Sabtu, 20 Agustus 2016

ELEGI WANITA HINDU

ELEGI ESOK PAGI WANITA HINDU

Nanang Sutrisno

Mendialogkan wanita Hindu dalam transisi masyarakat tradisional ke modern memang selalu menarik. Mengingat dialog ini senantiasa melibatkan teks ideal dan realitas sosiokultural yang kerapkali bertolak belakang. Wanita yang dimuliakan dalam teks-teks keagamaan Hindu, ternyata dalam realitas empiris mengalami problematika yang rumit dan kompleks. Keterpinggiran wanita Hindu dalam konstruk budaya patriarki tetap menjadi simpul wacana yang seksis dibicarakan.
Patriarki merupakan ideologi dominan yang berlaku pada hampir seluruh tatanan masyarakat di pelbagai belahan dunia. Di beberapa daerah misalnya, Bali dan Batak, budaya patriarki telah bertransformasi menjadi sistem patrilineal, yakni sistem waris berdasarkan garis keturunan laki-laki. Walaupun demikian, budaya patriarki juga berlangsung dalam masyarakat yang menganut sistem matrilineal sekalipun, misalnya Minangkabau.
Otoritas dan otonomi laki-laki dalam pengambilan keputusan pada ruang-ruang publik menjadi ciri utama beroperasinya budaya patriarki dalam berbagai struktur sosial, termasuk keluarga sebagai struktur sosial terkecil. Implikasinya, wanita terbuang di panggung belakang, hanya bergulat dengan urusan-urusan privat, dan harus siap menjadi pelengkap. Budaya patriarki cenderung mengkonstruksi fungsi wanita sebatas M3 (baca: tiga M), yaitu macak ‘berdandan’, masak ‘memasak’, dan manak ‘melahirkan’. Sementara itu, ruang terbaik bagi wanita hanyalah di dapur, di sumur, dan di kasur. Kalaupun ada wanita yang beraktivitas di luar fungsi dan ruang tersebut, posisinya tidak lebih hanyalah sebagai pendukung dan pelengkap laki-laki.
Gerakan emansipasi wanita berbasis ideologi feminisme dan gender yang semakin marak digelorakan kaum wanita, mungkin berhasil mengubah sebagian pandangan tradisional tersebut. Terbukti bahwa semakin banyak wanita yang berani tampil pada ruang-ruang publik, sukses dalam berbagai bidang pekerjaan, bahkan menjadi tulang punggung keluarga. Meski demikian, keberhasilan tersebut tidak jarang harus dibayar mahal dengan mengorbankan sisi-sisi kehidupannya yang lain. Misalnya, peran sebagai ibu harus rela digantikan oleh pembantu karena kesibukan kerja. Eksplorasi keunggulan diri demi mengejar karier akrab bersentuhan dengan komodifikasi tubuh. Mengingat secara naluriah, tubuh wanita dalam budaya patriarki masih dipandang sebagai objek pemuas hasrat libidinal kaum laki-laki. Penghasilan isteri yang lebih besar daripada suami, juga kerap memicu ego yang dapat melunturkan rasa hormat dan kepatuhan pada suami.
Fenomena tersebut mengisyaratkan bahwa budaya modern yang memberikan kesempatan lebih besar bagi wanita untuk mengeksplorasi dan mengembangkan dirinya, ternyata harus berhadapan dengan ideologi patriarki yang telah mengakar begitu kuat dalam kultur tradisional. Hal ini seringkali menempatkan wanita dalam posisi dilematis untuk menentukan kediriannya di tengah-tengah sistem sosial yang belum memberikan ruang sepenuhnya bagi feminitas. Pada satu sisi, ketundukan pada budaya patriarki membuat para wanita harus rela terpinggir dalam dunia sosial dan kehilangan kesempatan unjuk diri. Sebaliknya pada sisi yang lain, juga mengikuti budaya modern sepenuhnya menebar ancaman akan hilangnya keutamaan diri.
Dilema inilah yang menjadi elegi esok pagi wanita Hindu! Budaya patriarki menjadi malam gelap wanita Hindu untuk merenung dan memutuskan, “Siapa dirinya esok pagi?” Tetap bertahan di rumah tradisi dengan konsekuensi hanya bisa tersenyum getir menjadi kaum terpinggir? Keluar dari rumah tradisi untuk menjadi wanita hebat yang berani menanggung semua akibat? Modernitas memang menyuguhkan aneka pilihan yang bebas dan terbuka bagi para wanita Hindu, walaupun pilihan itu juga berpotensi menciptakan kondisi ketakberartian diri dan ketakberumahan.
Dalam dilema itulah, wanita Hindu harus menulis syair kehidupannya dengan bayang-bayang ketakutan akan hilangnya kedirian dan kemartabatan. Untuk itulah, hadirnya teks-teks agama kiranya menemukan relevansi dan signifikansinya sebagai prinsip pencerah dan pengarah manusia dalam kehidupan aktualnya. Dalam konteks ini, teks agama diharapkan dapat memberikan kesadaran baru bagi para wanita Hindu dalam menyikapi dilema yang dihadapi, serta menuntunnya untuk memilih solusi terbaik bagi dirinya sendiri, keluarga, dan kehidupan sosialnya.   
Teks-teks Hindu menyebutkan banyak hal mengenai keutamaan seorang wanita. Secara teologis, aspek feminin dari dewa disebut dewi atau shakti, yakni sumber kekuatan utama yang bersifat aktif. Makna di balik itu bahwa apabila perempuan tidak dihormati maka dunia-kehidupan akan kehilangan kekuatannya, dan itulah tanda kehancuran. Dalam teks yang lain disebutkan bahwa “Di mana wanita tidak dihormati, di sana akan terjadi kehancuran”. Singkatnya, menghormati wanita dan memuliakannya adalah keharusan bagi setiap umat Hindu bagi tegaknya dunia dan kehidupan.
Walaupun demikian, teks-teks Hindu mengungkap keutamaan wanita dalam dimensi kesepasangan harmonis dengan laki-laki. Keduanya berbeda, tetapi harus selalu ada secara berpasangan. Para antropolog menyebutnya binari oposisi, seperti siang-malam, bumi-langit, dewa-dewi, dan seterusnya. Salah satunya dapat dilihat dalam Yajurveda. XXV.17 ynag menyatakan bahwa “bumi adalah ibu dan langit adalah ayah kita”. Sloka ini menegaskan bahwa wanita sebagai ‘ibu-bumi’ berpasangan dengan laki-laki ‘ayah-langit’. Tidak mungkin memisahkan bumi dan langit, begitu juga antara laki-laki dan perempuan. Keduanya memiliki keutamaan dalam kedudukan dan fungsinya masing-masing.
Dalam realitas empiris, konsep kesepasangan ini menjadi problematis ketika sistem budaya mengkonstruksi laki-laki dan perempuan dalam struktur kelas. Budaya patriarki memosisikan laki-laki sebagai kelas dominan, sedangkan perempuan adalah subordinat. Oleh karena itu, budaya patriarki menjadi sistem yang meniscayakan terjadinya dominasi laki-laki atas perempuan dalam berbagai praktik sosial. Malahan dalam sejumlah kasus,  dominasi tersebut mengakibatkan terpinggirnya dan teraniayanya kaum perempuan, baik secara fisik, mental, sosial maupun kultural. Kondisi ini mendorong munculnya gugatan terhadap budaya patriarki dalam bentuk gerakan-gerakan emansipatoris yang mengusung isu feminisme dan gender. Walaupun demikian, gerakan tersebut seringkali kebablasan karena isu kesetaraan gender yang diperjuangkan, rupanya telah digeser maknanya menjadi bentuk kontestasi antara laki-laki dan perempuan.
Gerakan emansipasi wanita yang secara tendensius ingin menaikkan derajat perempuan agar setara atau bahkan lebih daripada laki-laki, tentu hanya akan melahirkan model kontestasi baru yang tidak menyelesaikan masalah. Gerakan emansipatoris yang sejalan dengan teks-teks keagamaan Hindu semestinya lebih diarahkan untuk membangun kesadaran para lelaki dan wanita yang selibat dalam budaya patriarki. Kesadaran mengenai hakikat kesepasangan, kesadaran untuk melaksanakan fungsi dan perannya masing-masing, serta kesadaran untuk saling berbagi dan melengkapi satu sama lain demi terwujudnya kebahagiaan bersama. 

Dalam konteks ini, wanita Hindu perlu meneladani Ni Dyah Tantri dalam melakukan perlawanan terhadap kekuasaan budaya patriarki. Ni Dyah Tantri tidak mengubah dirinya ‘menjadi laki-laki’ untuk menyadarkan Prabu Aiswaryadala yang gemar merendahkan kaum perempuan karena kekuasaan yang dimiliki. Akan tetapi, Ni Dyah Tantri menyadarkan keangkuhan budaya patriarki tersebut dengan kelembutan, kecerdasan, dan cinta kasih – sebuah martabat yang melekat dalam kodrat perempuan. Teladan ini memberikan gambaran yang nyata bahwa budaya patriarki bukanlah momok yang menakutkan bagi wanita Hindu dalam menentukan pilihan hidupnya, jika dan hanya jika, perempuan dan laki-laki yang selibat di dalamnya dapat memegang teguh nilai keutamaan dalam dirinya dan mampu mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, elegi esok pagi wanita Hindu tidak perlu diperdengarkan. Rahayu!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar