EKSISTENSI SUBAK DI BALI:
Sketsa Tantangan dan Peluangnya
Oleh
Dr.
Nanang Sutrisno, S.Ag, M.Si
(1) Pendahuluan
Subak adalah sistem pertanian tradisional Bali terutama berkaitan
dengan irigasi. Sejarah munculnya sistem subak di Bali memang belum diketahui
secara pasti. Akan tetapi, berdasarkan isi prasasti Sukawana (882 M) diketahui
adanya pembedaan antara sistem pertanian sawah (huma) dan tegal (parlak).
Kemudian, dalam prasasti Bebetin (896 M) ditemukan istilah “undagi pangarung”
yang berarti tukang membuat terowongan air. Selain itu, juga dalam prasasti
Trunyan (891 M) ditemukan istilah Serdanu dari kata “ser” yang berarti
kepala dan “danu” yang berarti air. Kata “ser” (seh) inilah yang
diperkirakan berubah menjadi pakaseh sekarang. Istilah subak secara
tegas ditemukan dalam prasasti Pandak Bandung (1071 M) yang menyebutkan istilah
“Kasuwakan” yang bersinonim dengan kata “Kasubakan” atau “Subak”. Begitu juga
dalam prasasti Klungkung (1072 M) ditemukan kata “Kasuwakan Rawas” atau Subak
Rawas.
Fakta sejarah
tersebut menegaskan bahwa masyarakat
Bali telah memiliki sistem pertanian yang maju dan terorganisasi dengan baik
dalam sistem subak. Pembagian lahan sawah dan tegalan, sistem pengairan,
dan sistem organisasi persubakan menunjukkan bahwa pertanian di Bali telah
dikelola secara sistematis dengan menerapkan teknologi irigasi yang terbilang
canggih pada masa itu. Oleh karena itu, sejumlah peneliti dan antropolog
ternama seperti Clifford Geertz dan J. Stephan Lansing telah menjadikan sistem subak
di Bali sebagai objek studi mereka. Hal ini dapat dipahami mengingat dalam
sistem subak tercakup aspek kehidupan religius, sosial, budaya, dan
teknologi pertanian yang saling berkaitan secara holistik dan integral.
Hamparan lahan pertanian yang diatur dalam sistem subak dan seluruh
aktivitas sosio-religius yang bertalian dengannya menunjukkan bahwa subak adalah
sebuah lanskap budaya agraris masyarakat Bali. Ekologi budaya menegaskan bahwa
alam memberikan pengaruh penting dalam kebudayaan manusia, begitu juga sebaliknya.
Artinya, sistem subak telah membangun sebuah kebudayaan pertanian
tradisional Bali yang unik dan spesifik, bahkan sulit ditemukan di daerah
lainnya. Dalam sistem ini, komunitas petani dalam satu organisasi subak secara
bersama-sama mendirikan Pura Subak atau Pura Ulun Suwi yang
didasari kepercayaan kepada Dewi Shri, yakni manifestasi Hyang Widhi sebagai
dewi kesuburan dan kemakmuran. Pura Subak menjadi pusat orientasi aktivitas
religius-agraris yang diselenggarakan bersama oleh semua anggota (krama)
subak. Sistem subak juga menginspirasi lahirnya aktivitas pertanian
yang diiringi berbagai macam ritual sebagaimana tercantum dalam Dharma
Pamaculan. Dalam sistem subak berlangsung aktivitas sosial yang
melibatkan seluruh krama subak sebagai satu bagian komunitas yang tunduk
pada aturan persubakan dan terlibat dalam sejumlah kerjasama sosial,
seperti gotong-royong, penyelenggaraan ritual kolektif di Pura Subak, dan
sebagainya.
Gambaran tersebut menunjukkan bahwa subak merupakan organisasi
sosio-religius-agraris masyarakat Bali yang didasari nilai-nilai agama Hindu.
Dengan sistem pertanian tradisional tersebut, subak di Bali tumbuh
menjadi kekuatan penting dalam menyediakan berbagai macam hasil pertanian yang
dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat Bali. Baik disadari maupun tidak,
selama berabad-abad lamanya subak telah menjadi pengendali pangan
masyarakat Bali. Malahan dapat dikatakan bahwa sebelum masuknya berbagai bahan
pangan dari luar Bali, ketergantungan masyarakat Bali terhadap subak demikian
kuatnya. Hubungan fungsional antara kebutuhan pangan masyarakat Bali dan
hasil-hasil pertanian telah memosisikan subak sebagai tulang
punggung perekonomian Bali.
(2) Pembahasan
Eksistensi subak dalam konstruk budaya agraris telah memberikan
pengaruh besar terhadap keindahan dan kelestarian lingkungan Bali, baik alam,
sosial, maupun budayanya. Keterikatan masyarakat Bali terhadap alam, bahkan
telah membangun sistem kepercayaan yang mendasari seluruh pengalaman,
penghayatan, dan praktik religiusnya. Kepercayaan terhadap tanah (pertiwi)
sebagai Ibu Semesta yang menganugerahkan kemakmuran kepada seluruh umat manusia
menjadi dasar environmentalisme Hindu dalam konteks sosioreligius masyarakat
Bali yang kental dengan nuansa budaya agraris. Atas dasar kepercayaan inilah,
masyarakat Bali senantiasa berupaya untuk menjaga lingkungan palemahannya agar
tetap utuh dan lestari.
Perubahan sosial budaya yang terjadi pada masyarakat Bali seiring dengan
berlangsungnya modernisasi secara sistematis telah mengubah kepercayaan dan
cara pandang masyarakat Bali terhadap tanah. Masyarakat Bali telah menempatkan tanah bukan lagi sebagai kesatuan, melainkan
wilayah yang terkotak-kotak menurut status kepemilikan, fungsi, dan
pemanfaatannya. Implikasinya bahwa masyarakat Bali
tidak lagi menempatkan tanah sebagai sesuatu yang berharga sehingga layak
dipertahankan keberadaannya, tetapi sebagai komoditas yang siap dipertukarkan
ke pasar. Tak pelak lagi, jengkal demi jengkal lahan subak mulai mengalami disfungsi, bahkan beralih fungsi sehingga
kehilangan kekuatannya sebagai pengendali pangan masyarakat Bali. Hamparan
hijau lahan pertanian kini telah berubah menjadi hutan beton yang secara
perlahan-lahan mengubah keindahan alam Bali dengan berbagai dampak lingkungan
yang menyertainya.
Bali pra-modern
dapat dikatagorikan sebagai wilayah dataran yang subur sehingga sebagian besar
masyarakat juga menyandarkan kehidupannya pada bidang pertanian. Organisasi subak tumbuh subur pada semua wilayah pedesaan
dengan hasil pertanian yang melimpah. Namun seiring pengaruh modernitas, juga sistem
persubakan mulai terusik. Migrasi penduduk yang demikian pesat mendorong
meningkatnya kebutuhan masyarakat akan ketersediaan tempat pemukiman. Ketika
lahan kering sudah tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan tersebut, maka lahan
subur pun tak luput dari incaran untuk dialih-fungsikan menjadi pemukiman.
Gayung bersambut dengan itu, juga perubahan pola pikir dan cara pandang
masyarakat terhadap tanah turut mempercepat proses terjadinya alih fungsi lahan
subak. Apalagi dalam satu dasa warsa
terakhir ini, harga tanah mengalami peningkatan signifikan seiring dengan
menguatnya kontrol pasar terhadap harga tanah.
Kondisi
dilematis dan paradoks ini harus dihadapi oleh masyarakat subak di Bali dalam mempertahankan eksistensinya. Pada satu sisi, subak sebagai warisan budaya dan tulang
punggung ekonomi masyarakat agraris harus dilindungi, dijaga, dipertahankan
kelestarian dan keberlanjutannya. Akan tetapi di lain pihak, juga modernitas
begitu kuat menghegemoni pikiran masyarakat sehingga berpretensi melunturkan
nilai-nilai tradisional termasuk dalam upaya mempertahankan keberadaan subak. Sebagai lanskap budaya agraris,
hilangnya subak berarti hilangnya Pura Subak dan seluruh aktivitas
religius yang terkait dengannya. Apakah
ini juga berarti lunturnya kepercayaan masyarakat terhadap agama dan Tuhannya?
Mencermati
fenomena tersebut, kiranya ungkapan “lebih baik terlambat daripada tidak sama
sekali” tepat digunakan untuk menyikapi keberadaan subak dalam modernitas. Upaya mempertahankan keberadaan subak dapat dimulai dengan pendataan
yang akurat tentang sekaa subak yang ada. Paling tidak, dengan
data ini dapat ditunjukkan ‘objek’ yang akan dipertahankan, bahkan kalau
mungkin diberdayakan untuk kepentingan yang lebih besar. Selanjutnya, data ini
dapat dijadikan sebagai acuan dan pedoman dalam pengambilan kebijakan pemerintah
terkait dengan pelestarian, pembinaan, dan pemberdayaan subak. Apalagi sistem birokrasi modern menghendaki sistem
perencanaan berbasis data (planning based
on data). Kebertahanan nilai dan organisasi tradisional dalam konstruk
budaya modern memang tidak dapat dilepaskan dari keinginan politik (political will) pemeritah. Mengingat
masyarakat berada dalam gerbong pembangunan yang dirancang pemerintah.
(3) Penutup
Berdasarkan
uraian di atas dapat dipahami sketsa tantangan dan peluang eksistensi subak di zaman modern:
(1)
Tantangan subak di zaman modern terutama adalah terjadinya
perubahan sistem nilai dan cara pandang masyarakat terhadap pertanian.
(2)
Modernitas menawarkan nilai
baru yang menempatkan tanah sebagai komoditas yang eksistensinya bergantung
pada mekanisme pasar.
(3)
Lemahnya political will dari pemerintah dalam
mempertahankan sistem subak dapat
memberikan tantangan serius bagi eksistensi subak
di masa depan.
(4)
Subak berpeluang
direvitalisasi eksistensinya dengan menempatkan kepercayaan pada Dewi Pertiwi
dan Dewi Shri sebagai spirit suci yang memberikan kesejahteraan hidup manusia.
(5)
Subak berpeluang
direvitalisasi sebagai tulang punggung ekonomi masyarakat agraris melalui
peningkatan produktivitas pertanian.
(6)
Terpeliharanya nilai
tradisional dan fungsionalitas subak menjadi
kata kunci eksistensi subak di masa
mendatang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar