TATTWA
AGAMA HINDU
Oleh
Dr. Nanang Sutrisno, S.Ag, M.Si
(1) Pengertian Tattwa
Dalam buku Upadesa (Sudharta & Puniatmaja, 2001:5) dijelaskan bahwa tiga
kerangka agama Hindu adalah satu kesatuan. Diibaratkan tattwa itu sebagai kepala, susila
itu sebagai hati, dan acara itu
sebagai tangan dan kaki agama. Tattwa
berasal dari kata “tat” berarti hakikat, kebenaran, kenyataan, dan “twa”
berarti yang bersifat (Sura, dkk. 2002:116). Jadi, tattwa berarti yang bersifat kebenaran atau kebenaran mutlak. Susila (su artinya baik, dan sila berarti
tingkah laku) tingkah laku yang baik (Sura, dkk. 2002:110). Kemudian, acara diartikan sebagai adat atau
praktik pelaksanaan agama Hindu. Dalam acara
terkandung upacara yang berarti
rangkaian tindakan dalam kegiatan ritual, dan upakara berarti sarana kebaktian atau ritual (Sura, dkk. 2002:127).
Ketiga kerangka inilah yang diimplementasikan umat Hindu dalam kehidupan
beragama, baik secara individu maupun kolektif.
Tattwa berasal dari kata “tat” berarti
hakikat, kebenaran, kenyataan, dan “twa” berarti yang bersifat (Sura, dkk.
2002:116). Jadi, tattwa berarti yang
bersifat kebenaran atau kebenaran mutlak. Apabila darsana
merupakan pandangan tentang kebenaran itu, maka tattwa adalah kebenaran itu sendiri. Dalam berbagai lontar
berbahasa Jawa Kuna, istilah tattwa menunjuk
pada prinsip-prinsip kebenaran tertinggi. Siwatattwa
berbicara mengenai hakikat Siwa, Mayatattwa
berbicara mengenai hakikat maya, dan
seterusnya. Dalam tattwa inilah
terkandung dogma agama Hindu yang harus dipercaya tanpa perlu dipertanyakan
lagi. Misalnya, Dewa Wisnu, warnanya hitam, senjatanya Cakra, letaknya di
utara, aksara sucinya “I” adalah kebenaran yang tidak dapat dibantah. Tattwa tidak memberikan ruang bagi
kritik rasional filsafat tentang kebenaran itu.
Tattwa agama Hindu di Indonesia merupakan hasil konstruksi dari ajaran filosofis yang terkandung dalam
kitab Weda, Upanisad, Sad Darsana, Tantrayana,
Shiwa Siddhanta, ke dalam ajaran Siwatattwa.
Konsep Nirguna Brahman dalam
Upanisad dan Adwaita Wedanta ditransformasikan menjadi konsep Paramasiwa yang juga bersifat nirguna. Paramasiwa kemudian beremanasi
menjadi Sadasiwa yang memiliki empat
kemahakuasaan - Cadu Shakti, dan
dalam penciptaan berevolusi kembali menjadi Siwa.
Evolusi penciptaan dalam Siwatattwa mengadopsi
prinsip-prinsip Samkhya, sedangkan
involusinya mengadopsi ajaran Yogasutra
Patanjali. Konsep Shakti yang
menjadi inti ajaran Tantrayana juga diadopsi dalam Siwatattwa. Dengan demikian, Siwatattwa merupakan tattwa yang dianut umat Hindu di
Indonesia dan khususnya di Bali.
Ajaran Siwatattwa dijabarkan dalam konsep Panca Sraddha, yaitu lima sistem kepercayaan agama Hindu yang lebih tepat dikategorikan sebagai tattwa, daripada teologi ataupun darsana. Dalam hal ini, Panca Sraddha tidak hanya dimaksud
dengan konsep-konsep, melainkan dogma-dogma
ketuhanan (Brahman), jiwa (Atman), hukum Karmaphala,
Punarbhawa, dan Moksa sebagai
bentuk keimanan umat Hindu di Indonesia. Dogma ini dipercaya, diimani, dan
dijadikan pedoman perilaku keagamaan umat Hindu. Sederhananya, seorang disebut
umat Hindu bila percaya adanyan Tuhan, adanya atman, adanya karmaphala, adanya
punarbhawa (reinkarnasi), dan adanya moksa. Pandangan teologi Hindu (Brahmawidya) dan darsana selanjutnya berfungsi untuk memperkuat keimanan tersebut.
(2) Panca Sraddha
Panca Sraddha berasal dari Bahasa Sanskerta, panca berarti lima, dan sraddha berarti kepercayaan atau
keyakinan. Jadi, Panca Sraddha berarti
lima kepercayaan dalam agama Hindu (Sura, dkk:2002:78). Pengertian ini sejalan
dengan pendapat Zimmer (2003:49) bahwa sraddha
adalah sikap percaya dan ketenangan pikiran; sraddha menuntut dibuangnya setiap pikiran yang independen dan
kritis; yang dibutuhkan adalah sikap takzim (tunduk), dan keinginan berapi-api
untuk memperoleh kebenaran. Pada bab sebelumnya ditegaskan bahwa sraddha lebih tepat dijelaskan dalam
terminologi tattwa, dibandingkan
teologi ataupun darsana. Artinya,
rumusan kelima sraddha ini adalah
kebenaran mutlak (tattwa) yang harus
dipercaya umat Hindu sebagai landasan imannya. Lima kepercayaan tersebut adalah
sebagai berikut.
(1) Percaya adanya Brahman.
(2) Percaya adanya Atman.
(3) Percaya adanya Karmaphala.
(4) Percaya adanya Punarbhawa
atau Samsara.
(5) Percaya adanya Moksa.
Sraddha memiliki kedudukan yang penting dalam
agama Hindu. Hal ini dijelaskan dalam kitab Yajur
Weda XIX.30 “Sraddhaya satyam apnoti,
sraddham satye prajapatih” (‘Dengan sraddha
orang akan mencapai Tuhan (Prajapati),
Prajapati menetapkan dengan sraddha menuju
kebenaran (satya)’). Sloka ini
menegaskan bahwa sraddha adalah dasar
sekaligus jalan untuk mencapai Tuhan karena sraddha
akan menuntun manusia menuju satya.
Dalam konteks ini, satya adalah wujud
Brahman yang benar, sebagaimana
terungkap dalam petikan sloka Maitri
Upanisad VI.3, berikut ini:
Dva
vava brahmano rupe murtan ca murtan ca, atha yan murtham asatyam, yad amurtam
tat satyam tad brahman.
Artinya
:
Ada dua kebenaran Brahman,
yang dapat diwujudkan dan tidak dapat diwujudkan, yang dapat diwujudkan
bukanlah yang benar (asatya), tetapi
yang tidak dapat diwujudkan itulah yang benar (satya) itulah Brahman.
Satya adalah kebenaran Brahman yang tanpa wujud (nirguna).
Ini adalah pengetahuan yang tertinggi. Untuk mencapai kebenaran tentang Brahman yang tanpa wujud harus didasari
oleh sraddha (kepercayaan). Sraddha diciptakan oleh Prajapati (Brahman) dan ditulis dalam kitab suci. Bramasutra I.3 menyebutkan “sastrayonitvat” (‘kitab suci adalah alat
pengetahuan yang benar’). Dalam komentarnya, Viresvarananda (2002:74—75)
menyatakan bahwa Brahman adalah
sumber sastra suci Weda. Pengetahuan
yang benar (satya) mengenai Brahman yang tanpa wujud tidak mungkin
dipahami dengan persepsi langsung (pratyaksa).
Brahman juga tidak memiliki
karakteristik yang dapat diperbandingkan sehingga kebenarannya tidak dapat
diungkap melalui penyimpulan atau analogi (upamana).
Oleh karena itu, Brahman hanya dapat
dipahami melalui naskah suci. Kitab suci sendiri mengatakan “Dia yang tidak mengetahui naskah suci, tidak
akan dapat memahami Brahman”. Inilah yang disebut sabda atau agama pramana. Artinya,
sraddha yang bersumber dari kitab
suci adalah ciptaan Brahman, juga
sekaligus menjadi jalan untuk memahami kebenaran Brahman yang tanpa wujud.
Sraddha memiliki kedudukan penting dalam agama
Hindu, yaitu dasar sekaligus jalan untuk mencapai kebenaran tertinggi. Hal ini
juga ditegaskan oleh Rama (2005:52) bahwa kepercayaan dan keberanian adalah dua
tingkatan penting dalam tangga menuju pencerahan. Pengetahuan rohani hanya
dapat diperoleh melalui kepercayaan, yaitu keyakinan tanpa keragu-raguan.
Selanjutnya, berdasarkan kepercayaan ini orang harus memiliki keberanian untuk
menentukan keputusan dan melakukan tindakan. Jadi, antara pengetahuan dan
tindakan sesungguhnya harus berjalan beriringan untuk mencapai kebenaran
tertinggi. Panca Sraddha tidak hanya
menjelaskan tentang segala hal yang harus dipercayai oleh umat Hindu, tetapi
juga mengajarkan pentingnya pelaksanaan tindakan berdasarkan kepercayaan
tersebut. Hubungan antara kepercayaan dan tindakan keagamaan sesungguhnya cukup
mudah diamati dalam kehidupan beragama umat Hindu. Prinsip-prinsip etika dan
ritual yang dilaksanakan umat Hindu seluruhnya dapat dijelaskan berdasarkan Panca Sraddha. Misalnya, umat Hindu
selalu berusaha untuk berbuat baik dalam kehidupan karena percaya pada hukum karmaphala. Umat Hindu melaksanakan
persembahyangan dan persembahan (bhakti)
karena percaya kepada Tuhan, dan seterusnya. Ini menegaskan bahwa terdapat
hubungan yang tidak terpisahkan antara Panca
Sraddha dan tindakan keagamaan umat Hindu.
Brahman dalam Upanisad
dan Wedanta (Uttara Mimamsa) tidak mudah dipahami dengan
nalar manusia. Mengingat pikiran manusia tidak akan sanggup mengungkap rahasia Brahman
sehingga Upanisad berkali-kali menyatakan neti, neti (‘bukan ini’,
‘bukan ini’). Brahman dikatakan nirguna (tanpa sifat), tetapi
juga saguna (dengan sifat), bahkan juga tanpa dan dengan sifat (nirguna-saguna).
Meskipun pembicaraan tentang Brahman begitu misteri, tetapi Agama Hindu
di Indonesia telah menetapkan Siwatattwa sebagai ajaran ketuhanan yang
dianut. Dalam Siwatattwa hakikat tertinggi yang nirguna adalah Paramasiwa
yang beremanasi menjadi aspek Sadasiwa (nirguna-saguna) dan Siwa
(saguna). Bhattara Siwa mewujudkan diri dalam tiga aspek, yaitu
Brahma ketika mencipta, Wishnu ketika memelihara, dan Iswara/Rudra ketiga mempralina
alam semesta dan segala isinya. Jadi, alam semesta dan segala isinya
diciptakan oleh Bhattara Siwa.
Tuhan adalah jiwa semua makhluk
(jivatman). Hakikat atman sama dengan paramatman, tetapi
karena atman bertemu dengan unsur-unsur prakerti maka sang atman
menurun kesadarannya. Akibat belenggu awidya (kegelapan pikiran), Sang Atman
lupa dengan kesejatiannya (lupa wyamoha). Ini menyebabkan
manusia harus terikat dengan hukum karmaphala karena ketidakseimbangan triguna
(sattwam, rajas, tamas). Manusia akhirnya melakukan perbuatan baik (subha
karma) dan buruk (asubha karma), silih berganti dalam
kehidupannya. Setiap perbuatan (karma) melahirkan pahala (phala).
Karma dan phala ini mengikat manusia dan menentukan kehidupnya,
baik sekarang maupun yang akan datang. Pada kehidupan sekarang, karmaphala menciptakan
kegirangan (suka), kesedihan (suka), sakit (lara), dan kematian (pati).
Karmaphala ini juga akan dinikmati dalam kehidupan setelah kematian
sehingga lahir hukum punarbhawa.
Setelah manusia meninggal, ia harus
mempertanggungjawabkan perbuatannya. Dalam Swargarohana Parwa dijelaskan
bahwa roh-roh akan pergi ke sorga (swarga) dan neraka (naraka). Pahala
baik akan menempatkan manusia di sorga, setelah menghabiskan pahala
buruk di neraka (naraka). Dalam Swargarohana Parwa dijelaskan bahwa phala
yang lebih banyak akan dinikmati belakangan karena menentukan kelahiran
berikutnya. Singkatnya, apabila karma buruk lebih banyak, maka roh akan
menikmati sorga lebih dahulu untuk menikmati hasil karma baiknya dan
kemudian mempertanggung-jawabkan di neraka. Bekas-bekas karma dari sorga
dan neraka inilah yang menentukan kualitas kelahiran kembali (punarbhawa)
dalam kehidupan selanjutnya.
Punarbhawa mengikat
setiap manusia yang masih terbelenggu oleh ikatan karma. Kualitas
kelahiran ditentukan oleh karma dalam kehidupan sebelumnya. Kelahiran
dari sorga disebut swargacyuta dan kelahiran dari neraka disebut narakacyuta.
Rantai punarbhawa ini terputus, ketika manusia mencapai moksa. Agama
Hindu memberikan jalan untuk mencapai moksa. Dalam lontar Wrhaspati Tattwa disebutkan sadhana
telu (tiga disiplin spiritual), yaitu jnana bhyudreka (memahami
semua tattwa), trsna dosa ksaya (melepaskan diri dari perbuatan
dosa), dan indriya yoga marga (jalan pengendalian indria). Ketiga
tindakan ini dapat ditempuh manusia dalam kehidupannya sehingga mencapai
keadaan jiwanmukta (jiwa yang terbebas dari belenggu karma).
Keadannya digambarkan sebagai “…santosa heletan kelir sira sakeng Sanghyang
Jagat Karana” (‘…sentosa, ibarat hanya terbatas kelir yang tipis dengan
Bhattara Siwa’) (Arjunawiwaha, I.1). Moksa tercapai jika Sang
Atman telah kembali pada kesadaran murninya (‘matutur ikang atma ri jatinya’)
sehingga menyatu kembali dengan Parama Atman.
(3) Siwatattwa
Terdapat beberapa sumber
penting yang memuat ajaran Siwatattwa di Indonesia
dan hampir seluruhnya ditulis dalam bahasa Jawa Kuna, yaitu Bhuwana Kosa, Wrhaspatitattwa, Ganapati Tattwa, Sanghyang
Mahajnana, Tattwajnana, dan Jnanasiddhanta. Dalam kitab-kitab inilah ditemukan
prinsip-prinsip Siwatattwa. Secara
umum dapat digambarkan bahwa Siwatattwa membicarakan
tentang hakikat Siwa dan emanasinya
dalam alam semesta. Hakikat Siwa yang
dikatakan nirguna, nirguna-saguna, dan
saguna tampaknya mendapat pengaruh
dari Saiwa Siddhanta, Wedanta, dan Tantrayana. Teori evolusi semesta dalam Siwatattwa jelas menunjukkan pengaruh
kuat dari Samkhya, sedangkan
involusinya dipengaruhi oleh Yoga. Selain
itu, juga ditemukan pengaruh Tantrayana dalam konsep tentang Shakti dan Pangider-ider dewata (para dewa penjaga arah mata angin). Ini
menegaskan bahwa Siwatatta merangkum
seluruh pemikiran filsafat dan tattwa Hindu
yang dipandang sesuai dengan alam pikiran Indonesia.
Agama Hindu di Indonesia memuja
Tuhan dengan sebutan Sang Hyang Widhi Wasa. Nama ini berasal dari bahasa Jawa
Kuna, yakni kata “Sang”, “Hyang”, “Widhi”, dan
“Wasa”. Kata Sang berarti yang dimuliakan, misalnya juga ditemukan dalam
kata Sang Arjuna, Sang Krshna, Sang Anoman, dan seterusnya. Kata Hyang adalah
kata dalam bahasa Jawa, Bali, dan daerah lain yang memiliki pengertian seperti
kata ‘dewa’. Seringkali kata ini didahului dengan kata sang sehingga
menjadi Sang Hyang (Sura, dkk., 2002:39). Sementara itu, kata widhi
(wi = sempurna, tuntas; dha = meletakkan/menaruh) takdir,
aturan, hukum, penguasa tertinggi, pencipta,
Tuhan Yang Maha Kuasa. Wasa berarti kuasa (Sura, dkk., 2002:133).
Jadi, Sang Hyang Widhi Wasa berarti Tuhan Yang Maha Kuasa.
Dalam ajaran Siwatattwa, Sang Hyang Widhi Wasa adalah
Bhattara Siwa itu sendiri. Dalam rumusan Panca Sraddha kepercayaan
kepada Sang Hyang Widhi Wasa disebut Widhi Tattwa atau Widhi Sraddha.
Widhi
Tattwa
berarti ajaran mengenai kebenaran Tuhan (Widhi) yang pararel dengan
pengertian Brahmavidya (ilmu tentang hakekat Brahman). Pembahasan Widhi Tattwa mencakup
hakikat Tuhan, bukti adanya Tuhan, dan ke-Esa-an Tuhan. Tujuannya adalah
membangun kepercayaan atau ke-sraddha-an umat Hindu kepada Sang Hyang
Widhi Wasa sehingga dapat meningkatkan rasa bhakti dalam dirinya.
Orang tidak mungkin berbhakti kepada Tuhan, bila tidak percaya dengan ada-Nya, bahkan telah
ditegaskan dalam Yajur Weda XIX.30 bahwa dengan sraddha orang
akan mencapai Tuhan.
Sang Hyang Widhi Wasa dalam Siwatattwa disebut Bhattara Siwa. Hakikat Siwa dapat dipahami dalam
tiga aspek, yaitu Paramasiwa Tattwa,
Sadasiwa Tattwa, dan Siwatma atau
Atmika Tattwa. Hakikat
Paramasiwa adalah kesadaran Tertinggi
yang abadi, yang murni, langgeng, sempurna, tidak terbatas ruang dan waktu,
tidak terukur, tidak terbandingkan, tidak bernoda, tidak termanifestasikan,
tidak terjelaskan, tak terpikirkan, dan tanpa atribut – nirguna. Sadasiwa Tattwa adalah hakikat Siwa dalam sakala-niskala. Sadasiwa Tattwa bersifat wyapara, yaitu arwwajna (mahamengetahui),
dan sarwakaryyakarta (mahakerja). Sadasiwa dijabarkan lagi menjadi Cadu Sakti, yaitu Jnanasakti (Mahatahu),
Wibhusakti (Mahamelingkupi),
Prabhusakti (Mahakuasa), dan Kriyasakti (Mahakarya). Hakikat Sadasiwa adalah sakala-niskala, yaitu hakikat Siwa yang tanpa sifat telah menjadi
kesadaran aktif karena Beliau berkehendak. Berbagai nama (nama - Realitas Internal) dan rupa (sifat, kualitas, atribut – Realitas Eksternal) dilekatkan untuk menunjuk hakikat yang
Tunggal. Untuk menunjukkan kesaan Tuhan ‘eka’, dalam nama-rupa yang ‘aneka’. Atmika
Tattwa adalah hakikat Tuhan yang aktif dan berkembang menjadi segala
ciptaan. Pada asas yang maya ini
sesungguhnya ada tiga potensi materi alam semesta yang semua tersembunyi dan
tidur, turu. Kemudian, karena
kehendak Bhattara Siwa, Ia menjadi
aktif.
(4) Implementasi Ajaran Siwatattwa di
Bali
Sang Hyang Widhi: Eka dalam Aneka
Indram
mitram warunam agni āhur atho, divyah sa suparno garutmān, Ekam sad
wiprāhbahudha wadantyagnim, agnim yamam matariśvanam āhuh (Rg Weda, I.164.46).
Artinya :
Mereka menyebut
Indra, Mitra, Varuna, Agni, dan, Dia yang bercahaya, yaitu Garutmān,
yang bersayap elok, Suparna, Satu itu (Hyang Widhi) sang bijaksana menyebut
dengan banyak nama, seperti Agni, Yama, Matarisvān.
Tvam
Śivah tvam mahādevah, Īśvarah parameŚvarah,
Brahmā
viśnuśca rudraśca, puruśah parikīrtitah.
Artinya :
Engkau dipanggil Śiwa, Iswara, Mahadewa, Parameswara,
Brahmā, Viśnu Rudra, Puruśa, dan Prakterti.
Sa
eko bhagavān sarvāh Śivah-kāranam-kāranam, Aneko viditah sarvah catur vidhasya
kāranam. – Ekatvānekatva svalakśana bhattārā, Ekatva ngaranya, kahidëp maka
lakśana ng Śiwatattwa. Ndan tunggal tan rvatiga kahidëpanira. Mangekalakśana
Śiwa kārana juga, tan paprabheda, aneka ngaranya kahidëpan bhattārā makalakśana
caturdhā, caturdhā ngaranya lakśananiran
sthūla śūkśma paraśūnya.
Artinya :
Sifat bhattārā
adalah eka dan aneka. Eka (Esa) artinya
Ia dibayangkan bersifat Śiwatattwa.
Ia hanya Esa, tidak dibayangkan dua atau
tiga. Ia bersifat Esa saja sebagai Śiwa
Kārana (Śiwa sebagai Pencipta), tiada perbedaan. Aneka artinya Bhattārā
dibayangkan bersifat caturdhā, caturdhā artinya adalah sthūla, śūksma, para, śūnya (Sura,2000:27).
Sang
Hyang Widhi: Sangkan Paraning Sarat
Cewam,
tri murttih nāma ewaca. Lwir Bhatāra Śiwa magawe jagat, Brāhmā rūpa sirān panrësti
jagat, Wisnu rūpa sirān pangrakśa jagat, Rudra rūpa sirān mralayakën rāt, nāhan
tāwak nira tiga, bheda nāma.
Artinya :
Keadaan Sang Śiwa waktu membuat dunia, berwujud Sang Hyang Brahma waktu
menciptakan dunia, berwujud Sang Hyang
Wisnu pada waktu memelihara dunia, dan berwujud Sang Hyang Rudra pada waktu
melebur dunia. Demikian tiga wujud Beliau dengan nama yang berbeda.
Utpatti Bhagawān Brāhmā, Sthiti Wisnuh tathewaca, Pralina
bhagawān Rudra, Trayastre lokya sāranah. Bhatāra Brāhmā sirotpatti, Bhatāra Wisnu
sira sthiti, Bhatāra Rudra sira pralina, nāhan tang tiga pinaka sarana ring
loka (Bhuwana
Kosa VII. 25).
Artinya :
Mencipta (upatti) adalah Bhatara Brahma, ketika memelihara (sthiti) adalah Bhatara Wisnu, Bhatara Rudra beliau mempralina, demikian ketiga
itu sebagai pelindung dunia.
Tri
Kerangka Agama Hindu
Tri Kerangka Agama Hindu, yaitu (1) tattwa
‘teologi dan/atau filsafat agama’ berisi
ajaran ketuhanan; (3) susila ‘ajaran
moral’ berisi aturan-aturan moral
agama; dan (3) upacara ‘ritual’ yang
kemudian disebut acara agama. Dari
rumusan tersebut yang diuraikan menjadi beberapa konsep berhasil disepakati
merupakan butir-butir ajaran agama Hindu dapat dipandang sebagai karakter agama
Hindu di Bali
sebagai berikut.
(a) Panca Sradha
“lima kepercayaan” adalah dasar iman Hindu, yaitu Widhi sradha ‘percaya kepada Tuhan’, atma sradha ‘percaya kepada roh individu’, karmaphala sradha ‘percaya kepada perbuatan pasti berpahala’, punarbhawa ‘percaya kepada hidup
mengalami tumimbal lahir, dan moksa
‘percaya kepada kelepasan’.
(b)
Trikaya Parisudha adalah landasan moral, yaitu kaya parisudha ‘berbuat yang suci’, wak parisuddha ‘berkata yang suci’, dan manacika parisudha
‘berpikir yang suci’.
(c)
Catur Marga adalah jalan atau disiplin spiritual, yaitu bhakti marga ‘jalan bakti’, karma marga ‘jalan kerja’, jnàna marga ‘jalan pengetahuan’, dan yoga marga ‘jalan kontemplasi’.
(d)
Panca Yadnya adalah lima jenis kurban. Dalam arti sempit
adalah ritual. Lima kurban, yaitu dewa
yadnya ‘kurban dipersembahkan kepada Tuhan’, Pitra yadnya ‘kurban dipersembahkan kepada leluhur’, åsi yadnya ‘kurban dipersembahkan kepada
orang suci’, manusa yadnya ‘kurban
untuk kesejahtraan dan kebahagiaan sesama manusia, dan bhuta yadnya ‘kurban untuk menjaga keharmonian alam, kelestarian
makhluk dan tumbuhan’.
(e)
Catur Purusàrtha adalah cita-cita hidup, yaitu mendapatkan dharma ‘karakter luhur dan (ilmu)
pengetahuan’, artha ‘harta kekayaan’,
kàma ‘kenikmatan hidup’, dan moksa ‘kebahagiaan’.
Daftar Pustaka
Maswinara, I Wayan. 2006. Veda Sruti, Rg Veda Samhita, Sakala Sakha
Mandala I, II, III. Surabaya: Paramita.
Pudja, Gde. 1979/1980. Rg Weda Mandala X, Weda Sruti – Mantra
Samhita Bagian I. Jakarta: Proyek Pembinaan Sarana Keagamaan Hindu,
Departemen Agama RI.
___________. 1979/1980. Rg Veda Teks dan Terjemahan Mandala I. Jakarta:
Proyek Pembinaan Sarana Keagamaan Hindu, Departemen Agama RI.
___________. 1992. Theologi Hindu (Brahma Widya). Jakarta: Yayasan Dharma Sarati.
___________. 1998. Yajur Veda (Veda Sruti,
Devanagari, Teks dan Terjemahan Bagian I). Surabaya: Paramita.
Soebadio, Haryati.
1985. Jnanasiddhanta. Jakarta:
Djambatan.
Sudharta, Tjok. Rai,
Ida Bagus Oka Puniatmadja, 2001. Upadesa.
Surabaya: Paramita.
Sugiarto, R. 1983. Atharwa Weda Jilid Pertama. Jakarta: Proyek Pembinaan Sarana
Keagamaan Hindu, Departemen Agama RI.
Sugiarto, R. dan Gde
Pudja. 1982. Swetaswatara Upanisad.
Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci Hindu Depag RI.
Sura, I Gede dan I Wayan Musna. 1997. Materi Pokok Weda. Jakarta: Direktorat
Jenderal Bimbingan Masyarakat Hindu dan Buddha.
Sura, I Gde. dkk.
1989. Tattwa Jnana Kajian Teks dan
Terjemahan. Denpasar: Upada Sastra.
___________, 1994. Wrhaspati Tattwa, Ganapati
Tattwa, Tattwa Jnana Kajian Teks dan Terjemahan. Denpasar: Kantor
Dokumentasi Budaya Bali.
___________,
1999. Siwatattwa.
Denpasar. Proyek Peningkatan Sarana Prasarana Kehidupan Beragama, Pemerintah
Propinsi Bali.
___________, 2002. Agastya Parwa Teks dan Terjemahan. Denpasar: Widya Dharma.
___________, 2002. Kamus Istilah Agama Hindu. Denpasar: Pemerintah Provinsi Bali.
Tim Penerjemah. 1994. Buana Kosa Alih Aksara dan Alih Bahasa
(Brahma Rahasyam). Denpasar: Upada Sastra.
Tim Penyusun. 1989. Upanisad-upanisad Utama Jilid I dan II. Jakarta: Yayasan Dharma
Sarati dan diterbitkan oleh Departemen Agama RI.
Yasa, I Wayan Suka dan I Putu Sarjana.
2009. Siwa Sidhanta Brahma Widya Teks
Tattwa Jnana. Denpasar: Pemerintah Provinsi Bali, Proyek Percetakan
Buku-buku Penuntun Agama Hindu Pesraman Remaja.
Bagaimana hubungan tatwa dengan karma dalam agama hindu?
BalasHapus