TRANSFORMASI TEOLOGIS HINDU INDONESIA:
Weda, Prastanatraya, dan Kitab Jawa Kuno
Nanang Sutrisno
1. Pendahuluan
Pendekatan dalam studi agama dapat dikelompokkan menjadi dua,
yaitu pendekatan yang bersifat teoposentris dan pendekatan yang bersifat
sosiohistoris (Robertson, 1988:xvii). Pendekatan yang bersifat teoposentris
menelaah agama sebagai seperangkat ajaran dari Tuhan yang tercantum dalam
kitab-kitab suci. Studi agama seperti ini bersifat normatif atau menggunakan
pendekatan yang bersifat tekstual. Sementara itu, pendekatan yang bersifat
sosiohistoris menelaah agama sebagai kenyataan yang tumbuh dan berkembang dalam
pengalaman empiris tingkah laku para pemeluknya. Studi agama seperti ini, agama
lebih dimaknai dalam konteks kehidupan sosial para pemeluknya. Pendekatan ini
lebih bersifat kontekstual. Baik pendekatan teoposentris maupun antroposentris
sesungguhnya memiliki peranan yang sama pentingnya bagi umat beragama.
Pentingnya pendekatan teoposentris dalam studi agama terutama
dilatarbelakangi alasan bahwa belum seluruh ajaran agama yang terkandung dalam
kitab suci telah dipahami secara holistik dan komprehensif oleh pemeluknya. Dalam
hal ini, ajaran agama sangat terbuka terhadap munculnya berbagai penafsiran dan
senantiasa bertransformasi pada setiap zaman. Apalagi pendekatan antroposentris
meletakkan landasan berpikir baru bahwa agama juga berkembang sesuai dengan
kondisi sosial budaya masyarakat pendukungnya. Hal ini lebih tegas dapat
dicermati dalam perkembangan agama Hindu di Indonesia yang memiliki karakter
yang unik dan khas. Dikatakan demikian karena ajaran Weda yang datang dari
India diterima, tetapi pelaksanaannya disesuaikan dengan karakter lokal dan
kebudayaan setempat. Kearifan lokal
Indonesia menjadi kekuatan filterisasi untuk menyeleksi pengaruh dari segala
jenis kebudayaan India. Hal ini menjadikan kebudayaan asli daerah tampak eksis
mendukung pelaksanaan agama Hindu yang datang belakangan. Artinya, agama Hindu
yang datang dari India berinteraksi dengan kebudayaan asli daerah sehingga
menjadikan agama Hindu di Indonesia mempunyai warna yang berbeda dengan
induknya, India.
Terjadinya transformasi ajaran agama Hindu di Indonesia dapat
dipahami dalam gagasan Bosch (Ayatroehaedi, 1986:72) bahwa unsur kebudayaan
India sebaiknya dianggap sebagai zat penyubur yang menumbuhkan kebudayaan Hindu
di Indonesia yang tetap memperlihatkan kekhasannya. Kearifan lokal (local genius) menjadikan agama Hindu
Indonesia tampak berbeda pelaksanaannya dengan Agama Hindu di India. Berkaitan
dengan itu, juga Phalgunadi (2010:38—45) menjelaskan bahwa agama Hindu yang datang
ke di Indonesia pada tarikh awal Masehi dan diwarisi hingga sekarang merupakan
kelanjutan dari ajaran Brahmanisme ortodoks, mazhab Trimurti, Tantrayana (Shiwatantra
dan Waishnawatantra), dan filsafat Shiva Sidhanta yang berkembang di India Selatan. Proses
transformasi ini mencakup aspek tattwa,
susila, dan acara agama Hindu
sehingga menampilkan wujudnya seperti sekarang dan kemungkinan transformasinya
pada masa depan.
Dari ketiga aspek ajaran agama Hindu tersebut, tampaknya
menarik untuk mencermati transformasi teologis Hindu Indonesia. Dikatakan
demikian karena teologi yang berpusat pada kepercayaan manusia terhadap “yang
adikodrati”, dengan siapa manusia berhubungan dalam pengalaman religiusnya, merupakan
gambaran khas, umum, dan merata pada semua agama. Setiap agama memiliki rumusan
teologinya masing-masing dan kepercayaan kepada yang Mahatinggi diwujudkan
dalam doa, ritual, ibadah, dan mistis (Dhavamony,1995:121). Oleh karena itu,
dapat dikatakan bahwa teologi merupakan refleksi keyakinan umat beragama dan
menjadi basis dari seluruh pengalaman dan pengamalan religiusnya. Malahan dapat
ditegaskan bahwa tidak mungkin agama tanpa teologi. Demikian halnya dengan
teologi Hindu (brahmawidya atau tattwajnana) adalah basis kepercayaan
umat Hindu yang mendasari seluruh aktivitas religiusnya.
Akan tetapi, mencermati sistem teologi Hindu Indonesia
tampaknya tidak seluruhnya sama persis dengan ajaran ketuhanan dalam Weda.
Misalnya, terdapat beberapa perbedaan antara nama dan fungsi dewa dalam Weda
dengan nama dan fungsi dewa yang dipahami umat Hindu di Indonesia. Walaupun
berbeda, ternyata terdapat kesinambungan konsep yang mengalir dari Weda
sehingga memungkinkan untuk menelusuri transformasi ajarannya. Transformasi
teologi inilah yang akan ditelusuri dalam tulisan ini dengan merujuk pada
pemikiran Weda, Prastanatraya (Upanisad, Bhagawadgita, dan Brahmasutra), dan kitab-kitab Jawa Kuno yang diwarisi di Indonesia.
2.
Pembahasan
2.1 Konstruksi
Konseptual
Transformasi teologi Hindu Indonesia dibangun oleh tiga
konsep utama, yaitu transformasi, teologi, dan Hindu Indonesia. Pada dasarnya,
konsep-konsep ini memiliki pengertian dan deskripsinya masing-masing sehingga
diperlukan konstruksi konseptual. Konstruksi ini mengandaikan bahwa setiap
konsep memiliki batasan dan ruang lingkup yang spesifik untuk menjelaskan
sebuah objek. Kemudian, satu konsep berhubungan dengan konsep yang lain untuk
mencapai keluasan dan kedalaman analisis terhadap objek yang diamati. Dengan
demikian, dimungkinkan untuk memperoleh pemahaman secara holistik dan
komprehensif dalam keseluruhan pembahasan ini.
Pertama,
transformasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005:1209)
berarti perubahan rupa (bentuk, sifat, fungsi, dan sebagainya). Transformasi
mendapatkan pengaruh kuat dari pemikiran evolusionisme. Berkaitan dengan itu,
Kayam (Sutrisno, 2008:42) menegaskan bahwa transformasi merupakan kondisi akhir
dari perubahan. Artinya, transformasi bergerak dari satu bentuk ke bentuk yang
lain pada tahapan tertentu sehingga perubahan ini dapat diamati dengan
membandingkan dari bentuk-bentuk sebelumnya. Dalam konteks kebudayaan, Haviland
(1993:251—260) menjelaskan bahwa secara garis besar transformasi kultural
meliputi empat mekanisme, yaitu penemuan, difusi, hilangnya unsur kebudayaan,
dan akulturasi. Ini sebabnya, transformasi dapat dipahami secara dialektis
dalam hubungannya dengan sejumlah konteks.
Kedua,
teologi menurut Bagus (2002:1090)
berasal dalam bahasa Yunani theologia,
yaitu dari kata theos yang berarti Tuhan dan logos berarti wacana, ilmu. Jadi, teologi berarti wacana atau ilmu
tentang Tuhan. Berkaitan dengan itu, Dhavamony (1995:121) menjelaskan bahwa
setiap agama memiliki konsep teologi yang bermacam-macam, seperti monoteisme,
politeisme, panteisme, monisme dan henoteisme. Suprayogo dan Tobroni
(2001:39—40) menjelaskan bahwa monoteisme adalah paham yang berpendapat Tuhan
itu hanya satu, Esa, tunggal, dan tak terbilang. Politeisme adalah paham yang
mengimani, menyembah dan memuja banyak Tuhan. Di dalamnya terdapat animisme,
dinamisme, dan paganisme yang intinya berpendapat bahwa ada penguasa-penguasa
lain di dunia ini selain Tuhan yang berupa benda-benda alam, roh-roh halus,
dewa-dewa, makhluk halus bahkan manusia. Sementara itu, henoteisme adalah paham
yang mengkonsentrasikan diri pada Tuhan yang tunggal, tetapi dalam mitos masih
mengakui adanya tuhan-tuhan yang lain. Ini menegaskan bahwa teologi mencakup
seluruh ajaran ketuhanan yang dimiliki sebuah agama dan dianut seluruh
pemeluknya.
Ketiga,
konsep Hindu Indonesia merupakan
konstruksi budaya yang mengacu pada sebuah identitas. Artinya, Hindu Indonesia
adalah agama Hindu yang memiliki identitas khas dan spesifik sehingga
membedakannya dengan agama Hindu yang berkembang pada daerah lain. Hal ini
dapat dipahami dari pendapat Subagya (1981:6) bahwa agama Hindu murni tidak
pernah menjadi milik bangsa Indonesia. Dalam perkembangannya agama Hindu
Indonesia menampakkan corak yang berbeda dengan tanah kelahirannya, India (Magetsari dalam Ayatrohaedi, 1986:56). Hal ini menegaskan
bahwa Hindu Indonesia memiliki karakteristik tersendiri yang menurut
Yasa (Dharmasmrti, Vol. VII, 14
Oktober 2009:122) dapat
dirumuskan beberapa aspeknya sebagai
berikut.
(a)
Panca Sradha “lima kepercayaan” adalah dasar
iman Hindu, yaitu Widhi sradha
‘percaya kepada Tuhan’, atma sradha
‘percaya kepada roh individu’, karmaphala
sradha ‘percaya kepada perbuatan pasti berpahala’, punarbhawa ‘percaya kepada hidup mengalami tumimbal lahir, dan moksa ‘percaya kepada kelepasan’.
(b)
Trikaya Parisudha adalah landasan moral, yaitu kaya parisudha ‘berbuat yang suci’, wak parisuddha ‘berkata yang suci’, dan manacika parisudha
‘berpikir yang suci’.
(c)
Catur Marga
adalah jalan atau disiplin spiritual, yaitu bhakti
marga ‘jalan bakti’, karma marga ‘jalan
kerja’, jnàna marga ‘jalan
pengetahuan’, dan yoga marga ‘jalan
kontemplasi’.
(d)
Panca Yadnya adalah lima jenis kurban. Dalam arti sempit adalah ritual. Lima kurban,
yaitu dewa yadnya ‘kurban
dipersembahkan kepada Tuhan’, pitra
yadnya ‘kurban dipersembahkan kepada leluhur’,
rsi
yadnya ‘kurban dipersembahkan kepada orang
suci’, manusa yadnya ‘kurban untuk
kesejahtraan dan kebahagiaan sesama manusia, dan bhuta yadnya ‘kurban untuk menjaga keharmonian alam, kelestarian
makhluk dan tumbuhan’.
(e)
Catur Purusàrtha adalah cita-cita hidup, yaitu mendapatkan dharma ‘karakter luhur dan (ilmu) pengetahuan’, artha ‘harta kekayaan’, kàma ‘kenikmatan hidup’, dan moksa ‘kebahagiaan’.
Berdasarkan ketiga konsep tersebut
dapat dipahami bahwa transformasi teologi
Hindu Indonesia mencakup perubahan nama
dan rupa ajaran ketuhanan Hindu di
Indonesia. Dalam
prosesnya terjadi penemuan, penyerapan (difusi), akulturasi, dan hilangnya
konsep-konsep teologi Hindu India dalam transformasinya ke dalam teologi Hindu
Indonesia. Proses ini dipahami melalui pencermatan terhadap teologi dalam kitab
suci Weda (Catur Weda),
transformasinya ke dalam prastanatraya, dan
kitab-kitab tattwa berbahasa Jawa
Kuno yang diwarisi di Indonesia sampai sekarang.
2.2 Brahmawidya: Teologi Hindu dan Transformasinya
Menurut Pudja (1999:3) bahwa istilah
teologi dalam terminologi Hindu disebut brahmawidya atau tattwajnana yang berarti ilmu tentang Tuhan. Brahma diartikan Tuhan, yaitu
gelar yang diberikan kepada Tuhan sebagai unsur yang memberikan kehidupan pada
semua ciptaan-Nya, Yang Mahakuasa. Sementara itu, tattwa berarti hakikat tentang Tat (Itu, yaitu Tuhan dalam
bentuk Nirguna Brahman). Widya atau Jnana
kedua-duanya berarti sama, yaitu ilmu. Dengan demikian, brahmawidya dan
tattwajnana memiliki kesetaraan arti, yaitu ilmu tentang hakikat Tuhan
atau kebenaran tertinggi (tat sat).
2.2.1 Brahmawidya dalam Weda
Untuk
memahami teologi Hindu, tentu sruti atau catur weda merupakan
otoritas yang harus dipelajari dan dipahami. Mengingat perkembangan
konsep teologi Hindu seluruhnya berpusat pada Weda dan memungkinkan
transformasinya pada zaman-zaman berikutnya termasuk sampai ke Indonesia. Punyatmadja
(1987:9) mengatakan ajaran suci Weda
terbagi atas empat bagian, yaitu Rig
Weda, Yajur Weda, Sama Weda,
dan Atharwa Weda. Tiap-tiap bagian Weda terdiri atas Samhita
(syair-syair pujaan), Brahmana (aturan-aturan hidup keagamaan dan
upacara), Aranyaka dan Upanisad (filsafat pengetahuan hubungan
roh dengan Tuhan, penjelasan, dan kelepasan).
Konsep ketuhanan yang dianut pada zaman Rig Weda adalah
henoteisme, kathenoteisme, politeisme, panteisme, monoteisme, dan monisme (Phalgunadi, 2010:16). Agama Rig Weda (Rig
Vedic Religion) percaya kepada
banyak dewa, tetapi juga meyakini adanya satu Dewa Tertinggi. Dewa Tertinggi
ini menjadi pemimpin dari dewa-dewa yang lain. Dewa Tertinggi ini diyakini
adalah pencipta, pemelihara, pelindung, pemberi kebahagiaan, dan juga kekayaan
kepada manusia Adapun dewa-dewa yang dipuja dalam agama Rig Weda seperti
misalnya, pemujaan kepada Surya, Usha, Indra, Parjana, Wayu, dan lain-lain.
Jumlah dewa dari agama Rig Weda berjumlah 33 (Tribhir Ekadasai) (Phalgunadi, 2010:16).
Dalam kitab Weda dijelaskan bahwa Dyaus adalah dewa yang
bersinar di sorga dan Prthiwi adalah dewi bumi. Kedua dewa ini merupakan dewa
yang tertua dari dewa-dewa yang disebutkan dalam Rig Weda. Kemudian, kedua dewa
ini digeser atau digantikan kedudukannya oleh Waruna dan Indra. Dewa Waruna
adalah dewa yang paling mulia. Ia adalah dewa atau pemimpin dari pada para
dewa. Dewa Waruna adalah Dewa Mahatahu, sekaligus Penguasa Alam Semesta. Orang
yang berdosa tidak dapat terlepas dari mata Dewa Waruna, kepadaNya juga manusia
mohon pengampunan dosa. Dewa lain yang terpenting dalam kitab Weda adalah Indra.
Dikatakan terpenting karena Dewa Indra adalah dewa yang paling terkenal dan
yang paling banyak dipuja. Hampir seperempat dari seluruh jumlah nyanyian
pemujaan di dalam kitab Rig Weda Samhita
ditujukan kepada dewa Indra. Kekuatan badannya sangat mengagumkan. Ia juga
adalah dewa penguasa hujan, dewa sahabat manusia, dan dewa perang (Phalgunadi, 2010:16).
Di samping dewa-dewa tersebut, juga dikenal nama-nama dewa, seperti Marut (angin ribut), Wayu (dewa angin) dan Parjanya
(dewa awan). Agni adalah dewa yang dimanusiakan dari wujud dewa api yajna. Dewa Agni dianggap sebagai dewa
pendeta dan juga sebagai dewa perantara untuk membawa persembahan yajna
kepada para dewa lain. Dewa Aditya (dewa matahari) dipuja dalam berbagai
wujud, misalnya sebagai Mitra (dewa yang bersifat dermawan), Surya (dewa
pemberi sinar), Sawitri (dewa pemberi gairah), Pushan (dewa
pemberi makanan), Sawita, Ashwin, dan Usha (Phalgunadi, 2010:17). Ini menunjukkan bahwa ketuhanan
dalam Rig Weda seolah-olah bersifat politeisme. Akan tetapi, pandangan ini
diluruskan ditemukan sebuah sloka dalam kitab suci Rig
Weda tentang kepercayaan bahwa Tuhan itu adalah Esa, tetapi memiliki
banyak nama. Hal ini
sebagaimana dijelaskan dalam Rig Weda
I.146.46 sebagai berikut.
“Indram mitram varunam agnim ahur atho divyah
sasuparno garutman,
Ekam sad viprah bahuda
vadantyagnim matariswan ahuh”
Artinya :
Mereka
menyebutkan Indra, Mitra, Varuna, Agni, dan Dia yang bercahaya dan bersayap
elok. Satu itu (Tuhan) namun orang bijaksana meneyebutnya dengan banyak nama
seperti Agni, Yama, dan Matariswan.
Gagasan monoteisme dalam Weda juga
ditemukan dalam bait-bait Weda yang lain misalnya, Rig Weda III.54.8
menjelaskan sebagai berikut “ejad
druvapatyate visvam ekam, caratpatatrivisunam vijatam” (‘Esa dalam
segalanya. Dia adalah maharaja dari yang
bergerak dan tidak bergerak, yang
berjalan ataupun yang terbang dalam berbagai wujud ciptaanNya’). Kemudian,
dalam Rig Weda X.192.2 dijelaskan ‘Yang Esa bernafas dengan kekuataannya
sendiri’. Keesaan tuhan dalam sloka-sloka
Rig Weda ini menunjukkan keberadaan Illahi yang dipahami secara metafisika,
yaitu yang melingkupi seluruh alam semesta dan ciptaanNya (Bose, 2000:23).
Dalam pemahaman ini, tuhan dalam Weda dipahami sebagai “tat” (ke-Itu-an) sebagaimana dijelaskan sebagai berikut.
“Agni adalah
itu, Aditya adalah itu, Vayu adalah itu, Candrama adalah itu, Cahaya adalah
itu, Apah adalah itu, Ia adalah Prajapati” (Yajur
Weda XXXII.1).
“Marilah engkau sekalian, dengan kekuatan spiritualmu,
menyatulah dengan Tuhan yang maha bercahaya (div), yang Esa, yang menjadi tamu manusia, Ia adalah yang pertama,
Ia yang menginginkan kita untuk mengikuti semua jalan yang menuju pada-Nya.
Sesungguhnya Ia hanya satu-satunya” (Sama
Veda, 372).
“Kepada yang mengetahui Tuhan itu hanya satu saja.
Tidak ada yang menyebut-Nya sebagai yang kedua, ketiga, keempat, (juga kelima,
keenam, ketujuh, dan seterusnya). Ia mengawasi semua – yang bernafas dan tidak
bernafas. Kepada-Nya diberi kekuatan penakluk” (Atharwa Weda XIII).
Dalam Catur Weda, juga ditemukan
konsep ketuhanan yang menunjukkan penggambaran antropomorphis (personal God) sebagai wujud kedekatan mistikal. Penggambaran bahwa tuhan
berpribadi tersebut, seperti dijelaskan dalam beberapa sloka Weda sebagai berikut.
“Aditi adalah langit, Aditi adalah alam tengah, Aditi
adalah ibu, bapa, dan anak, Aditi adalah semua dewata dan manusia utama. Aditi adalah semua yang lahir dan yang akan
lahir” (Rig Weda, I.89.10).
“Kedua lautan adalah pinggan Varuna dan Ia berada dalam
setetes air” (Atharwa Weda, IV.163).
“Engkau adalah manusia, Engkau adalah wanita, Engkau
adalah pemuda, Engkau adalah gadis remaja, Engkau adalah orang tua yang
berjalan membawa tongkat, Engkau berada di semua penjuru” (Atharwa Weda,
X.8.27).
Kompleksitas penggambaran wujud Tuhan
dalam kitab suci Catur Weda tersebut menunjukkan kekayaan konsep teologi Hindu.
Politeisme dan henoteisme dalam Weda mendasari lahirnya semua bentuk pemujaan
dengan tujuan-tujuan khusus sesuai dengan fungsi para dewa tersebut. Hal ini
dapat dipahami sebagai basis karma kanda dalam
Weda yang memusatkan pemujaan, ritual, dan doa-doa kepada dewata-dewata pujaan
(istadewata). Sebaliknya, konsepsi
metafisis dan mistik menjadi basis jnana
kanda yang membuka ruang seluas-luasnya bagi perkembangan pemikiran
filosofis atas Weda. Pemahaman mengenai wujud tuhan, baik yang impersonal
maupun personal mewarnai begitu rupa pemikiran dalam prasthanatraya sehingga memungkinkan transformasi teologi Hindu
berlangsung dalam berbagai dinamika dan dialektika pemikiran.
2.2.2 Brahmawidya dalam Prasthanatraya
Menurut Phalgunadi (2010:50) bahwa Prasthanatraya adalah sebutan untuk tiga buah kitab, yaitu Brahmasutra,
Bhagavadgita, dan Upanisad. Kitab-kitab ini merupakan rujukan
dari kelompok penganut sistem filsafat wedanta baru (new system of vedanta) yang dipimpin Sankharacarya. Mengingat
ketiga kitab ini membahas brahmawidya secara
luas dan mendalam sehingga ketiganya layak dikaji untuk memahami transformasi
teologi Hindu.
2.2.3 Brahmawidya dalam Tattwa Jawa Kuno
Mazhab Saiwasidhanta mendasarkan
filosofinya pada Siwatattwa (). Siwatattwa mengajarkan bahwa Tuhan
yang tertinggi adalah Bhatara Siwa. Bhatara
Siwa adalah asal dan kembalinya segala yang ada (Sangkan Paraning Dumadi). Dalam Jnanasidhanta
dinyatakan bahwa Bhatara Siwa digambarkan
sebagai eka dan aneka (ekatva anekatva
svalaksana Bhatara). Tampaknya, ajaran ini mengalir dari Weda yang
mengajarkan “ekam sat viprah bahuda
vadanti”(Tuhan adalah tunggal, tetapi orang bijaksana menyebutnya dengan
banyak nama).
Jadi, secara esensial tattwa
yang dianut oleh umat Hindu di Indonesia tiadalah berbeda dengan konsepsi
ketuhanan dalam Weda. Artinya, Agama
Hindu yang selama ini diwarisi di Indonesia tidak bertentangan dengan ajaran Weda sebagai sumber tertinggi Agama Hindu. Atas
dasar inilah penting untuk memahami tattwa
dari ajaran Saiwa Sidhanta. Salah
satu di antaranya adalah Wrhaspati
Tattwa. Wrhaspati Tattwa adalah kitab kesusastraan Hindu yang bersifat
Siwaistis yang ditulis dalam bahasa Jawa-Kuno mengandung misteri kebenaran
sejati sehingga layak diungkap lebih lanjut mengenai berbagai makna dan nilai
yang terkandung di dalamnya. Akan tetapi, dalam kajian ini pembahasannya
terbatas hanya pada dimensi teologi Hindu
(brama widya) sebagai tema
sentral yang akan ditelusuri lebih lanjut dalam teks sakral tersebut.
II.
Pembahasan
Kata “brahma widya” menurut Pudja
(1999:3) dalam bahasa Sanskerta berarti pengetahuan ketuhanan. Kata “widya”
berarti ilmu, sedangkan “para” berarti diketahui, sedangkan “apara” berarti
diketahui. Jadi, para widya berarti
ilmu yang diketahui, sedangkan apara widya berarti ilmu yang tidak diketahui.
Istilah yang identik dengan brahma widya
adalah teologi, yang menurut Stark (2003:19) merupakan hasil dari penerapan
penalaran terhadap wahyu sebagai upaya untuk memperluas pemahaman tentang
petunjuk-petunjuk dan kehendak-kehendak Tuhan, dan untuk menambah wilayah
aplikasi pemahaman yang diterapkan. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa pada
prinsipnya manusia memiliki dua sifat pengetahuan, yaitu yang diketahui dan
yang tidak diketahui. Kedua sifat pengetahuan ini digunakan sebagai tema
sentral yang akan ditelesuri dalam teks Wrhaspati
Tattwa.
Wrhaspati
Tattwa terdiri atas 74 pasal menggunakan bahasa Sanskerta dan bahasa Jawa Kuna.
Bahasa Sanskertanya disusun dalam bentuk sloka,
sedangkan bahasa Jawa Kuna disusun dalam bentuk bebas (gancaran) yang dimaksudkan sebagai terjemahan/penjelasan bahasa
Sanskertanya. Di dalamnya berisi dialog antara seorang guru spiritual, yaitu
Sang Hyang Iswara dengan seorang sisya
(siswa spiritual), yaitu Bhagawan Wrhaspati. Dalam kitab ini Hyang Iswara dikatakan
bersthana di Gunung Kailasa, yaitu salah satu puncak dari Gunung Himalaya yang
dipandang suci. Dalam dialog tersebut Hyang Iswara mencoba menjelaskan kepada
Bhagawan Wrhaspati tentang kebenaran tertinggi dari Siwa.
Kenyataan tertinggi yang dijelaskan
dalam Lontar Wrhaspati Tattwa adalah cetana dan acetana. Cetana adalah
unsur kesadaran, sedangkan acetana
adalah unsur ketidaksadaran. Kedua unsur ini bersifat sangat halus dan menjadi
sumber segala yang ada (being). Dalam
Wrhaspati Tattwa, sloka 6 disebutkan sebagai berikut.
Inilah Tattwa itu ketahuilah
olehmu (yaitu) cetana dan acetana. Cetana bersifat tahu, mengetahui dengan tidak terkena lupa, tenang
senatiasa (dan) tetap selamanya, tak terhalang. Itulah yang disebut cetana. Acetana artinya tanpa pengetahuan seperti wujudnya batu. Itulah
yang disebut acetana. Bertemunya cetana dengan acetana melahirkan berbagai Tattwa,
seperti : Pradhana Tattwa, Triguna
Tattwa, Buddhi Tattwa, Ahangkara Tattwa, Bahyendriya Tattwa, Karmendriya
Tattwa, Pancamahabhuta Tattwa. Itulah jenis-jenis Tattwa yang hendaknya engkau betul-betul ketahui. Inilah
ciri-cirinya (yang akan) kuajarkan padamu. Cetana
itu tiga perinciannya, antara lain Paramasiwa
Tattwa, Sadasiwa Tattwa, dan Siwa
Tattwa. Demikianlah yang disebut tiga cetana.
Sloka tersebut menjelaskan bahwa unsur tertinggi dari segala
ciptaan adalah cetana dan acetana. Apabila dibandingkan dengan
sistem filsafat Samkhya maka tampak
ada sedikit perbedaan. Dalam sistem filsafat Samkhya unsur tertinggi disebur Purusa
dan Prakerti. Akan tetapi, dalam
sistem filsafat Yoga dijelaskan bahwa
di atas Purusa dan Prakerti terdapat Iswara. Boleh jadi, Iswara
inilah yang rupa-rupanya dalam Wrhaspati
Tattwa dijabarkan menjadi tiga cetana,
yaitu Paramasiwa Tattwa, Sadasiwa Tattwa, dan Siwa
Tattwa. Ketiganya tidak lain adalah Sang
Hyang Widhi sendiri yang telah berbeda tingkat kesadarannya. Paramasiwa memiliki tingkat kesadaran
tertinggi; Sadasiwa pada tingkat
menengah; dan Siwatma memiliki
tingkat kesadaran yang paling rendah. Tinggi-rendahnya tingkat kesadaran
tersebut tergantung kepada kuat-tidaknya pengaruh Maya. Paramasiwa sama
sekali bebas dari pengaruh Maya, Sadasiwa sudah menerima pengaruh maya, sedangkan Siwatma menerima pengaruh maya
yang paling kuat. Sang Hyang Widhi
yang Paramasiwa adalah kesadaran
tertinggi dan sama sekali tak tersentuh oleh pengaruh maya. Ia disebut Nirguna
Brahman. Ia adalah perwujudan sepi, suci murni, kekal abadi, dan tanpa
aktifitas (Sura, 2000:8).
Paramasiwa
Tattwa bersifat memenuhi
segala, tidak terpikirkan, tidak berakhir dan tidak terbatas. Sifat-sifat-Nya
yang lainnya, juga disebutkan sebagai berikut.
(1) Anirdesyam artinya tidak diperintahkan, karena keadaanNya tanpa aktivitas.
(2) Anaupamyam, tidak tertandingi karena keadaanNya tidak ada yang menyamai.
(3) Anamayam, tidak terkena penyakit, karena dalam perjadian Nya tidak bernoda.
(4) Dhruvam, Ia berkeadaan sadar, dalam perjadianNya tanpa gerak, tenang senantiasa
dan tetap selamanya.
(5) Avyayam, tiada kurang, karena dalam perjadianNya sempurna.
Sadasiwa dijelaskan sebagai kesadaran yang mulai tersentuh oleh
kekuatan Maya. Oleh karena itu, Ia
mulai terpengaruh oleh guna dan swabhawa yang merupakan hukum
kemahakuasaan Sang Hyang Widhi. Sadasiwa, Ia memiliki kekuatan untuk
memenuhi segala kehendaknya yang disimbulkan dengan bunga teratai yang
merupakan sthana-Nya. Ia digambarkan
sebagai perwujudan mantra yang disimbulkan dengan aksara AUM (OM) dengan Iswara (I) sebagai kepala, Tatpurusa sebagai muka (TA), Aghora (A) sebagai hati, Bamadewa (BA) sebagai alat-alat rahasia.
Sadyojata (SA) sebagai badan, Dewa
sakti, guna, dan swabhawa-Nya. Ia
aktif dengan segala ciptaan-ciptaan-Nya. Oleh karenanya, disebut dengan Saguna Brahman. Sadasiwa Tattwa yang teridentifikasi dari Sadasiwa Tattwa dirinci sebagai berikut.
(1) Digambarkan duduk di atas padmasana
sebagai saktinya.
(2) Sakti dari Sadasiwa Tattwa adalah Wibhu Sakti, Prabhu Sakti, Jnana Sakti, dan
Kriya Sakti. Kempatnya ini disebut Cadu
Sakti atau empat kemahakuasaan Sang Hyang Widhi.
(3) Memiliki sifat-sifat anima, laghima,
mahima, prapti, prakamya, isitwa, yatrakamawasayitwa. Semuanya ini disebut astaiswarya.
Lebih lanjut di dijelaskan bahwa di
bawah Sadasiwa Tattwa terdapat Mayasira Tattwa, selanjutnya Maya Tattwa. Pada tingkat Siwatma Tattwa, sakti, guna, dan swabhawa-Nya sudah berkurang karena
sudah dipengaruhi oleh Maya. Oleh
karena itu Siwatma Tattwa disebut
juga Mayasira Tattwa. Berdasarkan
tingkat pengaruh maya terhadap Siwatma Tattwa maka Siwatma Tattwa itu dibedakan atas delapan tingkatan yang disebut Astawidyasana. Apabila pengaruh maya sudah demikian besarnya terhadap Siwatma dapat menyebabkan kesadaran
aslinya hilang dan sifatnya menjadi “awidya”. Bila kesadarannya itu
terpecah-pecah dan menjiwai semua makhluk hidup maka Ia disebut Atma atau Jiwatma. Meskipun Atma
merupakan bagian dari Sang Hyang Widhi
(SIWA) namun karena adanya belenggu awidya
yang ditimbulkan oleh pengaruh maya (Pradhana Tattwa) maka Ia tidak lagi
menyadari asalnya. Hal ini menyebabkan atma
selalu berada dalam lingkaran surga-neraka-samsara secara berulang-ulang dan secara
terus-menerus dalam tempo yang demikian panjang. Atma akan dapat bersatu kembali kepada asalnya, apabila semua
selaras dengan ajaran Catur Iswarya, Panca Yama Brata, Panca Niyama Brata, dan Astasiddhi.
Maya Tattwa ini bersifat sunya sebagai badan dari acetana
sama dengan Siwa Tattwa. Ketika Maya Tattwa bertemu dengan Siwa Tattwa
terjadilah Utaprota. Utaprota ini tidak lagi mahatahu dan
mahakerja, Ia disebut Atma, yaitu cetana yang telah mabuk. Oleh karena itu
Atma Tattwa itu jumlahnya banyak.
Ketika Maya Tattwa digerakkan maka
lahirlah Pradhana Tattwa. Pada saat Siwa Tattwa (cetana) diper temukan dengan Pradhana
Tattwa maka atma yang dalam
keadaan acetana menjadi hilang
kesadaran, lupa, karena tidak berpengetahuan, meluas dalam Pradhana Tattwa. Inilah yang menyebabkan atma lupa. Hasil pertemuan keduanya menghasilkan Triguna Tattwa, yaitu sattwam, rajas, dan tamas.
Ikang citta mahangan
mawa, yeka sattwa ngaranya,
ikang maderes molah, yeka rajah
ngaranya, ikang abwat peteng, yeka tamah ngaranya.
Terjemahan:
Sattwam adalah pikiran yang ringan dan jernih, rajas adalah pikiran yang sangat cepat gerakannya dan tamah adalah
pikiran yang gelap.
Pikiran-pikiran ini sangat berpengaruh terhadap kepribadian,
jiwa dan atma seseorang. Pikiran
adalah sumber gerak manusia, baik wacana maupun perilaku karena pikiran adalah
kendali semua itu. Pikiran, juga yang mampu mengantar orang pada moksa dan kelepasan, tergantung pada
komposisi sattwam, rajas, dan tamas. Bila posisi sattwam,
rajas, dan tamas dalam
keseimbangan maka terlahirlah ia menjadi manusia (Wrhaspati Tattwa, 22). Dalam Wrhaspati
Tattwa kelepasan tersebut diistilahkan dengan Wairagya. Mereka yang telah mampu mencapai tingkat Wairagya akan kembali ke dunia prakerti, yaitu bagaikan orang yang
tidur nyenyak tanpa mimpi (Wrhaspati
Tattwa,31).
Untuk mencapai tingkat Wairagya,
pertama-tama seseorang harus memiliki Tri
Pramana, yaitu Pratyaksa, Anumana,
dan Agama Pramana. Pratyaksa
artinya dapat dilihat dan dipegang. Anumana
artinya seperti melihat asap dikejauhan (dengan menarik kesimpulan dari
gejala-gejala atau fenomena yang ada). Agama
Pramana artinya ilmu pengetahuan yang diajarkan oleh guru. Mereka yang
memiliki ketiga pengetahuan tersebut disebut samyagjnana. Inilah yang disebut wairagya. Untuk dapat mencapai tingkatan wairagya orang harus mampu membebaskan atma dari ikatan duniawi. Untuk itu, menurut Wrhaspati Tattwa, atma akan terbebas dari belenggu diniawi
ketika “matutur ikang atma ri jatinya” artinya ketika atma ingat akan eksistensi dirinya maka atma akan menjadi bersih. Membersihkan atma dalam Wrhaspati Tattwa,
35 dijelaskan sebagai berikut.
Badan disebut istana.
Triantahkarana, yaitu buddhi (akal), manah (pikiran), dan ahangkara
(ego) sebagai senapati. Indriya itu umpama budak dan pelayan.
Obyek indriya, yaitu suara, sentuhan,
bentuk, rasa, bau (yang disebut wisaya
sabdadi) diumpamakan sebagai makanan yang dimakan dan diminum setiap waktu.
Atma seumpama raja, yang menikmati
semua itu. (Apabila) atma tenggelam
dalam menikmati itu dalam badan, menyebabkan atma lupa akan dirinya, tidak ingat akan eksistensi dirinya.
Wrhaspati
Tattwa, juga mengajarkan tiga
macam sarana yang harus dikerjakan oleh orang yang ingin mencapai kelepasan,
yaitu jnanabhyudreka, artinya mengetahui semua tattwa. Indriyayogamarga,
artinya tidak tenggelam dalam kesukaan hawa nafsu, dan Trsnadosaksaya, artinya menghilangkan pahala perbuatan baik dan buruk. Untuk mencapai hal itu maka yang
harus dilakukan adalah berusaha memegang teguh pusatnya (dalam hal ini yang
dimaksud pusat adalah cetana). Secara
teknis hendaknya cetana itu dibuat prakasa (bersinar) dalam pikiran. Prakasa artinya tidak terpadamkan, tidak
buta dalam gelap, jiwa tak terkotori, tenang selalu, karena kondisi itulah
sebenarnya hakikat Bhatara (Wrhaspati Tattwa, 52).
Dalam kenyataan hidup dalam pengalaman empiris sehari-hari
nampaknya orang sangat susah melepaskan diri dari tarikan-tarikan kekuatan
duniawi yang sangat mempesona, seperti makan, tidur, takut, seks, kesedihan,
ketidakpastian dan lain sebagainya. Hal ini disebab oleh karena sesungguhnya
manusia hidup di dunia maka ia harus berhadapan dengan hal-hal yang bersifat
duniawi. Untuk mengatasinya maka langkah-langkah yang dapat dilakukan adalah
dengan menyempurnakan pengetahuan melalui tri
pramana, yaitu gurutah, sastratah, dan swatah. Gurutah adalah
ajaran yang diberikan oleh guru; Sastratah
adalah ajaran yang diperoleh melalui alat sastra (Kitab Suci); sedangkan Swatah artinya pengetahuan yang
diperoleh melalui dirinya sendiri. Dengan demikian akhirnya atma mampu bertemu dengan Sang Hyang Widhi. Kemampuan inilah yang
disebut dengan istilah menarik pusat jala.
Wrhaspati
Tattwa, juga menyediakan jalan
lain yang dapat ditempuh untuk mencapai penyatuan dengan Sang Hyang Widhi, yaitu dengan apa yang disebut Sadanggayoga. Sadanggayoga terdiri atas pratyaharayoga,
dhyanayoga, pranayamayoga, dharanayoga,
tarkayoga, dan samadhi (Wrhaspati Tattwa, 54-59). Adapun masing-masing dapat
dijelaskan sebagai berikut.
(1) Pratyaharayoga, seluruh indriya ditarik dari obyeknya, sedangkan citta, budhi, dan manah
tidak dibiarkan mengembara dan harus dikendalikan dengan citta yang suci.
(2) Dhyanayoga artinya pikiran yang tiada mendua, tidak berubah, tetap suci, tenang
senantiasa tidak terhalang.
(3) Pranayamayoga, tarik nafas kemudian menutup semua lubang dalam tubuh seperti mata,
hidung, mulut, telinga. Udara yang telah diisap dikeluarkan melalui ubun-ubun,
bila hal belum mampu dilakukan maka nafas dapat dikeluarkan melalui hidung.
(4) Dharanayoga, berusaha menguasai suara ongkara (AUM) yang terletak di hati. Bila suara
itu telah hilang dan tak terdengar lagi ketika melakukan yoga, itulah yang disebut Siwatma.
(5) Tarkayoga adalah suatu tingkatan dimana orang seperti sedang berada pada langit
yang tenang dan bersih tanpa suara.
(6) Semadiyoga, yaitu suatu tingkatan yoga dimana pikiran dalam keadaan tak tercela,
tidak lemah, tidak ada yang dikehendakinya, tidak ada yang diharapkannya, suci
tak terhalang, tidak dapat dihancurkan.
Dari penjelasakan tersebut dapat diketahui bahwa jalan
kelepasan yang diajarkan dalam Wrhaspati
Tattwa tampak tidak jauh berbeda dengan ajaran kelepasan menurut filsafat Samkhya dan Yoga. Menurut ajaran Samkhya
hidup ini adalah campuran antara senang dan susah. Banyak hal-hal menyenangkan
yang dapat dirasakan, tetapi juga banyak penderitaan yang harus dinikamti.
Manusia mungkin bisa lepas dari kesusahan dan penyakit, tetapi tidak bisa lepas
dari ketuaan dan kematian. Ada tiga macam sakit dalam hidup ini, yaitu adhyamika,
adhibautika, dan adhidaiwika. Adhyamika
adalah sakit karena sebab-sebab dari dalam diri sendiri misalnya, kurang
berfungsinya organ-organ pernafasan, gangguan perasaan. Dengan kata lain ia
merupakan gangguan jasmani dan rohani, seperti sakit kepala, pilek, marah,
cemas dan sebagainya. Adhibautika
adalah sakit yang disebabkan faktor luar tubuh, seperti tangan yang terluka
kena pisau, kaki yang terantuk batu dan sebagainya. Selanjutnya, Adhidaiwika adalah sakit yang disebabkan
oleh tenaga gaib, seperti setan, hantu, roh jahat, dan sebagainya. Tak
seorangpun dapat bebas dari perasaan susah dan sakit.
Ada dua macam kelepasan, yaitu jiwanmukti dan widehamukti.
Jiwanmukti ialah kelepasan roh selama
ia hidup dalam badan ini, sedangkan widehamukti
adalah kelepasan roh dari badan kasar dan badan halus. Pada dasarnya ajaran Yoga dibagi menjadi empat bagian, yaitu pertama
disebut samadhipada, yang berisi tentang sifat, tujuan, dan bentuk
ajaran Yoga; kedua disebut sadhanapada,
yang isinya tentang cara mencapai samadhi,
tentang kedukaan, tentang karma phala,
dan sebagainya; ketiga disebut wibhutipada, yang menguraikan
tentang segi batiniah ajaran Yoga
serta kekuatan gaib yang diperoleh karena praktek Yoga; dan keempat disebut kaiwalyapada, yang
melukiskan tentang alan kelepasan dan kenyataan roh yang mengatasi alam
duniawi.
Ini
berarti bahwa Yoga adalah jalan untuk
memperoleh vivekajnana,
yaitu pengetahuan untuk membeda-bedakan antara yang salah dan yang benar
sebagai kondisi kelepasan. Menurut Yoga
kelepasan itu bisa dicapai melalui pengetahuan langsung tentang perbedaan roh
dengan dunia jasmani ini termasuk badan, pikiran, dan sifat aku. Hal ini dapat
diwujudkan melalui pengendalian pikiran, fungsi badan, dan indriya. Dengan kata
lain, pengendalian pikiran merupakan kunci dalam mencapai kelepasan. Hal
serupa, juga banyak dijelaskan dalam Prasna
Upanisad, yaitu alat persepsi dikendalikan oleh prana; prana dikendalikan
oleh pikiran. Jadi, kata kunci dalam ajaran yoga
adalah pengendalian pikiran.
Dalam
filsafat Yoga pikiran itu disebut Citta. Citta merupakan hasil pertama dari prakrti. Pada citta sifat
sattwam menguasai rajas dan tamas. Pada dasarnya citta
itu sifatnya tidak sadar, tetapi hubungannya amat erat dengan roh maka ia akan
memantulkan kesadaran roh sehingga tampaknya ia memiliki kesadaran dan
kecakapan. Bila citta diubah ke dalam
suatu jenis vrtti (keadaan mental
yang mengamati) maka roh dipantulkan pada keadaan itu dan mudah menyatakan
keadaan itu sebagai keadaannya sendiri. Ia akan memandang dirinya mengalami
kelahiran, kematian, sedih, senang, berbuat salah atau benar dan sebagainya,
padahal roh sesungguhnya mengatasi segala hal itu. Oleh karena tiadanya
pengetahuan yang benar maka roh nampak sebagai pelaku lima klesa atau sumber kesedihan, seperti berikut.
(1) Awidya, yaitu pengetahuan yang salah.
(2) Asmita, yaitu pandangan yang salah yang memandang roh itu sama dengan buddhi
atau manah.
(3) Raga atau nafsu keinginan dan alat-alat pemuasnya.
(4) Dwesa, yaitu kebencian.
(5) Abhiniwesa, yaitu rasa takut pada kematian.
Selama adanya perubahan dan keguncangan citta maka selama itu roh direfleksikan pada perubahan-perubahan citta. Bila tak memiliki vivekajnana maka ia akan menyamakan
dirinya dengan yang dirubah itu. Akibatnya roh akan merasa susah, senang,
sedih, cinta, dan sebagainya sesuai dengan perubahan citta tersebut. Ini berarti segala ikatan ada pada roh. Bila
seseorang mampu memiliki kesadaran vivekajnana
maka ia akan bebas dari keterikatan itu. Artinya, bila manusia ingin mencapai
kelepasan ia harus mampu menguasai gerak pikiran, badan, dan indriyanya
sehingga kegoncangan-kegoncangan yang terjadi pada citta akan berhenti. Dengan demikian roh akan menyadari dirinya
sebagai dirinya, berbeda dengan badan, pikiran, dan indriya. Untuk mampu sampai
ke tingkat tersebut memang amat sulit
dan membutuhkan pengetahuan serta latihan-latihan dalam kedisiplinan penuh.
Dengan demikian dapat diketahui bahwa pada hakikatnya yoga adalah penghentian
kegoncangan-kegoncangan pikiran. Sehubungan dengan keadaan pikiran, yoga mengajarkan ada lima keadaan pikiran
yang disebabkan oleh intensitas tri guna.
Adapun kelima keadaan pikiran yang dimaksudkan sebagai berikut.
(1) Ksipta artinya tidak diam-diam, dalam hal ini rajas dan tamas
mengombang-ambingkan pikiran sehingga bergerak kesana-kemari.
(2) Mudha, artinya lamban dan malas. Ini berarti tamas menguasai pikiran
(3) Wiksipta artinya bingung, kacau. Hal ini disebabkan pengaruh rajas.
(4) Ekagra artinya terpusat. Pada saat ini sattwa
yang mempengaruhi pikiran. Ini merupakan awal pemusatan pikiran.
(5) Niruddha artinya terkendali. Pada tahap ini berhentilah semua kegiatan pikiran,
hanya ketenangan yang ada.
Ekagra dan Niruddha
merupakan persiapan menuju kelepasan. Ekagra
bila dapat berlangsung terus-menerus disebut samprajanatayoga atau meditasi yang dalam yang padanya ada
perenungan kesadaran akan sesuatu obyek yang terang. Tingkatan Nirudha disebut asaniprajnatayoga karena semua perubahan dan kegoncangan pikiran
terhenti, tiada satupun diketahui oleh pikiran lagi. Inilah yang dikatakan samadhi yoga. Jadi, untuk mencapai
kelepasan manusia harus mampu mengendalikan pikiran, badan, dan indriyanya.
Caranya adalah dengan mimiliki vivekajnana
dan latihan-latihan secara tekun dan teratur melalui Astanggayoga, yaitu Asana,
Pranayama, Yama, Niyama, Dharana, Dhyana, dan Samadhi.
Demikian secara teoretis langkah-langkah yang harus
dilakukan oleh seorang Yogiswara bila
ingin menyatukan diri dengan Hyang Widhi
Wasa. Untuk bisa sampai di tingkat samadiyoga tidaklah mudah, banyak aturan
yang harus diikuti, tetapi bukan tidak mungkin untuk dicapai. Menurut Wrhaspati Tattwa untuk bisa sampai pada
tingkat Sadanggayoga maka ada
beberapa aturan yang mesti diikuti yang disebut Dasasila. Adapun yang dimaksud dengan Dasasila dijelaskan dalam Wrhaspati
Tattwa, 60-61 sebagai berikut.
(1)
Ahimsa
artinya tidak membunuh-bunuh.
(2)
Brahmacarya
artinya tidak ingin beristri.
(3)
Satya
artinya tidak dusta dalam kata-kata.
(4)
Awyawaharika artinya tidak berperkara.
(5)
Astainya
artinya tidak mencuri, tidak mengambil milik orang lain.
(6)
Akrodha
artinya tidak melakukan marah besar.
(7)
Guru Susrusa artinya bakti pada Guru.
(8)
Sauca
artinya melakukan japa mantra dan menyucikan diri.
(9)
Aharalaghawa artinya tidak makan berlebihan.
(10)
Apramada
artinya tidak berlaku sembrono.
Ini berarti sebelum memasuki wilayah spiritual melalui ajaran
kadhyatmikan, yaitu ajaran kelepasan
atau kesempurnan terlebih dahulu harus diketahui dan dipahami tentang ajaran
etika-moralitas serta selanjutnya dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari,
baik dalam pikiran, ucapan maupun tindakan. Jadi, kelepasan atau kesempurnan
hanya tercapai apabila manusia mampu menjadikan dirinya sebagai sempurna, yaitu
menguasai pengetahuan para widya dan apara widya.
(4) Simpulan
Dari paparan di atas dapat dipahami bahwa para widya dan apara widya
dalam Wrhaspati Tattwa dimaknai
sebagai ajaran etika-moralitas dan ajaran khadyatmikan
yang diarahkan untuk menuntun, melindungi, dan menguatkan keyakinan manusia.
Dengan keyakinan yang mantap maka manusia mampu mencapai kelepasan atau
kesempurnan. Dikatakan demikian karena keyakinan adalah keberanian dan hanya
dengan keberanian manusia mampu melepaskan diri dari segala belenggu dan
penderitaan. Seperti dijelaskan oleh Rohit Mehta dalam Prasna Upanisad bahwa keyakinan adalah keberanian untuk berdiri di
hapan Yang Tak Diketahui. Adakah keberanian yang melebihi daripada keberanian
berdiri di hadapan Yang Tak Diketahui? Dalam Wrhaspati Tattwa
dijelaskan bahwa keberanian ini hanya dapat diperoleh melalui vivekajnana dan yoga.
Daftar
Pustaka
Hadiwijono, Harun.1979. Sari Filsafat India. Jakarta :
BPK Gunung Mulia.
Mehta, Rohit, 2005, Bertemu Tuhan Dalam Diri, Denpasar: Sarad.
Sura, I Gede.1991. Samkhya Yoga. Denpasar: Kungkungan.
__________,dkk. 1994. Wrhaspati
Tattwa. Denpasar: Upada Sastra.
__________,dkk. 2000. Siwatattwa.
Denpasar : Pemda Tingkat I Bali.
Sura, I Gde & I Wayan Suka Yasa. 2011. Samkhya dan Yoga. Denpasar: Lembaga
Penelitian Universitas Hindu Indonesia.
Yasa, I Wayan Suka. 2009. Yoga
Marga Rahayu. Denpasar: Fakultas Ilmu Agama, Unhi Denpasar.
Om swastiastu adakah arti asli dari sloka sansekerta whraspati tattwa
BalasHapus