Selasa, 23 Agustus 2016

SUKRENI GADIS BALI

IDENTITAS BALI
DALAM NOVEL “SUKRENI GADIS BALI”

Oleh
Nanang Sutrisno

1.     Pendahuluan
Bali menjadi bagian dari pluralitas bangsa Indonesia yang membentang dari Sabang sampai Merauke. Dikatakan demikian karena Bali mewarisi keunikan dan kekhasan budaya yang tidak dimiliki oleh etnis lain. Proses pergulatan cipta, rasa, dan karsa dari sejak zaman prasejarah hingga Bali modern, menandai dinamika kebudayaan Bali sehingga menampakkan wujudnya seperti sekarang ini. Spirit taksu dan jengah yang menjadi basis kreativitas masyarakat Bali dalam pengembangan kebudayaannya menjadikan kebudayaan Bali selalu berubah dan berkesimbangunan (change and continuity) untuk mencapai taraf yang lebih mutakhir, baik pada tataran ide, aktivitas, maupun artefaktual (Mantra, 1996:12). Tampaknya, spirit ini telah mampu membangun citra Bali di mata dunia internasional sehingga menjadikannya tujuan wisata yang populer dan membanggakan bagi bangsa Indonesia.
Dalam hal ini citra positif Bali bukanlah sesuatu yang terberi (given), melainkan terjadi dari proses konstruksi yang panjang dan berliku. Sejak pemerintah Belanda mempromosikan Bali kepada masyarakat Eropa dan Amerika, juga semakin banyak wisatawan, seniman, dan ilmuwan yang mengunjungi Bali. Sebut saja beberapa nama seperti, Walter Spies, Rudolf Bonnet (pelukis), Miguel Covarrubias (penulis dan pelukis), Clifford Geertz, Thomas A.Reuters, David J. Stuart Fox, Margaret Mead, Gregory Bateson (Antropolog), Ernest Schlager (musisi), dan Theo Meier (pelukis) (Couteau, 1999:19). Para wisatawan, seniman, dan ilmuwan ini bukan hanya datang untuk menikmati keeksotisan alam dan budaya Bali, tetapi juga memberikan sumbangan besar dalam mengkonstruksi identitas Bali. Rudolf Bonnet misalnya, sejak kedatangannya di Ubud dan menetap di Peliatan pada tahun 1929, Bonnet terlibat aktif dengan seniman-seniman lukis di Ubud dan mengajarkan teknis seni lukis kepada beberapa seniman lukis Ubud (Couteau, 1999:22). Sementara itu, para antropolog dari Eropa dan Amerika juga telah memberikan catatan yang mengesankan tentang realitas sosial, budaya, dan agama masyarakat Bali dalam karya-karya mereka.
Kenyataan ini tampaknya mendasari pendapat Vickers (1989:10) bahwa penjajah Belanda telah mendefinisikan kembali citra Bali dari semula tempat yang liar dan tak beradab menjadi citra sebuah pulau surga (the last paradise). Pendapat ini ditegaskan oleh Picard (1997:186) bahwa Identitas manusia Bali sekarang ini merupakan sebuah konstruksi yang terinspirasi oleh citra-citra kolonial, citra Indonesia, dan citra touristik. Pejabat-pejabat kolonial Belanda, intelektual-intelektual Bali dulu, dan pejabat pemerintah Indonesia sekarang telah terlibat secara aktif dalam membangun pandangan resmi tentang identitas Bali. Pada akhirnya, Bali as The Last Paradise, The Island with Thousand Temple, The Morning of World, merupakan citra yang dilekatkan pada Bali masa kini. Citra baru ini tampaknya telah mengubur ingatan orang Bali sekarang tentang identitas Bali masa kolonial yang dilukiskan Vickers (1989:11) sebagai “an island of theft and murder" (pulau pencurian dan pembunuhan). Sebuah karakter orang Bali yang sama sekali berbeda dengan pencitraannya sebagai masyarakat yang religius, ramah, dan cinta damai.
Identitas Bali pada masa kolonial inilah yang tampaknya menginspirasi A.A. Panji Tisna untuk menuangkannya dalam novel Sukreni Gadis Bali. Mengingat pujangga yang lahir di Singaraja, 11 Februari 1908 ini memang menjalani kehidupannya pada masa penjajahan Belanda. Sementara itu, novel Sukreni Gadis Bali sendiri diterbitkan pertama kali pada tahun 1936. Dengan pengalaman hidup selama 36 tahun sampai terbitnya karya ini, tampaknya Panji Tisna sudah cukup memahami kebudayaan masyarakat di sekitarnya yang kemudian dijadikan setting lokasi dan cerita. Oleh karena itu, novel ini dapat dijadikan salah satu referensi untuk memahami identitas Bali dalam kronik sastra modern.
Secara teoretis, pemilihan tema identitas ini didasari pemikiran tentang pentingnya identitas dalam kehidupan masyarakat plural. Dengan demikian, tulisan ini dapat memberikan gambaran tentang identitas Bali pada masa kolonial, baik kebudayaan maupun keagamaannya. Sebaliknya secara praktis, pemilihan tema ini disesuaikan dengan rencana disertasi penulis, yaitu “Konstruksi Identitas Keberagamaan Umat Hindu di Kabupaten Banyuwangi”. Dengan demikian, penulisan makalah ini menjadi salah satu cara untuk mendekatkan diri dengan masalah penelitian, atau setidak-tidaknya menjadi media latihan untuk menulis tema yang sejalan dengan rencana penelitian.

2.     Sinopsis Cerita
Sukreni Gadis Bali, karya A.A. Pandji Tisna merupakan salah satu novel populer dalam ranah kesusasteraan Indonesia modern. Seturut dengan judulnya, novel ini memang mengangkat dimensi kehidupan seorang gadis Bali bernama Sukreni. Untaian cerita yang saling menjalin antara satu segmen dengan segmen yang lain menjadi keunggulan karya ini. Melalui karya ini pula, penulis menunjukkan pemahamannya yang mendalam terhadap karmaphala, yaitu hukum moral yang paling esensial dalam agama Hindu dan kebudayaan Bali. Meskipun pengarang sendiri mengalami konflik identitas dalam kehidupan pribadinya karena banyak pihak yang menganggap dia adalah seorang Kristiani.
Novel ini dimulai dengan cerita tentang Men Negara, seorang pemilik warung di desa Bingin Banyah, sebuah kawasan perkebunan kelapa di wilayah Singaraja. Men Negara sesungguhnya adalah seorang perempuan dari daerah Karangasem yang pergi meninggalkan anak dan suaminya karena mengikuti laki-laki lain. Kemudian, bersama laki-laki selingkuhannya ini Men Negara memiliki dua orang anak, yaitu I Negara dan Ni Negari. Sementara itu dari suami sebelumnya, ia juga memiliki seorang anak perempuan bernama Ni Widi. Rupanya, kepergian sang ibu inilah yang memulai babak tragis kehidupan Ni Widi. Bukan hanya karena ia harus menjalani hidup tanpa kasih sayang seorang ibu, tetapi juga sang ibu ini nantinya akan menjadi aktor penyebab kehancuran hidupnya.
Diceritakan selanjutnya bahwa warung makanan milik Men Negara cukup ramai dikunjungi pembeli. Pelanggannya berasal dari berbagai kalangan, mulai dari para pekerja kebun kelapa, polisi, hingga tokoh masyarakat. Pesatnya perkembangan warung Men Negara karena ia berhasil memanfaatkan kecantikan Ni Negari putrinya, untuk menarik para pembeli, bahkan dari luar desa. Malahan, juga Ni Negari berhasil dijadikan umpan untuk memikat hati seorang kepala polisi yang bernama Gusti Made Tusan sehingga berbagai praktik pelanggaran hukum yang dilakukan Men Negara dapat diampuni. Alhasil, Men Negara benar-benar menikmati kehidupan ekonominya yang semakin membaik dan memupuk sifat materalis dalam kehidupannya.
Klimaks cerita dimulai dari kedatangan Sukreni ke Kampung Bingin Banyah. Sukreni sesungguhnya adalah Ni Widi, putri Men Negara yang telah ditinggalkannyaa saat masih berumur delapan tahun. Ayah Sukreni telah mengganti nama Ni Widi menjadi Ni Luh Sukreni. Dengan maksud agar Sukreni tidak bisa lagi mengenali dan dikenali ibunya. Tujuan kedatangan Sukreni ke desa Bingin Banyah adalah untuk menemui Ida Suamba guna meminta pendapat dan solusi atas kasus waris yang terjadi di kampung halamannya. Pertemuan pertama dengan Ida Gde Suamba belum mendapatkan solusi sehingga Sukreni datang kembali di kemudian hari. Pada kedatangan yang kedua kalinya ini, Ida Gde Suamba sedang keluar daerah sehingga Sukreni memutuskan untuk beristirahat di rumah Men Negara. Sesungguhnya ini adalah pertemuan ibu dan anak, tetapi kedua-duanya tidak saling mengenali.
Rupanya, keberadaan Sukreni di warung Men Negara telah menarik perhatian para pelanggannya, tidak terkecuali Gusti Made Tusan. Kecantikan Sukreni telah membangkitkan hasrat seksual Gusti Made Tusan untuk mendapatkannya. Gayung bersambut, kacamata materialis Men Negara segera menangkap adanya “komoditas” baru yang layak jual, yakni Sukreni. Singkat cerita, strategipun diatur oleh Men Negara untuk memenuhi permintaan Gusti Made Tusan. Saat Sukreni berada di rumah sendiri, Men Negara pergi bersama anak-anaknya sehingga memberi kesempatan Gusti Made Tusan untuk memperkosa Sukreni. Hingga keesokan harinya, saat hati Men Negara begitu bergembira karena mendapatkan uang melimpah dari hasil “menjual” Sukreni, I Negara juga datang dengan membawa berita gembira. Berita bahwa Sukreni adalah saudara tirinya, anak dari Men Negara yang telah ditinggalkannya saat masih bayi. Mendengar berita ini, Men Negara didera penyesalan yang tanpa akhir. Ia merasa sangat berdosa karena telah tega menjual anaknya sendiri hanya untuk memenuhi keserakahannya.
Setelah kejadian itu, Sukreni telah meninggalkan rumah Men Negara pada pagi-pagi buta. Ia pergi terlunta-lunta tanpa tujuan dengan membawa benih bayi dalam perutnya. Sampai akhirnya seorang yang baik hati menerimanya, merawat kandungannya, hingga lahirlah bayi laki-laki dari rahimnya. Bayi itu diberi nama Gustam. Ia tumbuh besar menjadi lelaki yang gagah perkasa, tapi sayang jiwanya berandalan. Gustam tumbuh menjadi seorang kepala kawanan perampok yang cukup disegani di daerah Singaraja. Hingga suatu waktu, warung Men Negara menjadi sasaran aksinya. Perampokan dilakukan, bahkan warung Men Negara dibakar oleh Gustam dan kawan-kawannya. Akan tetapi pada saat yang bersamaan, Gusti Made Tusan sang kepala polisi sedang berada di sana untuk melakukan patroli keamaan. Sampai akhirnya perkelahian antara perampok dan polisi tidak terhindarkan.
Perkelahian berlangsung semakin seru dan korban berjatuhan di kedua belah pihak. Hingga pada akhirnya Gusti Made Tusan sang kepala polisi, kini berhadapan satu lawan satu dengan Gustam si kepala perampok. Anak dan ayah yang tidak saling mengenal, bertarung dengan senjata terhunus di tangannya masing-masing. Peluru Gusti Made Tusan menembus dada Gustam, dan Gustam juga berhasil membabat leher sang ayah. Ayah dan anak inipun mati, sebelum mereka sempat menyadari dengan siapa mereka saling bunuh. Tempat itu telah menjadi saksi bisu kehancuran Sukreni Gadis Bali. Di tempat itu Sukreni dijual ibunya sendiri dan di tempat ini pula si pemerkosa dan anaknya meninggal bersama-sama. 

3.     Fiksi di Ranah Culture Studies
Sukreni Gadis Bali merupakan karya fiksi modern yang hadir di tengah belantara kesusasteraan Indonesia abad XX. Novel ini cukup populer bagi para penggiat dan pengkaji sastra Indonesia sehingga keberadaannya dapat disejajarkan dengan novel-novel populer lainnya, seperti Layar Terkembang, Kasih Tak Sampai (Siti Nurbaya), Sengsara Membawa Nikmat, dan Di Atas Sebuah Kapal. Kepopuleran karya-karya ini tentu tidak hanya disebabkan oleh ceritanya yang indah dan menarik, tetapi karena wacana ideologis yang dibangun. Hal ini sejalan dengan pandangan Williams (Faruk, 2003:79) bahwa kesusasteraan dapat menjadi kekuatan sosial, politik, dan kultural yang memungkinkan lahirnya gerakan perlawanan terhadap ketidakadilan. Fiksi modern seringkali hadir untuk melakukan kritik sosial terhadap berbagai praktik penyimpangan budaya dominan, serta menjadi corong kaum marjinal untuk melawan ketidakadilan. Oleh karena itu, harus diakui bahwa kajian fiksi modern telah memainkan peran penting dalam analisis budaya (Storey, 2007:36). Dengan kata lain bahwa karya sastra modern mencerminkan perpaduan yang mengesankan antara struktur narasi, nilai estetis, dan emansipasi budaya.
Pendapat tersebut menegaskan bahwa fiksi modern tidak bisa lagi dipahami semata-mata narkotis yang hanya bisa membuat pembacanya kecanduan, tetapi juga menawarkan sebuah pencerahan (Storey, 2007:36). Pencerahan ini dapat diperoleh dengan membongkar wacana ideologis yang terkandung di dalamnya. Hal ini mengantarkan Althuser pada konsep “problematika”, yaitu struktur teoretis dan ideologis yang merangkai dan memproduksi wacana yang saling silang dan berkompetisi secara terorganisasi dalam sebuah teks. Dengan kata lain, teks itu sendiri adalah sebuah problematika. Akan tetapi, pada saat yang bersamaan teks itu juga mendorong lahirnya jawaban-jawaban (Storey, 2007:37). Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa dalam teks sastra mengandung berbagai macam problematika dan sekaligus jawabannya, baik secara tersurat maupun tersirat.
Segala yang tersurat dalam teks membangun struktur naratif, seperti tema, tokoh, alur, dan setting. Sementara itu, segala yang tersirat merupakan struktur makna teks. Struktur naratif lebih memerankan fungsi deskriptif, yakni pelukisan cerita secara apa adanya dengan maksud menggugah naluri estetis pembaca, bahkan tidak jarang memberi sentuhan narkotis. Sebaliknya, struktur makna lebih banyak memerankan fungsi transformatif, yaitu mengungkap kritik, wacana, ideologi, dan amanat yang memungkinkan munculnya pencerahan (Sugiharto, 1996:80). Dalam ranah culture studies, kekuatan naratif suatu karya sastra lebih bersifat metaforis. Artinya, keunggulan suatu narasi terletak pada kepekaannya dalam memainkan wacana-wacana ideologis yang berkembang di masyarakat. Di sini, karya sastra dipandang merupakan suatu unit wacana dan acuannya adalah “dunia” yang ditampilkan. Menafsirkan suatu karya sastra berarti memajang ‘dunia’ yang diacu oleh karya itu, melalui bentuk penataan, genre (kodifikasi khas), dan gaya penulisannya (Sugiharto, 1996:105). Dengan demikian, analisis karya-karya fiksi harus diarahkan untuk mengungkap struktur naratif dan metafor secara bersama-sama, sebagai sesuatu yang jalin-menjalin membangun keseluruhan makna teks.
Suatu karya sastra dapat dipahami maknanya sesuai dengan konvensi ketandaan, yaitu kajian utama dalam analisis semiotika. Dalam analisis semiotika, segala sesuatu dapat dijabarkan sebagai bahasa. Bahasa pada prinsipnya merupakan perangkat yang didasarkan pada konvensi sosial. Dalam penggunaan sehari-hari, bahasa tidak dapat dilepaskan dari sistem pemaknaan tertentu yang dipakai untuk menunjukkan suatu realitas. Menurut Saussure, bahasa (langue) adalah khasanah tanda (lexicon of signification) (Sturrock, 2007:6). Bahasa bukanlah sekadar kata-kata, melainkan juga semesta tanda. Tanda membentuk kode-kode yang melestarikan fungsi bahasa (Sturrock, 2007:7). Jadi, semiotika merupakan perluasan jangkauan (ekstensi) dari terma linguistik yang memandang bahasa adalah sistem tanda (Audifax, 2007:21). Karya sastra merupakan sistem semiotik tingkat kedua yang menggunakan bahasa sebagai bahan semiotik tingkat pertama (Pradopo, 2003:108). Disebut semiotik tingkat kedua atau jenis bahasa sekunder (Segers, 2000:14), karena karya sastra dengan petandanya seperti, metafora, konotasi, dan ciri-ciri penafsiran ganda lainnya bukanlah bahasa biasa, melainkan sistem komunikasi yang telah sarat dengan pesan kebudayaan (Ratna, 2004:111).
Berkenaan dengan pendapat tersebut maka analisis terhadap bahasa sekunder, yaitu konotasi dan metafor merupakan landasan utama untuk menangkap pesan sebuah karya sastra. Konotasi diartikan tautan pikiran yang menimbulkan nilai rasa pada seseorang ketika berhadapan dengan sebuah kata; makna yang ditambahkan pada makna denotasi (KBBI, 2005:588). Sementara itu, metafor adalah pemakaian kata atau kelompok kata bukan dengan arti yang sebenarnya, melainkan sebagai lukisan yang berdasarkan persamaan atau perbandingan (KBBI, 2005:739). Metafora adalah permainan bahasa (language game) yang tidak sungguh-sungguh memaksudkan apa yang jelas-jelas dikatakannya. Makna sebuah metafor mengatasi dirinya sendiri dan membimbing ke sesuatu yang justru tidak dikatakannya (Sugiharto, 1995:106). Dengan demikian, konotasi dan metafor merupakan jenis bahasa yang tidak bermakna tunggal. Hal ini ditegaskan oleh Derrida (Al-Fayyadl, 2005:88) bahwa makna selalu bersifat differance, seperti hantu yang bermain antara ada dan tiada; keberadaannya adalah ketiadaannya, dan ketiadaannya adalah keberadaannya. Difference membayangi setiap teks dengan kemungkinan-kemungkinan lain yang menawarkan kejutan, tidak terduga, dan cukup membuat cemas karena seolah-olah teks kehilangan makna.
Berkaitan dengan pembacaan terhadap karya fiksi, Althuser (dalam Storey, 2007:37) menawarkan metode simptomatik atau dekonstruksi teks. Metode simptomatik berarti menguak mekanisme problematika, yaitu perubahan, distrosi, kebisuan, dan ketakhadiran (simptom-simptom) dan dengan begitu membangun kondisi historis eksistensi (Storey, 2007:37). Kemudian, menurut Johnson bahwa dekonstruksi adalah strategi mengurai teks. Istilah “de-konstruksi” sebenarnya lebih dekat dengan etimologi kata ‘analisis’ yang berarti mengurai, melepaskan, membuka (Al-Fayyadl, 2005:79; Audifax, 2007:46). Kedekatan etimologis ini menunjukkan bahwa dekonstruksi lebih dimaksudkan sebagai strategi mengurai struktur dan medan pemaknaan teks, ketimbang operasi untuk merusak teks itu sendiri. Dengan demikian, apabila sebuah teks didekonstruksi maka bukanlah makna yang dihancurkan. Akan tetapi, klaim bahwa suatu bentuk pemaknaan teks lebih benar daripada pemaknaan lain yang berbeda – inilah yang didekonstruksi (Al-Fayyadl, 2005:80). Intinya, dekonstruksi menolak pandangan tentang ketunggalan makna dalam sebuah teks dan sebaliknya, mejunjung tinggi diferensitas.
Metode pembacaan ini telah diterapkan pada teks-teks fiksi oleh Pierre Macherey dalam buku A Theory of Literary Production (1978). Macherey dengan tegas menolak adanya istilah “kesalahan interpretatif”, karena tidak ada teks yang memiliki makna tunggal. Bagi Macherey, teks bukanlah teka-teki yang menyembunyikan makna, tetapi suatu konstruksi dari berbagai makna (Storey, 2007:38). Hal ini sejalan dengan ikhtiar Derrida yang mempertanyakan kembali klaim filsafat bahwa sebuah teks memiliki makna yang univokal dan tidak menyertakan sedikitpun ambiguitas di dalamnya. Dekonstruksi menggugat modus pemaknaan yang terpusat dan cenderung bulat, seperti yang mungkin diinginkan oleh teks. Dalam dekonstruksi, makna lebih dialami sebagai proses dari penafsiran dan bukan hasil yang sudah jadi dan dapat dinikmati begitu saja. Makna ada di balik layar, tetapi wujudnya bukan kehadiran, melainkan proses menjadi yang terus-menerus menunda pengertian yang dirasakan memadai dan menggantikannya dengan penanda-penanda baru yang lebih terbuka dan ambigu (Al-Fayyadl, 2005:82). Berpijak pada kerangka teoretis tersebut maka Sukreni Gadis Bali dipandang sebagai sebuah narasi yang dalam dirinya sendiri mengandung begitu banyak problematika yang layak ditelusuri dan diuraikan kebenarannya, termasuk di dalamnya persoalan identitas Bali.

4.     Identitas Bali dalam Sukreni Gadis Bali
Kebenaran yang hendak ditelusuri dalam novel Sukreni Gadis Bali adalah konstruksi identitas Bali di masa kolonial. Dalam dunia sosial, identitas menjadi kebutuhan yang teramat penting bagi individu. Melalui identitas orang bisa membedakan dirinya dengan yang lain, sekaligus memberi petanda kediriannya bagi orang lain. Bagi filsuf eksistensialis, identitas mulai muncul justru ketika manusia mulai mempertanyakan dirinya (Dagun, 1993). Ketika manusia bertanya akan dirinya, di situlah sebenarnya manusia telah berupaya membedakan dirinya dengan yang lain. Melalui identitas orang bisa membedakan “aku”, “kita”, “dia”, dan “mereka”, penting bagi kehidupan masyarakat yang plural.
Walaupun demikian, identitas dalam ranah kebudayaan merupakan sesuatu yang unik, khas, dan kompleks. Identitas budaya tidak datang sendiri, tetapi dibentuk atau dibangun sebagai buah interaksi dinamis antara konteks historis dan construct. Oleh karena itu, identitas bersifat situasional dan bisa berubah, disusun dalam hubungannya dengan sejumlah others (Manuati, 2004:12). Identitas sebuah etnik dapat ditentukan oleh faktor material budaya, seperti makanan, pakaian, perumahan, peralatan, dan juga faktor nonmaterial seperti bahasa, adat istiadat, kepercayaan, cara berpikir, sikap, dan lain-lain (Liliweri, 2005:48). Intinya, identitas itu adalah sesuatu yang cair (fluid) dan dapat dipertukarkan melalui konstruksi dan rekonstruksi sosial sehingga tidak ada identitas yang tunggal.
Dalam novel Sukreni Gadis Bali, wacana identitas bergulat, muncul dan tenggelam dalam keseluruhan narasi yang dibangun melalui interaksi antara teks dan pembaca. Malahan, wacana ini tampak begitu samar, sesekali menampakkan diri dalam narasi, tetapi pada saat yang lain berada di luar narasi. Hal mana seperti dilambangkan oleh Derrida sebagai “lampu sorot”, maka struktur besar naratif adalah lampu sorot itu (Al-Fayyadl, 2005:83). Ia memberi kejelasan cerita dari awal hingga akhir. Sebaliknya, wacana identitas menjadi sisi lain yang terkadang tercerahi oleh lampu sorot itu, namun seringkali menempati sisi-sisi gelap di sampingnya. Wacana ini seolah-olah ada dalam ketiadannya. Ia akan muncul, jika dan hanya jika, pembaca mampu membongkar dan menemukan keberadaannya.
Penelusuran mengenai identitas Bali dalam novel Sukreni Gadis Bali berpijak pada pendapat Vikers (1989) dan Picard (1997) tentang peran kolonial dalam membangun citra Bali masa kini. Pencitraan Bali sebagai pulau yang indah, eksotis, dan religius, ternyata hanya wacana politik kolonial untuk menabur simpati masyarakat Bali dan menanamkan hegemoni kekuasaannya. Sebaliknya, identitas karakter kekerasan orang Bali sebagai “kebenaran lain”, ternyata tertutupi dan terakumulasi dalam kesadaran orang Bali yang siap membuncah kapan saja. Bukan tidak mungkin, meningkatnya intensitas konflik adat di Bali belakangan ini menjadi gambaran nyata betapa karakter kekerasan merupakan bagian dari kultur masyarakat Bali. Melalui cara kerja dekonstruksi dapat diuraikan identitas Bali dalam novel Sukreni Gadis Bali, seperti diuraikan dalam subbab berikut ini.

4.1  Konstruksi Identitas
Problematika identitas dalam novel Sukreni Gadis Bali mulai muncul dengan perubahan nama “Ni Widi” menjadi “Sukreni”. Dikatakan demikian karena “Sukreni” telah menghilangkan identitas “Ni Widi”, walaupun kedua identitas ini menunjuk pada subjek yang sama. Akan tetapi, identitas subjek ini sudah dikonstruksi secara berbeda dalam dunia sosialnya. Ni Widi menunjuk pada identitas seorang anak yang mempunyai ibu, sebaliknya Sukreni adalah identitas anak yang tanpa ibu. Sukreni harus menerima takdir sosialnya, tumbuh dan berkembang tanpa kehadiran seorang ibu. “Sukreni Kecil” menjadi simbol bahwa manusia yang tanpa kesadaran identitas (unconsciousness identity), akan menerima begitu saja identitasnya dipermainkan oleh aktor lain.
Adapun aktor dibalik pergantian identitas Ni Widi adalah ayahnya sendiri. Tujuannya agar Ni Widi tidak bisa lagi mengenali dan dikenali ibunya, yaitu Men Widi. Diceritakan bahwa Men Widi telah melarikan diri dari rumah karena mengikuti laki-laki lain yang bukan suaminya. Singkatnya, Men Widi telah tega meninggalkan suami dan anaknya demi laki-laki selingkuhannya. Apabila cerita ini dipandang sebagai potret kehidupan masyarakat Bali, maka gejala perselingkuhan sudah terjadi pada masa itu. Secara moral, seorang ibu yang berselingkuh, serta berani meninggalkan anak dan keluarganya dicap sebagai ibu yang jahat sehingga tidak layak lagi untuk dikenali oleh keluarga, bahkan anak kandungnya sendiri. Ibu seperti ini harus benar-benar dihilangkan dari memori keluarga karena dianggap sebagai aib. Dari sini dapat dipahami bahwa Pan Widi secara cerdas memainkan nilai-nilai moral untuk mengkonstruksi identitas putrinya. Dengan demikian, Pan Widi adalah orang yang sadar identitas karena dengan memainkan identitas Ni Widi, anak ini benar-benar tidak dapat dikenali oleh ibunya. Terbukti bahwa ketika Sukreni bertemu dengan Men Negara keduanya tidak saling mengenal.  
Dalam perjalanan hidupnya Men Widi telah berganti identitas menjadi Men Negara. Pergantian identitas ini merupakan hasil konstruksi sosial dan budaya masyarakat Bali karena identitas Men Negara diterima setelah ia memiliki anak bernama I Negara. Dalam sistem sosial masyarakat Bali sudah lumrah terjadi bahwa untuk memanggil nama seorang laki-laki atau perempuan yang sudah beranak, cukup dengan melekatkan nama panggilan anak pertama di belakang kata “Pan” (ayah), atau “Men” (ibu). Walaupun Men Negara sudah memiliki anak pertama dari suami sebelumnya, namun ia tidak lagi memakai identitas itu. Ini menegaskan bahwa identitas merupakan sesuatu yang cair, terbangun melalui akumulasi historis yang berhubungan dengan berbagai konstruksi sosial. Lihat saja cerita Men Negara, dulu dia adalah Men Widi, kemudian menjadi Men Negara, dan di akhir cerita menjadi anak buduh (orang gila).
Berbeda dengan Sukreni kecil yang harus menerima identitasnya dipermainkan oleh aktor lain (ayahnya) dan Men Negara yang identitasnya dikonstruksi oleh sistem sosial, cerita berikutnya menunjukkan Sukreni yang semakin sadar identitas. Hal ini dapat disimak dari pergantian nama Sukreni menjadi Ni Made Sari, setelah ia diperkosa oleh Gusti Made Tusan. Dalam segmen ini, seolah-olah Sukreni ingin menghilangkan aib yang menimpa dirinya dengan membangun identitas baru yang bebas dari predikat moral. Artinya, dengan menjadi Ni Made Sari, Sukreni tetap menjadi “gadis suci” yang tidak pernah membawa benih pemerkosa dalam dirinya. Kalaupun sekarang ada wanita yang hamil tanpa suami maka itu bukanlah Sukreni, tetapi Ni Made Sari.
Uraian di atas menunjukkan model konstruksi identitas yang terjadi pada masyarakat Bali. Proses konstruksi ini relatif kompleks karena melibatkan peran-peran individu, baik sebagai aktor maupun diri, dan juga sistem sosial. Pergantian nama Ni Widi menjadi Sukreni oleh ayahnya, menunjukkan bahwa aktor memainkan peranan otoritas dan dominasi dalam membangun identitas yang sah (legitimized identity) (Castells, dalam Sutrisno dan Putranto, 2004:97). Dalam hal ini, otoritas seorang ayah untuk menentukan identitas sah bagi anaknya merupakan sesuatu yang berterima dengan norma dan pranata sosial masyarakat Bali. Selanjutnya, identitas yang melekat pada Men Negara dapat dipandang sebagai model konstruksi identitas dalam sistem sosial masyarakat Bali. Identitas Men Negara merupakan wujud fakta sosial yang harus diterima ketika ia menjadi ibu dari I Negara, tanpa tersisa ruang baginya untuk menjadi yang lain. Berbeda dengan kedua model di atas, Sukreni yang merubah namanya menjadi Ni Made Sari menjadi bukti betapa individu dapat mengkonstruksi identitasnya sendiri. Hal ini sejalan dengan pendapat Giddens (1991:75) bahwa individu berusaha mengkonstruksi suatu narasi identitas koheren, di mana “diri” membentuk suatu lintasan perkembangan diri masa lalu sampai masa depan yang dapat diperkirakan. Dalam hal ini, Sukreni sadar diri bahwa masa lalunya yang kelam tidak akan diterima masyarakat, baik secara moral maupun sosial, walaupun dia hanyalah korban. Oleh karena itu, jejak-jejak narasi tentang Sukreni sebagai korban perkosaan dihilangkan dengan cara membangun narasi baru tentang Ni Made Sari, yakni wanita malang yang hamil tanpa suami.

4.2  Hegemoni Budaya Patriarki
Masyarakat Bali menganut sistem kekerabatan patrilineal dan bersamaan dengan itu, juga kekuasaan laki-laki atas perempuan tampak dominan. Ideologi patriarki adalah ideologi yang menekankan bahwa laki-laki lebih tinggi daripada perempuan, bahwa perempuan harus dikontrol oleh laki-laki, dan bahwa perempuan adalah milik laki-laki (Bashin, 1994:4). Sementara itu, Adian (2006) menyatakan bahwa ideologi patriarki adalah suatu ide yang menempatkan pria pada posisi dominan dan wanita pada posisi subordinat. Terkait erat dengan ideologi patriarki ini adalah ideologi gender dan ideologi seks. Hegemoni dan dominasi budaya patriarki dalam masyarakat Bali inilah yang muncul dan tenggelam dalam belantara narasi Sukreni Gadis Bali.
Hal ini dapat disimak dari cerita Ni Negari, gadis cantik putri Men Negara. Ia telah dijadikan alat ibunya untuk memikat para pelanggan dengan kecantikan dan kelembutannya. Malahan dalam novel ini diceritakan bahwa hampir seluruh pelanggan Men Negara adalah kaum laki-laki. Setidak-tidaknya, terdapat dua problematika yang dapat dibaca dari teks sosial ini, yaitu tidak diceritakan adanya perempuan yang gemar datang ke warung Men Negara dan ketertarikan laki-laki kepada Ni Negari. Dengan perspektif hegemoni ideologi patriarki kedua masalah ini dapat dijelaskan, seperti berikut.
Ideologi patriarki cenderung menempatkan dominasi laki-laki atas perempuan dalam bidang sosial ekonomi. Ini terbukti bahwa pelanggan warung Men Negara adalah kaum laki-laki yang terdiri atas berbagai profesi, seperti para pekerja kebun kelapa, para polisi, dan tokoh masyarakat. Sementara itu, kaum perempuan lebih banyak memainkan peran-peran domestik. Dalam perbedaan peran inilah, budaya makan dan minum di warung cenderung menjadi milik laki-laki karena merekalah yang memiliki modal ekonomi untuk itu. Budaya ini diperkuat dengan stigma moral yang cenderung menabukan perempuan untuk nongkrong di warung. Ini menegaskan pandangan Bashin (1994:27) bahwa agama (juga moralitas) memainkan peran yang penting dalam menciptakan dan mengabadikan ideologi patriarki.
Pada sisi yang lain, Men Negara menjadi simbol perempuan “lain” (the others) yang berbeda dari keumuman perempuan. Ia menjadi perempuan yang mengambil peran di sektor publik dengan mencari nafkah melalui warungnya. Malahan, ia berhasil memainkan hegemoni budaya patriarki ini dengan memanfaatkan modal tubuh anak perempuannya untuk meraup keuntungan material. Dalam hal ini, ideologi patriarki menjadi arena permainan modal budaya dan modal ekonomi dalam kerangka kapitalisme yang akut. Budaya patriarki cenderung mendorong hasrat laki-laki untuk menjadikan tubuh perempuan sebagai objek sensual dan seksualnya. Seperti dinyatakan Piliang (2004:210) bahwa tubuh wanita dalam wacana kapitalisme memproduksi nilai guna (use value), nilai tukar (exchange value), dan nilai tanda (sign value) sehingga menjadi bagian sentral dari politik kapitalisme, dengan segala prinsip dan hukum-hukumnya. Dalam konteks ini, tubuh Ni Negari berhasil dimanfaatkan oleh Men Negara menjadi modal ekonomi untuk mewujudkan kepentingannya mendapatkan materi yang melimpah. Demikian halnya ketika Men Negara mendapatkan Sukreni sebagai komoditas baru yang layak jual. Apalagi kehadiran Sukreni memang telah menarik dan membangkitkan hasrat kelelakian Gusti Made Tusan untuk memilikinya.
Merujuk pada penjelasan di atas dapat dipahami bahwa hegemoni budaya patriarki telah meminggirkan peran-peran perempuan Bali di ranah publik. Novel ini tampaknya ingin mengungkap ideologi tersebut, walaupun juga menyiratkan adanya kekhawatiran munculnya akibat-akibat moral yang tidak menyenangkan. Pada satu sisi, wacana pencerahan dibangun melalui penyadaran terjadinya dominasi dan hegemoni budaya patriarki terhadap perempuan dalam kebudayaan Bali. Namun sebaliknya, peran perempuan di ruang publik tidak seluruhnya berterima dengan norma moral dan sosial masyarakat Bali dalam budaya patriarki yang akut. Pesan yang dapat ditangkap dari wacana tersebut bahwa diperlukan kebijaksanaan dan kesadaran dari perempuan Bali dalam mempertimbangkan pilihan-pilihan peran yang dapat dilakukan di ruang publik sehingga tidak menjadikan dirinya komoditas bagi kaum laki-laki.
      
4.3  Pluralitas Agama
Novel Sukreni Gadis Bali menggambarkan pluralitas agama di Bali pada masa itu. Selain agama Hindu sebagai mayoritas, juga terdapat agama Islam dan Kristen. Keberadaan agama Islam dapat dilihat dari orang yang pertama kali menampung Men Negara dalam pelariannya bersama laki-laki lain adalah seorang Haji di sebelah barat Singaraja. Sementara itu, keberadaan agama Kristen ditunjukkan dengan kasus waris yang terjadi di desa Sukreni. Dalam cerita tersebut dijelaskan bahwa persoalan waris bagi orang Hindu yang sudah masuk Kristen menjadi salah satu masalah dalam pluralitas agama di Bali. Akan tetapi, penjelasan Ida Gde Suamba dalam sebuah percakapan dengan I Made Aseman menunjukkan sudah munculnya pemikiran baru dari generasi muda Hindu yang mengarah pada terbentuknya masyarakat multikultural.   
Walaupun demikian, salah satu segmen penting dari novel Sukreni Gadis Bali adalah identitas agama Hindu Bali. Wacana ini muncul dalam dialog Ida Gde Suamba dengan Chaterjee, seorang ilmuwan dari India. Identitas Hindu Bali yang dijelaskan antara lain, konsep tri sadhaka (Siwa Siddhanta, Buddha, dan Sengguhu), Catur Warna, dan persamaan antarwangsa. Dikatakan bahwa Siwa Siddhanta adalah yang dominan, kemudian Buddha atau Sogata yang berbeda dengan Buddha Gautama (Mahayana), serta pemuja Wisnu yang pendetanya adalah orang jaba bernama Sengguhu. Ida Gde Suamba juga menjelaskan bahwa catur warna (catur wangsa) di Bali perbedaannya tidak setegas yang terjadi di India. Malahan, sudah mengarah terjadinya pembauran antarwangsa dalam sebuah prosesi upacara. Selain identitas agama Hindu Bali tersebut, novel ini juga menjelaskan hubungan adat dengan agama Hindu. Terutama dalam persoalan hukum waris, antara adat dan agama tampaknya sudah menjadi satu kesatuan struktural di Bali sehingga agama menentukan kedudukan seseorang dalam sistem adat. Misalnya, dijelaskan dalam kasus tersebut bahwa perkara waris terjadi karena anak yang semestinya menjadi ahli waris sudah pindah ke agama Kristen.   
Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa identitas agama Hindu di Bali dikonstruksi oleh berbagai macam sekte yang ada di Bali. Selain itu, juga sistem adat turut mengonstruksi sistem keagamaan di Bali sehingga antara adat dan agama merupakan dua fenomena dalam satu realitas. Penjelasan tentang agama Hindu Bali dalam novel tersebut tampaknya lebih mengedepankan pendekatan emik, daripada etik. Pendekatan ini berusaha memotret identitas agama Hindu di Bali sesuai dengan realitas yang muncul di masyarakat secara apa adanya. Selain itu, juga cerita ini menunjukkan cara orang Bali membangun citra agama Hindu Bali kepada orang lain melalui perbandingan yang rasional.

4.4  Realitas Kekerasan di Bali
Sukreni Gadis Bali merupakan karya sastra tragedi dalam kehidupan masyarakat Bali. Hal ini dapat dipahami dari inti cerita yang menguraikan kisah tragis Sukreni Gadis Bali. Menikmati masa kecil tanpa seorang ibu, dijual oleh ibunya sendiri, diperkosa, dan memiliki anak yang berandalan mewarnai kehidupan Sukreni. Selain itu, juga kronik kekerasan mewarnai seluruh rangkaian cerita, baik simbolik maupun fisik. Oleh karena itu, sisi kekerasan orang Bali merupakan realitas yang hendak diungkap dalam novel ini.
Kekerasan simbolik telah dialami Sukreni sejak masa kecilnya. Ia sama sekali tidak diberi ruang dan kesempatan oleh ayahnya untuk mengenali siapa ibunya. Simbol bahwa dalam masyarakat patriarki ayah memegang kendali utama dalam pengambilan keputusan keluarga. Hegemoni dan dominasi ayah telah menentukan takdir sosial Sukreni sehingga harus menerima status sebagai anak tanpa ibu. Tanpa disadari, kekerasan simbolis ini menorehkan warna kelam dalam kehidupan Sukreni kemudian. Andai saja Sukreni diberi kebebasan untuk mengenali ibunya, sejahat apapun sang ibu itu, mungkin pertemuan Sukreni dengan Men Negara akan menjadi pertemuan yang membahagiakan. Bukan sebaliknya, malah menjadi sebab derita yang dialami Sukreni. 
Bentuk kekerasan simbolik lainnya, juga dialami Ni Negari dan Sukreni dalam permainan kapitalisme Men Negara. Baik Ni Negari maupun Sukreni sama-sama menjadi objek pemuasan hasrat materialis Men Negara untuk mendapatkan penghasilan yang melimpah. Tubuh mereka menjadi komoditas untuk menarik hasrat laki-laki yang mengunjungi warungnya. Hal ini berterima dengan budaya patriarki yang memandang wanita sebagai subordinat sehingga kekerasan terhadap perempuan mendapatkan legitimasinya. Kekerasan simbolik ini tampak nyata dialami Ni Negari misalnya, dipaksa harus tetap tersenyum dan ramah, walaupun menerima perlakuan kurang menyenangkan dari kaum laki-laki yang mengunjungi warungnya. Malahan, juga dia harus memberikan pelayanan yang istimewa kepada Gusti Made Tusan, yakni orang yang sama sekali tidak dicintainya. Akibat lebih buruk, justru diterima Sukreni dengan terjadinya pemerkosaan yang menimpa dirinya.
Hal lain yang tidak kalah menarik dicermati dari novel ini adalah karakter kekerasan yang tertanam dalam diri orang Bali. Persaingan warung antara I Made Aseman dan Men Negara menjadi bukti betapa orang Bali memandang setiap kehadiran orang lain di ranah yang sama merupakan ancaman bagi eksistensi. Ini memupuk rasa dendam, kebencian, dan berujung pada munculnya tindakan kekerasan untuk menghilangkan eksistensi yang lain dengan segala cara. Gejala ini dapat direfleksikan dalam konteks kekinian bahwa sifat-sifat iri hati dan dengki mewarnai kehidupan antar-pedagang lokal Bali dalam kerangka persaingan yang tidak sehat. Dalam wacana sehari-hari orang Bali, kerapkali terdengar ungkapan “pasti ia bisa ngeleak” (pasti dia bisa ilmu hitam/pangleakan), apabila melihat warung seseorang ramai dikunjungi pelanggan.
Puncak dari karakter kekerasan orang Bali semakin tergambar dari cerita tentang pencurian, perampokan, dan premanisme yang diwakili oleh tokoh Gustam. Kondisi Bali yang kacau secamam ini merupakan realitas sosial yang ditampilkan oleh Panji Tisna dalam novel ini. Boleh jadi, realitas inilah yang mendasari pernyataan Vikers (1989) bahwa Bali adalah pulau pencuri dan pembunuh. Ruang kritik sesungguhnya masih terbuka terhadap pernyataan ini karena mewakili pemikiran kolonial. Semangat puputan yang dimiliki masyarakat Bali mungkin menjadi bentuk perlawanan yang menakutkan bagi pemerintah kolonial Belanda sehingga ia mengatakan orang Bali gemar berperang. Akan tetapi, juga tidak tertutup kemungkinan bahwa ini merupakan realitas yang nyata terjadi pada masa itu. Terlepas dari perbedaan kedua pandangan ini, jelas bahwa orang Bali memiliki karakter yang keras dan berani mati demi harga diri dan kehormatannya.
     
5.     Penutup
Berdasarkan uraian tersebut di atas, ternyata novel Sukreni Gadis Bali mengungkap begitu banyak problematika identitas Bali di masa kolonial. Identitas ini timbul dan tenggelam dalam keseluruhan narasi dan membangun pluralitas makna yang terpendar dari lampu sorot Derridean. Dengan mengungkap narasi-narasi kecil dari keseluruhan cerita ditemukan bahwa (a) identitas orang Bali merupakan hasil konstruksi yang bersifat cair (fluid); (b) identitas Bali ditandai dengan hegemoni dan dominasi budaya patriarki; (c) identitas Hindu Bali merupakan sesuatu yang unik dan khas; serta (d) orang Bali mewarisi karakter kekerasan, baik simbolik maupun fisik. Temuan ini tidak hanya dimaksudkan untuk membongkar makna dari novel Sukreni Gadis Bali, tetapi lebih jauh dapat dijadikan refleksi dalam menata kehidupan kekinian. Dengan demikian, Sukreni Gadis Bali menjadi wacana pencerahan bagi orang Bali masa kini untuk menata identitasnya yang tidak pernah final.

6.     Daftar Kepustakaan

Adian, Donny Gahral. 2006. Percik Pemikiran Kontemporer Sebuah Pengantar Komprehensif. Yogyakarta: Jalasutra.

Al-Fayyadl, Muhammad. 2005. Derrida. Yogyakarta: LKiS Pelangi Aksara.

Audifax. 2007. Semiotika Tuhan: Tafsir Atas Pembacaan Manusia Terhadap Tuhan. Yogyakarta: Pinus Book Publisher.

Bashin, K. 1994. Menggugat Patriarki Pengantar Tentang Persoalan Dominasi terhadap Kaum Perempuan. Yogyakarta: Bentang Budaya.

Barker, Chris. 2000. Culture Studies Teori dan Praktek. Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Cavallaro, Dani. 2004. Critical and Cultural Theory: Teori Kritis dan Teori Budaya. Yogyakarta: Niagara.

Couteau, Jean. 1999. Museum Puri Lukisan. Ubud: Yayasan Ratna Wartha.

Dagun, M. 1990. Filsafat Eksistensialisme. Bandung: Mizan

Faruk. 2003. Pengantar Sosiologi Sastra dari Strukturalisme Genetik sampai Post-Modernisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Giddens, Anthony. 1991. Modernity and Self-Identity. Cambridge: Polity Press,

Liliweri, Prof. Dr. Alo, M.S. 2005. Prasangka dan Konflik, Komunikasi Lintas Budaya Masyarakat Multikultur. Yogyakarta: LkiS.

Mantra, Ida Bagus. 1994. Landasan Kebudayaan Bali. Denpasar: Yayasan Dharma Sastra.

Maunati, Yekti. 2004. Identitas Dayak, Komodifikasi dan Politik Kebudayaan. Yogyakarta: LkiS.

Picard, Michel. 1997. “Cultural Tourism, Nation Building, and Regional Culture: The Making of an Identity”, in Tourism, Etnichity, and State in Asian and Pasific Societies. Michel Picard & Robert E. Wood (eds), Honolulu: University of Hawaii Press.

Piliang, Yasraf Amir. 1998. Dunia yang Dilipat Realitas Menjelang Milenium Ketiga dan Matinya Posmodernisme. Bandung: Mizan.

Pradopo, Rachmad Joko. 2003. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Segers. Rien T. 2000. Evolusi Teks Sastra. Yogyakarta: Adicitra.

Storey, John. 2007. Cultural Studies dan Kajian Budaya Pop. Yogyakarta: Jalasutra.

Stturock, John. 2007. Dari Strukturalisme ke Poststrukturalisme. Yogyakarta: LKiS Pelangi Aksara.

Sugiharto, I. Bambang. 1996. Postmodernisme Tantangan Bagi Filsafat. Yogyakarta: Kanisius.

Sutrisno, Mudji & Hendar Putranto. 2004. Hermeneutika Pascakolonial. Yogyakarta: Kanisius.

Tim Penyusun. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: DepdiknasBalai Pustaka.

Tisna, A.A. Pandji. 1964. Sukreni Gadis Bali. Jakarta: Balai Pustaka.

Vikers, Adrian. 1989. Bali a Paradise Created. Berkeley-Singapore: Periplus Edition.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar