Selasa, 23 Agustus 2016

TATTWA AGAMA HINDU

TATTWA AGAMA HINDU

Oleh
Dr. Nanang Sutrisno, S.Ag, M.Si

(1)  Pengertian Tattwa
Dalam buku Upadesa (Sudharta & Puniatmaja, 2001:5) dijelaskan bahwa tiga kerangka agama Hindu adalah satu kesatuan. Diibaratkan tattwa itu sebagai kepala, susila itu sebagai hati, dan acara itu sebagai tangan dan kaki agama. Tattwa berasal dari kata “tat” berarti hakikat, kebenaran, kenyataan, dan “twa” berarti yang bersifat (Sura, dkk. 2002:116). Jadi, tattwa berarti yang bersifat kebenaran atau kebenaran mutlak. Susila (su artinya baik, dan sila berarti tingkah laku) tingkah laku yang baik (Sura, dkk. 2002:110). Kemudian, acara diartikan sebagai adat atau praktik pelaksanaan agama Hindu. Dalam acara terkandung upacara yang berarti rangkaian tindakan dalam kegiatan ritual, dan upakara berarti sarana kebaktian atau ritual (Sura, dkk. 2002:127). Ketiga kerangka inilah yang diimplementasikan umat Hindu dalam kehidupan beragama, baik secara individu maupun kolektif.
Tattwa berasal dari kata “tat” berarti hakikat, kebenaran, kenyataan, dan “twa” berarti yang bersifat (Sura, dkk. 2002:116). Jadi, tattwa berarti yang bersifat kebenaran atau kebenaran mutlak. Apabila darsana merupakan pandangan tentang kebenaran itu, maka tattwa adalah kebenaran itu sendiri. Dalam berbagai lontar berbahasa Jawa Kuna, istilah tattwa menunjuk pada prinsip-prinsip kebenaran tertinggi. Siwatattwa berbicara mengenai hakikat Siwa, Mayatattwa berbicara mengenai hakikat maya, dan seterusnya. Dalam tattwa inilah terkandung dogma agama Hindu yang harus dipercaya tanpa perlu dipertanyakan lagi. Misalnya, Dewa Wisnu, warnanya hitam, senjatanya Cakra, letaknya di utara, aksara sucinya “I” adalah kebenaran yang tidak dapat dibantah. Tattwa tidak memberikan ruang bagi kritik rasional filsafat tentang kebenaran itu.
Tattwa agama Hindu di Indonesia merupakan hasil konstruksi dari ajaran filosofis yang terkandung dalam kitab Weda, Upanisad, Sad Darsana, Tantrayana, Shiwa Siddhanta, ke dalam ajaran Siwatattwa. Konsep Nirguna Brahman dalam Upanisad dan Adwaita Wedanta ditransformasikan menjadi konsep Paramasiwa yang juga bersifat nirguna. Paramasiwa kemudian beremanasi menjadi Sadasiwa yang memiliki empat kemahakuasaan - Cadu Shakti, dan dalam penciptaan berevolusi kembali menjadi Siwa. Evolusi penciptaan dalam Siwatattwa mengadopsi prinsip-prinsip Samkhya, sedangkan involusinya mengadopsi ajaran Yogasutra Patanjali. Konsep Shakti yang menjadi inti ajaran Tantrayana juga diadopsi dalam Siwatattwa. Dengan demikian, Siwatattwa merupakan tattwa yang dianut umat Hindu di Indonesia dan khususnya di Bali.
Ajaran Siwatattwa dijabarkan dalam konsep Panca Sraddha, yaitu lima sistem kepercayaan agama Hindu yang lebih tepat dikategorikan sebagai tattwa, daripada teologi ataupun darsana. Dalam hal ini, Panca Sraddha tidak hanya dimaksud dengan konsep-konsep, melainkan dogma-dogma ketuhanan (Brahman), jiwa (Atman), hukum Karmaphala, Punarbhawa, dan Moksa sebagai bentuk keimanan umat Hindu di Indonesia. Dogma ini dipercaya, diimani, dan dijadikan pedoman perilaku keagamaan umat Hindu. Sederhananya, seorang disebut umat Hindu bila percaya adanyan Tuhan, adanya atman, adanya karmaphala, adanya punarbhawa (reinkarnasi), dan adanya moksa. Pandangan teologi Hindu (Brahmawidya) dan darsana selanjutnya berfungsi untuk memperkuat keimanan tersebut.

(2)  Panca Sraddha
Panca Sraddha berasal dari Bahasa Sanskerta, panca berarti lima, dan sraddha berarti kepercayaan atau keyakinan. Jadi, Panca Sraddha berarti lima kepercayaan dalam agama Hindu (Sura, dkk:2002:78). Pengertian ini sejalan dengan pendapat Zimmer (2003:49) bahwa sraddha adalah sikap percaya dan ketenangan pikiran; sraddha menuntut dibuangnya setiap pikiran yang independen dan kritis; yang dibutuhkan adalah sikap takzim (tunduk), dan keinginan berapi-api untuk memperoleh kebenaran. Pada bab sebelumnya ditegaskan bahwa sraddha lebih tepat dijelaskan dalam terminologi tattwa, dibandingkan teologi ataupun darsana. Artinya, rumusan kelima sraddha ini adalah kebenaran mutlak (tattwa) yang harus dipercaya umat Hindu sebagai landasan imannya. Lima kepercayaan tersebut adalah sebagai berikut.
(1)  Percaya adanya Brahman.
(2)  Percaya adanya Atman.
(3)  Percaya adanya Karmaphala.
(4)  Percaya adanya Punarbhawa atau Samsara.
(5)  Percaya adanya Moksa.

Sraddha memiliki kedudukan yang penting dalam agama Hindu. Hal ini dijelaskan dalam kitab Yajur Weda XIX.30 Sraddhaya satyam apnoti, sraddham satye prajapatih” (‘Dengan sraddha orang akan mencapai Tuhan (Prajapati), Prajapati menetapkan dengan sraddha menuju kebenaran (satya)’).  Sloka ini menegaskan bahwa sraddha adalah dasar sekaligus jalan untuk mencapai Tuhan karena sraddha akan menuntun manusia menuju satya. Dalam konteks ini, satya adalah wujud Brahman yang benar, sebagaimana terungkap dalam petikan sloka Maitri Upanisad VI.3, berikut ini:
Dva vava brahmano rupe murtan ca murtan ca, atha yan murtham asatyam, yad amurtam tat satyam tad brahman.
   Artinya :
Ada dua kebenaran Brahman, yang dapat diwujudkan dan tidak dapat diwujudkan, yang dapat diwujudkan bukanlah yang benar (asatya), tetapi yang tidak dapat diwujudkan itulah yang benar (satya) itulah Brahman.

Satya adalah kebenaran Brahman yang tanpa wujud (nirguna). Ini adalah pengetahuan yang tertinggi. Untuk mencapai kebenaran tentang Brahman yang tanpa wujud harus didasari oleh sraddha (kepercayaan). Sraddha diciptakan oleh Prajapati (Brahman) dan ditulis dalam kitab suci. Bramasutra I.3 menyebutkan “sastrayonitvat” (‘kitab suci adalah alat pengetahuan yang benar’). Dalam komentarnya, Viresvarananda (2002:74—75) menyatakan bahwa Brahman adalah sumber sastra suci Weda. Pengetahuan yang benar (satya) mengenai Brahman yang tanpa wujud tidak mungkin dipahami dengan persepsi langsung (pratyaksa). Brahman juga tidak memiliki karakteristik yang dapat diperbandingkan sehingga kebenarannya tidak dapat diungkap melalui penyimpulan atau analogi (upamana). Oleh karena itu, Brahman hanya dapat dipahami melalui naskah suci. Kitab suci sendiri mengatakan “Dia yang tidak mengetahui naskah suci, tidak akan dapat memahami Brahman”. Inilah yang disebut sabda atau agama pramana. Artinya, sraddha yang bersumber dari kitab suci adalah ciptaan Brahman, juga sekaligus menjadi jalan untuk memahami kebenaran Brahman yang tanpa wujud.
Sraddha memiliki kedudukan penting dalam agama Hindu, yaitu dasar sekaligus jalan untuk mencapai kebenaran tertinggi. Hal ini juga ditegaskan oleh Rama (2005:52) bahwa kepercayaan dan keberanian adalah dua tingkatan penting dalam tangga menuju pencerahan. Pengetahuan rohani hanya dapat diperoleh melalui kepercayaan, yaitu keyakinan tanpa keragu-raguan. Selanjutnya, berdasarkan kepercayaan ini orang harus memiliki keberanian untuk menentukan keputusan dan melakukan tindakan. Jadi, antara pengetahuan dan tindakan sesungguhnya harus berjalan beriringan untuk mencapai kebenaran tertinggi. Panca Sraddha tidak hanya menjelaskan tentang segala hal yang harus dipercayai oleh umat Hindu, tetapi juga mengajarkan pentingnya pelaksanaan tindakan berdasarkan kepercayaan tersebut. Hubungan antara kepercayaan dan tindakan keagamaan sesungguhnya cukup mudah diamati dalam kehidupan beragama umat Hindu. Prinsip-prinsip etika dan ritual yang dilaksanakan umat Hindu seluruhnya dapat dijelaskan berdasarkan Panca Sraddha. Misalnya, umat Hindu selalu berusaha untuk berbuat baik dalam kehidupan karena percaya pada hukum karmaphala. Umat Hindu melaksanakan persembahyangan dan persembahan (bhakti) karena percaya kepada Tuhan, dan seterusnya. Ini menegaskan bahwa terdapat hubungan yang tidak terpisahkan antara Panca Sraddha dan tindakan keagamaan umat Hindu.
Brahman dalam Upanisad dan Wedanta (Uttara Mimamsa) tidak mudah dipahami dengan nalar manusia. Mengingat pikiran manusia tidak akan sanggup mengungkap rahasia Brahman sehingga Upanisad berkali-kali menyatakan neti, neti (‘bukan ini’, ‘bukan ini’). Brahman dikatakan nirguna (tanpa sifat), tetapi juga saguna (dengan sifat), bahkan juga tanpa dan dengan sifat (nirguna-saguna). Meskipun pembicaraan tentang Brahman begitu misteri, tetapi Agama Hindu di Indonesia telah menetapkan Siwatattwa sebagai ajaran ketuhanan yang dianut. Dalam Siwatattwa hakikat tertinggi yang nirguna adalah Paramasiwa yang beremanasi menjadi aspek Sadasiwa (nirguna-saguna) dan Siwa (saguna). Bhattara Siwa mewujudkan diri dalam tiga aspek, yaitu Brahma ketika mencipta, Wishnu ketika memelihara, dan Iswara/Rudra ketiga mempralina alam semesta dan segala isinya. Jadi, alam semesta dan segala isinya diciptakan oleh Bhattara Siwa.
Tuhan adalah jiwa semua makhluk (jivatman). Hakikat atman sama dengan paramatman, tetapi karena atman bertemu dengan unsur-unsur prakerti maka sang atman menurun kesadarannya. Akibat belenggu awidya (kegelapan pikiran), Sang Atman lupa dengan kesejatiannya (lupa wyamoha). Ini menyebabkan manusia harus terikat dengan hukum karmaphala karena ketidakseimbangan triguna (sattwam, rajas, tamas). Manusia akhirnya melakukan perbuatan baik (subha karma) dan buruk (asubha karma), silih berganti dalam kehidupannya. Setiap perbuatan (karma) melahirkan pahala (phala). Karma dan phala ini mengikat manusia dan menentukan kehidupnya, baik sekarang maupun yang akan datang. Pada kehidupan sekarang, karmaphala menciptakan kegirangan (suka), kesedihan (suka), sakit (lara), dan kematian (pati). Karmaphala ini juga akan dinikmati dalam kehidupan setelah kematian sehingga lahir hukum punarbhawa.
Setelah manusia meninggal, ia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Dalam Swargarohana Parwa dijelaskan bahwa roh-roh akan pergi ke sorga (swarga) dan neraka (naraka). Pahala baik akan menempatkan manusia di sorga, setelah menghabiskan pahala buruk di neraka (naraka). Dalam Swargarohana Parwa dijelaskan bahwa phala yang lebih banyak akan dinikmati belakangan karena menentukan kelahiran berikutnya. Singkatnya, apabila karma buruk lebih banyak, maka roh akan menikmati sorga lebih dahulu untuk menikmati hasil karma baiknya dan kemudian mempertanggung-jawabkan di neraka. Bekas-bekas karma dari sorga dan neraka inilah yang menentukan kualitas kelahiran kembali (punarbhawa) dalam kehidupan selanjutnya. 
Punarbhawa mengikat setiap manusia yang masih terbelenggu oleh ikatan karma. Kualitas kelahiran ditentukan oleh karma dalam kehidupan sebelumnya. Kelahiran dari sorga disebut swargacyuta dan kelahiran dari neraka disebut narakacyuta. Rantai punarbhawa ini terputus, ketika manusia mencapai moksa. Agama Hindu memberikan jalan untuk mencapai moksa. Dalam lontar Wrhaspati Tattwa disebutkan sadhana telu (tiga disiplin spiritual), yaitu jnana bhyudreka (memahami semua tattwa), trsna dosa ksaya (melepaskan diri dari perbuatan dosa), dan indriya yoga marga (jalan pengendalian indria). Ketiga tindakan ini dapat ditempuh manusia dalam kehidupannya sehingga mencapai keadaan jiwanmukta (jiwa yang terbebas dari belenggu karma). Keadannya digambarkan sebagai “…santosa heletan kelir sira sakeng Sanghyang Jagat Karana” (‘…sentosa, ibarat hanya terbatas kelir yang tipis dengan Bhattara Siwa’) (Arjunawiwaha, I.1). Moksa tercapai jika Sang Atman telah kembali pada kesadaran murninya (‘matutur ikang atma ri jatinya’) sehingga menyatu kembali dengan Parama Atman.

(3)  Siwatattwa
Terdapat beberapa sumber penting yang memuat ajaran Siwatattwa di Indonesia dan hampir seluruhnya ditulis dalam bahasa Jawa Kuna, yaitu Bhuwana Kosa, Wrhaspatitattwa, Ganapati Tattwa, Sanghyang Mahajnana, Tattwajnana, dan Jnanasiddhanta. Dalam kitab-kitab inilah ditemukan prinsip-prinsip Siwatattwa. Secara umum dapat digambarkan bahwa Siwatattwa membicarakan tentang hakikat Siwa dan emanasinya dalam alam semesta. Hakikat Siwa yang dikatakan nirguna, nirguna-saguna, dan saguna tampaknya mendapat pengaruh dari Saiwa Siddhanta, Wedanta, dan Tantrayana. Teori evolusi semesta dalam Siwatattwa jelas menunjukkan pengaruh kuat dari Samkhya, sedangkan involusinya dipengaruhi oleh Yoga. Selain itu, juga ditemukan pengaruh Tantrayana dalam konsep tentang Shakti dan Pangider-ider dewata (para dewa penjaga arah mata angin). Ini menegaskan bahwa Siwatatta merangkum seluruh pemikiran filsafat dan tattwa Hindu yang dipandang sesuai dengan alam pikiran Indonesia.
Agama Hindu di Indonesia memuja Tuhan dengan sebutan Sang Hyang Widhi Wasa. Nama ini berasal dari bahasa Jawa Kuna, yakni kata “Sang”, “Hyang”, “Widhi”, dan “Wasa”. Kata Sang berarti yang dimuliakan, misalnya juga ditemukan dalam kata Sang Arjuna, Sang Krshna, Sang Anoman, dan seterusnya. Kata Hyang adalah kata dalam bahasa Jawa, Bali, dan daerah lain yang memiliki pengertian seperti kata ‘dewa’. Seringkali kata ini didahului dengan kata sang sehingga menjadi Sang Hyang (Sura, dkk., 2002:39). Sementara itu, kata widhi (wi = sempurna, tuntas; dha = meletakkan/menaruh) takdir, aturan, hukum, penguasa tertinggi, pencipta,  Tuhan Yang Maha Kuasa. Wasa berarti kuasa (Sura, dkk., 2002:133). Jadi, Sang Hyang Widhi Wasa berarti Tuhan Yang Maha Kuasa.
Dalam ajaran Siwatattwa, Sang Hyang Widhi Wasa adalah Bhattara Siwa itu sendiri. Dalam rumusan Panca Sraddha kepercayaan kepada Sang Hyang Widhi Wasa disebut Widhi Tattwa atau Widhi Sraddha. Widhi Tattwa berarti ajaran mengenai kebenaran Tuhan (Widhi) yang pararel dengan pengertian Brahmavidya (ilmu tentang hakekat Brahman). Pembahasan Widhi Tattwa mencakup hakikat Tuhan, bukti adanya Tuhan, dan ke-Esa-an Tuhan. Tujuannya adalah membangun kepercayaan atau ke-sraddha-an umat Hindu kepada Sang Hyang Widhi Wasa sehingga dapat meningkatkan rasa bhakti dalam dirinya. Orang tidak mungkin berbhakti kepada Tuhan, bila tidak percaya dengan ada-Nya, bahkan telah ditegaskan dalam Yajur Weda XIX.30 bahwa dengan sraddha orang akan mencapai Tuhan.
Sang Hyang Widhi Wasa dalam Siwatattwa disebut Bhattara Siwa. Hakikat Siwa dapat dipahami dalam tiga aspek, yaitu Paramasiwa Tattwa, Sadasiwa Tattwa, dan Siwatma atau Atmika Tattwa.  Hakikat Paramasiwa adalah kesadaran Tertinggi yang abadi, yang murni, langgeng, sempurna, tidak terbatas ruang dan waktu, tidak terukur, tidak terbandingkan, tidak bernoda, tidak termanifestasikan, tidak terjelaskan, tak terpikirkan, dan tanpa atribut – nirguna. Sadasiwa Tattwa adalah hakikat Siwa dalam sakala-niskala. Sadasiwa Tattwa bersifat wyapara, yaitu arwwajna (mahamengetahui), dan sarwakaryyakarta (mahakerja). Sadasiwa dijabarkan lagi menjadi Cadu Sakti, yaitu Jnanasakti (Mahatahu), Wibhusakti (Mahamelingkupi), Prabhusakti (Mahakuasa), dan Kriyasakti (Mahakarya). Hakikat Sadasiwa adalah sakala-niskala, yaitu hakikat Siwa yang tanpa sifat telah menjadi kesadaran aktif karena Beliau berkehendak. Berbagai nama (nama - Realitas Internal) dan rupa (sifat, kualitas, atribut – Realitas Eksternal) dilekatkan untuk menunjuk hakikat yang Tunggal. Untuk menunjukkan kesaan Tuhan ‘eka’, dalam nama-rupa yang ‘aneka’. Atmika Tattwa adalah hakikat Tuhan yang aktif dan berkembang menjadi segala ciptaan. Pada asas yang maya ini sesungguhnya ada tiga potensi materi alam semesta yang semua tersembunyi dan tidur, turu. Kemudian, karena kehendak Bhattara Siwa, Ia menjadi aktif.
     
(4)  Implementasi Ajaran Siwatattwa di Bali

Sang Hyang Widhi: Eka dalam Aneka
Indram mitram warunam agni āhur atho, divyah sa suparno garutmān, Ekam sad wiprāhbahudha wadantyagnim, agnim yamam matariśvanam āhuh (Rg Weda, I.164.46).
Artinya :
Mereka menyebut  Indra, Mitra, Varuna, Agni, dan, Dia yang bercahaya, yaitu Garutmān, yang bersayap elok, Suparna, Satu itu (Hyang Widhi) sang bijaksana menyebut dengan banyak nama, seperti Agni, Yama, Matarisvān.

Tvam Śivah tvam mahādevah, Īśvarah parameŚvarah,
Brahmā viśnuśca rudraśca, puruśah parikīrtitah.
Artinya :
Engkau dipanggil Śiwa, Iswara, Mahadewa, Parameswara, Brahmā, Viśnu Rudra, Puruśa, dan Prakterti.

Sa eko bhagavān sarvāh Śivah-kāranam-kāranam, Aneko viditah sarvah catur vidhasya kāranam. – Ekatvānekatva svalakśana bhattārā, Ekatva ngaranya, kahidëp maka lakśana ng Śiwatattwa. Ndan tunggal tan rvatiga kahidëpanira. Mangekalakśana Śiwa kārana juga, tan paprabheda, aneka ngaranya kahidëpan bhattārā makalakśana caturdhā, caturdhā ngaranya lakśananiran  sthūla śūkśma paraśūnya.
Artinya :
Sifat bhattārā adalah eka dan aneka. Eka (Esa) artinya Ia dibayangkan bersifat Śiwatattwa. Ia hanya Esa, tidak dibayangkan  dua atau tiga. Ia bersifat Esa saja sebagai Śiwa Kārana (Śiwa sebagai Pencipta), tiada perbedaan. Aneka artinya Bhattārā dibayangkan bersifat caturdhā, caturdhā artinya adalah sthūla, śūksma, para, śūnya (Sura,2000:27).

      Sang Hyang Widhi: Sangkan Paraning Sarat
Cewam, tri murttih nāma ewaca. Lwir Bhatāra Śiwa magawe jagat, Brāhmā rūpa sirān panrësti jagat, Wisnu rūpa sirān pangrakśa jagat, Rudra rūpa sirān mralayakën rāt, nāhan tāwak nira tiga, bheda nāma.
Artinya :
Keadaan Sang Śiwa waktu membuat dunia, berwujud Sang Hyang Brahma waktu menciptakan  dunia, berwujud Sang Hyang Wisnu pada waktu memelihara dunia, dan berwujud Sang Hyang Rudra pada waktu melebur dunia. Demikian tiga wujud Beliau dengan nama yang berbeda.

Utpatti Bhagawān Brāhmā, Sthiti Wisnuh tathewaca, Pralina bhagawān Rudra, Trayastre lokya sāranah. Bhatāra Brāhmā sirotpatti, Bhatāra Wisnu sira sthiti, Bhatāra Rudra sira pralina, nāhan tang tiga pinaka sarana ring loka (Bhuwana Kosa VII. 25).
Artinya :
Mencipta (upatti) adalah Bhatara Brahma, ketika memelihara (sthiti) adalah Bhatara Wisnu, Bhatara Rudra beliau mempralina, demikian ketiga itu sebagai pelindung dunia.

Tri Kerangka Agama Hindu
Tri Kerangka Agama Hindu, yaitu (1) tattwa ‘teologi dan/atau filsafat agama’ berisi ajaran ketuhanan; (3) susila ‘ajaran moral’ berisi aturan-aturan moral agama; dan (3) upacara ‘ritual’ yang kemudian disebut acara agama. Dari rumusan tersebut yang diuraikan menjadi beberapa konsep berhasil disepakati merupakan butir-butir ajaran agama Hindu dapat dipandang sebagai karakter agama Hindu di Bali sebagai berikut. 
(a)   Panca Sradha “lima kepercayaan” adalah dasar iman Hindu, yaitu Widhi sradha ‘percaya kepada Tuhan’, atma sradha ‘percaya kepada roh individu’, karmaphala sradha ‘percaya kepada perbuatan pasti berpahala’, punarbhawa ‘percaya kepada hidup mengalami tumimbal lahir, dan moksa ‘percaya kepada kelepasan’.
(b)  Trikaya Parisudha adalah landasan moral, yaitu kaya parisudha ‘berbuat yang suci’, wak parisuddha ‘berkata yang suci’, dan manacika parisudha ‘berpikir yang suci’.
(c)   Catur Marga adalah jalan atau disiplin spiritual, yaitu bhakti marga ‘jalan bakti’, karma marga ‘jalan kerja’, jnàna marga ‘jalan pengetahuan’, dan yoga marga ‘jalan kontemplasi’.
(d)  Panca Yadnya adalah lima jenis kurban. Dalam arti sempit adalah ritual. Lima kurban, yaitu dewa yadnya ‘kurban dipersembahkan kepada Tuhan’, Pitra yadnya ‘kurban dipersembahkan kepada leluhur’, åsi yadnya ‘kurban dipersembahkan kepada orang suci’, manusa yadnya ‘kurban untuk kesejahtraan dan kebahagiaan sesama manusia, dan bhuta yadnya ‘kurban untuk menjaga keharmonian alam, kelestarian makhluk dan tumbuhan’.
(e)  Catur Purusàrtha adalah cita-cita hidup, yaitu mendapatkan dharma ‘karakter luhur dan (ilmu) pengetahuan’, artha ‘harta kekayaan’, kàma ‘kenikmatan hidup’, dan moksa ‘kebahagiaan’.


Daftar Pustaka
Maswinara, I Wayan. 2006. Veda Sruti, Rg Veda Samhita, Sakala Sakha Mandala I, II, III. Surabaya: Paramita.


Pudja, Gde. 1979/1980. Rg Weda Mandala X, Weda Sruti – Mantra Samhita Bagian I. Jakarta: Proyek Pembinaan Sarana Keagamaan Hindu, Departemen Agama RI.

___________. 1979/1980. Rg Veda Teks dan Terjemahan Mandala I. Jakarta: Proyek Pembinaan Sarana Keagamaan Hindu, Departemen Agama RI.

___________. 1992. Theologi Hindu (Brahma Widya). Jakarta: Yayasan Dharma Sarati.

___________. 1998. Yajur Veda (Veda Sruti, Devanagari, Teks dan Terjemahan Bagian I). Surabaya: Paramita.

Soebadio, Haryati. 1985. Jnanasiddhanta. Jakarta: Djambatan.

Sudharta, Tjok. Rai, Ida Bagus Oka Puniatmadja, 2001. Upadesa. Surabaya: Paramita.

Sugiarto, R. 1983. Atharwa Weda Jilid Pertama. Jakarta: Proyek Pembinaan Sarana Keagamaan Hindu, Departemen Agama RI.

Sugiarto, R. dan Gde Pudja. 1982. Swetaswatara Upanisad. Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci Hindu Depag RI.

Sura, I Gede dan I Wayan Musna. 1997. Materi Pokok Weda. Jakarta: Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Hindu dan Buddha.

Sura, I Gde. dkk. 1989. Tattwa Jnana Kajian Teks dan Terjemahan. Denpasar: Upada Sastra.

___________, 1994. Wrhaspati Tattwa, Ganapati Tattwa, Tattwa Jnana Kajian Teks dan Terjemahan. Denpasar: Kantor Dokumentasi Budaya Bali.

___________, 1999. Siwatattwa. Denpasar. Proyek Peningkatan Sarana Prasarana Kehidupan Beragama, Pemerintah Propinsi Bali.

___________, 2002. Agastya Parwa Teks dan Terjemahan. Denpasar: Widya Dharma.

___________, 2002. Kamus Istilah Agama Hindu. Denpasar: Pemerintah Provinsi Bali.

Tim Penerjemah. 1994. Buana Kosa Alih Aksara dan Alih Bahasa (Brahma Rahasyam). Denpasar: Upada Sastra.

Tim Penyusun. 1989. Upanisad-upanisad Utama Jilid I dan II. Jakarta: Yayasan Dharma Sarati dan diterbitkan oleh Departemen Agama RI.

Yasa, I Wayan Suka dan I Putu Sarjana. 2009. Siwa Sidhanta Brahma Widya Teks Tattwa Jnana. Denpasar: Pemerintah Provinsi Bali, Proyek Percetakan Buku-buku Penuntun Agama Hindu Pesraman Remaja.

1 komentar: