Selasa, 23 Agustus 2016

SIWARATRI BERBURU ANUGERAH SHIWA

SIWARATRI: BERBURU ANUGERAH SIWA
(Memahami Teks Siwaratrikalpa dari Perspektif Siwaisme)

Oleh
Dr. Nanang Sutrisno, S.Ag, M.Si

A.    Pendahuluan
Dalam pelaksanaan hari suci Siwaratri di Indonesia, teks yang menjadi rujukan utama adalah Siwaratrikalpa yang oleh masyarakat umum dikenal dengan nama Kakawin Lubdhaka. Menurut Teew (1984) bahwa teks ini ditulis Mpu Tanakung sekitar tahun 1466 – 1478 M. Tokoh utama yang diceritakan dalam teks ini adalah Si Lubdhaka – lubdhaka juga berarti pemburu – seorang pemburu binatang yang penuh papa karena sering melakukan himsakarma. Akan tetapi, ia telah melaksanakan brata yang tepat, yaitu malam hari bertepatan dengan panglong ping 14 sasih kapitu (‘catur daseng kapitu krsna’). Ini adalah malam Siwa (Siwa-ratri). Paradoks dalam teks ini muncul ketika Si Lubdhaka meninggal. Atma-nya diperebutkan oleh Ganabala (pasukan Siwalaya) dan Kingkarabala (pasukan Yamalaya) yang akhirnya dimenangkan oleh Ganabala. Hal ini dipertanyakan oleh Bhatara Yama kepada Bhatara Siwa ‘mengapa Si Lubdhaka yang sering melaksanakan himsakarma mendapatkan anugerah Siwa?’ Akhirnya, Bhatara Siwa menjelaskan keutamaan brata Siwaratri yang penuh anugerah (Agastia, 1999:50; Yasa, dkk., 2008:18—21). Demikianlah ikhtisar teks Siwaratrikalpa yang cukup populer bagi umat Hindu dan telah menjadi konsumsi pengetahuan utama ketika membahas Siwaratri.
Teks Siwaratrikalpa sebagai salah satu permata kesusasteraan Jawa Kuna (kawi) memang tidak mudah dipahami maknanya – begitu juga teks-teks yang lain.  Meskipun teks ini telah dibaca dan ditafsirkan berulang-ulang, tetapi selalu terbuka peluang untuk menemukan makna baru (‘rasa anyar’) di dalamnya. Apalagi sejumlah penggelut sastra Jawa Kuna menyatakan bahwa teks Siwaratrikalpa memiliki daya pesona, makna berlapis, dan dapat mengantarkan pembacanya memperoleh pengalaman estetis-religius (Yasa,dkk., 2008:v). Hal ini sejalan dengan pandangan Derrida (Al-Fayyadl, 2005:xii) bahwa teks akan hidup terus (survivre) sebagai ‘masalah’ yang selalu terbuka untuk ditafsirkan, sekaligus menolak adanya ketunggalan makna. Artinya, tidak ada penafsiran yang paling benar bagi sebuah karya sastra sejauh pijakan yang digunakan memiliki nilai kebenarannya sendiri.
Siwaisme (‘ajaran Siwa’ atau ‘paham ke-Siwa-an’) dapat dikatakan sebagai prinsip yang mendasari pelaksanaan hari suci Siwaratri. Alasannya bahwa Padma Purana yang menjadi kitab ‘babon’ dari teks Siwaratrikalpa adalah kitab purana yang tergolong Siwaistis. Bhatara Siwa adalah tujuan utama pemujaan dalam pelaksanaan upacara Siwaratri. Secara implisit, Mpu Tanakung melaksanakan pemujaan kepada Siwa yang disampaikan melalui sembah Bhatara Yama kepada Bhatara Siwa dalam teks Siwaratrikalpa, sebagai berikut.
Om sembah ning asaraya caranapangkaja bhuwana napatiki tinghali/
wahyawahya panembah i ngwang kiteka satata kinabhaktyan i nghulun/
byaktabyakta kiteng sarat kita hurip ning ahurip agawe halahayu/
sang manggeh pinakesti ning mahalilang manah anilaraken dasendriya//
Artinya:
Om sembah hamba kepada-Mu, O Dewa Penguasa Dunia, semoga tersaksikan/
lahir batin sembah hamba kepada-Mu yang senantiasa hamba sembah/
nyata dan tidak nyata Engkau di dunia, Engkau adalah jiwa segala yang ada, serta yang membuat baik dan buruk/
Engkau senantiasa disembah oleh orang yang ingin menyucikan pikiran dan mengendalikan indria// (Agastya, 1990:51).

Petikan bait kakawin tersebut menunjukkan bahwa Siwatarikalpa adalah wujud yogasastra Mpu Tanakung untuk memuja Siwa. Selain itu, sejumlah pilihan kata yang digunakan, seperti lingga dan daun bilwa merupakan sarana utama pemujaan kepada Siwa. Berpijak pada bukti-bukti tersebut, Siwaisme dapat menjadi piranti penting untuk memahami isi teks Siwaratrikalpa. Mengungkap teks Siwaratrikalpa dari perspektif Siwaistis merupakan upaya menemukan makna lain yang diharapkan dapat memperkaya kajian-kajian sebelumnya.

B.    Pembahasan
Kakawin Siwaratrikalpa hendaknya dipahami sebagai teks sastra yang memiliki sistem makna berlapis. Oleh karena itu, diperlukan pembacaan secara bertingkat pada tataran mimetik untuk menemukan arti (meaning) dan tataran semiotik untuk menemukan makna (significance). Artinya, pembaca sebagai pemberi makna (signifier) harus mulai dari pembacaan heuristik, yakni pembacaan berdasarkan kompetensi linguistik untuk menemukan arti. Kemudian, melanjutkan analisis secara hermeneutik, yakni pembacaan struktural berdasarkan kompetensi sastra untuk menemukan simpul-simpul makna (Yasa, 2010:19). Ibarat sebuah ‘bawang’ lapis demi lapis teks ini perlu dikupas untuk menemukan lapis makna yang lebih dalam. Hermeneutik sebagai strategi mengungkap makna teks merupakan seni penafsiran yang dapat diterapkan pada semua teks sastra, termasuk Siwaratrikalpa.
Untuk menafsirkan Kakawin Siwaratrikalpa diperlukan dua perangkat penting, yaitu teori dan perspektif. Teori memberikan kejelasan tentang cara kerja yang digunakan untuk mengungkap isi teks. Sementara itu, perspektif memberikan kejelasan tentang cara pandang yang digunakan untuk menafsirkan isi teks. Dalam kajian ini, teori struktural digunakan untuk mengungkap makna Kakawin Siwaratrikalpa yang bertolak dari teks itu sendiri (Hutomo, 1993:8). Mengingat teks ini juga berhubungan dengan teks-teks lainnya sehingga digunakan teori intertekstualitas. Asumsi dasar teori ini bahwa sebuah teks tidak akan bebas dari pengaruh-pengaruh teks-teks lainnya (Teeuw, 2003:120—121). Adapun perspektif yang digunakan adalah Siwaisme, yaitu ajaran Siwa atau paham ke-Siwa-an. Dengan perspektif ini, seluruh isi Siwaratrikalpa akan dipahami dalam konteks ke-Siwa-an, bukan ajaran yang lain.

(1)  Karakter Ajaran Siwa
Siwaisme di India diperkirakan muncul pada seputaran abad ke-2 sebelum masehi, walaupun bibit-bibitnya telah ada sejak zaman peradaban lembah sungai Sindhu (3000—2000 SM). Sejumlah bukti yang ditemukan di Mohenjodaro dan Harrapa menunjukkan adanya prototype pemujaan Siwa, seperti adanya pemujaan lingga, shakti, dan Siwa Pasupati (Phalgunadi, 2010:21). Dewa Siwa sebagai Dewa Tertinggi disamakan dengan Rudra, yakni salah satu dewa yang dipuja dalam kitab suci Weda (Mahajan, 2002:376). Karakter Rudra-Siwa yang disebutkan dalam Rg Veda sungguh bermacam-macam, seperti ‘bercahaya bagaikan matahari’, ‘berpakaian dengan ornamen keemasan’, ‘bijaksana’, ‘yang paling kuat’, ‘penguasa lagu’, ‘penguasa obat-obat penawar’, ‘penakluk yang tak terkalahkan’, ‘penguasa universal’, ‘badai dan angin yang membawa kebinasaan’, dan ‘hujan kemakmuran’. Kemudian dalam kitab Yajur Veda dijelaskan bahwa Rudra muncul dalam wujudnya yang jamak sehingga dikenal istilah Satarudria (seratus Rudra). Rudra muncul dalam karakter yang ramah, indah, dan melindungi (Siwa) yang dibedakan dengan penampilannya yang menakutkan (Raudra). Dalam kitab Atharva Veda, Rudra adalah penjaga arah mata angin dan pujaan bagi orang-orang yang merasa papa (Agastya, 2003:97). Jadi, karakter Rudra-Siwa yang dijelaskan dalam Catur Veda Samhita telah bersifat paradoksal.
Penjelasan tentang Rudra-Siwa kemudian juga ditemukan dalam kitab-kitab Upanisad, salah satunya Svetasvatara Upanisad. Dalam Svetasvatara Upanisad.III.1, 2, dan 11 dijelaskan sebagai berikut.
“Dia, Diri Yang Maha Agung, yang di alam semesta ini menjadi satu-satunya Penguasa, yang memiliki kemampuan mencipta, yang menguasai alam semesta dengan kekuasaan-Nya yang amat besar, dengan kemampuan maya-Nya itu telah mencipta dan mengatur muncul dan lenyapnya segala sesuatu di alam semesta ini. Siapa yang telah dapat menyadari dan menghayati kesunyataan ini, dia menjadi abadi” (SU.III.1).

“Di alam semesta ini, hanya ada satu penguasa, yaitu Rudra. Beliau tidak memperkenankan yang lain sebagai yang kedua. Beliau mengatur semua alam dengan kekuatan-Nya. Rudra berdiri di belakang semua makhluk. Setelah Rudra selesai mencipta alam dan segala isinya, Beliau juga sebagai Sang Maha Pelindung, dan akhirnya pada titik akhir dari periode zaman tertentu, Beliau menyerap segala yang ada itu dan memasukkannya ke dalam diri Beliau” (SU.III.2).    

“Sang Bhagavat (Tuhan) itu ada di dalam wajah, leher, dan kepala semua makhluk. Beliau menghuni goa hati semua makhluk. Beliau meliputi segala sesuatu. Oleh karena itu, Beliau tidak lain dari Siwa yang keberadaannya ada di mana-mana” (SU.III.3) (Sugiarto & Pudja, 1982:32).

Kutipan teks upanisad tersebut memberikan kejelasan bahwa Rudra-Siwa adalah Tuhan Yang Maha Esa (‘eko hi Rudro na dwīttyāyā…’). Rudra-Siwa memiliki tiga kekuatan utama, yaitu mencipta (utpetti), memelihara (sthiti), dan melebur (pralina) segala yang ada. Beliau juga dikatakan memiliki kekuatan maya (shakti) yang aktif dalam proses utpatti, sthiti, dan pralina. Siapapun yang menghayati kebenaran Rudra-Siwa ini akan mencapai keabadian (moksa). Dalam pandangan ilmu sejarah, karakter Rudra-Siwa inilah yang kemudian menjadi dasar perkembangan Siwaisme pada zaman berikutnya.
Mazhab (sekte) Siwa mengalami perkembangan yang pesat pada zaman Purana (± 300 – 700 M), begitu juga mazhab-mazhab yang lain, seperti Vaishnava, Sakta, Pasupata, dan Ganapatya. Seturut dengan munculnya sekte-sekte tersebut, terdapat ciri penting ajaran sekte-sekte yang patut diketahui. Adapun karakteristik sebuah mazhab atau sekte, antara lain: (a) memiliki nama Tuhan Tertinggi; (b) memiliki kitab suci sendiri; (c) memiliki sadhana sendiri; (d) memiliki doktrin ajaran sendiri; (e) memiliki ritual pemujaan yang khas; (f) memiliki kosmologi dan kosmogoni sendiri; (g) memiliki ajaran yoga-nya sendiri; (h) memiliki kepercayaan moksa sendiri; dan (i) memiliki sistem filsafat sendiri (Phalgunadi, 2010:46). Setiap sekte mencerminkan model agama optimistik karena memberikan jalan yang pasti bagi pengikutnya untuk mencapai sorga ataupun moksa. Misalnya, pengikut Sampradaya Kesadaran Krishna (ISKCON) percaya bahwa sorga akan diperoleh dengan menyerahkan diri sepenuhnya kepada Krishna dan mengucapkan Mahamantra “Hare Rama-Hare Krishna”. Karakteristik ajaran semacam ini juga berlaku pada sekte-sekte yang lain, termasuk juga dalam mazhab Siwa.
Kitab-kitab purana yang menjadi ‘pancama Veda’ bagi sekte-sekte tertentu memberikan garis yang jelas dan tegas tentang prinsip-prinsip ajaran yang dianut dalam sekte tersebut. Misalnya, Siva Purana yang memuji dan mengagungkan kebesaran Siwa merupakan kitab suci para penganut Siwa yang menjelaskan ritual dan prinsip-prinsip filosofis ajaran Siwa. Kitab Skanda Purana juga menceritakan keagungan Siva Purana yang diyakini telah diajarkan oleh Siwa sendiri. Pengetahuan tentang Siva Purana dapat menyucikan pikiran orang di zaman Kali. Dengan mendengarkan Siva Purana, seseorang akan bebas dari segala dosa, menikmati kebahagiaan duniawi, dan akan mencapai alam Siwa (Siwaloka) (Suamba, 1999:6). Ajaran semacam ini merupakan karakteristik ajaran sekte-sekte yang harus diyakini dan dilaksanakan oleh penganutnya dengan penuh kesungguhan dan keikhlasan hati.
Siwaisme sebagai prinsip ajaran Siwa telah melembaga sedemikian rupa, baik dari segi tattwa, susila, dan acara. Secara filosofis, ajaran Siwa Siddhanta yang mula-mula berkembang di India selatan mengelaborasi prinsip-prinsip ajaran Veda, upanisad, samkhya, yoga, vedanta, dan tantrayana. Siwa yang bersifat nirguna, nirguna-saguna, dan saguna; konsep Siwa-Shakti; dan dewa-dewa ‘dik-vidik (pangider-ider) merupakan prinsip utama Siwatattwa. Siwaisme juga menerima ajaran susila yang bersumber dari kitab-kitab Sruti dan Smerti, serta tradisi bajik yang berlaku di masyarakat. Dalam konteks acara, Siwaisme umumnya melanjutkan tradisi upacara ‘yajna’ dari Brahmanisme, Tantrayana, Mimamsasutra, dan pemujaan Siwa yang diajarkan dalam kitab-kitab purana. Selain itu, juga Phalgunadi (2010:42) menjelaskan beberapa prinsip penting ajaran Siwa bahwa moksa dapat dicapai dengan: (a) jalan bhakti melalui persembahan (‘yajna atau ‘samskara’) dengan sadhana Pancamakara (biji-bijian ‘mudra, ikan ‘matsya’, daging ‘mamsa’, minuman keras ‘mada’, dan simbol purusha-prakrtimaithuna’), (b) jalan brata- yoga, dan (c) anugerah Siwa. Prinsip-prinsip ajaran Siwa ini juga diterima di Indonesia yang ditransformasi dan dimodifikasi sesuai dengan karakter lokal bangsa Indonesia.
Di Indonesia, Siwaisme menjadi salah satu mazhab dengan penganut terbesar sebagaimana ditunjukkan oleh bukti-bukti sejarah dan kesusasteraan. Tampaknya karakter Rudra-Siwa yang bersifat paradoks memiliki kesesuaian dengan alam pikiran religius bangsa Indonesia. Menurut Soemardjo (2002:16) bahwa salah satu basis religius bangsa Indonesia adalah kepercayaan yang bersifat dualistik (binary oposition), seperti sakral-profan, gunung-laut, siang-malam, absolut-relatif, dan sebagainya. Melalui perkawinan kosmis kedua polarisasi ini diharmoniskan, direkonsiliasi, disatukan sehingga semuanya kembali ke Yang Tunggal, Yang Absolut. Prinsip ini mengingatkan pada karakteristik Rudra (‘menakutkan’) dan Siwa (‘welas-asih’), serta konsep Siwa-Shakti (‘ardhanareswari’) yang menjadi simbol dari seluruh kekuatan Siwa dalam utpatti, stithi, dan pralina. Sisi paradoksal dalam Siwaisme ini tampaknya juga menginspirasi Mpu Tanakung dalam penulisan Siwaratrikalpa, sebagai sarana untuk mengungkapkan ‘kesunyataan Siwa’.

(2)  Panca Krtya: Lima Aktivitas Siwa
Selain lingga, Siwa Nataraja merupakan simbol Siwa yang cukup populer dalam ikonografi India. Dengan mengutip sejumlah sumber, Suamba (2003:4—5) menyatakan bahwa Siwa Nataraja adalah bentuk visual dari filsafat Siwa Siddhanta. Siwa Nataraja adalah bentuk antropomorfis dari Siwa. Pada umumnya, bentuk antropomorfis Siwa dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu ugra atau ghora (menyeramkan) dan aspek saumya atau santa (damai). Salah satu aspek filsafat Siwa Siddhanta yang digambarkan dalam Siwa Nataraja adalah Panca Krtya atau ‘lima aktivitas Siwa’, yaitu Sristi (utpatti ‘penciptaan’), sthiti (‘perlindungan’), samhara (‘penghancuran’), tirobhava atau nigraha (‘pengaburan’), dan anugraha (‘anugerah’) (Benerjea, 2002:473; Suamba, 2002:11). Kelima aktivitas ini dikuasai dan dikendalikan oleh Siwa sebagai bagian dari kekuatan dan kemahakuasaan-Nya.  
Dalam transformasinya ke Indonesia, teks-teks Siwatattwa umumnya hanya menyebutkan 3 (tiga) aktivitas Bhatara Siwa, yaitu utpatti, stithi, dan pralina. Teks Bhuwana Kosa, VII.25, menjelaskan “Bhatāra Brāhmā sirotpatti, Bhatāra Wisnu sira sthiti, Bhatāra Rudra sira pralina, nāhan tang tiga pinaka sarana ring loka(’Mencipta (utpatti) adalah Bhatara Brahma, ketika memelihara (sthiti) adalah Bhatara Wisnu, Bhatara Rudra beliau mempralina, demikian ketiga itu sebagai pelindung dunia. Dalam Bhuwanakosa, III.80 juga dijelaskan “…sakweh ning jagat kabeh, mijil sangkeng Bhattārā Śiwa ika, lina ring Bhattārā Śiwa ya” (‘....seluruh alam semesta, lahir dari Bhatara Siwa dan kembali kepada Bhatara Siwa juga’) (Tim Penj.,1994:90). Sementara itu, aktivitas Siwa dalam tirobhava atau nigraha (’pengaburan’) dan anugraha (’anugerah’) jarang ditemukan secara langsung dalam teks-teks tattwa berbahasa Jawa Kuna.
Meskipun demikian, konsep tirobhava (’pengaburan’) dapat ditelusuri dalam konsep ’mayatattwa, acetana’ sebagai bagian dari evolusi tattwa Siwa. Paramasiwa yang nirguna (’tanpa sifat’) menjadi Sadasiwa yang nirguna-saguna (’tanpa sifat-memiliki sifat), kemudian Siwatma yang saguna (’memiliki sifat-sifat’). Sadasiwa dalam teks Tattwa Jnana.6 disebut Bhattara Mahulun ’yang berkehendak’ “...Bhattara Mahulun sira mahyun manon wastu sakala…(‘…Bhattara Mahulun berkehendak menyaksikan wujud nyata…’). Ini merupakan bentuk kesadaran aktif dari Siwa. Dari kesadaran aktif ini lahirlah Siwa dalam wujud cetana atau siwatattwa (‘kesadaran penuh’) dan acetana atau mayatattwa (‘tanpa kesadaran’). Dalam Tattwa Jnana (2), dijelaskan seperti berikut.
Ikang cetana lawan acetana yeka sinangguh Siwa Tattwa lawan Maya Tattwa… pada litnya mwang suksmanya, kunang kasor nikang Maya Tattwa dening Siwa Tattwa, tanpacetana, tanpajnana, ikang Maya Tattwa, kewala lupa, tan kahanan tutur, taya pinakawaknya, awang-awang, uwung-uwung, tan pagamongan, lupa wiparita swabhawa nikang Maya Tattwa.
Artinya :
Cetana dan acetana itulah yang disebut Siwa Tattwa dan Maya Tattwa... sama halus dan gaibnya. Akan tetapi, Maya Tattwa kalah oleh Siwa Tattwa, (karena) tanpa kesadaran dan tanpa pengetahuan. Maya Tattwa hanyalah alpa, tidak memiliki kesadaran dan hampa sebagai wujudnya. Maya Tattwa itu awang-awang yang kosong dan hampa dan tidak berhingga, alpa dan selalu bingung, (demikianlah) sifat Maya Tattwa itu (Yasa, 2009:56).
Teks-teks Siwatattwa tersebut menegaskan bahwa mayatattwa adalah evolusi dari aspek Siwa (‘Sadasiwa’, Bhatara Mahulun’). Mayatattwa terdiri atas tiga sifat (triguna), yakni sattwam, rajas, tamas, tetapi seluruhnya tidur ‘aturu’, tanpa kesadaran ‘lupa’, dan tanpa pengetahuan ‘wyamoha’.  Kemudian, karena kehendak Bhattara Siwa, Ia menjadi aktif. Dalam Mahanirvana Tantra (Avalon, 1997:1—5) konsep maya ini diwujudkan dalam bentuk Shakti. Ketika Siwa dalam wujud nirguna, Ia tidak ber-Shakti, tetapi potensi Shakti ini telah ada dalam diri-Nya. Oleh karena itu, Shakti ini berada dalam kendali Siwa yang terang benderang dan penuh ’kesadaran’ (tutur). Maya dalam teks-teks Sanskerta diartikan sebagai asas dari semua ilusi kosmis, prakrti yang berubah-ubah, dan menjadikan atma (jiwa) terbelenggu dan terikat. Inilah yang dimaksud dengan tirobhava (nigraha), yaitu aktivitas maya yang penuh ilusi sehingga atma lupa dengan kesejatiannya. Namun, ketika atma telah sadar dengan kesejatiannya (’matutur ikang atma ri jatinia’) di situlah anugraha akan datang. Sekali lagi, baik tirobhava maupun anugeraha merupakan aktivitas dari Bhatara Siwa sendiri. 
Untuk memahami lebih jauh tentang ’nigraha’ dan ’anugraha’ ini dapat ditelusuri dalam Kakawin Arjunawiwaha. Untuk menguji keteguhan hati Arjuna, Bhatara Siwa mengutus bidadari tercantik di kahyangan untuk menggoda Arjuna. Bidadari adalah simbol Shakti (maya) yang diciptakan untuk ’mengaburkan’ kesadaran jiwa. Selain itu, Bhatawa Siwa juga menciptakan ilusi berupa babi hutan yang dipanah oleh Bhatara Siwa dan Arjuna secara bersamaan, dan menjadi rebutan. Setelah Arjuna berhasil mengatasi ilusi-ilusi (maya) ini, maka muncullah Bhatara Siwa dalam wujud asli-Nya untuk memberikan anugerah Pasupati atau Cadusakti. Syair-syair pemujaan terindah kepada Siwa dihaturkan Mpu Kanwa dalam Kakawin Arjunawiwaha, yaitu sembah yang utama dan hanya ditujukan kepada Siwa – tiada yang lain (’...wahyadyatmika sembahning hulun ijong ta tan hana waneh...”).
Siwa sebagai pemberi anugerah ini juga dijelaskan dalam berbagai teks kesusasteraan Hindu yang lain, misalnya dalam Ramayana. Tapa-brata yang teguh dari Rahvana berbalas dengan anugerah kekuatan dan kesaktian yang tiada tanding. Begitu juga cerita tentang Niwatakawaca yang dianugerahi kekuatan yang tak terkalahkan dalam triloka menunjukkan bahwa Siwa tidak pernah membeda-bedakan siapapun pengikutnya yang telah melaksanakan ajaran-ajarannya. Problematika konsep ’karma-phala’ dan ’anugeraha’ ini bahkan telah mendapat justifikasi dalam Siwastawa dan Bhagawadgita, sebagai berikut.
Asucirwa sucir wapi,
sarwa kama gato’pi wah,
cintayed dewa Isanam,
sabahyambhyantara sucih.
(’Orang, apakah ia suci atau tidak suci, bahkan diliputi oleh nafsu sekalipun, bila ia tekun memuja Siwa, ia menjadi suci lahir-bathin’) (Siwastawa, 7).      

Api cet su duracaro,
bhajate mam ananya bhak,
sadhur ewa sa mantawyah,
samyag wyawasito hi sah.
(’Bahkan orang yang terjahat sekalipun, bila ia memusatkan pikirannya untuk memuja-Ku, ia mesti dipandang sebagai orang yang baik, karena bertindak menuju yang benar’) (Bhagavadgita, IX.30).

Kedua sloka di atas menegaskan bahwa pemujaan yang dilaksanakan dengan penuh kesungguhan hati dan rasa tulus ikhlas akan membebaskan seluruh karma buruk, semata-mata karena anugerah Siwa. Sebuah ungkapan filosofis yang dapat dijadikan renungan bahwa ’agama bukan hanya milik orang baik, tetapi ia adalah milik semua orang yang menginginkan kebaikan’. Dengan memahami konsep anugraha sebagai bagian dari aktivitas kemahakuasaan Siwa, problematika Siwaratri yang selama ini dapat sedikit tercerahkan. Tiada yang tidak mungkin dalam anugerah Siwa. Kegelapan hati (ratri), keterbelengguan jiwa (papa), tanpa kesadaran (turu), tanpa pengetahuan (lupa-vyamoha) adalah ciptaan Siwa dalam kekuataan nigraha atau tirobhava. Ketika semua ini teratasi, maka Siwa akan memberikan anugraha yang tanpa batas.    

(3)  Siwaratri: Memuja dan Berburu Anugerah Siwa
Berpijak pada prinsip-prinsip Siwaisme di atas, tampaknya upaya untuk memahami teks Siwaratrikalpa telah menemukan sedikit titik terang. Mpu Tanakung – Sang Pengarang Agung – telah menjadikan prinsip Siwaisme ini dalam menyusun karya sastra tersebut. Prinsip dualisme-paradoks (binari oposisi) yang menjadi aspek utama dari Rudra-Siwa atau Siwa-Shakti menjadi basis dalam menyampaikan pesan estetitis-religius Siwaratrikalpa. Esensi paradoks inilah yang hendak dipahami dengan mengupas struktur dalam teks Siwaratrikalpa.
Judul teks ini adalah Siwaratrikalpa. Siwa artinya yang memberikan keuntungan, yang baik hati, suka  memaafkan, menyenangkan, memberi banyak harapan, yang tenang, dan yang membahagiakan (Monier, 1990:1074). Ratri artinya malam, gelap. Masalah paradok Siwaratri adalah oposisi berpasangan antara siwa dan ratri. Kata siwa menunjukkan ”siang, kesadaran, cinta  kasih, kebenaran, kedamaian dan segala yang bernilai luhur lainnya”. Siang adalah interprestasi waktu manusia sadar diri (tutur, atangi). Sedangkan kata ratri menandakan ”malam, kealpaan, papa, kekerasan, serta segala bernilai rendah lainnya”. Malam yang gelap adalah simbol kelupaan diri atau ketaksadaran (papa, aturu, raga). Dalam Wrhaspatitattwa 34 dijelaskan bahwa manusia dibelenggu oleh raga atau indriya yang dinyatakan sebagai orang yang aturu (tidur) dan inilah yang disebut papa. Sementara itu, kalpa berarti periode atau waktu. Waktu (kala) adalah tanpa batas, bersifat siklis, dan menguasai sepanjang garis eksistensi kehidupan manusia.
Terang-gelap, baik-buruk, dan seterusnya akan senantiasa membayangi seluruh kehidupan manusia, karena ia berada dalam hati setiap insan. Kakawin Ramayana menyebutkan “…ragadi musuh maparo, ri hati ya tonggwania, tan madoh ring awak” (‘…yang disebut dengan musuh, di hatilah tempatnya, tidak jauh dari badan’). Musuh dalam diri adalah sadripu, yaitu kegelapan yang menyebabkan belenggu-belenggu atman (‘papa’). Sadripu mewakili sifat-sifat ‘kebinatangan’ utama yang ada dalam diri manusia. Dalam Siwaratrikalpa diceritakan bahwa Si Lubdhaka adalah pemburu binatang (‘sato’), seperti harimau (mong), babi hutan (wek), gajah (gaja) dan badak (warak). Melenyapkan sadripu dalam diri adalah bekal utama melakukan pemujaan kepada Siwa, seperti disampaikan Ida Ketoet Djlantik dalam Sucita-Subudi “…kukusing sadripu dadgi…” (‘asap sadripu yang terbakar’).
Dalam konteks yang berbeda juga dapat dipahami bahwa perburuan Si Lubdhaka dimaksudkan untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarganya. Di sini, teks Siwaratrikalpa menyampaikan paradoks tentang ‘pembunuhan’ (asubha-karma) dan ‘kewajiban’(subha-karma). Permainan kata Mpu Tanakung dari ‘sato’ atau ‘satwa’ (binatang) menjadi ‘sattwa’ (kebenaran, kebajikan) mengungkapkan makna simbolis tentang transformasi sadripu. Sato (binatang) sebagi simbolis sadripu (guna rajas-tamas), akan menjadi kekuatan bila ditransformasi menjadi ‘sattwa’ (guna sattwam). Satwam, rajas, tamas adalah shakti-maya (kekuatan) yang ada dalam diri manusia. Ia dapat menjadi sumber dari segala belenggu (papa), tetapi ketika guna sattwam yang dominan akan bersifat membebaskan “…panentasakena ring subhakarma juga ikang subhakarma, phalaning dadi wwang” (‘...leburlah ke dalam perbuatan baik segala perbuatan buruk itu, begitulah gunanya menjadi manusia’) (Sarasamuccaya 2).
Wacana perburuan anugerah Siwa dalam Siwaratrikalpa dimulai dari perjalanan Si Lubhadaka ke arah airsanya (timur-laut) dengan membawa panah. Dalam konsep Siwaistis, timur-laut (kaja-kangin) adalah arah suci dalam pemujaan Siwa. Dilanjutkan dengan cerita Si Lubdhaka yang menaiki pohon Bilwa dan memetik satu demi satu daunnya agar tetap terjaga. Tanpa disadari, dalam danau (ranu, danu) di bawahnya terdapat sebuah lingga yang tidak pernah dibuat (‘lingga nora ginawe’). Dalam konteks bhakti dapat dipahami bahwa cerita Si Lubdhaka melakukan pemujaan tanpa sadar, merupakan wujud pemujaan Siwa yang paling utama. Hal ini dapat dirujuk dalam teks Arjunawiwaha ketika Arjuna mendapatkan anugerah Siwa berupa Pasupati, yakni “stuti nira ta (‘an’) tulus, sinahuran paramartha Siwa…” (‘pemujaannya yang begitu tulus, mendapatkan jawaban dari Bhatara Siwa…’). Ini melambangkan yogasastra Mpu Tanakung, yaitu pemujaan kepada Siwa dalam kesadaran yang konstan (’samadhi’). Dalam keadaan samadhi (kesadaran penuh dan konstan) inilah Hyang Siwa menampakkan diri-Nya yang disimbolkan dengan lingga nora ginawe pada danau yang jernih. Cerita ini dapat dimaknai lebih dalam dengan menyimak satu bait Kakawin Arjunawiwaha,sebagai berikut.
Sasi wimba haneng gata mesi banyu,
 Ndan asing suci nirmala mesi wulan,
 Iwa mangkana rakwa kiteng kadadin,
 ri sang ambeki yoga kiteng sakala”.
Artinya :
Ibarat cahaya bulan di tempayan berisi air jernih,
Pada air yang tenang dan jernih itulah banyangan bulan tampak,
Demikianlah sesungguhnya penampakan Tuhan dalam kehidupan,
Kepada orang yang melaksanakan yoga, Beliau menampakkan diri.
Selanjutnya, ketika Si Lubdhaka telah meninggal dan atma-nya dibawa ke Siwaloka terjadilah percakapan antara Bhatara Yama dan Bhatara Siwa tentang alasan Si Lubdhaka mendapatkan anugerah Siwa. Bhatara Siwa menjelaskan tentang keutamaan Brata Siwaratri, yaitu upawasa, monabrata, dan jagra. Dijelaskan bahwa siapapun yang melaksanakan Brata Siwaratri dengan benar disertai dengan pemujaan tulus ikhlas kepada Siwa, maka Siwa akan memberikan anugerah kepadanya dan mendapatkan tempat di Siwalaya atau Siwaloka. Secara simbolis dapat dipahami bahwa Brata Siwaratri berhubungan dengan upaya penyucian trikaya, yaitu manah (pikiran), wak (perkataan), dan kaya (perbuatan). Upawasa (‘tidak makan-minum’) berhubungan dengan pengendalian perbuatan, monabrata (‘tidak berbicara’) adalah pengendalian ucapan, dan jagra (‘tidak tidur’, ‘selalu sadar’) adalah pengendalian pikiran agar selalu tertuju hanya kepada kesucian (Siwa).  
Demikianlah teks Siwaratrikalpa menguraikan tentang pemujaan kepada Siwa untuk mendapatkan anugerah-Nya. Siwaratri adalah malam peleburan papa (‘keterbelengguan’) melalui brata (‘pengendalian diri’), punya (‘pembebasan’), dan bhakti (‘pemujaan’) yang ditujukan sepenuhnya kepada Siwa. Melalui pelaksanaan Siwaratri secara benar, niscaya anugerah Siwa akan diperoleh. Siwaisme mengajarkan jalan tengah bahwa moksa tidak hanya dapat dicapai dengan tapa, brata, yoga, dan samadhi, tetapi juga melalui bhakti untuk memperoleh anugerah Siwa. Penjelasan ini kiranya dapat merangkum seluruh pengalaman religius umat Hindu dalam melaksanakan malam Siwaratri sesuai dengan kualitas diri.       
C.    Penutup
Ajaran Siwaratri dipusatkan pada cara untuk menghilangkan ke-papa-an ”Atyanta kasyasih ning atma, sajna bhatara neraka” (’betapa menderitanya atma,  ya Tuhan-ku. Kapankah mereka lepas dari penderitaan? lalu bagaimana cara mengatasi papa tersebut’). Wrhaspatitattwa menjelaskan bahwa papa akan hilang, jika sang atman kembali kepada kesadaran asalinya ”yan matutur ikang atma rijatinya, irika yan alilang (kesadaran akan sang diri). Kesadaran akan diperoleh melalui tiga jalan (’telu prakaraning sadhana, anung gaweyakena de sang mahyun kelepasan’), yaitu (1) Jnanabhyudreka, ngaranya ikang wruh ring tattwa kabeh, berarti memiliki kebijaksanaan atau pengetahuan hakekat secara sempurna. (2) Indriya yoga marga ngaranya ikang tan jenek ring wiyasa, yaitu tidak terpesona dengan nikmat duniawi dengan cara mengendalikan indra dengan jalan yoga. Dan (3) Trsnadosaksaya, ngaranya ikang humilangaken phalaning subha asubha karma berarti dapat melenyapkan noda baik dan buruk (Wrhspatitattwa.52). Dengan demikian, hakikat ajaran Siwaratri yang hendak diajarkan dalam Kakawin Siwalatrikalpa tiada lain adalah mengembalikan sang atman dalam kesadaran murninya.  Siwaratri mengajarkan upaya terus menerus untuk mengatasi nigraha (’kekaburan’ ’kegelapan rohani karena pengaruh maya’) guna memperoleh anugeraha (’anugerah’) Siwa.
Siwaisme juga mengajarkan keutamaan dalam pemujaan Siwa bagi umat kebanyakan yang tidak sepenuhnya dapat melaksanakan Brata Siwaratri. Siapapun yang mendengarkan cerita keagungan Siwa (Siva-purana) akan memperoleh penyucian dan anugerah Siwa. Inilah keutamaan membaca, merenungkan, menghayati, dan mengamalkan ajaran Siwaratrikalpa. Siwaisme juga mengajarkan bahwa siapapun yang melakukan pemujaan dengan cara (upacara) dan sarana (upakara) yang benar akan memperoleh anugerah Siwa. Pandangan optimistik ini setidak-tidaknya dapat memberikan pemahaman yang lebih fleksibel dalam menatap fenomena perayaan Siwaratri dalam umat Hindu yang beraneka-ragam. Tradisi memberikan punia kepada para sulinggih pada hari Siwaratri merupakan wujud nyata dari transformasi konsep papa (’keterbelengguan’) menuju punya (’pembebasan). Semoga pikiran yang baik datang dari segala penjuru !!!.
Tlas Sinurat,
Tambawu – Saptambara 2015


D.    Daftar Kepustakaan

Agastia, IBG. 1997. Memahami Makna  Siwaratri. Denpasar: Yayasan Dharma sastra.

---------------. 2001. Siwaratrikalpa Karya Mpu Tanakung. Denpasar: Yayasan Darma Sastra.

---------------. 2003. Siwa Smreti. Denpasar: Yayasan Dharma Sastra.

Avalon, Arthur. 1997. Mahanirwana Tantra. Penerjemah K. Nila. Denpasar: Upada Sastra.

Gonda, J. 1996. Visnuism and Sivaism. Delhi. Munshiram Manorharlal.

Hutomo, Suripan Sadi. 1993. Cerita Kentrung Sarahwulan di Tuban. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.

Kajeng, I Nyoman, dkk. 1997. Sarasamuccaya Dengan Teks Bahasa Sanskerta dan Jawa Kuna. Jakarta: Hanuman Sakti.

Palguna. IBM Dharma. 2000. Cara Mpu Monaguna Memuja Siwa, Catatan dari kakawin Sumanasantaka. Denpasar: Dharma sastra.

---------------, 1998. Siwaratri dalam Padma Purana. Denpasar: Dharma Sastra.

Phalgunadi, I Gusti Putu. 2010. Sekilas Sejarah Evolusi Agam Hindu. Denpasar: Program Magister Ilmu Agama dan Kebudayaan UNHI Denpasar bekerjasama dengan Penerbit Widya Dharma.

Sangidu. 2004. Penelitian Sastra: Pendekatan, Teori, Metode, Teknik, dan Kiat. Yogyakarta: Unit Penerbitan Sastra Asia Barat Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada.

Suamba. IBP (Penerjemah). 1996. Siwa Sahasra-Nama (Seribu Nama Siwa) dalam Siwa Purana. Denpasar: Dharma Sastra.

----------------. 2003. ”Siwa Nataraja: Simbol, Filsafat, dan Signifikansinya dalam Kesenian Bali”, dalam ”Estetika Hindu dan Pembangunan Bali”. Denpasar: Program Magister Ilmu Agama dan Kebudayaan UNHI Denpasar bekerjasama dengan Penerbit Widya Dharma.

----------------. 2007. Siwa Buddha di Indonesia Ajaran dan Perkembangannya. Denpasar: Program Magister Ilmu Agama dan Kebudayaan UNHI Denpasar bekerjasama dengan Penerbit Widya Dharma.

Sugiarto R. dan Gde Pudja. 1982. Swetaswatara Upanisad. Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci Hindu, Departemen Agama RI.
Sumardjo, Jakob. 2002. Arkeologi Budaya Indonesia: Pelacakan Hermeneutis-Historis terhadap Artefak-Artefak Kebudayaan Indonesia. Yogyakarta: Qalam.

Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.

Tim Penerjemah. 1994. Buana Kosa Alih Aksara dan Alih Bahasa (Brahma Rahasyam). Denpasar: Upada Sastra.

Yasa, I Wayan Suka, dkk. 2008. Siwaratri: Wacana Perburuan Spiritual (Dulu dan Kini). Denpasar: Fakultas Ilmu Agama bekerjasama dengan Penerbit Widya Dharma.

Yasa, I Wayan Suka dan I Putu Sarjana. 2009. Siwa Sidhanta Brahma Widya Teks Tattwa Jnana. Denpasar: Pemerintah Provinsi Bali, Proyek Percetakan Buku-buku Penuntun Agama Hindu Pesraman Remaja.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar