Selasa, 23 Agustus 2016

SUBAK

EKSISTENSI SUBAK DI BALI:
Sketsa Tantangan dan Peluangnya

Oleh
Dr. Nanang Sutrisno, S.Ag, M.Si

(1) Pendahuluan
Subak adalah sistem pertanian tradisional Bali terutama berkaitan dengan irigasi. Sejarah munculnya sistem subak di Bali memang belum diketahui secara pasti. Akan tetapi, berdasarkan isi prasasti Sukawana (882 M) diketahui adanya pembedaan antara sistem pertanian sawah (huma) dan tegal (parlak). Kemudian, dalam prasasti Bebetin (896 M) ditemukan istilah “undagi pangarung” yang berarti tukang membuat terowongan air. Selain itu, juga dalam prasasti Trunyan (891 M) ditemukan istilah Serdanu dari kata “ser” yang berarti kepala dan “danu” yang berarti air. Kata “ser” (seh) inilah yang diperkirakan berubah menjadi pakaseh sekarang. Istilah subak secara tegas ditemukan dalam prasasti Pandak Bandung (1071 M) yang menyebutkan istilah “Kasuwakan” yang bersinonim dengan kata “Kasubakan” atau “Subak”. Begitu juga dalam prasasti Klungkung (1072 M) ditemukan kata “Kasuwakan Rawas” atau Subak Rawas.
Fakta sejarah tersebut menegaskan bahwa masyarakat Bali telah memiliki sistem pertanian yang maju dan terorganisasi dengan baik dalam sistem subak. Pembagian lahan sawah dan tegalan, sistem pengairan, dan sistem organisasi persubakan menunjukkan bahwa pertanian di Bali telah dikelola secara sistematis dengan menerapkan teknologi irigasi yang terbilang canggih pada masa itu. Oleh karena itu, sejumlah peneliti dan antropolog ternama seperti Clifford Geertz dan J. Stephan Lansing telah menjadikan sistem subak di Bali sebagai objek studi mereka. Hal ini dapat dipahami mengingat dalam sistem subak tercakup aspek kehidupan religius, sosial, budaya, dan teknologi pertanian yang saling berkaitan secara holistik dan integral.
Hamparan lahan pertanian yang diatur dalam sistem subak dan seluruh aktivitas sosio-religius yang bertalian dengannya menunjukkan bahwa subak adalah sebuah lanskap budaya agraris masyarakat Bali. Ekologi budaya menegaskan bahwa alam memberikan pengaruh penting dalam kebudayaan manusia, begitu juga sebaliknya. Artinya, sistem subak telah membangun sebuah kebudayaan pertanian tradisional Bali yang unik dan spesifik, bahkan sulit ditemukan di daerah lainnya. Dalam sistem ini, komunitas petani dalam satu organisasi subak secara bersama-sama mendirikan Pura Subak atau Pura Ulun Suwi yang didasari kepercayaan kepada Dewi Shri, yakni manifestasi Hyang Widhi sebagai dewi kesuburan dan kemakmuran. Pura Subak menjadi pusat orientasi aktivitas religius-agraris yang diselenggarakan bersama oleh semua anggota (krama) subak. Sistem subak juga menginspirasi lahirnya aktivitas pertanian yang diiringi berbagai macam ritual sebagaimana tercantum dalam Dharma Pamaculan. Dalam sistem subak berlangsung aktivitas sosial yang melibatkan seluruh krama subak sebagai satu bagian komunitas yang tunduk pada aturan persubakan dan terlibat dalam sejumlah kerjasama sosial, seperti gotong-royong, penyelenggaraan ritual kolektif di Pura Subak, dan sebagainya.
Gambaran tersebut menunjukkan bahwa subak merupakan organisasi sosio-religius-agraris masyarakat Bali yang didasari nilai-nilai agama Hindu. Dengan sistem pertanian tradisional tersebut, subak di Bali tumbuh menjadi kekuatan penting dalam menyediakan berbagai macam hasil pertanian yang dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat Bali. Baik disadari maupun tidak, selama berabad-abad lamanya subak telah menjadi pengendali pangan masyarakat Bali. Malahan dapat dikatakan bahwa sebelum masuknya berbagai bahan pangan dari luar Bali, ketergantungan masyarakat Bali terhadap subak demikian kuatnya. Hubungan fungsional antara kebutuhan pangan masyarakat Bali dan hasil-hasil pertanian telah memosisikan subak sebagai tulang punggung perekonomian Bali.


(2) Pembahasan
Eksistensi subak dalam konstruk budaya agraris telah memberikan pengaruh besar terhadap keindahan dan kelestarian lingkungan Bali, baik alam, sosial, maupun budayanya. Keterikatan masyarakat Bali terhadap alam, bahkan telah membangun sistem kepercayaan yang mendasari seluruh pengalaman, penghayatan, dan praktik religiusnya. Kepercayaan terhadap tanah (pertiwi) sebagai Ibu Semesta yang menganugerahkan kemakmuran kepada seluruh umat manusia menjadi dasar environmentalisme Hindu dalam konteks sosioreligius masyarakat Bali yang kental dengan nuansa budaya agraris. Atas dasar kepercayaan inilah, masyarakat Bali senantiasa berupaya untuk menjaga lingkungan palemahannya agar tetap utuh dan lestari.
Perubahan sosial budaya yang terjadi pada masyarakat Bali seiring dengan berlangsungnya modernisasi secara sistematis telah mengubah kepercayaan dan cara pandang masyarakat Bali terhadap tanah. Masyarakat Bali telah menempatkan tanah bukan lagi sebagai kesatuan, melainkan wilayah yang terkotak-kotak menurut status kepemilikan, fungsi, dan pemanfaatannya. Implikasinya bahwa masyarakat Bali tidak lagi menempatkan tanah sebagai sesuatu yang berharga sehingga layak dipertahankan keberadaannya, tetapi sebagai komoditas yang siap dipertukarkan ke pasar. Tak pelak lagi, jengkal demi jengkal lahan subak mulai mengalami disfungsi, bahkan beralih fungsi sehingga kehilangan kekuatannya sebagai pengendali pangan masyarakat Bali. Hamparan hijau lahan pertanian kini telah berubah menjadi hutan beton yang secara perlahan-lahan mengubah keindahan alam Bali dengan berbagai dampak lingkungan yang menyertainya.
Bali pra-modern dapat dikatagorikan sebagai wilayah dataran yang subur sehingga sebagian besar masyarakat juga menyandarkan kehidupannya pada bidang pertanian. Organisasi subak tumbuh subur pada semua wilayah pedesaan dengan hasil pertanian yang melimpah. Namun seiring pengaruh modernitas, juga sistem persubakan mulai terusik. Migrasi penduduk yang demikian pesat mendorong meningkatnya kebutuhan masyarakat akan ketersediaan tempat pemukiman. Ketika lahan kering sudah tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan tersebut, maka lahan subur pun tak luput dari incaran untuk dialih-fungsikan menjadi pemukiman. Gayung bersambut dengan itu, juga perubahan pola pikir dan cara pandang masyarakat terhadap tanah turut mempercepat proses terjadinya alih fungsi lahan subak. Apalagi dalam satu dasa warsa terakhir ini, harga tanah mengalami peningkatan signifikan seiring dengan menguatnya kontrol pasar terhadap harga tanah.
Kondisi dilematis dan paradoks ini harus dihadapi oleh masyarakat subak di Bali dalam mempertahankan eksistensinya. Pada satu sisi, subak sebagai warisan budaya dan tulang punggung ekonomi masyarakat agraris harus dilindungi, dijaga, dipertahankan kelestarian dan keberlanjutannya. Akan tetapi di lain pihak, juga modernitas begitu kuat menghegemoni pikiran masyarakat sehingga berpretensi melunturkan nilai-nilai tradisional termasuk dalam upaya mempertahankan keberadaan subak. Sebagai lanskap budaya agraris, hilangnya subak berarti hilangnya Pura Subak dan seluruh aktivitas religius yang terkait dengannya. Apakah ini juga berarti lunturnya kepercayaan masyarakat terhadap agama dan Tuhannya?
Mencermati fenomena tersebut, kiranya ungkapan “lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali” tepat digunakan untuk menyikapi keberadaan subak dalam modernitas. Upaya mempertahankan keberadaan subak dapat dimulai dengan pendataan yang akurat tentang sekaa subak yang ada. Paling tidak, dengan data ini dapat ditunjukkan ‘objek’ yang akan dipertahankan, bahkan kalau mungkin diberdayakan untuk kepentingan yang lebih besar. Selanjutnya, data ini dapat dijadikan sebagai acuan dan pedoman dalam pengambilan kebijakan pemerintah terkait dengan pelestarian, pembinaan, dan pemberdayaan subak. Apalagi sistem birokrasi modern menghendaki sistem perencanaan berbasis data (planning based on data). Kebertahanan nilai dan organisasi tradisional dalam konstruk budaya modern memang tidak dapat dilepaskan dari keinginan politik (political will) pemeritah. Mengingat masyarakat berada dalam gerbong pembangunan yang dirancang pemerintah.


(3) Penutup
Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami sketsa tantangan dan peluang eksistensi subak di zaman modern:
(1)  Tantangan subak di zaman modern terutama adalah terjadinya perubahan sistem nilai dan cara pandang masyarakat terhadap pertanian.
(2)  Modernitas menawarkan nilai baru yang menempatkan tanah sebagai komoditas yang eksistensinya bergantung pada mekanisme pasar.
(3)  Lemahnya political will dari pemerintah dalam mempertahankan sistem subak dapat memberikan tantangan serius bagi eksistensi subak di masa depan.
(4)  Subak berpeluang direvitalisasi eksistensinya dengan menempatkan kepercayaan pada Dewi Pertiwi dan Dewi Shri sebagai spirit suci yang memberikan kesejahteraan hidup manusia.
(5)  Subak berpeluang direvitalisasi sebagai tulang punggung ekonomi masyarakat agraris melalui peningkatan produktivitas pertanian.
(6)  Terpeliharanya nilai tradisional dan fungsionalitas subak menjadi kata kunci eksistensi subak di masa mendatang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar