ELEGI ESOK PAGI WANITA HINDU
Nanang Sutrisno
Mendialogkan wanita Hindu dalam transisi masyarakat
tradisional ke modern memang selalu menarik. Mengingat dialog ini senantiasa
melibatkan teks ideal dan realitas sosiokultural yang kerapkali bertolak
belakang. Wanita yang dimuliakan dalam teks-teks keagamaan Hindu, ternyata dalam
realitas empiris mengalami problematika yang rumit dan kompleks. Keterpinggiran
wanita Hindu dalam konstruk budaya patriarki tetap menjadi simpul wacana yang
seksis dibicarakan.
Patriarki merupakan ideologi dominan yang berlaku pada hampir
seluruh tatanan masyarakat di pelbagai belahan dunia. Di beberapa daerah misalnya,
Bali dan Batak, budaya patriarki telah bertransformasi menjadi sistem
patrilineal, yakni sistem waris berdasarkan garis keturunan laki-laki. Walaupun
demikian, budaya patriarki juga berlangsung dalam masyarakat yang menganut
sistem matrilineal sekalipun, misalnya Minangkabau.
Otoritas dan otonomi laki-laki dalam pengambilan keputusan
pada ruang-ruang publik menjadi ciri utama beroperasinya budaya patriarki dalam
berbagai struktur sosial, termasuk keluarga sebagai struktur sosial terkecil. Implikasinya,
wanita terbuang di panggung belakang, hanya bergulat dengan urusan-urusan
privat, dan harus siap menjadi pelengkap. Budaya patriarki cenderung
mengkonstruksi fungsi wanita sebatas M3 (baca: tiga M), yaitu macak ‘berdandan’, masak ‘memasak’, dan manak ‘melahirkan’. Sementara itu, ruang
terbaik bagi wanita hanyalah di dapur, di sumur, dan di kasur. Kalaupun ada
wanita yang beraktivitas di luar fungsi dan ruang tersebut, posisinya tidak
lebih hanyalah sebagai pendukung dan pelengkap laki-laki.
Gerakan emansipasi wanita berbasis ideologi feminisme dan
gender yang semakin marak digelorakan kaum wanita, mungkin berhasil mengubah sebagian
pandangan tradisional tersebut. Terbukti bahwa semakin banyak wanita yang
berani tampil pada ruang-ruang publik, sukses dalam berbagai bidang pekerjaan,
bahkan menjadi tulang punggung keluarga. Meski demikian, keberhasilan tersebut tidak
jarang harus dibayar mahal dengan mengorbankan sisi-sisi kehidupannya yang lain.
Misalnya, peran sebagai ibu harus rela digantikan oleh pembantu karena kesibukan
kerja. Eksplorasi keunggulan diri demi mengejar karier akrab bersentuhan dengan
komodifikasi tubuh. Mengingat secara naluriah, tubuh wanita dalam budaya
patriarki masih dipandang sebagai objek pemuas hasrat libidinal kaum laki-laki.
Penghasilan isteri yang lebih besar daripada suami, juga kerap memicu ego yang dapat
melunturkan rasa hormat dan kepatuhan pada suami.
Fenomena tersebut mengisyaratkan bahwa budaya modern yang
memberikan kesempatan lebih besar bagi wanita untuk mengeksplorasi dan
mengembangkan dirinya, ternyata harus berhadapan dengan ideologi patriarki yang
telah mengakar begitu kuat dalam kultur tradisional. Hal ini seringkali menempatkan
wanita dalam posisi dilematis untuk menentukan kediriannya di tengah-tengah
sistem sosial yang belum memberikan ruang sepenuhnya bagi feminitas. Pada satu
sisi, ketundukan pada budaya patriarki membuat para wanita harus rela
terpinggir dalam dunia sosial dan kehilangan kesempatan unjuk diri. Sebaliknya
pada sisi yang lain, juga mengikuti budaya modern sepenuhnya menebar ancaman akan
hilangnya keutamaan diri.
Dilema inilah yang menjadi elegi esok pagi wanita Hindu!
Budaya patriarki menjadi malam gelap wanita Hindu untuk merenung dan memutuskan,
“Siapa dirinya esok pagi?” Tetap bertahan di rumah tradisi dengan konsekuensi
hanya bisa tersenyum getir menjadi kaum terpinggir? Keluar dari rumah tradisi untuk
menjadi wanita hebat yang berani menanggung semua akibat? Modernitas memang
menyuguhkan aneka pilihan yang bebas dan terbuka bagi para wanita Hindu,
walaupun pilihan itu juga berpotensi menciptakan kondisi ketakberartian diri
dan ketakberumahan.
Dalam dilema itulah, wanita Hindu harus menulis syair
kehidupannya dengan bayang-bayang ketakutan akan hilangnya kedirian dan
kemartabatan. Untuk itulah, hadirnya teks-teks agama kiranya menemukan
relevansi dan signifikansinya sebagai prinsip pencerah dan pengarah manusia
dalam kehidupan aktualnya. Dalam konteks ini, teks agama diharapkan dapat
memberikan kesadaran baru bagi para wanita Hindu dalam menyikapi dilema yang
dihadapi, serta menuntunnya untuk memilih solusi terbaik bagi dirinya sendiri,
keluarga, dan kehidupan sosialnya.
Teks-teks Hindu menyebutkan banyak hal mengenai keutamaan seorang
wanita. Secara teologis, aspek feminin dari dewa disebut dewi atau shakti, yakni sumber kekuatan utama yang
bersifat aktif. Makna di balik itu bahwa apabila perempuan tidak dihormati maka
dunia-kehidupan akan kehilangan kekuatannya, dan itulah tanda kehancuran. Dalam
teks yang lain disebutkan bahwa “Di mana wanita tidak dihormati, di sana akan
terjadi kehancuran”. Singkatnya, menghormati wanita dan memuliakannya adalah
keharusan bagi setiap umat Hindu bagi tegaknya dunia dan kehidupan.
Walaupun demikian, teks-teks Hindu mengungkap keutamaan
wanita dalam dimensi kesepasangan harmonis dengan laki-laki. Keduanya berbeda,
tetapi harus selalu ada secara berpasangan. Para antropolog menyebutnya binari
oposisi, seperti siang-malam, bumi-langit, dewa-dewi, dan seterusnya. Salah
satunya dapat dilihat dalam Yajurveda. XXV.17 ynag menyatakan bahwa “bumi adalah ibu dan langit adalah ayah kita”. Sloka ini
menegaskan bahwa wanita sebagai ‘ibu-bumi’ berpasangan dengan laki-laki
‘ayah-langit’. Tidak mungkin memisahkan bumi dan langit, begitu juga antara
laki-laki dan perempuan. Keduanya memiliki keutamaan dalam kedudukan dan
fungsinya masing-masing.
Dalam realitas empiris, konsep kesepasangan ini menjadi
problematis ketika sistem budaya mengkonstruksi laki-laki dan perempuan dalam
struktur kelas. Budaya patriarki memosisikan laki-laki sebagai kelas dominan,
sedangkan perempuan adalah subordinat. Oleh karena itu, budaya patriarki
menjadi sistem yang meniscayakan terjadinya dominasi laki-laki atas perempuan
dalam berbagai praktik sosial. Malahan dalam sejumlah kasus, dominasi tersebut mengakibatkan terpinggirnya
dan teraniayanya kaum perempuan, baik secara fisik, mental, sosial maupun
kultural. Kondisi ini mendorong munculnya gugatan terhadap budaya patriarki
dalam bentuk gerakan-gerakan emansipatoris yang mengusung isu feminisme dan
gender. Walaupun demikian, gerakan tersebut seringkali kebablasan karena isu
kesetaraan gender yang diperjuangkan, rupanya telah digeser maknanya menjadi
bentuk kontestasi antara laki-laki dan perempuan.
Gerakan emansipasi wanita yang secara tendensius ingin
menaikkan derajat perempuan agar setara atau bahkan lebih daripada laki-laki,
tentu hanya akan melahirkan model kontestasi baru yang tidak menyelesaikan
masalah. Gerakan emansipatoris yang sejalan dengan teks-teks keagamaan Hindu
semestinya lebih diarahkan untuk membangun kesadaran para lelaki dan wanita
yang selibat dalam budaya patriarki. Kesadaran mengenai hakikat kesepasangan,
kesadaran untuk melaksanakan fungsi dan perannya masing-masing, serta kesadaran
untuk saling berbagi dan melengkapi satu sama lain demi terwujudnya kebahagiaan
bersama.
Dalam konteks ini, wanita Hindu perlu meneladani Ni Dyah
Tantri dalam melakukan perlawanan terhadap kekuasaan budaya patriarki. Ni Dyah
Tantri tidak mengubah dirinya ‘menjadi laki-laki’ untuk menyadarkan Prabu
Aiswaryadala yang gemar merendahkan kaum perempuan karena kekuasaan yang
dimiliki. Akan tetapi, Ni Dyah Tantri menyadarkan keangkuhan budaya patriarki tersebut
dengan kelembutan, kecerdasan, dan cinta kasih – sebuah martabat yang melekat
dalam kodrat perempuan. Teladan ini memberikan gambaran yang nyata bahwa budaya
patriarki bukanlah momok yang menakutkan bagi wanita Hindu dalam menentukan
pilihan hidupnya, jika dan hanya jika, perempuan dan laki-laki yang selibat di
dalamnya dapat memegang teguh nilai keutamaan dalam dirinya dan mampu
mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, elegi esok pagi
wanita Hindu tidak perlu diperdengarkan. Rahayu!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar