Selasa, 23 Agustus 2016

WREHASPATI TATTWA

TRANSFORMASI TEOLOGIS HINDU INDONESIA:
Weda, Prastanatraya, dan Kitab Jawa Kuno

Nanang Sutrisno

1.     Pendahuluan
Pendekatan dalam studi agama dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu pendekatan yang bersifat teoposentris dan pendekatan yang bersifat sosiohistoris (Robertson, 1988:xvii). Pendekatan yang bersifat teoposentris menelaah agama sebagai seperangkat ajaran dari Tuhan yang tercantum dalam kitab-kitab suci. Studi agama seperti ini bersifat normatif atau menggunakan pendekatan yang bersifat tekstual. Sementara itu, pendekatan yang bersifat sosiohistoris menelaah agama sebagai kenyataan yang tumbuh dan berkembang dalam pengalaman empiris tingkah laku para pemeluknya. Studi agama seperti ini, agama lebih dimaknai dalam konteks kehidupan sosial para pemeluknya. Pendekatan ini lebih bersifat kontekstual. Baik pendekatan teoposentris maupun antroposentris sesungguhnya memiliki peranan yang sama pentingnya bagi umat beragama.
Pentingnya pendekatan teoposentris dalam studi agama terutama dilatarbelakangi alasan bahwa belum seluruh ajaran agama yang terkandung dalam kitab suci telah dipahami secara holistik dan komprehensif oleh pemeluknya. Dalam hal ini, ajaran agama sangat terbuka terhadap munculnya berbagai penafsiran dan senantiasa bertransformasi pada setiap zaman. Apalagi pendekatan antroposentris meletakkan landasan berpikir baru bahwa agama juga berkembang sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat pendukungnya. Hal ini lebih tegas dapat dicermati dalam perkembangan agama Hindu di Indonesia yang memiliki karakter yang unik dan khas. Dikatakan demikian karena ajaran Weda yang datang dari India diterima, tetapi pelaksanaannya disesuaikan dengan karakter lokal dan kebudayaan setempat. Kearifan lokal Indonesia menjadi kekuatan filterisasi untuk menyeleksi pengaruh dari segala jenis kebudayaan India. Hal ini menjadikan kebudayaan asli daerah tampak eksis mendukung pelaksanaan agama Hindu yang datang belakangan. Artinya, agama Hindu yang datang dari India berinteraksi dengan kebudayaan asli daerah sehingga menjadikan agama Hindu di Indonesia mempunyai warna yang berbeda dengan induknya, India.
Terjadinya transformasi ajaran agama Hindu di Indonesia dapat dipahami dalam gagasan Bosch (Ayatroehaedi, 1986:72) bahwa unsur kebudayaan India sebaiknya dianggap sebagai zat penyubur yang menumbuhkan kebudayaan Hindu di Indonesia yang tetap memperlihatkan kekhasannya. Kearifan lokal (local genius) menjadikan agama Hindu Indonesia tampak berbeda pelaksanaannya dengan Agama Hindu di India. Berkaitan dengan itu, juga Phalgunadi (2010:38—45) menjelaskan bahwa agama Hindu yang datang ke di Indonesia pada tarikh awal Masehi dan diwarisi hingga sekarang merupakan kelanjutan dari ajaran Brahmanisme ortodoks, mazhab Trimurti, Tantrayana (Shiwatantra dan Waishnawatantra), dan filsafat Shiva Sidhanta yang berkembang di India Selatan. Proses transformasi ini mencakup aspek tattwa, susila, dan acara agama Hindu sehingga menampilkan wujudnya seperti sekarang dan kemungkinan transformasinya pada masa depan.
Dari ketiga aspek ajaran agama Hindu tersebut, tampaknya menarik untuk mencermati transformasi teologis Hindu Indonesia. Dikatakan demikian karena teologi yang berpusat pada kepercayaan manusia terhadap “yang adikodrati”, dengan siapa manusia berhubungan dalam pengalaman religiusnya, merupakan gambaran khas, umum, dan merata pada semua agama. Setiap agama memiliki rumusan teologinya masing-masing dan kepercayaan kepada yang Mahatinggi diwujudkan dalam doa, ritual, ibadah, dan mistis (Dhavamony,1995:121). Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa teologi merupakan refleksi keyakinan umat beragama dan menjadi basis dari seluruh pengalaman dan pengamalan religiusnya. Malahan dapat ditegaskan bahwa tidak mungkin agama tanpa teologi. Demikian halnya dengan teologi Hindu (brahmawidya atau tattwajnana) adalah basis kepercayaan umat Hindu yang mendasari seluruh aktivitas religiusnya.
Akan tetapi, mencermati sistem teologi Hindu Indonesia tampaknya tidak seluruhnya sama persis dengan ajaran ketuhanan dalam Weda. Misalnya, terdapat beberapa perbedaan antara nama dan fungsi dewa dalam Weda dengan nama dan fungsi dewa yang dipahami umat Hindu di Indonesia. Walaupun berbeda, ternyata terdapat kesinambungan konsep yang mengalir dari Weda sehingga memungkinkan untuk menelusuri transformasi ajarannya. Transformasi teologi inilah yang akan ditelusuri dalam tulisan ini dengan merujuk pada pemikiran Weda, Prastanatraya (Upanisad, Bhagawadgita, dan Brahmasutra), dan kitab-kitab Jawa Kuno yang diwarisi di Indonesia.
  
2. Pembahasan
2.1 Konstruksi Konseptual
Transformasi teologi Hindu Indonesia dibangun oleh tiga konsep utama, yaitu transformasi, teologi, dan Hindu Indonesia. Pada dasarnya, konsep-konsep ini memiliki pengertian dan deskripsinya masing-masing sehingga diperlukan konstruksi konseptual. Konstruksi ini mengandaikan bahwa setiap konsep memiliki batasan dan ruang lingkup yang spesifik untuk menjelaskan sebuah objek. Kemudian, satu konsep berhubungan dengan konsep yang lain untuk mencapai keluasan dan kedalaman analisis terhadap objek yang diamati. Dengan demikian, dimungkinkan untuk memperoleh pemahaman secara holistik dan komprehensif dalam keseluruhan pembahasan ini.
Pertama, transformasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005:1209) berarti perubahan rupa (bentuk, sifat, fungsi, dan sebagainya). Transformasi mendapatkan pengaruh kuat dari pemikiran evolusionisme. Berkaitan dengan itu, Kayam (Sutrisno, 2008:42) menegaskan bahwa transformasi merupakan kondisi akhir dari perubahan. Artinya, transformasi bergerak dari satu bentuk ke bentuk yang lain pada tahapan tertentu sehingga perubahan ini dapat diamati dengan membandingkan dari bentuk-bentuk sebelumnya. Dalam konteks kebudayaan, Haviland (1993:251—260) menjelaskan bahwa secara garis besar transformasi kultural meliputi empat mekanisme, yaitu penemuan, difusi, hilangnya unsur kebudayaan, dan akulturasi. Ini sebabnya, transformasi dapat dipahami secara dialektis dalam hubungannya dengan sejumlah konteks.
Kedua, teologi menurut Bagus (2002:1090) berasal dalam bahasa Yunani theologia, yaitu dari kata theos yang berarti Tuhan dan logos berarti wacana, ilmu. Jadi, teologi berarti wacana atau ilmu tentang Tuhan. Berkaitan dengan itu, Dhavamony (1995:121) menjelaskan bahwa setiap agama memiliki konsep teologi yang bermacam-macam, seperti monoteisme, politeisme, panteisme, monisme dan henoteisme. Suprayogo dan Tobroni (2001:39—40) menjelaskan bahwa monoteisme adalah paham yang berpendapat Tuhan itu hanya satu, Esa, tunggal, dan tak terbilang. Politeisme adalah paham yang mengimani, menyembah dan memuja banyak Tuhan. Di dalamnya terdapat animisme, dinamisme, dan paganisme yang intinya berpendapat bahwa ada penguasa-penguasa lain di dunia ini selain Tuhan yang berupa benda-benda alam, roh-roh halus, dewa-dewa, makhluk halus bahkan manusia. Sementara itu, henoteisme adalah paham yang mengkonsentrasikan diri pada Tuhan yang tunggal, tetapi dalam mitos masih mengakui adanya tuhan-tuhan yang lain. Ini menegaskan bahwa teologi mencakup seluruh ajaran ketuhanan yang dimiliki sebuah agama dan dianut seluruh pemeluknya.
Ketiga, konsep Hindu Indonesia merupakan konstruksi budaya yang mengacu pada sebuah identitas. Artinya, Hindu Indonesia adalah agama Hindu yang memiliki identitas khas dan spesifik sehingga membedakannya dengan agama Hindu yang berkembang pada daerah lain. Hal ini dapat dipahami dari pendapat Subagya (1981:6) bahwa agama Hindu murni tidak pernah menjadi milik bangsa Indonesia. Dalam perkembangannya agama Hindu Indonesia menampakkan corak yang berbeda dengan tanah kelahirannya, India (Magetsari dalam Ayatrohaedi, 1986:56). Hal ini menegaskan bahwa Hindu Indonesia memiliki karakteristik tersendiri yang menurut Yasa (Dharmasmrti, Vol. VII, 14 Oktober 2009:122) dapat dirumuskan beberapa aspeknya sebagai berikut. 
(a)   Panca Sradha “lima kepercayaan” adalah dasar iman Hindu, yaitu Widhi sradha ‘percaya kepada Tuhan’, atma sradha ‘percaya kepada roh individu’, karmaphala sradha ‘percaya kepada perbuatan pasti berpahala’, punarbhawa ‘percaya kepada hidup mengalami tumimbal lahir, dan moksa ‘percaya kepada kelepasan’.
(b)  Trikaya Parisudha adalah landasan moral, yaitu kaya parisudha ‘berbuat yang suci’, wak parisuddha ‘berkata yang suci’, dan manacika parisudha ‘berpikir yang suci’.
(c)   Catur Marga adalah jalan atau disiplin spiritual, yaitu bhakti marga ‘jalan bakti’, karma marga ‘jalan kerja’, jnàna marga ‘jalan pengetahuan’, dan yoga marga ‘jalan kontemplasi’.
(d)  Panca Yadnya adalah lima jenis kurban. Dalam arti sempit adalah ritual. Lima kurban, yaitu dewa yadnya ‘kurban dipersembahkan kepada Tuhan’, pitra yadnya ‘kurban dipersembahkan kepada leluhur’, rsi yadnya ‘kurban dipersembahkan kepada orang suci’, manusa yadnya ‘kurban untuk kesejahtraan dan kebahagiaan sesama manusia, dan bhuta yadnya ‘kurban untuk menjaga keharmonian alam, kelestarian makhluk dan tumbuhan’.
(e)   Catur Purusàrtha adalah cita-cita hidup, yaitu mendapatkan dharma ‘karakter luhur dan (ilmu) pengetahuan’, artha ‘harta kekayaan’, kàma ‘kenikmatan hidup’, dan moksa ‘kebahagiaan’.

Berdasarkan ketiga konsep tersebut dapat dipahami bahwa transformasi teologi Hindu Indonesia mencakup perubahan nama dan rupa ajaran ketuhanan Hindu di Indonesia. Dalam prosesnya terjadi penemuan, penyerapan (difusi), akulturasi, dan hilangnya konsep-konsep teologi Hindu India dalam transformasinya ke dalam teologi Hindu Indonesia. Proses ini dipahami melalui pencermatan terhadap teologi dalam kitab suci Weda (Catur Weda), transformasinya ke dalam prastanatraya, dan kitab-kitab tattwa berbahasa Jawa Kuno yang diwarisi di Indonesia sampai sekarang.

2.2 Brahmawidya: Teologi Hindu dan Transformasinya
Menurut Pudja (1999:3) bahwa istilah teologi dalam terminologi Hindu disebut brahmawidya atau tattwajnana yang berarti ilmu tentang Tuhan. Brahma diartikan Tuhan, yaitu gelar yang diberikan kepada Tuhan sebagai unsur yang memberikan kehidupan pada semua ciptaan-Nya, Yang Mahakuasa. Sementara itu, tattwa berarti hakikat tentang Tat (Itu, yaitu Tuhan dalam bentuk Nirguna Brahman). Widya atau Jnana kedua-duanya berarti sama, yaitu ilmu. Dengan demikian, brahmawidya dan tattwajnana memiliki kesetaraan arti, yaitu ilmu tentang hakikat Tuhan atau kebenaran tertinggi (tat sat).

2.2.1  Brahmawidya dalam Weda
Untuk memahami teologi Hindu, tentu sruti atau catur weda merupakan otoritas yang harus dipelajari dan dipahami. Mengingat perkembangan konsep teologi Hindu seluruhnya berpusat pada Weda dan memungkinkan transformasinya pada zaman-zaman berikutnya termasuk sampai ke Indonesia. Punyatmadja (1987:9) mengatakan ajaran suci Weda terbagi atas empat bagian, yaitu Rig Weda, Yajur Weda, Sama Weda, dan Atharwa Weda. Tiap-tiap bagian Weda terdiri atas Samhita (syair-syair pujaan), Brahmana (aturan-aturan hidup keagamaan dan upacara), Aranyaka dan Upanisad (filsafat pengetahuan hubungan roh dengan Tuhan, penjelasan, dan kelepasan).
Konsep ketuhanan yang dianut pada zaman Rig Weda adalah henoteisme, kathenoteisme, politeisme, panteisme, monoteisme, dan monisme (Phalgunadi, 2010:16). Agama Rig Weda (Rig Vedic Religion) percaya kepada banyak dewa, tetapi juga meyakini adanya satu Dewa Tertinggi. Dewa Tertinggi ini menjadi pemimpin dari dewa-dewa yang lain. Dewa Tertinggi ini diyakini adalah pencipta, pemelihara, pelindung, pemberi kebahagiaan, dan juga kekayaan kepada manusia Adapun dewa-dewa yang dipuja dalam agama Rig Weda seperti misalnya, pemujaan kepada Surya, Usha, Indra, Parjana, Wayu, dan lain-lain. Jumlah dewa dari agama Rig Weda berjumlah 33 (Tribhir Ekadasai) (Phalgunadi, 2010:16).
Dalam kitab Weda dijelaskan bahwa Dyaus adalah dewa yang bersinar di sorga dan Prthiwi adalah dewi bumi. Kedua dewa ini merupakan dewa yang tertua dari dewa-dewa yang disebutkan dalam Rig Weda. Kemudian, kedua dewa ini digeser atau digantikan kedudukannya oleh Waruna dan Indra. Dewa Waruna adalah dewa yang paling mulia. Ia adalah dewa atau pemimpin dari pada para dewa. Dewa Waruna adalah Dewa Mahatahu, sekaligus Penguasa Alam Semesta. Orang yang berdosa tidak dapat terlepas dari mata Dewa Waruna, kepadaNya juga manusia mohon pengampunan dosa. Dewa lain yang terpenting dalam kitab Weda adalah Indra. Dikatakan terpenting karena Dewa Indra adalah dewa yang paling terkenal dan yang paling banyak dipuja. Hampir seperempat dari seluruh jumlah nyanyian pemujaan di dalam kitab Rig Weda Samhita ditujukan kepada dewa Indra. Kekuatan badannya sangat mengagumkan. Ia juga adalah dewa penguasa hujan, dewa sahabat manusia, dan dewa perang (Phalgunadi, 2010:16).
Di samping dewa-dewa tersebut, juga dikenal nama-nama dewa, seperti Marut (angin ribut), Wayu (dewa angin) dan Parjanya (dewa awan). Agni adalah dewa yang dimanusiakan dari wujud dewa api yajna. Dewa Agni dianggap sebagai dewa pendeta dan juga sebagai dewa perantara untuk membawa persembahan yajna  kepada para dewa lain. Dewa Aditya (dewa matahari) dipuja dalam berbagai wujud, misalnya sebagai Mitra (dewa yang bersifat dermawan), Surya (dewa pemberi sinar), Sawitri (dewa pemberi gairah), Pushan (dewa pemberi makanan), Sawita, Ashwin, dan Usha (Phalgunadi, 2010:17). Ini menunjukkan bahwa ketuhanan dalam Rig Weda seolah-olah bersifat politeisme. Akan tetapi, pandangan ini diluruskan ditemukan sebuah sloka dalam kitab suci Rig Weda tentang kepercayaan bahwa Tuhan itu adalah Esa, tetapi memiliki banyak nama. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam Rig Weda I.146.46 sebagai berikut.
Indram mitram varunam agnim ahur atho divyah sasuparno garutman,
Ekam sad viprah bahuda vadantyagnim matariswan ahuh”
Artinya :
Mereka menyebutkan Indra, Mitra, Varuna, Agni, dan Dia yang bercahaya dan bersayap elok. Satu itu (Tuhan) namun orang bijaksana meneyebutnya dengan banyak nama seperti Agni, Yama, dan Matariswan.

Gagasan monoteisme dalam Weda juga ditemukan dalam bait-bait Weda yang lain misalnya, Rig Weda III.54.8 menjelaskan sebagai berikut “ejad druvapatyate visvam ekam, caratpatatrivisunam vijatam” (‘Esa dalam segalanya.  Dia adalah maharaja dari yang bergerak dan tidak bergerak,  yang berjalan ataupun yang terbang dalam berbagai wujud ciptaanNya’). Kemudian, dalam Rig Weda X.192.2 dijelaskan ‘Yang Esa bernafas dengan kekuataannya sendiri’. Keesaan tuhan dalam sloka-sloka Rig Weda ini menunjukkan keberadaan Illahi yang dipahami secara metafisika, yaitu yang melingkupi seluruh alam semesta dan ciptaanNya (Bose, 2000:23). Dalam pemahaman ini, tuhan dalam Weda dipahami sebagai “tat” (ke-Itu-an) sebagaimana dijelaskan sebagai berikut.
 “Agni adalah itu, Aditya adalah itu, Vayu adalah itu, Candrama adalah itu, Cahaya adalah itu, Apah adalah itu, Ia adalah Prajapati” (Yajur Weda XXXII.1).

“Marilah engkau sekalian, dengan kekuatan spiritualmu, menyatulah dengan Tuhan yang maha bercahaya (div), yang Esa, yang menjadi tamu manusia, Ia adalah yang pertama, Ia yang menginginkan kita untuk mengikuti semua jalan yang menuju pada-Nya. Sesungguhnya Ia hanya satu-satunya” (Sama Veda, 372).

“Kepada yang mengetahui Tuhan itu hanya satu saja. Tidak ada yang menyebut-Nya sebagai yang kedua, ketiga, keempat, (juga kelima, keenam, ketujuh, dan seterusnya). Ia mengawasi semua – yang bernafas dan tidak bernafas. Kepada-Nya diberi kekuatan penakluk” (Atharwa Weda XIII).

Dalam Catur Weda, juga ditemukan konsep ketuhanan yang menunjukkan penggambaran antropomorphis (personal God) sebagai wujud kedekatan mistikal. Penggambaran bahwa tuhan berpribadi tersebut, seperti dijelaskan dalam beberapa sloka Weda sebagai berikut.
“Aditi adalah langit, Aditi adalah alam tengah, Aditi adalah ibu, bapa, dan anak, Aditi adalah semua dewata dan manusia utama. Aditi adalah semua yang lahir dan yang akan lahir” (Rig Weda, I.89.10).

“Kedua lautan adalah pinggan Varuna dan Ia berada dalam setetes air” (Atharwa Weda, IV.163).

“Engkau adalah manusia, Engkau adalah wanita, Engkau adalah pemuda, Engkau adalah gadis remaja, Engkau adalah orang tua yang berjalan membawa tongkat, Engkau berada di semua penjuru” (Atharwa Weda, X.8.27).

Kompleksitas penggambaran wujud Tuhan dalam kitab suci Catur Weda tersebut menunjukkan kekayaan konsep teologi Hindu. Politeisme dan henoteisme dalam Weda mendasari lahirnya semua bentuk pemujaan dengan tujuan-tujuan khusus sesuai dengan fungsi para dewa tersebut. Hal ini dapat dipahami sebagai basis karma kanda dalam Weda yang memusatkan pemujaan, ritual, dan doa-doa kepada dewata-dewata pujaan (istadewata). Sebaliknya, konsepsi metafisis dan mistik menjadi basis jnana kanda yang membuka ruang seluas-luasnya bagi perkembangan pemikiran filosofis atas Weda. Pemahaman mengenai wujud tuhan, baik yang impersonal maupun personal mewarnai begitu rupa pemikiran dalam prasthanatraya sehingga memungkinkan transformasi teologi Hindu berlangsung dalam berbagai dinamika dan dialektika pemikiran.

2.2.2  Brahmawidya dalam Prasthanatraya
Menurut Phalgunadi (2010:50) bahwa Prasthanatraya adalah sebutan untuk tiga buah kitab, yaitu Brahmasutra, Bhagavadgita, dan Upanisad. Kitab-kitab ini merupakan rujukan dari kelompok penganut sistem filsafat wedanta baru (new system of vedanta) yang dipimpin Sankharacarya. Mengingat ketiga kitab ini membahas brahmawidya secara luas dan mendalam sehingga ketiganya layak dikaji untuk memahami transformasi teologi Hindu.

2.2.3  Brahmawidya dalam Tattwa Jawa Kuno
Mazhab Saiwasidhanta mendasarkan filosofinya pada Siwatattwa (). Siwatattwa mengajarkan bahwa Tuhan yang tertinggi adalah Bhatara Siwa. Bhatara Siwa adalah asal dan kembalinya segala yang ada (Sangkan Paraning Dumadi). Dalam Jnanasidhanta dinyatakan bahwa Bhatara Siwa digambarkan sebagai eka dan aneka (ekatva anekatva svalaksana Bhatara). Tampaknya, ajaran ini mengalir dari Weda yang mengajarkan “ekam sat viprah bahuda vadanti”(Tuhan adalah tunggal, tetapi orang bijaksana menyebutnya dengan banyak nama).
Jadi, secara esensial tattwa yang dianut oleh umat Hindu di Indonesia tiadalah berbeda dengan konsepsi ketuhanan dalam Weda. Artinya, Agama Hindu yang selama ini diwarisi di Indonesia tidak bertentangan dengan ajaran Weda sebagai sumber tertinggi Agama Hindu. Atas dasar inilah penting untuk memahami tattwa dari ajaran Saiwa Sidhanta. Salah satu di antaranya adalah Wrhaspati Tattwa. Wrhaspati Tattwa adalah kitab kesusastraan Hindu yang bersifat Siwaistis yang ditulis dalam bahasa Jawa-Kuno mengandung misteri kebenaran sejati sehingga layak diungkap lebih lanjut mengenai berbagai makna dan nilai yang terkandung di dalamnya. Akan tetapi, dalam kajian ini pembahasannya terbatas hanya pada dimensi teologi Hindu (brama widya) sebagai tema sentral yang akan ditelusuri lebih lanjut dalam teks sakral tersebut.

II. Pembahasan
Kata “brahma widya” menurut Pudja (1999:3) dalam bahasa Sanskerta berarti pengetahuan ketuhanan. Kata “widya” berarti ilmu, sedangkan “para” berarti diketahui, sedangkan “apara” berarti diketahui. Jadi, para widya berarti ilmu yang diketahui, sedangkan apara widya berarti ilmu yang tidak diketahui. Istilah yang identik dengan brahma widya adalah teologi, yang menurut Stark (2003:19) merupakan hasil dari penerapan penalaran terhadap wahyu sebagai upaya untuk memperluas pemahaman tentang petunjuk-petunjuk dan kehendak-kehendak Tuhan, dan untuk menambah wilayah aplikasi pemahaman yang diterapkan. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa pada prinsipnya manusia memiliki dua sifat pengetahuan, yaitu yang diketahui dan yang tidak diketahui. Kedua sifat pengetahuan ini digunakan sebagai tema sentral yang akan ditelesuri dalam teks Wrhaspati Tattwa.
Wrhaspati Tattwa terdiri atas 74 pasal menggunakan bahasa Sanskerta dan bahasa Jawa Kuna. Bahasa Sanskertanya disusun dalam bentuk sloka, sedangkan bahasa Jawa Kuna disusun dalam bentuk bebas (gancaran) yang dimaksudkan sebagai terjemahan/penjelasan bahasa Sanskertanya. Di dalamnya berisi dialog antara seorang guru spiritual, yaitu Sang Hyang Iswara dengan seorang sisya (siswa spiritual), yaitu Bhagawan Wrhaspati. Dalam kitab ini Hyang Iswara dikatakan bersthana di Gunung Kailasa, yaitu salah satu puncak dari Gunung Himalaya yang dipandang suci. Dalam dialog tersebut Hyang Iswara mencoba menjelaskan kepada Bhagawan Wrhaspati tentang kebenaran tertinggi dari Siwa.
Kenyataan tertinggi yang dijelaskan dalam Lontar Wrhaspati Tattwa adalah cetana dan acetana. Cetana adalah unsur kesadaran, sedangkan acetana adalah unsur ketidaksadaran. Kedua unsur ini bersifat sangat halus dan menjadi sumber segala yang ada (being). Dalam Wrhaspati Tattwa, sloka 6 disebutkan sebagai berikut.
Inilah Tattwa itu ketahuilah olehmu (yaitu) cetana dan acetana. Cetana bersifat tahu, mengetahui dengan tidak terkena lupa, tenang senatiasa (dan) tetap selamanya, tak terhalang. Itulah yang disebut cetana. Acetana artinya tanpa pengetahuan seperti wujudnya batu. Itulah yang disebut acetana. Bertemunya cetana dengan acetana melahirkan berbagai Tattwa, seperti : Pradhana Tattwa, Triguna Tattwa, Buddhi Tattwa, Ahangkara Tattwa, Bahyendriya Tattwa, Karmendriya Tattwa, Pancamahabhuta Tattwa. Itulah jenis-jenis Tattwa yang hendaknya engkau betul-betul ketahui. Inilah ciri-cirinya (yang akan) kuajarkan padamu. Cetana itu tiga perinciannya, antara lain Paramasiwa Tattwa, Sadasiwa Tattwa, dan Siwa Tattwa. Demikianlah yang disebut tiga cetana.

Sloka tersebut menjelaskan bahwa unsur tertinggi dari segala ciptaan adalah cetana dan acetana. Apabila dibandingkan dengan sistem filsafat Samkhya maka tampak ada sedikit perbedaan. Dalam sistem filsafat Samkhya unsur tertinggi disebur Purusa dan Prakerti. Akan tetapi, dalam sistem filsafat Yoga dijelaskan bahwa di atas Purusa dan Prakerti terdapat Iswara. Boleh jadi, Iswara inilah yang rupa-rupanya dalam Wrhaspati Tattwa dijabarkan menjadi tiga cetana, yaitu Paramasiwa Tattwa, Sadasiwa Tattwa, dan Siwa Tattwa. Ketiganya tidak lain adalah Sang Hyang Widhi sendiri yang telah berbeda tingkat kesadarannya. Paramasiwa memiliki tingkat kesadaran tertinggi; Sadasiwa pada tingkat menengah; dan Siwatma memiliki tingkat kesadaran yang paling rendah. Tinggi-rendahnya tingkat kesadaran tersebut tergantung kepada kuat-tidaknya pengaruh Maya. Paramasiwa sama sekali bebas dari pengaruh Maya, Sadasiwa sudah menerima pengaruh maya, sedangkan Siwatma menerima pengaruh maya yang paling kuat. Sang Hyang Widhi yang Paramasiwa adalah kesadaran tertinggi dan sama sekali tak tersentuh oleh pengaruh maya. Ia disebut Nirguna Brahman. Ia adalah perwujudan sepi, suci murni, kekal abadi, dan tanpa aktifitas (Sura, 2000:8).
Paramasiwa Tattwa bersifat memenuhi segala, tidak terpikirkan, tidak berakhir dan tidak terbatas. Sifat-sifat-Nya yang lainnya, juga disebutkan sebagai berikut.
(1)  Anirdesyam artinya tidak diperintahkan, karena keadaanNya tanpa aktivitas.
(2)  Anaupamyam, tidak tertandingi karena keadaanNya tidak ada yang menyamai.
(3)  Anamayam, tidak terkena penyakit, karena dalam perjadian Nya tidak bernoda.
(4)  Dhruvam, Ia berkeadaan sadar, dalam perjadianNya tanpa gerak, tenang senantiasa dan tetap selamanya.
(5)  Avyayam, tiada kurang, karena dalam perjadianNya sempurna.

Sadasiwa dijelaskan sebagai kesadaran yang mulai tersentuh oleh kekuatan Maya. Oleh karena itu, Ia mulai terpengaruh oleh guna dan swabhawa yang merupakan hukum kemahakuasaan Sang Hyang Widhi. Sadasiwa, Ia memiliki kekuatan untuk memenuhi segala kehendaknya yang disimbulkan dengan bunga teratai yang merupakan sthana-Nya. Ia digambarkan sebagai perwujudan mantra yang disimbulkan dengan aksara AUM (OM) dengan Iswara (I) sebagai kepala, Tatpurusa sebagai muka (TA), Aghora (A) sebagai hati, Bamadewa (BA) sebagai alat-alat rahasia. Sadyojata (SA) sebagai badan, Dewa sakti, guna, dan swabhawa-Nya. Ia aktif dengan segala ciptaan-ciptaan-Nya. Oleh karenanya, disebut dengan Saguna Brahman. Sadasiwa Tattwa yang teridentifikasi dari Sadasiwa Tattwa dirinci sebagai berikut.
(1)  Digambarkan duduk di atas padmasana sebagai saktinya.
(2)  Sakti dari Sadasiwa Tattwa adalah Wibhu Sakti, Prabhu Sakti, Jnana Sakti, dan Kriya Sakti. Kempatnya ini disebut Cadu Sakti atau empat kemahakuasaan Sang Hyang Widhi.
(3)  Memiliki sifat-sifat anima, laghima, mahima, prapti, prakamya, isitwa, yatrakamawasayitwa. Semuanya ini disebut astaiswarya.

Lebih lanjut di dijelaskan bahwa di bawah Sadasiwa Tattwa terdapat Mayasira Tattwa, selanjutnya Maya Tattwa. Pada tingkat Siwatma Tattwa, sakti, guna, dan swabhawa-Nya sudah berkurang karena sudah dipengaruhi oleh Maya. Oleh karena itu Siwatma Tattwa disebut juga Mayasira Tattwa. Berdasarkan tingkat pengaruh maya terhadap Siwatma Tattwa maka Siwatma Tattwa itu dibedakan atas delapan tingkatan yang disebut Astawidyasana. Apabila pengaruh maya sudah demikian besarnya terhadap Siwatma dapat menyebabkan kesadaran aslinya hilang dan sifatnya menjadi “awidya”. Bila kesadarannya itu terpecah-pecah dan menjiwai semua makhluk hidup maka Ia disebut Atma atau Jiwatma. Meskipun Atma merupakan bagian dari Sang Hyang Widhi (SIWA) namun karena adanya belenggu awidya yang ditimbulkan oleh pengaruh maya (Pradhana Tattwa) maka Ia tidak lagi menyadari asalnya. Hal ini menyebabkan atma selalu berada dalam lingkaran surga-neraka-samsara secara berulang-ulang dan secara terus-menerus dalam tempo yang demikian panjang. Atma akan dapat bersatu kembali kepada asalnya, apabila semua selaras dengan ajaran Catur Iswarya, Panca Yama Brata, Panca Niyama Brata, dan Astasiddhi.
Maya Tattwa ini bersifat sunya sebagai badan dari acetana sama dengan Siwa Tattwa. Ketika Maya Tattwa bertemu dengan Siwa Tattwa terjadilah Utaprota. Utaprota ini tidak lagi mahatahu dan mahakerja, Ia disebut Atma, yaitu cetana yang telah mabuk. Oleh karena itu Atma Tattwa itu jumlahnya banyak. Ketika Maya Tattwa digerakkan maka lahirlah Pradhana Tattwa. Pada saat Siwa Tattwa (cetana) diper temukan dengan Pradhana Tattwa maka atma yang dalam keadaan acetana menjadi hilang kesadaran, lupa, karena tidak berpengetahuan, meluas dalam Pradhana Tattwa. Inilah yang menyebabkan atma lupa. Hasil pertemuan keduanya menghasilkan Triguna Tattwa, yaitu sattwam, rajas, dan tamas.
Ikang citta mahangan mawa, yeka sattwa ngaranya,
ikang maderes molah, yeka rajah ngaranya, ikang abwat peteng, yeka tamah ngaranya.
Terjemahan:
Sattwam adalah pikiran yang ringan dan jernih, rajas adalah pikiran yang sangat cepat gerakannya dan tamah adalah pikiran yang gelap.

Pikiran-pikiran ini sangat berpengaruh terhadap kepribadian, jiwa dan atma seseorang. Pikiran adalah sumber gerak manusia, baik wacana maupun perilaku karena pikiran adalah kendali semua itu. Pikiran, juga yang mampu mengantar orang pada moksa dan kelepasan, tergantung pada komposisi sattwam, rajas, dan tamas. Bila posisi sattwam, rajas, dan tamas dalam keseimbangan maka terlahirlah ia menjadi manusia (Wrhaspati Tattwa, 22). Dalam Wrhaspati Tattwa kelepasan tersebut diistilahkan dengan Wairagya. Mereka yang telah mampu mencapai tingkat Wairagya akan kembali ke dunia prakerti, yaitu bagaikan orang yang tidur nyenyak tanpa mimpi (Wrhaspati Tattwa,31).
Untuk mencapai tingkat Wairagya, pertama-tama seseorang harus memiliki Tri Pramana, yaitu Pratyaksa, Anumana, dan Agama PramanaPratyaksa artinya dapat dilihat dan dipegang. Anumana artinya seperti melihat asap dikejauhan (dengan menarik kesimpulan dari gejala-gejala atau fenomena yang ada). Agama Pramana artinya ilmu pengetahuan yang diajarkan oleh guru. Mereka yang memiliki ketiga pengetahuan tersebut disebut samyagjnana. Inilah yang disebut wairagya. Untuk dapat mencapai tingkatan wairagya orang harus mampu membebaskan atma dari ikatan duniawi. Untuk itu, menurut Wrhaspati Tattwa, atma akan terbebas dari belenggu diniawi ketika “matutur ikang atma ri jatinya” artinya ketika atma ingat akan eksistensi dirinya maka atma akan menjadi bersih. Membersihkan atma dalam Wrhaspati Tattwa, 35 dijelaskan sebagai berikut.
Badan disebut istana. Triantahkarana, yaitu buddhi (akal), manah (pikiran), dan ahangkara (ego) sebagai senapati. Indriya itu umpama budak dan pelayan. Obyek indriya, yaitu suara, sentuhan, bentuk, rasa, bau (yang disebut wisaya sabdadi) diumpamakan sebagai makanan yang dimakan dan diminum setiap waktu. Atma seumpama raja, yang menikmati semua itu. (Apabila) atma tenggelam dalam menikmati itu dalam badan, menyebabkan atma lupa akan dirinya, tidak ingat akan eksistensi dirinya.

Wrhaspati Tattwa, juga mengajarkan tiga macam sarana yang harus dikerjakan oleh orang yang ingin mencapai kelepasan, yaitu  jnanabhyudreka, artinya mengetahui semua tattwa. Indriyayogamarga, artinya tidak tenggelam dalam kesukaan hawa nafsu, dan Trsnadosaksaya, artinya menghilangkan pahala perbuatan baik dan buruk. Untuk mencapai hal itu maka yang harus dilakukan adalah berusaha memegang teguh pusatnya (dalam hal ini yang dimaksud pusat adalah cetana). Secara teknis hendaknya cetana itu dibuat prakasa (bersinar) dalam pikiran. Prakasa artinya tidak terpadamkan, tidak buta dalam gelap, jiwa tak terkotori, tenang selalu, karena kondisi itulah sebenarnya hakikat Bhatara (Wrhaspati Tattwa, 52).
Dalam kenyataan hidup dalam pengalaman empiris sehari-hari nampaknya orang sangat susah melepaskan diri dari tarikan-tarikan kekuatan duniawi yang sangat mempesona, seperti makan, tidur, takut, seks, kesedihan, ketidakpastian dan lain sebagainya. Hal ini disebab oleh karena sesungguhnya manusia hidup di dunia maka ia harus berhadapan dengan hal-hal yang bersifat duniawi. Untuk mengatasinya maka langkah-langkah yang dapat dilakukan adalah dengan menyempurnakan pengetahuan melalui tri pramana, yaitu gurutah, sastratah, dan swatah. Gurutah adalah ajaran yang diberikan oleh guru; Sastratah adalah ajaran yang diperoleh melalui alat sastra (Kitab Suci); sedangkan Swatah artinya pengetahuan yang diperoleh melalui dirinya sendiri. Dengan demikian akhirnya atma mampu bertemu dengan Sang Hyang Widhi. Kemampuan inilah yang disebut dengan istilah menarik pusat jala.
Wrhaspati Tattwa, juga menyediakan jalan lain yang dapat ditempuh untuk mencapai penyatuan dengan Sang Hyang Widhi, yaitu dengan apa yang disebut Sadanggayoga. Sadanggayoga terdiri atas pratyaharayoga, dhyanayoga, pranayamayoga, dharanayoga, tarkayoga, dan samadhi (Wrhaspati Tattwa, 54-59). Adapun masing-masing dapat dijelaskan sebagai berikut.
(1)   Pratyaharayoga, seluruh indriya ditarik dari obyeknya, sedangkan citta, budhi, dan manah tidak dibiarkan mengembara dan harus dikendalikan dengan citta yang suci.
(2)   Dhyanayoga artinya pikiran yang tiada mendua, tidak berubah, tetap suci, tenang senantiasa tidak terhalang.
(3)   Pranayamayoga, tarik nafas kemudian menutup semua lubang dalam tubuh seperti mata, hidung, mulut, telinga. Udara yang telah diisap dikeluarkan melalui ubun-ubun, bila hal belum mampu dilakukan maka nafas dapat dikeluarkan melalui hidung.
(4)   Dharanayoga, berusaha menguasai suara ongkara (AUM) yang terletak di hati. Bila suara itu telah hilang dan tak terdengar lagi ketika melakukan yoga, itulah yang disebut Siwatma.
(5)   Tarkayoga adalah suatu tingkatan dimana orang seperti sedang berada pada langit yang tenang dan bersih tanpa suara.
(6)   Semadiyoga, yaitu suatu tingkatan yoga dimana pikiran dalam keadaan tak tercela, tidak lemah, tidak ada yang dikehendakinya, tidak ada yang diharapkannya, suci tak terhalang, tidak dapat dihancurkan.

Dari penjelasakan tersebut dapat diketahui bahwa jalan kelepasan yang diajarkan dalam Wrhaspati Tattwa tampak tidak jauh berbeda dengan ajaran kelepasan menurut filsafat Samkhya dan Yoga. Menurut ajaran Samkhya hidup ini adalah campuran antara senang dan susah. Banyak hal-hal menyenangkan yang dapat dirasakan, tetapi juga banyak penderitaan yang harus dinikamti. Manusia mungkin bisa lepas dari kesusahan dan penyakit, tetapi tidak bisa lepas dari ketuaan dan kematian. Ada tiga macam sakit dalam hidup ini, yaitu adhyamika, adhibautika, dan adhidaiwika. Adhyamika adalah sakit karena sebab-sebab dari dalam diri sendiri misalnya, kurang berfungsinya organ-organ pernafasan, gangguan perasaan. Dengan kata lain ia merupakan gangguan jasmani dan rohani, seperti sakit kepala, pilek, marah, cemas dan sebagainya. Adhibautika adalah sakit yang disebabkan faktor luar tubuh, seperti tangan yang terluka kena pisau, kaki yang terantuk batu dan sebagainya. Selanjutnya, Adhidaiwika adalah sakit yang disebabkan oleh tenaga gaib, seperti setan, hantu, roh jahat, dan sebagainya. Tak seorangpun dapat bebas dari perasaan susah dan sakit.
Ada dua macam kelepasan, yaitu jiwanmukti dan widehamukti. Jiwanmukti ialah kelepasan roh selama ia hidup dalam badan ini, sedangkan widehamukti adalah kelepasan roh dari badan kasar dan badan halus. Pada dasarnya ajaran Yoga dibagi menjadi empat bagian, yaitu pertama disebut samadhipada, yang berisi tentang sifat, tujuan, dan bentuk ajaran Yoga; kedua disebut sadhanapada, yang isinya tentang cara mencapai samadhi, tentang kedukaan, tentang karma phala, dan sebagainya; ketiga disebut wibhutipada, yang menguraikan tentang segi batiniah ajaran Yoga serta kekuatan gaib yang diperoleh karena praktek Yoga; dan keempat disebut kaiwalyapada, yang melukiskan tentang alan kelepasan dan kenyataan roh yang mengatasi alam duniawi.
                 Ini berarti bahwa Yoga adalah jalan untuk memperoleh vivekajnana, yaitu pengetahuan untuk membeda-bedakan antara yang salah dan yang benar sebagai kondisi kelepasan. Menurut Yoga kelepasan itu bisa dicapai melalui pengetahuan langsung tentang perbedaan roh dengan dunia jasmani ini termasuk badan, pikiran, dan sifat aku. Hal ini dapat diwujudkan melalui pengendalian pikiran, fungsi badan, dan indriya. Dengan kata lain, pengendalian pikiran merupakan kunci dalam mencapai kelepasan. Hal serupa, juga banyak dijelaskan dalam Prasna Upanisad, yaitu alat persepsi dikendalikan oleh prana; prana dikendalikan oleh pikiran. Jadi, kata kunci dalam ajaran yoga adalah pengendalian pikiran.
                 Dalam filsafat Yoga pikiran itu disebut Citta. Citta merupakan hasil pertama dari prakrti. Pada citta sifat sattwam menguasai rajas dan tamas. Pada dasarnya citta itu sifatnya tidak sadar, tetapi hubungannya amat erat dengan roh maka ia akan memantulkan kesadaran roh sehingga tampaknya ia memiliki kesadaran dan kecakapan. Bila citta diubah ke dalam suatu jenis vrtti (keadaan mental yang mengamati) maka roh dipantulkan pada keadaan itu dan mudah menyatakan keadaan itu sebagai keadaannya sendiri. Ia akan memandang dirinya mengalami kelahiran, kematian, sedih, senang, berbuat salah atau benar dan sebagainya, padahal roh sesungguhnya mengatasi segala hal itu. Oleh karena tiadanya pengetahuan yang benar maka roh nampak sebagai pelaku lima klesa atau sumber kesedihan, seperti berikut.
(1)   Awidya, yaitu pengetahuan yang salah.
(2)   Asmita, yaitu pandangan yang salah yang memandang roh itu sama dengan buddhi atau manah.
(3)   Raga atau nafsu keinginan dan alat-alat pemuasnya.
(4)   Dwesa, yaitu kebencian.
(5)   Abhiniwesa, yaitu rasa takut pada kematian.

Selama adanya perubahan dan keguncangan citta maka selama itu roh direfleksikan pada perubahan-perubahan citta. Bila tak memiliki vivekajnana maka ia akan menyamakan dirinya dengan yang dirubah itu. Akibatnya roh akan merasa susah, senang, sedih, cinta, dan sebagainya sesuai dengan perubahan citta tersebut. Ini berarti segala ikatan ada pada roh. Bila seseorang mampu memiliki kesadaran vivekajnana maka ia akan bebas dari keterikatan itu. Artinya, bila manusia ingin mencapai kelepasan ia harus mampu menguasai gerak pikiran, badan, dan indriyanya sehingga kegoncangan-kegoncangan yang terjadi pada citta akan berhenti. Dengan demikian roh akan menyadari dirinya sebagai dirinya, berbeda dengan badan, pikiran, dan indriya. Untuk mampu sampai ke tingkat  tersebut memang amat sulit dan membutuhkan pengetahuan serta latihan-latihan dalam kedisiplinan penuh.
Dengan demikian dapat diketahui bahwa pada hakikatnya yoga adalah penghentian kegoncangan-kegoncangan pikiran. Sehubungan dengan keadaan pikiran, yoga mengajarkan ada lima keadaan pikiran yang disebabkan oleh intensitas tri guna. Adapun kelima keadaan pikiran yang dimaksudkan sebagai berikut.
(1)   Ksipta artinya tidak diam-diam, dalam hal ini rajas dan tamas mengombang-ambingkan pikiran sehingga bergerak kesana-kemari.
(2)   Mudha, artinya lamban dan malas. Ini berarti tamas menguasai pikiran
(3)   Wiksipta artinya bingung, kacau. Hal ini disebabkan pengaruh rajas.
(4)   Ekagra artinya terpusat. Pada saat ini sattwa yang mempengaruhi pikiran. Ini merupakan awal pemusatan pikiran.
(5)   Niruddha artinya terkendali. Pada tahap ini berhentilah semua kegiatan pikiran, hanya ketenangan yang ada.

Ekagra dan Niruddha merupakan persiapan menuju kelepasan. Ekagra bila dapat berlangsung terus-menerus disebut samprajanatayoga atau meditasi yang dalam yang padanya ada perenungan kesadaran akan sesuatu obyek yang terang. Tingkatan Nirudha disebut asaniprajnatayoga karena semua perubahan dan kegoncangan pikiran terhenti, tiada satupun diketahui oleh pikiran lagi. Inilah yang dikatakan samadhi yoga. Jadi, untuk mencapai kelepasan manusia harus mampu mengendalikan pikiran, badan, dan indriyanya. Caranya adalah dengan mimiliki vivekajnana dan latihan-latihan secara tekun dan teratur melalui Astanggayoga, yaitu Asana, Pranayama, Yama, Niyama, Dharana, Dhyana, dan Samadhi.
Demikian secara teoretis langkah-langkah yang harus dilakukan oleh seorang Yogiswara bila ingin menyatukan diri dengan Hyang Widhi Wasa. Untuk bisa sampai di tingkat samadiyoga tidaklah mudah, banyak aturan yang harus diikuti, tetapi bukan tidak mungkin untuk dicapai. Menurut Wrhaspati Tattwa untuk bisa sampai pada tingkat Sadanggayoga maka ada beberapa aturan yang mesti diikuti yang disebut Dasasila. Adapun yang dimaksud dengan Dasasila dijelaskan dalam Wrhaspati Tattwa, 60-61 sebagai berikut.
(1)     Ahimsa artinya tidak membunuh-bunuh.
(2)     Brahmacarya artinya tidak ingin beristri.
(3)     Satya artinya tidak dusta dalam kata-kata.
(4)     Awyawaharika artinya tidak berperkara.
(5)     Astainya artinya tidak mencuri, tidak mengambil milik orang lain.
(6)     Akrodha artinya tidak melakukan marah besar.
(7)     Guru Susrusa artinya bakti pada Guru.
(8)     Sauca artinya melakukan japa mantra dan menyucikan diri.
(9)     Aharalaghawa artinya tidak makan berlebihan.
(10)  Apramada artinya tidak berlaku sembrono.

Ini berarti sebelum memasuki wilayah spiritual melalui ajaran kadhyatmikan, yaitu ajaran kelepasan atau kesempurnan terlebih dahulu harus diketahui dan dipahami tentang ajaran etika-moralitas serta selanjutnya dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam pikiran, ucapan maupun tindakan. Jadi, kelepasan atau kesempurnan hanya tercapai apabila manusia mampu menjadikan dirinya sebagai sempurna, yaitu menguasai pengetahuan para widya dan apara widya.

(4) Simpulan

     Dari paparan di atas dapat dipahami bahwa para widya dan apara widya dalam Wrhaspati Tattwa dimaknai sebagai ajaran etika-moralitas dan ajaran khadyatmikan yang diarahkan untuk menuntun, melindungi, dan menguatkan keyakinan manusia. Dengan keyakinan yang mantap maka manusia mampu mencapai kelepasan atau kesempurnan. Dikatakan demikian karena keyakinan adalah keberanian dan hanya dengan keberanian manusia mampu melepaskan diri dari segala belenggu dan penderitaan. Seperti dijelaskan oleh Rohit Mehta dalam Prasna Upanisad bahwa keyakinan adalah keberanian untuk berdiri di hapan Yang Tak Diketahui. Adakah keberanian yang melebihi daripada keberanian berdiri di hadapan Yang Tak Diketahui? Dalam Wrhaspati Tattwa dijelaskan bahwa keberanian ini hanya dapat diperoleh melalui vivekajnana dan yoga.



Daftar Pustaka
Hadiwijono, Harun.1979. Sari Filsafat India. Jakarta : BPK Gunung Mulia.

Mehta, Rohit, 2005, Bertemu Tuhan Dalam Diri, Denpasar: Sarad.

Sura, I Gede.1991. Samkhya Yoga. Denpasar: Kungkungan.

__________,dkk. 1994. Wrhaspati Tattwa. Denpasar: Upada Sastra.

__________,dkk. 2000. Siwatattwa. Denpasar : Pemda Tingkat I Bali.

Sura, I Gde & I Wayan Suka Yasa. 2011. Samkhya dan Yoga. Denpasar: Lembaga Penelitian Universitas Hindu Indonesia.

Yasa, I Wayan Suka. 2009. Yoga Marga Rahayu. Denpasar: Fakultas Ilmu Agama, Unhi Denpasar.








1 komentar:

  1. Om swastiastu adakah arti asli dari sloka sansekerta whraspati tattwa

    BalasHapus