perbedaan, ketidakadilan, dan pengesampingan sosial.
Kedua dimensi tersebut merupakan dua sisi yang saling melengkapi dalam pembangunan kohesi sosial terutama dalam masyarakat yang plural. Pluralitas agama, ras, dan etnis hendaknya dipandang memiliki kontribusi besar dalam pembangunan kohesi sosial, baik dalam makna konflik maupun integrasi. Konflik etnik yang terjadi di Irlandia Utara, Yugoslavia, Mesir, Sudan, Israel, Lebanon, India, Pakistan, Chechnya, Sri Lanka, Indonesia, dan Philipina memberikan bukti yang kuat bahwa konflik etnik disebabkan, atau setidak-tidaknya telah diperburuk oleh perbedaan agama (Baidhawy, 2002:54). Bukti-bukti menunjukkan bahwa suatu kelompok dapat menghidupkan simbol-simbol agama dalam suatu konflik, seperti terjadi dalam kasus Ambon dan Tolikara baru-baru ini
Pandangan tersebut memang tidak seluruhnya benar karena penyebab konflik sosial sangatlah kompleks. Akan tetapi, ketika agama dilibatkan dalam suatu konflik hal ini menjadi sangat beralasan, seperti penjelasan berikut.
”Keefektifan agama sebagai penyebab konflik sangat tergantung pada kondisi yang dialami masyarakat. Akan tetapi, tidak dapat dipungkiri bahwa agama memang merupakan wahana yang sangat efektif untuk memobilisasi massa. Agama akan mudah menjadi wahana mobilisasi guna mencapai tujuan negatif, seperti penyebab konflik, apabila masyarakat mengalami ketidakberdayaan ekonomi dan tekanan politik yang tinggi. Sebaliknya, agama akan sulit dijadikan penyebab konflik apabila keberdayaan ekonomi dan politik masyarakat tinggi” (Soetrisno, 2003:39).
Pandangan ini menegaskan bahwa agama seringkali bersifat paradoks. Pada satu sisi, agama menjadi jalan penjamin umatnya untuk menuju keselamatan, cinta, dan perdamaian. Sebaliknya, juga pada sisi yang lain agama menjadi alasan dan penyebab bagi kehancuran dan kemalangan umat manusia. Oleh karena agama orang bisa saling mencinta, tetapi atas nama agama pula orang bisa saling membunuh dan menghancurkan (Sindhunata, 2003:13). Hal serupa juga diungkapkan oleh Kahmad (2002:147) bahwa agama acapkali menampakkan diri sebagai sesuatu yang berwajah ganda. Di satu waktu agama memproklamirkan perdamaian, keselamatan, persatuan dan persaudaraan, tetapi pada waktu yang lain agama menampakkan diri sebagai sesuatu yang garang, penyebar konflik, dan peperangan.
Dimensi agama memang cukup sensitif karena melibatkan pikiran dan perasaan dari penganutnya yang oleh Koentjaraningrat (1989) disebut emosi keagamaan. Emosi keagamaan bisa menjadikan seseorang sangat meyakini ajaran agamanya dan berkomitmen untuk melaksanakannya dengan sepenuh hati, sebaliknya emosi keagamaan dapat memicu rasa marah dan benci ketika simbol-simbol agamanya dilecehkan oleh orang lain. Lebih lanjut, Kimball (2003:24-25) menjelaskan bahwa ada lima hal atau tanda yang bisa membuat agama busuk dan korup. Pertama, bila suatu agama mengklaim kebenaran agamanya sebagai kebenaran yang mutlak dan satu-satunya. Kedua, ketaatan buta kepada pemimpin keagamaan mereka – kultus. Ketiga, bila agama mulai gandrung merindukan zaman ideal, lalu bertekad merealisasikannya pada zaman sekarang. Keempat, bila agama membenarkan dan membiarkan terjadinya “tujuan yang membenarkan segala cara”. Kelima, bila agama tidak segan-segan memekikkan perang suci.
Pandangan serupa, juga dapat dirujuk dalam tesis yang dikemukakan J. M. Hull tentang religionisme atau agamaisme. Religionisme atau agamaisme adalah isme atau ideologi – serupa seperti rasisme – yang meyakini bahwa agama milik sendirilah yang satu-satunya benar dan valid, sedangkan agama yang lain salah (Maulanusantara, 2008; Rato, 2010). Paham ini cenderung mendorong penganutnya pada solidaritas tribalistik. Identitas yang digunakan oleh agamaisme bersandar pada sikap penolakan atau eksklusivisme atau ketertutupan. Hubungan antara “kami” dan “mereka” dibangun dalam kerangka dikotomis yang beroposisi biner seperti, “baik-buruk” “selamat-laknat”, “beriman-kafir” dan seterusnya. Keberadaan “mereka” senantiasa dipandang mengancam eksistensi “kami” (Maulanusantara, 2008). Eksklusivisma agama tidak jarang diikuti dengan tindakan kekerasan terhadap penganut agama lain, baik kekerasan fisik maupun simbolik.
Pandangan ini kiranya dapat menyadarkan umat beragama, baik secara individu maupun institusional untuk bercermin ke arah mana penghayatan keagamaannya sedang bergerak. Bila indikasi-indikasi tersebut telah semakin menonjol dalam kalangan umat beragama dapat diasumsikan bahwa institusi keagamaan telah gagal dalam menjalankan perannya sebagai mediator dalam menyampaikan ajaran-ajaran kesucian agama kepada para pemeluknya. Dengan kata lain, institusi agama dapat dipandang telah gagal dalam menjalankan misi membangun dan memperkuat kohesi sosial. Malahan agama menjadi semakin formal sehingga mengalami krisis makna, baik dalam penghayatan maupun pengamalan spiritualitas (Hidayat, 2008:5). 
Umat beragama terpolarisasi pada kutub-kutub identitas formal keagamaan yang semakin menjauhkan makna kebersamaan dan kesatuan sebagai bangsa yang religius. Dalam hal ini, diperlukan transformasi internal dari setiap agama untuk merumuskan kembali semangat keagamaan yang sejalan dengan kehidupan bangsa yang multikultural. Transformasi tersebut mencakup beberapa hal, seperti berikut.
Pertama, kesadaran bahwa setiap agama berisikan ajaran-ajaran mengenai kebenaran yang tertinggi dan mutlak tentang eksistensi manusia, serta petunjuk-petunjuk untuk hidup selamat di dunia dan akhirat. Agama sebagai sistem keyakinan dapat menjadi bagian sistem nilai yang ada dalam kebudayaan masyarakat bersangkutan, menjadi pendorong atau penggerak, serta pengontrol dari tindakan-tindakan para anggota masyarakat tersebut untuk tetap berjalan sesuai dengan nilai-nilai kebudayaan dan ajaran-ajaran agamanya (Ghazali, 2000:59). Secara sosiologis, agama dalam realitas kehidupan selalu bersentuhan dengan pemenuhan kebutuhan hidup manusia, baik yang bersifat fisik-biologis, sosial, ekonomi dan politik. Begitu pula agama selalu bersentuhan dengan kebutuhan-kebutuhan integratif yang menyangkut hal-hal yang sangat penting dalam kehidupan manusia, yaitu keinginan untuk hidup beradab, bermoral, tenteram, dan damai. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa keberagamaan itu saling kait-mengait antara hal-hal yang bersifat normatif dengan dimensi kehidupan yang bersifat praksis aktual, baik pada level individual maupun kolektif (Notingham, 2002:36).
Kedua, mengganti agamaisme dengan tradisi spiritual yang asli (genuine spirituality) dan otentik sambil mengupas bias sejarah dan politik. Radakrishnan (2003:55) menjelaskan bahwa hakikat agama adalah panggilan menuju suatu petualangan spiritual. Agama bukan hanya teologi, melainkan praktik dan disiplin. Hakikat agama tidak terletak pada dogma-dogma dan kredo-kredo, ritus-ritus, dan upacara-upacara yang menjemukan, tetapi kebijaksanaan-kebijaksanaan yang paling mendalam dari segala zaman. Spiritualisme mengatasi otoritas dan konformitas institusi agama, serta berdiri di luar semua agama (Roberts, 2002:113). Lebih lanjut, Radakrishnan (2003:55) menjelaskan bahwa perbedaan antara agama-agama bukan menyangkut kebenaran, melainkan pandangan-pandangan atau pemahaman terhadap kebenaran yang diyakini. Agama pada dasarnya merupakan wujud historis yang berbeda-beda dari satu kebenaran yang validitasnya bersifat universal sehingga perbedaan agama tidak boleh menghalangi visi kedamaian antarmanusia.
Ketiga, menekankan bahwa tujuan universal agama-agama adalah sama, yaitu menghadirkan spirit Tuhan di bumi, menciptakan surga di muka bumi. Transfigurasi atau spiritualisasi dalam pandangan eksistensialis Nietszchean (Roberts, 2002:112) merupakan cara untuk mewujudkan eksistensi manusia, yakni kebebasan spirit. Nietzsche membangun gagasan spiritualitas postreligiusnya secara ekstrim bahwa kebebasan spirit diperoleh melalui “perahmatan” yang bukan hanya milik “Satu Tuhan, melainkan transfigurasi. Umat beragama harus mampu melakukan transfigurasi praktik hidup ketuhanan. Di sini,  setiap umat beragama harus mampu melakukan transformasi kesadaran ketuhanan (divine consciousness) menuju kesadaran kemanusiaan (human consciousness). Dengan demikian, setiap manusia apapun agamanya, memiliki kesempatan yang sama untuk memperoleh pencerahan dan mendapatkan rahmat di dunia ini.
Keempat, mengganti dakwah agamaisme yang cenderung menghujat agama lain dan mengkonversi pemeluk agama lain dengan dakwah agama otentik yang bertujuan menegakkan keadilan dan perdamaian, serta menghadirkan spirit Tuhan dalam kehidupan fana. Hal ini berkaitan dengan rekomendasi sebelumnya bahwa agama hanyalah sarana untuk menuju Tuhan, bukan Tuhan itu sendiri. Tujuan hidup manusia adalah Tuhan yang bersama-sama dicari dalam agama-agama (Supono, 2002:73). Melalui kesadaran ini, antarumat beragama tidak akan saling hujat-menghujat, mati-matian membela agamanya yang seolah-olah membela Tuhannya, dan menawarkan satu-satunya keselamatan kepada orang lain dengan tujuan konversi agama. Dengan demikian, agama menjadi pemersatu dan tidak sebaliknya menjadi alat pemecah belah persatuan. Di sinilah, kohesi sosial antarumat beragama dapat dibangun dan dijadikan modal sosial menuju masyarakat multikultural.

3.     Pendidikan Multikultural
Bhiku Parekh, seorang proponen teori multikulturalisme merekomendasikan bahwa multikulturalisme bukanlah sebuah doktrin politik dengan muatan programatik, tidak pula sebagai sebuah aliran filsafat dengan teori yang khas tentang tempat manusia di dunia, melainkan lebih sebagai sebuah perspektif atau cara melihat kehidupan manusia (Budiman, 2005:3). Sebaliknya, Liliweri (2005:6) begitu yakin bahwa multikulturalisme merupakan seperangkat kebijakan pemerintah pusat yang dirancang sedemikian rupa agar seluruh masyarakat dapat memberikan perhatian kepada kebudayaan dari semua kelompok etnik atau suku bangsa. Mengenai perbedaan ini, Budiman (2005:5) berusaha menjelaskan bahwa Parekh memang tidak merekomendasikan multikulturalisme sebagai doktrin politik, tetapi praktik multikulturalisme jauh lebih mudah dilihat dan dipahami dalam konteks kebijakan politik suatu negara. Dengan kalimat lain bahwa kebijakan multikultural dikembangkan sebagai sebuah model, selain model-model lain yang ditujukan pada politik pengelolaan perbedaan kultural warga negara. Oleh karena itu, multikulturalisme dalam teori dan praktik merupakan gejala yang rumit.
Pada satu sisi multikulturalisme mensyaratkan adanya kesadaran dari setiap individu ataupun kelompok, baik yang didasari atas kesamaan agama, etnis, dan budaya untuk menghargai keberadaan individu ataupun kelompok yang lain. Ini merupakan kondisi ideal suatu masyarakat plural sebagaimana dinyatakan oleh para pemikir multikulturalisme gelombang pertama, yaitu (1) kebutuhan terhadap pengakuan (the need of recognition), dan (2) legitimasi keragaman budaya atau pluralisme budaya (Tilaar, 2004:83). Artinya, multikulturalisme menjadi kondisi ideal suatu masyarakat apabila keanekaragaman tidak saja diakui, tetapi juga mendapat ruang seluas-luasnya untuk mengembangkan diri dan mengartikulasikan identitasnya dalam kerangka kesetaraan dan keadilan.
Dalam konteks ke-Indonesia-an, semboyan Bhinneka Tunggal Ika harus ditegakkan kembali dalam menjawab tantangan kehidupan di bidang keagamaan (Sedyawati, 2009:27). Semboyan ini adalah local genius sekaligus culture identity bangsa Indonesia, yaitu identitas dan kepribadian bangsa Indonesia yang diharapkan mampu menjadi landasan dalam membangun bangsa yang plural dengan pengakuan terhadap kelompok-kelompok masyarakat yang mempunyai latar belakang ras, suku, adat-istiadat, dan agama yang berbeda-beda. Religiusitas bangsa Indonesia semestinya dapat dijadikan modal sosial untuk memperkuat kohesi sosial antaragama dan antaretnis menuju masyarakat multikultural. Tentu saja, harus ada kesiapan dari seluruh umat beragama untuk melakukan reinterpretasi, revitalisasi, dan rekontekstualisasi ajaran agamanya dari kesalahen normatif-teologis menjadi kesalehan sosial-humanistik (Mulkhan, 2007).  Spirit persaudaraan, kebersamaan, dan kesatuan universal inilah yang semestinya digali dan direvitalisasi oleh agama-agama untuk mewujudkan masyarakat multikultural. Seperti halnya, Kahlil Gibran menuliskannya dalam puisinya:
“Sesudah jiwaku menasihatiku, aku sadar dosamu ialah dosaku, deritamu adalah tangisku, bahagiamu adalah bahagiaku”.

Dalam kesadaran kemanusiaan universal inilah, setiap manusia akan memperoleh kembali fitrahnya sebagai insan religius dan makhluk sosial (Mulkhan, 2007:31). Artinya, untuk mewujudkan harmoni hidup beragama, setiap umat beragama perlu mengubah sedikit caranya memaknai agama yang dianutnya. Agama harus dikembalikan pada posisi kesuciannya sebagai penjamin kebahagiaan semua makhluk di muka bumi ini (sarwa prani hitangkarah) atau rahmat bagi semua (rahmatan lil’alamin). Dengan demikian, pendidikan multikultural dalam konteks beragama harus diarahkan untuk membangun kesadaran setiap umat beragama agar iman dan taqwa berjalan beriringan dengan amal dan moral.

4.     Penutup
Agama, secara sosiologis adalah paradoks dalam dirinya sendiri. Sifat paradoks ini menawarkan tantangan kepada umat beragama dan institusi keagamaan dalam membangun kohesi sosial pada masyarakat multikultural. Kohesi sosial tidak hanya dibangun untuk mewujudkan kerukunan antarumat beragama, tetapi menjadikannya modal sosial untuk mewujudkan, kesetaraan, keadilan, dan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, diperlukan kesiapan dari setiap umat beragama untuk melakukan transformasi dan transfigurasi internal dari kesadaran ketuhanan (divine consciousness) menjadi kesadaran kemanusiaan (human consciousness). Di sinilah, peran agama mendapatkan makna dan apresiasi yang setinggi-tingginya dalam kemanusiaan.

5.     Daftar Pustaka
Anderson, Benedict, 1999. Komunitas-Komunitas Terbayang Renungan Tentang Asal Usul dan Penyebaran Nasionalisme. Alih Bahasa Omi Intan Naomi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Baidhawy, Zakiyudin. 2002. Ambivalensi Agama Konflik & Nirkekerasan. Yogyakarta: LESFI.

Berger-Schmitt. 2000. Social Cohesion as an Aspect of the Quality of Societies: Concept and Measurement.EuReporting Working Paper No 14.

Budiman, Hikmat (ed). 2005. Hak Minoritas Dilema Multikulturisme di Indonesia. Jakarta: Yayasan Interseksi/The Interseksi Foundation.

Colletta, Nat J., Teck Ghee Lim, Anita Kelles-Viitanen. 2001. Social Cohesion and Conflict Prevention inAsia: Managing Diversity through Development. Washington D.C.: The World Bank.

Hidayat, Komaruddin. 2008. The Wisdom of Life Menjawab Kegelisahan Hidup dan Agama. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Kimball, Charles. 2003. Kala Agama Jadi Bencana. Bandung: PT.Mizan.

Liliweri, Alo.2005. Prasangka dan Konflik, Komunikasi Lintas Budaya Masyarakat Multikultur. Yogyakarta: LkiS.

Maulanusantara. 2008. “Menepis Prasangka, Memupuk Toleransi Untuk Multikulturalisme”. Artikel dalam maulanusantara.wordpress.com, posting 30 April 2008.

Mulkhan, Abdul Munir. 2007. Menembus Batas-batas Sufi Pinggiran. Yogyakarta: Kanisius.

Nottingham, Elizabeth K. 1985. Agama dan Masyarakat. Jakarta: CV.Rajawali.

Nurkhoiron, M. 2007. “Minoritisasi dan Agenda Multikulturalisme di Indonesia: Sebuah Catatan Awal”, dalam Hak Minoritas Multikulturalisme dan Dilema Negara Bangsa. Editor: Marsudi Noorsalim, dkk. Jakarta: Yayasan Interseksi/The Interseksi Foundation.

Parekh, Bhiku. 2007. Rethinking Multikulturalism Keberagaman Budaya dan Teori Politik. Yogyakarta: Kanisius.

Radhakrishnan, S. 2003. Religion and Society. Denpasar: Program Magister Ilmu Agama dan Kebudayaan, Universitas Hindu Indonesia Denpasar bekerjasama dengan penerbit Widya Dharma.

Rano, Rato. 2010. “Religionisme” dan Urgensi Perubahan Paradigma Pendidikan Agama”. Artikel dalam m.kompasiana.com, posting 28 April 2010.

Ritzen et al. 2000. “Good”Politicians and “Bad” Policies: Social Cohesion,Institutions and Growth. World Bank. Jo Ritzen,William Easterly, dan Michael Woolcock (September) Policy Research Working Paper 2448.

Robert, Tyler T. 2002. Spiritualitas Postreligius Eksplorasi Hermeneutis Transfigurasi Agama dalam Praksis Filsafat Nietzsche. Yogyakarta: Qalam.

Robertson, Roland. 1988. Agama: Dalam Analisas dan Interpretasi Sosiologi, Jakarta: Rajawali.

Sedyawati, Edi. 2009. Saiwa dan Bauddha di Masa Jawa Kuna. Denpasar: Widya Dharma.

Siddique, Sharon, 2001. “Social Cohesion and Social Conflict in Southeast Asia” dalam “Social Cohesion and Conflict Prevention inAsia: Managing Diversity through Development” Washington D.C.: The World Bank.

Soetrisno, L. 2003. Konflik Sosial Studi Kasus Indonesia. Yogyakarta: Tajidu Press.

Suaedy, Ahmad, dkk. 2007. Politisasi Agama dan Konflik Komunal Beberapa Isu Penting di Indonesia. Jakarta: The Wahid Institute.

Supono, Eusta. 2002. Agama Solusi atau Ilusi? Kritik atas Kritik Agama Karl Marx. Yogyakarta: Komunitas Studi Didaktika.

Suseno, Franz Magnis. 2005. Berebut Jiwa Bangsa. Jakarta: Kompas.

Tilaar, H.A.R.2004. Multikulturalisme Tantangan-tantangan Global Masa Depan dalam Transformasi Pendidikan Nasional. Jakarta: Grasindo.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar