MULTIKULTURALISME
DALAM HINDU:
Membangun
Harmoni Hidup Beragama
Oleh
Dr. Nanang Sutrisno, S.Ag, M.Si
1.
Pendahuluan
Pluralitas bangsa Indonesia adalah kenyataan sosial yang
harus diterima dan dihormati keberadaannya. Berkenaan dengan hal tersebut,
Franz Magnis Suseno (2005:216) menjelaskan bahwa Indonesia hanya dapat bersatu
jika pluralitas yang menjadi kenyataan sosialnya dihormati. Ke-Indonesia-an
dibangun bukan untuk menghilangkan identitas khas semua komponen bangsa,
melainkan agar semuanya dapat menjadi warga negara Indonesia tanpa merasa
terasing. Sikap saling menghormati dalam identitas masing-masing, kesediaan
untuk tidak memaksakan pandangannya sendiri tentang hidup yang baik kepada
siapapun, merupakan syarat keberhasilan masa depan Indonesia. Dengan demikian,
pluralitas menjadi modal dasar pembangunan apabila perbedaan itu dihargai dan
selanjutnya dikembangkan menjadi bentuk-bentuk kerjasama dan kebersamaan dalam rangka mewujudkan tujuan pembangunan nasional.
Indonesia sebagai sebuah negara bangsa (nation-state) yang multietnis dan multikultural sudah sejak awal memiliki masalah legitimasi kultural. Ketimpangan sosial,
ketidakadilan, ketidakmerataan pembangunan, dan tirani minoritas pada berbagai
daerah di Indonesia telah menjadi luka sejarah yang sulit dilupakan.
Gerakan-gerakan artikulasi identitas yang mengedepankan sentimen-sentimen
agama, etnisitas, dan lokalitas yang marak belakangan
ini dapat dipandang sebagai kesadaran baru di antara komponen-komponen bangsa
ini bahwa kebanggaan dalam kehidupan berbangsa selama ini ternyata hanyalah
banyang-bayang semu. Boleh jadi, hal ini membenarkan pernyataan Anderson
(1999:21) yang memaknai bangsa hanyalah sebuah komunitas imajiner (imagined
communities). Pada akhirnya, identitas nasional menjadi paradoks dalam dirinya sendiri karena terkandung potensi
perpecahan, dan sekaligus kesatuan (Parekh,
2007:307).
Pemahaman tentang identitas nasional penting dilakukan
untuk menyatukan masyarakat Indonesia pada sekitar pemahaman diri, memberi
fokus serta energi pada rasa memiliki bersama, membentuk citra diri kolektif,
mengolah kebaikan-kebaikan yang relevan, memfasilitasi reproduksi diri
komunitas dan kesinambungan antargenerasi, mempertahankan kesetiaan umum,
memperkuat kohesi sosial, serta menata kehidupan moral dan politik (Parekh,
2008:306). Singkatnya, identitas nasional memiliki peran yang sangat penting
dalam masyarakat multikultur untuk menumbuhkan perasaan saling memiliki antara
komunitas-komunitas yang beraneka ragam. Membangun kesadaran masyarakat tentang
makna keadilan, kesetaraan, dan penghargaan atas liyan, sesungguhnya menjadi misi penting multikulturalisme (Tilaar,
2004; Parekh, 2007). Oleh karena itu, pendidikan multikultural harus diarahkan untuk
membangun kesadaran, seperti (a) hak akan budaya (right to culture); (b) identitas budaya
lokal; (c) identitas nasional berbasis multikulturalisme; (d) multikulturalisme
normatif; (e) pemahaman lintas budaya dan komunikasi antarbudaya; dan (f)
kebebasan, demokrasi, dan kesetaraan (Tilaar, 2004:159–190).
Akan tetapi, justru belakangan ini muncul gerakan politik
identitas yang bertumpu pada primordialisme agama, etnis, dan kebangsaan.
Fenomena ini, menurut Jurgensmeyer (Hidayat, 2008:83) merupakan bentuk “Perang Dingin Baru” (New Cold War), yaitu perang antara nasionalisme agama
melawan nasionalisme sekuler. Agama dan etnis memunculkan geliat di berbagai
belahan dunia sebagai sentimen baru ikatan masyarakat. Tumbuh suburnya religious nationalism dan etno-nationalism sebagai identitas-identitas politik baru
mengkonstruksi imaji tentang sebuah komunitas agama dan etnis yang seolah-olah
seragam (Suaedy, dkk. 2007:345). Identitas baru ini memberikan harapan kepada
masyarakat akan munculnya kekuatan lain di luar kapitalisme dan modernisme,
yaitu agama. Akan tetapi, poros eksklusif yang terbentuk justru seringkali menjadi sumber kekerasan dan konflik sosial sehingga
identitas baru ini sekaligus juga mengerikan (Suaedy, dkk. 2007:346). Gerakan
nasionalisme agama seringkali gagal menghadapi paradoks global sehingga perlawanan terhadap modernisasi dan globalisasi, justru berujung pada kekerasan simbolik dan fisik misalnya, gerakan
anti-Amerika.
Fenomena
tersebut
menegaskan bahwa agama memiliki kekuatan untuk melakukan transformasi sosial,
tanpa harus berkonfrontasi dengan modernitas. Mengingat nilai-nilai modern,
seperti demokrasi, keadilan sosial, efisiensi, birokrasi modern, ilmu
pengetahuan dan teknologi, juga penting diterima agama-agama secara apresiatif
dan selektif (Hidayat, 2008:85). Sikap apresiatif dan selektif terhadap
masuknya kebudayaan asing sesungguhnya menjadi karakter dominan bangsa
Indonesia, yaitu kecerdasan lokal (local genious) dan kearifan lokal (local wisdom). Untuk itu, diperlukan
kesiapan dari setiap umat beragama untuk melakukan reinterpretasi, revitalisasi,
dan rekontekstualisasi ajaran agamanya sesuai dengan perkembangan masyarakat
kontemporer.
2.
Kohesi Sosial dan Peran Agama-agama
Kohesi
sosial umumnya didefinisikan sebagai perekat yang menyatukan masyarakat,
membangun keselarasan dan semangat kemasyarakatan, serta komitmen untuk
mencapai tujuan-tujuan bersama (Colletta, et.al., 2001:2). Kohesi sosial
merupakan syarat dasar bagi sebuah masyarakat (Shiddique, 2001:18). Memang
tidak ada definisi kohesi sosial yang disepakati secara universal. Dewan Eropa mendefinisikan kohesi sosial
sebagai kemampuan suatu masyarakat
untuk menjamin kesejahteraan anggotanya, menekan perbedaan dan menghindari
polarisasi. Masyarakat yang kohesif merupakan komunitas yang terdiri atas
individu-individu bebas yang saling mendukung untuk mencapai tujuan bersama
secara demokratis. Sebaliknya, Ritzen et., al. (2000) lebih menekankan
aspek modal sosial dari kohesi sosial, yaitu suatu keadaan sekelompok orang menunjukkan kemampuan untuk
berkolaborasi dan menghasilkan iklim untuk perubahan.
Lima
dimensi utama dari kohesi sosial ditemukan dari empat dokumen kebijakan
pemerintah Perancis dan Kanada, OECD, dan Kelompok Roma. Lima dimensi tersebut
mencakup (a) kebersamaan – isolasi (nilai-nilai bersama, identitas,
perasaan komitmen), (b) pengikutsertaan – pengesampingan (kesempatan
yang setara untuk memperoleh akses), (c) partisipasi – ketidakterlibatan (dalam
hal kehidupan politik, ekonomi, sosial, dan budaya), (d) penerimaan –
penolakan (menghargai dan mentoleransi perbedaan dalam masyarakat majemuk)
dan (e) legitimasi – ilegitimasi (akan institusi-institusi yang berperan
sebagai mediator dalam konflik pada masyarakat majemuk) (Berger-Schmitt, 2000).
Ulasan ini mengidentifikasi dua dimensi tujuan dari kohesi sosial, yaitu (1) upaya memperkuat hubungan, interaksi, dan ikatan sosial, dan (2) cara mengurangi perbedaan, ketidakadilan, dan pengesampingan
sosial.
Kedua dimensi tersebut merupakan dua sisi yang saling melengkapi dalam pembangunan
kohesi sosial terutama dalam masyarakat yang plural. Pluralitas agama, ras, dan
etnis hendaknya dipandang memiliki kontribusi besar dalam pembangunan kohesi sosial,
baik dalam makna konflik maupun integrasi. Konflik etnik yang terjadi di
Irlandia Utara, Yugoslavia, Mesir, Sudan, Israel, Lebanon, India, Pakistan,
Chechnya, Sri Lanka, Indonesia, dan Philipina memberikan bukti yang kuat bahwa
konflik etnik disebabkan, atau setidak-tidaknya
telah diperburuk oleh perbedaan agama (Baidhawy, 2002:54). Bukti-bukti menunjukkan bahwa
suatu kelompok dapat menghidupkan simbol-simbol agama dalam suatu konflik,
seperti terjadi dalam kasus Ambon dan
Tolikara baru-baru ini.
Pandangan
tersebut memang tidak seluruhnya benar karena penyebab konflik sosial
sangatlah kompleks. Akan tetapi, ketika agama dilibatkan dalam suatu konflik
hal ini menjadi sangat beralasan, seperti penjelasan berikut.
”Keefektifan agama sebagai penyebab konflik sangat tergantung
pada kondisi yang dialami masyarakat. Akan tetapi, tidak dapat dipungkiri bahwa
agama memang merupakan wahana yang sangat efektif untuk memobilisasi massa.
Agama akan mudah menjadi wahana mobilisasi guna mencapai tujuan negatif,
seperti penyebab konflik, apabila masyarakat mengalami ketidakberdayaan ekonomi
dan tekanan politik yang tinggi. Sebaliknya, agama akan sulit dijadikan
penyebab konflik apabila keberdayaan ekonomi dan politik masyarakat tinggi”
(Soetrisno, 2003:39).
Pandangan
ini menegaskan bahwa agama seringkali bersifat paradoks. Pada satu sisi, agama menjadi jalan penjamin umatnya untuk menuju keselamatan, cinta, dan perdamaian. Sebaliknya, juga pada sisi yang lain agama menjadi alasan dan penyebab bagi
kehancuran dan kemalangan umat manusia. Oleh karena agama orang bisa saling
mencinta, tetapi atas nama agama pula orang bisa saling membunuh dan
menghancurkan (Sindhunata, 2003:13). Hal serupa juga diungkapkan oleh Kahmad (2002:147) bahwa agama acapkali
menampakkan diri sebagai sesuatu yang berwajah ganda. Di satu waktu agama
memproklamirkan perdamaian, keselamatan, persatuan dan persaudaraan, tetapi
pada waktu yang lain agama menampakkan diri sebagai sesuatu yang garang,
penyebar konflik, dan peperangan.
Dimensi
agama memang cukup sensitif karena melibatkan pikiran dan perasaan dari
penganutnya yang oleh Koentjaraningrat (1989) disebut emosi keagamaan. Emosi
keagamaan bisa menjadikan seseorang sangat meyakini ajaran agamanya dan
berkomitmen untuk melaksanakannya dengan sepenuh hati, sebaliknya emosi
keagamaan dapat memicu rasa marah dan benci ketika simbol-simbol agamanya
dilecehkan oleh orang lain. Lebih lanjut, Kimball (2003:24-25)
menjelaskan bahwa ada lima hal atau tanda yang bisa membuat agama busuk dan
korup. Pertama, bila suatu agama
mengklaim kebenaran agamanya sebagai kebenaran yang mutlak dan satu-satunya. Kedua, ketaatan buta kepada pemimpin
keagamaan mereka – kultus. Ketiga,
bila agama mulai gandrung merindukan zaman ideal, lalu bertekad
merealisasikannya pada zaman sekarang. Keempat,
bila agama membenarkan dan membiarkan terjadinya “tujuan yang membenarkan
segala cara”. Kelima, bila agama
tidak segan-segan memekikkan perang suci.
Pandangan
serupa, juga dapat dirujuk dalam tesis yang dikemukakan J. M. Hull tentang
religionisme atau agamaisme. Religionisme atau agamaisme adalah isme atau
ideologi – serupa seperti rasisme – yang meyakini bahwa agama milik sendirilah
yang satu-satunya benar dan valid, sedangkan agama yang lain salah
(Maulanusantara, 2008; Rato, 2010). Paham ini cenderung mendorong penganutnya
pada solidaritas tribalistik. Identitas yang digunakan oleh agamaisme bersandar
pada sikap penolakan atau eksklusivisme atau ketertutupan. Hubungan antara
“kami” dan “mereka” dibangun dalam kerangka dikotomis yang beroposisi biner
seperti, “baik-buruk” “selamat-laknat”, “beriman-kafir” dan seterusnya.
Keberadaan “mereka” senantiasa dipandang mengancam eksistensi “kami”
(Maulanusantara, 2008). Eksklusivisma agama tidak jarang diikuti dengan
tindakan kekerasan terhadap penganut agama lain, baik kekerasan fisik maupun
simbolik.
Pandangan ini kiranya dapat menyadarkan umat beragama, baik secara
individu maupun institusional untuk bercermin ke arah mana penghayatan
keagamaannya sedang bergerak. Bila indikasi-indikasi tersebut telah semakin
menonjol dalam kalangan umat beragama dapat diasumsikan bahwa institusi
keagamaan telah gagal dalam menjalankan perannya sebagai mediator
dalam menyampaikan ajaran-ajaran kesucian agama kepada para pemeluknya. Dengan
kata lain, institusi agama dapat dipandang telah gagal dalam menjalankan misi
membangun dan memperkuat kohesi sosial. Malahan agama menjadi semakin formal
sehingga mengalami krisis makna, baik dalam penghayatan maupun pengamalan
spiritualitas (Hidayat, 2008:5).
Umat beragama terpolarisasi pada kutub-kutub identitas
formal keagamaan yang semakin menjauhkan makna kebersamaan dan kesatuan sebagai
bangsa yang religius. Dalam hal ini, diperlukan transformasi internal dari
setiap agama untuk merumuskan kembali semangat keagamaan yang sejalan dengan
kehidupan bangsa yang multikultural.
Transformasi tersebut mencakup beberapa hal, seperti berikut.
Pertama, kesadaran bahwa setiap agama berisikan
ajaran-ajaran mengenai kebenaran yang tertinggi dan mutlak tentang eksistensi
manusia, serta petunjuk-petunjuk untuk hidup selamat di dunia dan akhirat.
Agama sebagai sistem keyakinan dapat menjadi bagian sistem nilai yang ada dalam
kebudayaan masyarakat bersangkutan, menjadi pendorong atau penggerak, serta
pengontrol dari tindakan-tindakan para anggota masyarakat tersebut untuk tetap
berjalan sesuai dengan nilai-nilai kebudayaan dan ajaran-ajaran agamanya
(Ghazali, 2000:59). Secara sosiologis, agama dalam realitas kehidupan selalu bersentuhan dengan pemenuhan kebutuhan hidup manusia, baik
yang bersifat fisik-biologis, sosial, ekonomi dan politik. Begitu pula agama selalu bersentuhan dengan kebutuhan-kebutuhan
integratif yang menyangkut hal-hal yang sangat penting dalam kehidupan manusia,
yaitu keinginan untuk hidup beradab, bermoral, tenteram, dan damai. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa keberagamaan itu saling kait-mengait antara
hal-hal yang bersifat normatif dengan dimensi kehidupan yang bersifat praksis
aktual, baik pada level individual maupun kolektif (Notingham, 2002:36).
Kedua, mengganti agamaisme dengan tradisi spiritual yang asli (genuine spirituality) dan otentik sambil mengupas bias sejarah dan
politik. Radakrishnan (2003:55) menjelaskan bahwa hakikat agama adalah panggilan menuju suatu petualangan spiritual. Agama bukan hanya teologi, melainkan praktik dan disiplin. Hakikat agama tidak
terletak pada dogma-dogma dan kredo-kredo, ritus-ritus, dan upacara-upacara
yang menjemukan, tetapi kebijaksanaan-kebijaksanaan yang paling mendalam dari segala zaman. Spiritualisme mengatasi otoritas dan
konformitas institusi agama, serta berdiri di luar semua agama (Roberts,
2002:113). Lebih lanjut, Radakrishnan (2003:55) menjelaskan bahwa perbedaan
antara agama-agama bukan menyangkut kebenaran, melainkan pandangan-pandangan
atau pemahaman terhadap kebenaran yang diyakini. Agama pada dasarnya merupakan
wujud historis yang berbeda-beda dari satu kebenaran yang validitasnya bersifat
universal sehingga perbedaan agama tidak boleh menghalangi visi kedamaian antarmanusia.
Ketiga, menekankan bahwa tujuan universal
agama-agama adalah sama, yaitu menghadirkan spirit Tuhan di bumi, menciptakan
surga di muka bumi. Transfigurasi atau spiritualisasi dalam pandangan
eksistensialis Nietszchean (Roberts, 2002:112) merupakan cara untuk mewujudkan
eksistensi manusia, yakni kebebasan spirit. Nietzsche membangun gagasan
spiritualitas postreligiusnya secara ekstrim bahwa kebebasan spirit diperoleh
melalui “perahmatan” yang bukan hanya milik “Satu Tuhan”, melainkan transfigurasi. Umat beragama harus mampu melakukan transfigurasi praktik hidup ketuhanan. Di sini, setiap umat
beragama harus mampu melakukan transformasi kesadaran ketuhanan (divine consciousness) menuju kesadaran kemanusiaan (human
consciousness). Dengan demikian, setiap manusia apapun agamanya, memiliki
kesempatan yang sama untuk memperoleh pencerahan dan mendapatkan rahmat di dunia ini.
Keempat, mengganti dakwah agamaisme yang
cenderung menghujat agama lain dan mengkonversi pemeluk agama lain dengan
dakwah agama otentik yang bertujuan menegakkan keadilan dan perdamaian, serta
menghadirkan spirit Tuhan dalam kehidupan fana. Hal ini berkaitan dengan
rekomendasi sebelumnya bahwa agama hanyalah sarana untuk menuju Tuhan, bukan
Tuhan itu sendiri. Tujuan hidup manusia adalah Tuhan yang bersama-sama dicari
dalam agama-agama (Supono, 2002:73). Melalui kesadaran ini, antarumat beragama
tidak akan saling hujat-menghujat, mati-matian membela agamanya yang seolah-olah
membela Tuhannya, dan menawarkan satu-satunya keselamatan kepada orang lain
dengan tujuan konversi agama. Dengan demikian, agama menjadi pemersatu dan
tidak sebaliknya menjadi alat pemecah belah persatuan. Di sinilah, kohesi
sosial antarumat beragama dapat dibangun dan dijadikan modal sosial menuju
masyarakat multikultural.
3.
Pendidikan Multikultural
Bhiku Parekh, seorang proponen teori multikulturalisme
merekomendasikan bahwa multikulturalisme bukanlah sebuah doktrin politik dengan
muatan programatik, tidak pula sebagai sebuah aliran filsafat dengan teori yang
khas tentang tempat manusia di dunia, melainkan lebih sebagai sebuah perspektif
atau cara melihat kehidupan manusia (Budiman, 2005:3). Sebaliknya, Liliweri
(2005:6) begitu yakin bahwa multikulturalisme merupakan seperangkat kebijakan
pemerintah pusat yang dirancang sedemikian rupa agar seluruh masyarakat dapat
memberikan perhatian kepada kebudayaan dari semua kelompok etnik atau suku
bangsa. Mengenai perbedaan ini, Budiman (2005:5) berusaha menjelaskan bahwa
Parekh memang tidak merekomendasikan multikulturalisme sebagai doktrin politik,
tetapi praktik multikulturalisme jauh lebih mudah dilihat dan dipahami dalam
konteks kebijakan politik suatu negara. Dengan kalimat lain bahwa kebijakan
multikultural dikembangkan sebagai sebuah model, selain model-model lain yang ditujukan pada
politik pengelolaan perbedaan kultural warga negara. Oleh karena itu,
multikulturalisme dalam teori dan praktik merupakan gejala yang rumit.
Pada satu sisi multikulturalisme mensyaratkan adanya
kesadaran dari setiap individu ataupun kelompok, baik yang didasari atas
kesamaan agama, etnis, dan budaya untuk menghargai keberadaan individu ataupun
kelompok yang lain. Ini merupakan kondisi ideal suatu masyarakat plural sebagaimana
dinyatakan oleh para pemikir multikulturalisme gelombang pertama, yaitu (1)
kebutuhan terhadap pengakuan (the need of
recognition), dan (2) legitimasi keragaman budaya atau pluralisme budaya
(Tilaar, 2004:83). Artinya, multikulturalisme menjadi kondisi ideal suatu
masyarakat apabila keanekaragaman tidak saja diakui, tetapi juga mendapat ruang seluas-luasnya untuk
mengembangkan diri dan mengartikulasikan identitasnya dalam kerangka kesetaraan
dan keadilan.
Dalam
konteks ke-Indonesia-an, semboyan Bhinneka
Tunggal Ika harus ditegakkan kembali dalam menjawab tantangan kehidupan di
bidang keagamaan (Sedyawati, 2009:27). Semboyan ini adalah local genius sekaligus
culture identity bangsa Indonesia, yaitu identitas dan kepribadian bangsa
Indonesia yang diharapkan mampu menjadi landasan
dalam membangun bangsa yang plural dengan pengakuan terhadap kelompok-kelompok
masyarakat yang mempunyai latar belakang ras, suku, adat-istiadat, dan agama
yang berbeda-beda. Religiusitas bangsa Indonesia semestinya dapat dijadikan
modal sosial untuk memperkuat kohesi sosial antaragama dan antaretnis menuju
masyarakat multikultural. Tentu saja, harus ada kesiapan dari seluruh umat
beragama untuk melakukan reinterpretasi, revitalisasi, dan rekontekstualisasi
ajaran agamanya dari kesalahen normatif-teologis menjadi kesalehan
sosial-humanistik (Mulkhan, 2007). Spirit
persaudaraan, kebersamaan, dan kesatuan universal inilah yang semestinya digali
dan direvitalisasi oleh agama-agama untuk mewujudkan masyarakat multikultural.
Seperti halnya, Kahlil Gibran menuliskannya dalam puisinya:
“Sesudah
jiwaku menasihatiku, aku sadar dosamu ialah dosaku, deritamu adalah tangisku,
bahagiamu adalah bahagiaku”.
Dalam
kesadaran kemanusiaan universal inilah, setiap manusia akan memperoleh kembali
fitrahnya sebagai insan religius dan makhluk sosial (Mulkhan, 2007:31).
Artinya, untuk mewujudkan harmoni hidup beragama, setiap umat beragama perlu
mengubah sedikit caranya memaknai agama yang dianutnya. Agama harus
dikembalikan pada posisi kesuciannya sebagai penjamin kebahagiaan semua makhluk
di muka bumi ini (sarwa prani hitangkarah)
atau rahmat bagi semua (rahmatan
lil’alamin). Dengan demikian, pendidikan multikultural dalam konteks
beragama harus diarahkan untuk membangun kesadaran setiap umat beragama agar
iman dan taqwa berjalan beriringan dengan amal dan moral.
4.
Penutup
Agama, secara sosiologis adalah paradoks dalam dirinya
sendiri. Sifat paradoks ini menawarkan tantangan kepada umat beragama dan
institusi keagamaan dalam membangun kohesi sosial pada masyarakat
multikultural. Kohesi sosial tidak hanya dibangun untuk mewujudkan kerukunan
antarumat beragama, tetapi menjadikannya modal sosial untuk mewujudkan,
kesetaraan, keadilan, dan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, diperlukan
kesiapan dari setiap umat beragama untuk melakukan transformasi dan
transfigurasi internal dari kesadaran ketuhanan (divine consciousness) menjadi kesadaran kemanusiaan (human consciousness). Di sinilah, peran
agama mendapatkan makna dan apresiasi yang setinggi-tingginya dalam
kemanusiaan.
5.
Daftar Pustaka
Anderson, Benedict, 1999. Komunitas-Komunitas
Terbayang Renungan Tentang Asal Usul dan Penyebaran Nasionalisme. Alih
Bahasa Omi Intan Naomi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Baidhawy, Zakiyudin. 2002. Ambivalensi Agama Konflik & Nirkekerasan. Yogyakarta: LESFI.
Berger-Schmitt. 2000. Social Cohesion as an Aspect of the
Quality of Societies: Concept and Measurement.EuReporting Working Paper No 14.
Budiman, Hikmat (ed). 2005. Hak Minoritas Dilema Multikulturisme di
Indonesia. Jakarta: Yayasan Interseksi/The Interseksi Foundation.
Colletta, Nat J., Teck Ghee Lim, Anita
Kelles-Viitanen. 2001. Social Cohesion and Conflict Prevention inAsia:
Managing Diversity through Development. Washington D.C.: The World Bank.
Hidayat, Komaruddin. 2008. The Wisdom of Life Menjawab Kegelisahan Hidup dan Agama. Jakarta:
Penerbit Buku Kompas.
Kimball, Charles. 2003. Kala Agama Jadi Bencana. Bandung:
PT.Mizan.
Liliweri, Alo.2005. Prasangka dan Konflik, Komunikasi Lintas Budaya Masyarakat Multikultur.
Yogyakarta: LkiS.
Maulanusantara. 2008. “Menepis
Prasangka, Memupuk Toleransi Untuk Multikulturalisme”. Artikel dalam maulanusantara.wordpress.com, posting 30
April 2008.
Mulkhan, Abdul Munir. 2007. Menembus Batas-batas Sufi Pinggiran. Yogyakarta: Kanisius.
Nottingham, Elizabeth K. 1985. Agama dan Masyarakat. Jakarta:
CV.Rajawali.
Nurkhoiron, M. 2007. “Minoritisasi dan
Agenda Multikulturalisme di Indonesia: Sebuah Catatan Awal”, dalam Hak Minoritas Multikulturalisme dan Dilema
Negara Bangsa. Editor: Marsudi Noorsalim, dkk. Jakarta: Yayasan
Interseksi/The Interseksi Foundation.
Parekh, Bhiku. 2007. Rethinking Multikulturalism Keberagaman
Budaya dan Teori Politik. Yogyakarta: Kanisius.
Radhakrishnan, S. 2003. Religion and Society. Denpasar: Program
Magister Ilmu Agama dan Kebudayaan, Universitas Hindu Indonesia Denpasar
bekerjasama dengan penerbit Widya Dharma.
Rano, Rato. 2010. “Religionisme” dan
Urgensi Perubahan Paradigma Pendidikan Agama”. Artikel dalam m.kompasiana.com,
posting 28 April 2010.
Ritzen et al. 2000. “Good”Politicians
and “Bad” Policies: Social Cohesion,Institutions and Growth. World Bank. Jo
Ritzen,William Easterly, dan Michael Woolcock (September) Policy Research
Working Paper 2448.
Robert, Tyler T. 2002. Spiritualitas Postreligius Eksplorasi
Hermeneutis Transfigurasi Agama dalam Praksis Filsafat Nietzsche. Yogyakarta:
Qalam.
Robertson, Roland. 1988. Agama: Dalam Analisas dan Interpretasi
Sosiologi, Jakarta: Rajawali.
Sedyawati, Edi. 2009. Saiwa
dan Bauddha di Masa Jawa Kuna. Denpasar: Widya Dharma.
Siddique, Sharon, 2001. “Social Cohesion and Social Conflict in
Southeast Asia” dalam “Social Cohesion and Conflict Prevention
inAsia: Managing Diversity through Development” Washington D.C.: The World Bank.
Soetrisno, L. 2003. Konflik Sosial Studi Kasus Indonesia. Yogyakarta: Tajidu Press.
Suaedy, Ahmad, dkk. 2007. Politisasi Agama dan Konflik Komunal
Beberapa Isu Penting di Indonesia. Jakarta: The Wahid Institute.
Supono, Eusta. 2002. Agama Solusi atau Ilusi? Kritik atas Kritik Agama
Karl Marx. Yogyakarta: Komunitas Studi Didaktika.
Suseno, Franz Magnis. 2005. Berebut Jiwa Bangsa. Jakarta: Kompas.
Tilaar, H.A.R.2004. Multikulturalisme Tantangan-tantangan Global Masa Depan dalam
Transformasi Pendidikan Nasional. Jakarta: Grasindo.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar