SIWARATRI: BERBURU ANUGERAH SIWA
(Memahami Teks Siwaratrikalpa
dari
Perspektif Siwaisme)
Oleh
Dr.
Nanang Sutrisno, S.Ag, M.Si
A.
Pendahuluan
Dalam pelaksanaan hari suci Siwaratri di Indonesia, teks yang
menjadi rujukan utama adalah Siwaratrikalpa
yang oleh masyarakat umum dikenal dengan nama Kakawin Lubdhaka. Menurut Teew (1984) bahwa teks ini ditulis Mpu
Tanakung sekitar tahun 1466 – 1478 M. Tokoh utama yang diceritakan dalam teks
ini adalah Si Lubdhaka – lubdhaka juga berarti pemburu – seorang pemburu
binatang yang penuh papa karena sering
melakukan himsakarma. Akan tetapi, ia
telah melaksanakan brata yang tepat,
yaitu malam hari bertepatan dengan panglong
ping 14 sasih kapitu (‘catur daseng
kapitu krsna’). Ini adalah malam Siwa (Siwa-ratri).
Paradoks dalam teks ini muncul ketika Si Lubdhaka meninggal. Atma-nya diperebutkan oleh Ganabala (pasukan Siwalaya) dan Kingkarabala (pasukan
Yamalaya) yang akhirnya dimenangkan
oleh Ganabala. Hal ini dipertanyakan oleh
Bhatara Yama kepada Bhatara Siwa ‘mengapa Si Lubdhaka yang sering melaksanakan himsakarma mendapatkan anugerah Siwa?’
Akhirnya, Bhatara Siwa menjelaskan keutamaan brata Siwaratri yang penuh anugerah (Agastia, 1999:50; Yasa, dkk.,
2008:18—21). Demikianlah ikhtisar teks Siwaratrikalpa
yang cukup populer bagi umat Hindu dan telah menjadi konsumsi pengetahuan
utama ketika membahas Siwaratri.
Teks Siwaratrikalpa sebagai
salah satu permata kesusasteraan Jawa Kuna (kawi)
memang tidak mudah dipahami maknanya – begitu juga teks-teks yang lain. Meskipun teks ini telah dibaca dan
ditafsirkan berulang-ulang, tetapi selalu terbuka peluang untuk menemukan makna
baru (‘rasa anyar’) di dalamnya. Apalagi
sejumlah penggelut sastra Jawa Kuna menyatakan bahwa teks Siwaratrikalpa memiliki daya pesona, makna berlapis, dan dapat
mengantarkan pembacanya memperoleh pengalaman estetis-religius (Yasa,dkk.,
2008:v). Hal ini sejalan dengan pandangan Derrida (Al-Fayyadl, 2005:xii) bahwa teks
akan hidup terus (survivre) sebagai
‘masalah’ yang selalu terbuka untuk ditafsirkan, sekaligus menolak adanya
ketunggalan makna. Artinya, tidak ada penafsiran yang paling benar bagi sebuah
karya sastra sejauh pijakan yang digunakan memiliki nilai kebenarannya sendiri.
Siwaisme (‘ajaran Siwa’ atau ‘paham ke-Siwa-an’) dapat
dikatakan sebagai prinsip yang mendasari pelaksanaan hari suci Siwaratri. Alasannya
bahwa Padma Purana yang menjadi kitab
‘babon’ dari teks Siwaratrikalpa adalah kitab purana yang tergolong Siwaistis. Bhatara
Siwa adalah tujuan utama pemujaan dalam pelaksanaan upacara Siwaratri. Secara
implisit, Mpu Tanakung melaksanakan pemujaan kepada Siwa yang disampaikan
melalui sembah Bhatara Yama kepada Bhatara Siwa dalam teks Siwaratrikalpa, sebagai berikut.
Om sembah ning asaraya caranapangkaja
bhuwana napatiki tinghali/
wahyawahya panembah i ngwang kiteka
satata kinabhaktyan i nghulun/
byaktabyakta kiteng sarat kita hurip
ning ahurip agawe halahayu/
sang manggeh pinakesti ning
mahalilang manah anilaraken dasendriya//
Artinya:
Om
sembah hamba kepada-Mu, O Dewa Penguasa Dunia, semoga tersaksikan/
lahir
batin sembah hamba kepada-Mu yang senantiasa hamba sembah/
nyata
dan tidak nyata Engkau di dunia, Engkau adalah jiwa segala yang ada, serta yang
membuat baik dan buruk/
Engkau
senantiasa disembah oleh orang yang ingin menyucikan pikiran dan mengendalikan
indria// (Agastya, 1990:51).
Petikan bait kakawin tersebut
menunjukkan bahwa Siwatarikalpa adalah
wujud yogasastra Mpu Tanakung untuk
memuja Siwa. Selain itu, sejumlah pilihan kata yang digunakan, seperti lingga dan daun bilwa merupakan sarana
utama pemujaan kepada Siwa. Berpijak pada bukti-bukti tersebut, Siwaisme dapat
menjadi piranti penting untuk memahami isi teks Siwaratrikalpa. Mengungkap teks Siwaratrikalpa
dari perspektif Siwaistis merupakan upaya menemukan makna lain yang
diharapkan dapat memperkaya kajian-kajian sebelumnya.
B.
Pembahasan
Kakawin Siwaratrikalpa hendaknya
dipahami sebagai teks sastra yang memiliki sistem makna berlapis. Oleh karena
itu, diperlukan pembacaan secara bertingkat pada tataran mimetik untuk menemukan arti (meaning) dan tataran semiotik untuk
menemukan makna (significance). Artinya,
pembaca sebagai pemberi makna (signifier) harus mulai dari pembacaan heuristik, yakni pembacaan berdasarkan kompetensi
linguistik untuk menemukan arti. Kemudian, melanjutkan analisis secara hermeneutik, yakni pembacaan struktural berdasarkan
kompetensi sastra untuk menemukan simpul-simpul makna (Yasa, 2010:19). Ibarat
sebuah ‘bawang’ lapis demi lapis teks ini perlu dikupas untuk menemukan lapis
makna yang lebih dalam. Hermeneutik sebagai strategi mengungkap makna teks
merupakan seni penafsiran yang dapat diterapkan pada semua teks sastra, termasuk
Siwaratrikalpa.
Untuk menafsirkan Kakawin Siwaratrikalpa diperlukan dua
perangkat penting, yaitu teori dan perspektif. Teori memberikan kejelasan
tentang cara kerja yang digunakan untuk mengungkap isi teks. Sementara itu,
perspektif memberikan kejelasan tentang cara pandang yang digunakan untuk
menafsirkan isi teks. Dalam kajian ini, teori struktural digunakan untuk mengungkap makna Kakawin Siwaratrikalpa yang bertolak
dari teks itu sendiri (Hutomo, 1993:8). Mengingat
teks ini juga berhubungan dengan teks-teks lainnya sehingga digunakan teori
intertekstualitas. Asumsi dasar
teori ini bahwa sebuah teks tidak akan bebas dari pengaruh-pengaruh teks-teks
lainnya (Teeuw, 2003:120—121). Adapun perspektif
yang digunakan adalah Siwaisme, yaitu ajaran Siwa atau paham ke-Siwa-an. Dengan
perspektif ini, seluruh isi Siwaratrikalpa
akan dipahami dalam konteks ke-Siwa-an, bukan ajaran yang lain.
(1)
Karakter Ajaran Siwa
Siwaisme di India diperkirakan muncul pada
seputaran abad ke-2 sebelum masehi, walaupun bibit-bibitnya telah ada sejak
zaman peradaban lembah sungai Sindhu (3000—2000 SM). Sejumlah bukti yang
ditemukan di Mohenjodaro dan Harrapa menunjukkan adanya prototype pemujaan Siwa, seperti adanya pemujaan lingga, shakti, dan Siwa Pasupati (Phalgunadi, 2010:21). Dewa Siwa sebagai
Dewa Tertinggi disamakan dengan Rudra, yakni salah satu dewa yang dipuja dalam
kitab suci Weda (Mahajan, 2002:376). Karakter Rudra-Siwa yang disebutkan dalam Rg Veda sungguh bermacam-macam, seperti
‘bercahaya bagaikan matahari’, ‘berpakaian dengan ornamen keemasan’,
‘bijaksana’, ‘yang paling kuat’, ‘penguasa lagu’, ‘penguasa obat-obat penawar’,
‘penakluk yang tak terkalahkan’, ‘penguasa universal’, ‘badai dan angin yang
membawa kebinasaan’, dan ‘hujan kemakmuran’. Kemudian dalam kitab Yajur Veda dijelaskan bahwa Rudra muncul
dalam wujudnya yang jamak sehingga dikenal istilah Satarudria (seratus Rudra). Rudra muncul dalam karakter yang ramah,
indah, dan melindungi (Siwa) yang dibedakan dengan penampilannya yang
menakutkan (Raudra). Dalam kitab Atharva
Veda, Rudra adalah penjaga arah mata angin dan pujaan bagi orang-orang yang
merasa papa (Agastya, 2003:97). Jadi, karakter Rudra-Siwa yang dijelaskan
dalam Catur Veda Samhita telah
bersifat paradoksal.
Penjelasan tentang
Rudra-Siwa kemudian juga ditemukan dalam kitab-kitab Upanisad, salah satunya Svetasvatara
Upanisad. Dalam Svetasvatara
Upanisad.III.1, 2, dan 11 dijelaskan sebagai berikut.
“Dia, Diri Yang Maha Agung, yang di alam semesta ini menjadi
satu-satunya Penguasa, yang memiliki kemampuan mencipta, yang menguasai alam
semesta dengan kekuasaan-Nya yang amat besar, dengan kemampuan maya-Nya itu telah mencipta dan mengatur
muncul dan lenyapnya segala sesuatu di alam semesta ini. Siapa yang telah dapat
menyadari dan menghayati kesunyataan ini, dia menjadi abadi” (SU.III.1).
“Di alam semesta ini, hanya ada satu penguasa, yaitu Rudra.
Beliau tidak memperkenankan yang lain sebagai yang kedua. Beliau mengatur semua
alam dengan kekuatan-Nya. Rudra berdiri di belakang semua makhluk. Setelah
Rudra selesai mencipta alam dan segala isinya, Beliau juga sebagai Sang Maha
Pelindung, dan akhirnya pada titik akhir dari periode zaman tertentu, Beliau menyerap
segala yang ada itu dan memasukkannya ke dalam diri Beliau” (SU.III.2).
“Sang Bhagavat (Tuhan) itu ada di dalam wajah, leher, dan
kepala semua makhluk. Beliau menghuni goa hati semua makhluk. Beliau meliputi
segala sesuatu. Oleh karena itu, Beliau tidak lain dari Siwa yang keberadaannya
ada di mana-mana” (SU.III.3)
(Sugiarto & Pudja, 1982:32).
Kutipan teks upanisad tersebut memberikan kejelasan
bahwa Rudra-Siwa adalah Tuhan Yang Maha Esa (‘eko hi Rudro na dwīttyāyā…’). Rudra-Siwa memiliki tiga kekuatan
utama, yaitu mencipta (utpetti),
memelihara (sthiti), dan melebur (pralina) segala yang ada. Beliau juga
dikatakan memiliki kekuatan maya (shakti) yang aktif dalam proses utpatti, sthiti, dan pralina. Siapapun yang menghayati
kebenaran Rudra-Siwa ini akan mencapai keabadian (moksa). Dalam pandangan ilmu sejarah, karakter Rudra-Siwa inilah
yang kemudian menjadi dasar perkembangan Siwaisme pada zaman berikutnya.
Mazhab (sekte) Siwa
mengalami perkembangan yang pesat pada zaman Purana (±
300 – 700 M), begitu juga mazhab-mazhab yang lain, seperti Vaishnava, Sakta, Pasupata, dan Ganapatya.
Seturut dengan
munculnya sekte-sekte tersebut, terdapat ciri penting ajaran
sekte-sekte yang patut diketahui. Adapun karakteristik sebuah mazhab atau
sekte, antara lain: (a) memiliki nama Tuhan Tertinggi; (b) memiliki kitab suci
sendiri; (c) memiliki sadhana sendiri;
(d) memiliki doktrin ajaran sendiri; (e) memiliki ritual pemujaan yang khas;
(f) memiliki kosmologi dan kosmogoni sendiri; (g) memiliki ajaran yoga-nya sendiri; (h) memiliki
kepercayaan moksa sendiri; dan (i)
memiliki sistem filsafat sendiri (Phalgunadi, 2010:46). Setiap sekte mencerminkan model agama optimistik karena
memberikan jalan yang pasti bagi pengikutnya untuk mencapai sorga ataupun moksa. Misalnya, pengikut Sampradaya
Kesadaran Krishna (ISKCON) percaya
bahwa sorga akan diperoleh dengan
menyerahkan diri sepenuhnya kepada Krishna dan mengucapkan Mahamantra “Hare Rama-Hare Krishna”. Karakteristik ajaran semacam
ini juga berlaku pada sekte-sekte yang lain, termasuk juga dalam mazhab Siwa.
Kitab-kitab purana yang menjadi ‘pancama Veda’ bagi sekte-sekte tertentu
memberikan garis yang jelas dan tegas tentang prinsip-prinsip ajaran yang
dianut dalam sekte tersebut. Misalnya, Siva
Purana yang memuji dan mengagungkan kebesaran Siwa merupakan kitab suci
para penganut Siwa yang menjelaskan ritual dan prinsip-prinsip filosofis ajaran
Siwa. Kitab Skanda Purana juga
menceritakan keagungan Siva Purana yang
diyakini telah diajarkan oleh Siwa sendiri. Pengetahuan tentang Siva Purana dapat menyucikan pikiran
orang di zaman Kali. Dengan mendengarkan Siva
Purana, seseorang akan bebas dari segala dosa, menikmati kebahagiaan
duniawi, dan akan mencapai alam Siwa (Siwaloka)
(Suamba, 1999:6). Ajaran semacam ini merupakan karakteristik ajaran sekte-sekte
yang harus diyakini dan dilaksanakan oleh penganutnya dengan penuh kesungguhan
dan keikhlasan hati.
Siwaisme sebagai
prinsip ajaran Siwa telah melembaga sedemikian rupa, baik dari segi tattwa, susila, dan acara. Secara filosofis, ajaran Siwa Siddhanta yang mula-mula
berkembang di India selatan mengelaborasi prinsip-prinsip ajaran Veda, upanisad, samkhya, yoga, vedanta, dan tantrayana.
Siwa yang bersifat nirguna,
nirguna-saguna, dan saguna; konsep
Siwa-Shakti; dan dewa-dewa ‘dik-vidik’ (pangider-ider)
merupakan prinsip utama Siwatattwa. Siwaisme
juga menerima ajaran susila yang
bersumber dari kitab-kitab Sruti dan Smerti, serta tradisi bajik yang berlaku
di masyarakat. Dalam konteks acara,
Siwaisme umumnya melanjutkan tradisi upacara ‘yajna’ dari Brahmanisme,
Tantrayana, Mimamsasutra, dan pemujaan Siwa yang diajarkan dalam
kitab-kitab purana. Selain itu, juga Phalgunadi
(2010:42) menjelaskan beberapa prinsip penting ajaran Siwa bahwa moksa
dapat dicapai dengan: (a) jalan bhakti melalui persembahan (‘yajna’ atau ‘samskara’) dengan sadhana Pancamakara (biji-bijian ‘mudra’, ikan ‘matsya’, daging ‘mamsa’, minuman keras ‘mada’,
dan simbol purusha-prakrti ‘maithuna’), (b) jalan brata- yoga, dan (c) anugerah Siwa. Prinsip-prinsip ajaran
Siwa ini juga diterima di Indonesia yang ditransformasi dan dimodifikasi sesuai
dengan karakter lokal bangsa Indonesia.
Di Indonesia, Siwaisme
menjadi salah satu mazhab dengan penganut terbesar sebagaimana ditunjukkan oleh
bukti-bukti sejarah dan kesusasteraan. Tampaknya karakter Rudra-Siwa yang
bersifat paradoks memiliki kesesuaian dengan alam pikiran religius bangsa
Indonesia. Menurut
Soemardjo (2002:16) bahwa salah satu basis
religius bangsa
Indonesia adalah kepercayaan yang bersifat dualistik (binary
oposition), seperti sakral-profan, gunung-laut, siang-malam,
absolut-relatif, dan sebagainya. Melalui perkawinan kosmis kedua polarisasi ini
diharmoniskan, direkonsiliasi, disatukan sehingga semuanya kembali ke Yang
Tunggal, Yang Absolut. Prinsip ini mengingatkan
pada karakteristik Rudra (‘menakutkan’) dan Siwa (‘welas-asih’), serta konsep Siwa-Shakti
(‘ardhanareswari’) yang menjadi
simbol dari seluruh kekuatan Siwa dalam
utpatti, stithi, dan pralina. Sisi paradoksal dalam Siwaisme
ini tampaknya juga menginspirasi Mpu Tanakung dalam penulisan Siwaratrikalpa, sebagai sarana untuk
mengungkapkan ‘kesunyataan Siwa’.
(2)
Panca Krtya: Lima Aktivitas Siwa
Selain lingga, Siwa Nataraja merupakan simbol
Siwa yang cukup populer dalam ikonografi India. Dengan mengutip sejumlah
sumber, Suamba (2003:4—5) menyatakan bahwa Siwa
Nataraja adalah bentuk visual dari filsafat Siwa Siddhanta. Siwa Nataraja adalah bentuk
antropomorfis dari Siwa. Pada umumnya, bentuk antropomorfis Siwa dapat
diklasifikasikan menjadi dua, yaitu ugra atau
ghora (menyeramkan) dan aspek saumya atau santa (damai). Salah satu aspek filsafat Siwa Siddhanta yang
digambarkan dalam Siwa Nataraja adalah
Panca Krtya atau ‘lima aktivitas
Siwa’, yaitu Sristi (utpatti ‘penciptaan’), sthiti (‘perlindungan’), samhara (‘penghancuran’), tirobhava atau nigraha (‘pengaburan’), dan anugraha
(‘anugerah’) (Benerjea, 2002:473; Suamba, 2002:11). Kelima aktivitas ini
dikuasai dan dikendalikan oleh Siwa sebagai bagian dari kekuatan dan
kemahakuasaan-Nya.
Dalam
transformasinya ke Indonesia, teks-teks Siwatattwa
umumnya hanya menyebutkan 3 (tiga) aktivitas Bhatara Siwa, yaitu utpatti, stithi, dan pralina. Teks Bhuwana Kosa, VII.25, menjelaskan
“Bhatāra Brāhmā sirotpatti, Bhatāra Wisnu sira sthiti,
Bhatāra Rudra sira pralina, nāhan tang tiga pinaka sarana ring loka” (’Mencipta (utpatti) adalah Bhatara Brahma,
ketika memelihara (sthiti) adalah Bhatara Wisnu, Bhatara Rudra beliau mempralina, demikian ketiga itu sebagai pelindung dunia. Dalam Bhuwanakosa, III.80
juga dijelaskan “…sakweh ning
jagat kabeh, mijil sangkeng Bhattārā Śiwa ika, lina ring Bhattārā Śiwa ya” (‘....seluruh alam semesta, lahir dari Bhatara Siwa dan kembali kepada Bhatara
Siwa juga’) (Tim
Penj.,1994:90). Sementara itu, aktivitas Siwa dalam tirobhava atau nigraha (’pengaburan’) dan anugraha
(’anugerah’) jarang ditemukan secara langsung dalam teks-teks tattwa berbahasa Jawa Kuna.
Meskipun demikian, konsep tirobhava
(’pengaburan’) dapat ditelusuri dalam konsep ’mayatattwa’, ’acetana’ sebagai bagian dari evolusi tattwa Siwa. Paramasiwa yang nirguna (’tanpa
sifat’) menjadi Sadasiwa yang nirguna-saguna (’tanpa sifat-memiliki
sifat), kemudian Siwatma yang saguna (’memiliki sifat-sifat’). Sadasiwa dalam teks Tattwa Jnana.6 disebut Bhattara
Mahulun ’yang berkehendak’ “...Bhattara
Mahulun sira mahyun manon wastu sakala…” (‘…Bhattara Mahulun berkehendak menyaksikan
wujud nyata…’). Ini merupakan bentuk kesadaran aktif dari Siwa. Dari kesadaran
aktif ini lahirlah Siwa dalam wujud cetana atau siwatattwa (‘kesadaran penuh’) dan acetana atau mayatattwa (‘tanpa
kesadaran’). Dalam
Tattwa Jnana (2), dijelaskan seperti berikut.
Ikang cetana lawan acetana yeka sinangguh Siwa Tattwa lawan Maya Tattwa…
pada litnya mwang suksmanya, kunang kasor nikang Maya Tattwa dening Siwa
Tattwa, tanpacetana, tanpajnana, ikang Maya Tattwa, kewala lupa, tan kahanan
tutur, taya pinakawaknya, awang-awang, uwung-uwung, tan pagamongan, lupa
wiparita swabhawa nikang Maya Tattwa.
Artinya :
Cetana dan acetana itulah yang disebut Siwa Tattwa dan Maya Tattwa... sama halus dan gaibnya. Akan tetapi, Maya Tattwa kalah oleh Siwa Tattwa, (karena) tanpa kesadaran
dan tanpa pengetahuan. Maya Tattwa hanyalah
alpa, tidak memiliki kesadaran dan hampa sebagai wujudnya. Maya Tattwa itu awang-awang yang kosong dan hampa dan tidak berhingga,
alpa dan selalu bingung, (demikianlah) sifat Maya Tattwa itu (Yasa, 2009:56).
Teks-teks Siwatattwa tersebut
menegaskan bahwa mayatattwa adalah evolusi
dari aspek Siwa (‘Sadasiwa’, ‘Bhatara Mahulun’). Mayatattwa terdiri atas tiga sifat (triguna), yakni sattwam,
rajas, tamas, tetapi seluruhnya tidur ‘aturu’,
tanpa kesadaran ‘lupa’, dan tanpa
pengetahuan ‘wyamoha’. Kemudian, karena kehendak Bhattara Siwa, Ia menjadi aktif. Dalam Mahanirvana Tantra (Avalon, 1997:1—5)
konsep maya ini diwujudkan dalam bentuk
Shakti. Ketika Siwa dalam wujud nirguna,
Ia tidak ber-Shakti, tetapi potensi Shakti ini telah ada dalam diri-Nya.
Oleh karena itu, Shakti ini berada
dalam kendali Siwa yang terang
benderang dan penuh ’kesadaran’ (tutur).
Maya dalam teks-teks Sanskerta diartikan
sebagai asas dari semua ilusi kosmis, prakrti
yang berubah-ubah, dan menjadikan atma
(jiwa) terbelenggu dan terikat. Inilah yang dimaksud dengan tirobhava (nigraha), yaitu aktivitas
maya yang penuh ilusi sehingga atma lupa dengan kesejatiannya. Namun,
ketika atma telah sadar dengan
kesejatiannya (’matutur ikang atma ri
jatinia’) di situlah anugraha akan
datang. Sekali lagi, baik tirobhava maupun
anugeraha merupakan aktivitas dari
Bhatara Siwa sendiri.
Untuk memahami lebih jauh tentang ’nigraha’ dan ’anugraha’ ini dapat ditelusuri dalam Kakawin Arjunawiwaha. Untuk menguji keteguhan hati Arjuna, Bhatara
Siwa mengutus bidadari tercantik di kahyangan untuk menggoda Arjuna. Bidadari
adalah simbol Shakti (maya) yang diciptakan untuk
’mengaburkan’ kesadaran jiwa. Selain itu, Bhatawa Siwa juga menciptakan ilusi
berupa babi hutan yang dipanah oleh Bhatara Siwa dan Arjuna secara bersamaan,
dan menjadi rebutan. Setelah Arjuna berhasil mengatasi ilusi-ilusi (maya) ini, maka muncullah Bhatara Siwa
dalam wujud asli-Nya untuk memberikan anugerah Pasupati atau Cadusakti. Syair-syair
pemujaan terindah kepada Siwa dihaturkan Mpu Kanwa dalam Kakawin Arjunawiwaha, yaitu sembah yang utama dan hanya ditujukan
kepada Siwa – tiada yang lain (’...wahyadyatmika
sembahning hulun ijong ta tan hana waneh...”).
Siwa sebagai pemberi anugerah ini juga
dijelaskan dalam berbagai teks kesusasteraan Hindu yang lain, misalnya dalam
Ramayana. Tapa-brata yang teguh dari
Rahvana berbalas dengan anugerah kekuatan dan kesaktian yang tiada tanding.
Begitu juga cerita tentang Niwatakawaca yang dianugerahi kekuatan yang tak
terkalahkan dalam triloka menunjukkan
bahwa Siwa tidak pernah membeda-bedakan siapapun pengikutnya yang telah
melaksanakan ajaran-ajarannya. Problematika konsep ’karma-phala’ dan ’anugeraha’ ini bahkan telah mendapat
justifikasi dalam Siwastawa dan Bhagawadgita, sebagai berikut.
Asucirwa
sucir wapi,
sarwa
kama gato’pi wah,
cintayed
dewa Isanam,
sabahyambhyantara
sucih.
(’Orang, apakah ia suci atau tidak suci, bahkan diliputi
oleh nafsu sekalipun, bila ia tekun memuja Siwa, ia menjadi suci lahir-bathin’)
(Siwastawa, 7).
Api
cet su duracaro,
bhajate
mam ananya bhak,
sadhur
ewa sa mantawyah,
samyag
wyawasito hi sah.
(’Bahkan orang yang terjahat sekalipun, bila ia memusatkan
pikirannya untuk memuja-Ku, ia mesti dipandang sebagai orang yang baik, karena
bertindak menuju yang benar’) (Bhagavadgita, IX.30).
Kedua sloka di atas menegaskan bahwa pemujaan yang dilaksanakan dengan
penuh kesungguhan hati dan rasa tulus ikhlas akan membebaskan seluruh karma buruk, semata-mata karena anugerah
Siwa. Sebuah ungkapan filosofis yang dapat dijadikan renungan bahwa ’agama
bukan hanya milik orang baik, tetapi ia adalah milik semua orang yang
menginginkan kebaikan’. Dengan memahami konsep anugraha sebagai bagian dari aktivitas kemahakuasaan Siwa,
problematika Siwaratri yang selama
ini dapat sedikit tercerahkan. Tiada yang tidak mungkin dalam anugerah Siwa.
Kegelapan hati (ratri),
keterbelengguan jiwa (papa), tanpa
kesadaran (turu), tanpa pengetahuan (lupa-vyamoha) adalah ciptaan Siwa dalam
kekuataan nigraha atau tirobhava. Ketika semua ini teratasi,
maka Siwa akan memberikan anugraha yang
tanpa batas.
(3)
Siwaratri: Memuja dan Berburu Anugerah Siwa
Berpijak pada
prinsip-prinsip Siwaisme di atas, tampaknya upaya untuk memahami teks Siwaratrikalpa telah menemukan sedikit
titik terang. Mpu Tanakung – Sang Pengarang Agung – telah menjadikan prinsip
Siwaisme ini dalam menyusun karya sastra tersebut. Prinsip dualisme-paradoks
(binari oposisi) yang menjadi aspek utama dari Rudra-Siwa atau Siwa-Shakti menjadi
basis dalam menyampaikan pesan estetitis-religius Siwaratrikalpa. Esensi paradoks inilah yang hendak dipahami dengan
mengupas struktur dalam teks Siwaratrikalpa.
Judul teks ini
adalah Siwaratrikalpa. Siwa artinya yang memberikan
keuntungan, yang baik
hati, suka memaafkan, menyenangkan, memberi banyak harapan,
yang tenang, dan yang membahagiakan (Monier, 1990:1074). Ratri
artinya malam, gelap. Masalah paradok Siwaratri adalah oposisi berpasangan antara siwa dan ratri. Kata siwa menunjukkan ”siang, kesadaran,
cinta kasih, kebenaran, kedamaian dan
segala yang bernilai luhur lainnya”. Siang adalah interprestasi waktu manusia
sadar diri (tutur, atangi). Sedangkan
kata ratri menandakan ”malam, kealpaan,
papa, kekerasan, serta segala bernilai rendah lainnya”. Malam yang gelap adalah
simbol kelupaan diri atau ketaksadaran (papa,
aturu, raga). Dalam Wrhaspatitattwa
34 dijelaskan bahwa manusia dibelenggu oleh raga
atau indriya yang dinyatakan sebagai orang
yang aturu (tidur) dan inilah yang
disebut papa. Sementara itu, kalpa berarti
periode atau waktu. Waktu (kala)
adalah tanpa batas, bersifat siklis, dan menguasai sepanjang garis eksistensi
kehidupan manusia.
Terang-gelap,
baik-buruk, dan seterusnya akan senantiasa membayangi seluruh kehidupan manusia,
karena ia berada dalam hati setiap insan. Kakawin
Ramayana menyebutkan “…ragadi musuh
maparo, ri hati ya tonggwania, tan madoh ring awak” (‘…yang disebut dengan
musuh, di hatilah tempatnya, tidak jauh dari badan’). Musuh dalam diri adalah sadripu, yaitu kegelapan yang
menyebabkan belenggu-belenggu atman (‘papa’). Sadripu mewakili sifat-sifat ‘kebinatangan’ utama yang ada dalam diri manusia. Dalam Siwaratrikalpa diceritakan bahwa Si Lubdhaka adalah pemburu
binatang (‘sato’), seperti harimau (mong), babi hutan (wek), gajah (gaja) dan
badak (warak). Melenyapkan sadripu dalam
diri adalah bekal utama melakukan pemujaan kepada Siwa, seperti disampaikan Ida
Ketoet Djlantik dalam Sucita-Subudi “…kukusing sadripu dadgi…” (‘asap sadripu yang terbakar’).
Dalam konteks yang
berbeda juga dapat dipahami bahwa perburuan Si Lubdhaka dimaksudkan untuk
mencukupi kebutuhan hidup keluarganya. Di sini, teks Siwaratrikalpa menyampaikan paradoks tentang ‘pembunuhan’ (asubha-karma) dan ‘kewajiban’(subha-karma). Permainan kata Mpu
Tanakung dari ‘sato’ atau ‘satwa’ (binatang) menjadi ‘sattwa’ (kebenaran, kebajikan)
mengungkapkan makna simbolis tentang transformasi sadripu. Sato (binatang) sebagi
simbolis sadripu (guna rajas-tamas), akan menjadi kekuatan
bila ditransformasi menjadi ‘sattwa’
(guna sattwam). Satwam, rajas, tamas adalah shakti-maya
(kekuatan) yang ada dalam diri manusia. Ia dapat menjadi sumber dari segala
belenggu (papa), tetapi ketika guna sattwam yang dominan akan bersifat
membebaskan “…panentasakena ring
subhakarma juga ikang subhakarma, phalaning dadi wwang” (‘...leburlah ke
dalam perbuatan baik segala perbuatan buruk itu, begitulah gunanya menjadi
manusia’) (Sarasamuccaya 2).
Wacana perburuan anugerah Siwa dalam Siwaratrikalpa dimulai dari perjalanan Si Lubhadaka ke arah airsanya (timur-laut) dengan membawa
panah. Dalam konsep Siwaistis, timur-laut (kaja-kangin)
adalah arah suci dalam pemujaan Siwa. Dilanjutkan dengan cerita Si Lubdhaka
yang menaiki pohon Bilwa dan memetik satu demi satu daunnya agar tetap terjaga.
Tanpa disadari, dalam danau (ranu, danu)
di bawahnya terdapat sebuah lingga yang
tidak pernah dibuat (‘lingga nora ginawe’).
Dalam konteks bhakti dapat dipahami
bahwa cerita Si Lubdhaka melakukan pemujaan tanpa sadar, merupakan wujud
pemujaan Siwa yang paling utama. Hal ini dapat dirujuk dalam teks Arjunawiwaha ketika Arjuna mendapatkan
anugerah Siwa berupa Pasupati, yakni
“stuti nira ta (‘an’) tulus, sinahuran
paramartha Siwa…” (‘pemujaannya yang begitu tulus, mendapatkan jawaban dari
Bhatara Siwa…’). Ini
melambangkan yogasastra Mpu Tanakung,
yaitu pemujaan kepada Siwa dalam kesadaran yang
konstan (’samadhi’). Dalam keadaan samadhi (kesadaran penuh dan konstan)
inilah Hyang Siwa menampakkan diri-Nya
yang disimbolkan dengan lingga nora
ginawe pada danau yang jernih. Cerita ini dapat dimaknai lebih dalam dengan
menyimak satu bait Kakawin Arjunawiwaha,sebagai
berikut.
”Sasi wimba haneng gata mesi banyu,
Ndan asing suci nirmala mesi wulan,
Iwa mangkana rakwa kiteng kadadin,
ri sang ambeki yoga kiteng sakala”.
Artinya :
Ibarat cahaya bulan di tempayan berisi air jernih,
Pada air yang tenang dan jernih itulah banyangan bulan tampak,
Demikianlah sesungguhnya penampakan Tuhan dalam kehidupan,
Kepada orang yang melaksanakan yoga, Beliau menampakkan
diri.
Selanjutnya, ketika
Si Lubdhaka telah meninggal dan atma-nya
dibawa ke Siwaloka terjadilah percakapan antara Bhatara Yama dan Bhatara Siwa
tentang alasan Si Lubdhaka mendapatkan anugerah Siwa. Bhatara Siwa menjelaskan
tentang keutamaan Brata Siwaratri, yaitu
upawasa, monabrata, dan jagra. Dijelaskan bahwa siapapun yang
melaksanakan Brata Siwaratri dengan
benar disertai dengan pemujaan tulus ikhlas kepada Siwa, maka Siwa akan
memberikan anugerah kepadanya dan mendapatkan tempat di Siwalaya atau Siwaloka. Secara
simbolis dapat dipahami bahwa Brata
Siwaratri berhubungan dengan upaya penyucian trikaya, yaitu manah (pikiran), wak (perkataan), dan kaya (perbuatan). Upawasa (‘tidak makan-minum’)
berhubungan dengan pengendalian perbuatan, monabrata
(‘tidak berbicara’) adalah pengendalian ucapan, dan jagra (‘tidak tidur’, ‘selalu sadar’) adalah pengendalian pikiran
agar selalu tertuju hanya kepada kesucian (Siwa).
Demikianlah teks Siwaratrikalpa menguraikan tentang
pemujaan kepada Siwa untuk mendapatkan anugerah-Nya. Siwaratri adalah malam peleburan papa (‘keterbelengguan’) melalui brata (‘pengendalian diri’), punya
(‘pembebasan’), dan bhakti (‘pemujaan’)
yang ditujukan sepenuhnya kepada Siwa. Melalui pelaksanaan Siwaratri secara
benar, niscaya anugerah Siwa akan diperoleh. Siwaisme mengajarkan jalan tengah
bahwa moksa tidak hanya dapat dicapai
dengan tapa, brata, yoga, dan samadhi, tetapi juga melalui bhakti untuk memperoleh anugerah Siwa.
Penjelasan ini kiranya dapat merangkum seluruh pengalaman religius umat Hindu
dalam melaksanakan malam Siwaratri sesuai
dengan kualitas diri.
C.
Penutup
Ajaran
Siwaratri dipusatkan pada cara untuk menghilangkan ke-papa-an ”Atyanta kasyasih
ning atma, sajna bhatara neraka” (’betapa menderitanya atma, ya Tuhan-ku. Kapankah
mereka lepas dari penderitaan? lalu bagaimana cara mengatasi papa tersebut’). Wrhaspatitattwa menjelaskan bahwa papa akan hilang, jika sang atman
kembali kepada kesadaran asalinya ”yan
matutur ikang atma rijatinya, irika yan alilang (kesadaran akan sang diri). Kesadaran akan diperoleh melalui tiga
jalan (’telu prakaraning sadhana, anung
gaweyakena de sang mahyun kelepasan’), yaitu (1) Jnanabhyudreka, ngaranya ikang wruh ring tattwa kabeh, berarti
memiliki kebijaksanaan atau pengetahuan hakekat secara sempurna. (2) Indriya yoga marga ngaranya ikang tan jenek
ring wiyasa, yaitu tidak terpesona dengan nikmat duniawi dengan cara
mengendalikan indra dengan jalan yoga. Dan (3) Trsnadosaksaya, ngaranya ikang humilangaken phalaning subha asubha
karma berarti dapat melenyapkan noda baik dan buruk (Wrhspatitattwa.52). Dengan demikian, hakikat ajaran Siwaratri yang hendak diajarkan dalam Kakawin Siwalatrikalpa tiada lain adalah
mengembalikan sang atman dalam
kesadaran murninya. Siwaratri
mengajarkan upaya terus menerus untuk mengatasi nigraha (’kekaburan’ ’kegelapan rohani karena pengaruh maya’) guna memperoleh anugeraha (’anugerah’) Siwa.
Siwaisme
juga mengajarkan keutamaan dalam pemujaan Siwa bagi umat kebanyakan yang tidak
sepenuhnya dapat melaksanakan Brata
Siwaratri. Siapapun yang mendengarkan cerita keagungan Siwa (Siva-purana) akan memperoleh penyucian
dan anugerah Siwa. Inilah keutamaan membaca, merenungkan, menghayati, dan
mengamalkan ajaran Siwaratrikalpa. Siwaisme
juga mengajarkan bahwa siapapun yang melakukan pemujaan dengan cara (upacara) dan sarana (upakara)
yang benar akan memperoleh anugerah Siwa. Pandangan optimistik ini
setidak-tidaknya dapat memberikan pemahaman yang lebih fleksibel dalam menatap
fenomena perayaan Siwaratri dalam umat Hindu yang beraneka-ragam. Tradisi
memberikan punia kepada para sulinggih pada hari Siwaratri merupakan
wujud nyata dari transformasi konsep papa
(’keterbelengguan’) menuju punya (’pembebasan).
Semoga pikiran yang baik datang dari segala penjuru !!!.
Tlas Sinurat,
Tambawu
– Saptambara 2015
D.
Daftar Kepustakaan
Agastia, IBG. 1997. Memahami
Makna Siwaratri. Denpasar: Yayasan
Dharma sastra.
---------------. 2001. Siwaratrikalpa Karya Mpu Tanakung. Denpasar: Yayasan Darma Sastra.
---------------. 2003. Siwa Smreti. Denpasar: Yayasan Dharma Sastra.
Avalon, Arthur. 1997. Mahanirwana
Tantra. Penerjemah K. Nila. Denpasar: Upada Sastra.
Gonda, J. 1996. Visnuism
and Sivaism. Delhi. Munshiram Manorharlal.
Hutomo, Suripan Sadi. 1993. Cerita Kentrung Sarahwulan di Tuban. Jakarta: Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa.
Kajeng, I Nyoman, dkk. 1997. Sarasamuccaya Dengan Teks Bahasa Sanskerta dan Jawa Kuna. Jakarta:
Hanuman Sakti.
Palguna. IBM Dharma. 2000. Cara Mpu Monaguna Memuja Siwa, Catatan dari kakawin Sumanasantaka.
Denpasar: Dharma sastra.
---------------, 1998. Siwaratri dalam Padma Purana. Denpasar: Dharma Sastra.
Phalgunadi, I Gusti Putu. 2010. Sekilas Sejarah Evolusi Agam Hindu. Denpasar: Program Magister Ilmu
Agama dan Kebudayaan UNHI Denpasar bekerjasama dengan Penerbit Widya Dharma.
Sangidu.
2004. Penelitian Sastra: Pendekatan,
Teori, Metode, Teknik, dan Kiat. Yogyakarta: Unit Penerbitan Sastra Asia
Barat Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada.
Suamba.
IBP (Penerjemah). 1996. Siwa Sahasra-Nama (Seribu Nama Siwa) dalam Siwa Purana. Denpasar: Dharma Sastra.
----------------. 2003. ”Siwa Nataraja: Simbol, Filsafat,
dan Signifikansinya dalam Kesenian Bali”,
dalam ”Estetika Hindu dan Pembangunan
Bali”. Denpasar: Program Magister Ilmu Agama dan Kebudayaan UNHI Denpasar
bekerjasama dengan Penerbit Widya Dharma.
----------------. 2007. Siwa Buddha di Indonesia Ajaran dan Perkembangannya. Denpasar:
Program Magister Ilmu Agama dan Kebudayaan UNHI Denpasar bekerjasama dengan
Penerbit Widya Dharma.
Sugiarto
R. dan Gde Pudja. 1982. Swetaswatara
Upanisad. Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci Hindu, Departemen Agama RI.
Sumardjo, Jakob. 2002. Arkeologi Budaya Indonesia: Pelacakan Hermeneutis-Historis terhadap
Artefak-Artefak Kebudayaan Indonesia. Yogyakarta: Qalam.
Teeuw,
A. 1984. Sastra dan Ilmu
Sastra: Pengantar Teori Sastra.
Jakarta: Pustaka Jaya.
Tim Penerjemah. 1994. Buana
Kosa Alih Aksara dan Alih Bahasa (Brahma Rahasyam). Denpasar: Upada Sastra.
Yasa, I Wayan Suka, dkk. 2008. Siwaratri: Wacana Perburuan Spiritual (Dulu dan Kini). Denpasar: Fakultas Ilmu Agama bekerjasama dengan
Penerbit Widya Dharma.
Yasa, I Wayan Suka dan I Putu Sarjana. 2009. Siwa Sidhanta Brahma Widya Teks Tattwa
Jnana. Denpasar: Pemerintah Provinsi Bali, Proyek Percetakan Buku-buku
Penuntun Agama Hindu Pesraman Remaja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar