DARI BALIDWIPA KE BALI MANDARA
Nanang Sutrisno
Balidwipa, kecil
nan indah. Begitulah citra Bali di mata dunia. Citra ini tidak hanya terbentuk
setelah Bali menjadi tujuan wisata dunia, tetapi jauh sebelumnya. Bukti sejarah
menunjukkan bahwa Bali telah menjadi tujuan kunjungan orang-orang luar sejak
peradaban Bali Kuno. Kontak dengan Jawa kerap dikaitkan dengan kedatangan Rsi
Markandeya bersama pengikutnya sekitar abad ke-8 Masehi. Keberadaan orang-orang
China, beserta agama dan kebudayaan mereka di sekitar perbukitan Kintamani,
juga menjadi petunjuk terjadinya interaksi dengan China. Sementara itu,
kunjungan para pedagang India ke Bali hingga kini juga masih diperingati oleh
masyarakat Kalingga (Orissa) – India dalam sebuah ritual keagamaan yang disebut
Baliyatra.
Daya
tarik Bali bagi masyarakat luar tentu bukanlah tanpa alasan. Eksotisme alam dan
keramah-tamahan penduduk Bali, boleh jadi merupakan salah satu alasannya.
Walaupun demikian, spirit dalam (inner power) Balidwipa yang disebut taksu, sama sekali tidak dapat
diabaikan. Bali mataksu – ini
merupakan dimensi mistis-religius Balidwipa yang berada di luar jangkauan nalar
empiris-rasional. Taksu inilah yang
senantiasa dijaga oleh masyarakat Bali dari masa ke masa. Melalui pergulatan
cipta, rasa, dan karsa yang merentang dari zaman prasejarah, Bali Kuno, Bali
Madya, hingga Bali Modern, taksu Bali
dibangun dan dipelihara melalui harmoni agama dan kebudayaan.
Interaksi
dengan dunia luar memang memberikan pengaruh besar dalam perkembangan
kebudayaan Bali. Unsur-unsur kebudayaan asing diterima, diseleksi, dan dirajut
sedemikian rupa dalam arena transformasi budaya yang begitu mengesankan. Pepatraan, seperti Mesir, Ulanda (Belanda), dan China menjadi
contoh nyata betapa kebudayaan asing turut memperkaya ragam seni ukir Bali.
Transformasi budaya seperti itu, juga terjadi dalam ranah keagamaan orang Bali
sehingga agama Hindu Bali tampil dalam cita-rasa yang unik dan spesifik. Eratnya
jalinan agama dan budaya telah membangun daya kreatif manusia Bali dalam membangun
kehidupan sosiokultural berdasarkan nilai-nilai yang diyakini mampu mewujudkan
kesejahteraan (jagadhita) sebagai
prasyarat utama mencapai tujuan hidup tertinggi (mahapurusa artha), yaitu moksa.
Dalam
rajutan Tuhan-alam-manusia inilah, Balidwipa menjadi permata nusantara yang
sulit dicari tandingannya. Lukisan alam Bali yang begitu memesona menjadi arena
perburuan para penikmat keindahan. Laut, gunung, sungai, danau, hutan, sawah,
dan ladang mengalunkan simfoni alam nan eksotik. Lukisan alam ini dipercantik dengan
warna-warni kehidupan sosial, budaya, dan agama masyarakat Bali yang dipenuhi
dengan ritual-ritual keagamaan untuk membangun harmoni dengan Tuhan, alam, dan
sesamanya. Berbagai julukan pun akhirnya disematkan kepada Bali, seperti pulau
surga (the paradise island), pulau
seribu pura (the island of thousand
temple), pulau dewata (the island of Gods),
dan sebagai fajarnya dunia (the morning
of the wolrd).
Akan
tetapi, fenomena belakangan ini menunjukkan bahwa Bali telah berubah. Wajah
Bali masa kini tidak lagi secantik Bali Tempoe
Doeloe. Sebuah kejutan ditulis Bawa Atmadja (2005) bahwa Bali pulau seribu pura, tak seindah penampilannya.
Sementara bangunan-bangunan suci berdiri dengan megah, ritual-ritual keagamaan
yang kian marak, dan ceramah keagamaan yang kian intensif, justru kafe
remang-remang, prostitusi ilegal, dan kriminalitas juga semakin menjamur. Wajah
Bali yang dahulu dilukis dengan religiusitas, keramah-tamahan masyarakat, dan
pesona alam, kini mulai menampakkan sisi gelapnya seiring berjalannya waktu. Celakanya,
paradoks tersebut hadir dalam satu ruang yang sama, yakni desa pakraman. Padahal, desa
pakraman merupakan wadah penanaman dan pengembangan religiusitas umat Hindu
di Bali.
Fenomena
tersebut menunjukkan bahwa manusia Bali tengah mengalami kegamangan dan
kebingungan di tengah gelombang perubahan yang berlangsung begitu cepat dan
rumit. Daya tahan kebudayaan semakin rapuh diterpa derasnya arus modern dan
global. Identitas Bali secara kultural menjadi semakin kabur di tengah benturan
globalisme yang menurut Appadurai (1993) ditandai dengan perpindahan orang,
teknologi, media informasi, moneterisasi, serta pengaruh ideologi lainnya,
seperti HAM dan demokrasi. Berbagai konflik sosial akhirnya sulit dihindari karena
disorientasi nilai terjadi hampir pada semua bidang kehidupan masyarakat.
Semakin tingginya tingkat persaingan antarindividu atau kelompok dalam berbagai
aspek kehidupan, dominannya nilai simbolis barang, proses estetisasi kehidupan,
melemahnya sistem referensi tradisional, dan kehidupan yang berorientasi pasar
mewarnai dinamika sosial masyarakat Bali masa kini.
Ketegangan
semakin memuncak ketika masyarakat Bali mulai merasa terdesak dengan derasnya
arus pendatang (new comers). Aroma
persaingan dengan pendatang terutama dalam perebutan sektor-sektor ekonomi
telah mengubah karakter dan sikap orang Bali terutama dalam persoalan seputar
identitas diri. Kehadiran pendatang mulai diidentifikasi secara dikotomis
sehingga jurang pemisah antara penduduk pribumi dan pendatang semakin lebar
jaraknya. Kecurigaan berbasis etnisitas dan agama menebar ancaman disintegrasi
sosial yang semakin serius dewasa ini. Apalagi ketika jurang perbedaan tersebut
dijustifikasi oleh simbol-simbol kultural, seperti Warung Muslim versus Warung
Hindu.
Implikasinya
bahwa keamanan, kedamaian, dan kesejahteraan menjadi nilai yang begitu mahal
bagi masyarakat Bali saat ini. Visi Pemerintah Provinsi Bali untuk mewujudkan Bali Mandara (aman, damai, dan sejahtera)
merefleksikan betapa ketiganya menjadi kebutuhan yang begitu penting dan mendesak
bagi masyarakat Bali saat ini. Hal ini hendaknya dipahami sebagai respons atas terjadinya
disorientasi nilai kehidupan orang Bali seiring perubahan sosial dan kebudayaan
yang berlangsung begitu cepat dan massif. Mengingat nilai-nilai keamanan,
kedamaian, dan kesejahteraan menjadi bagian dari keutamaan kebudayaan Bali yang
dijiwai ajaran agama Hindu.
Kepercayaan
terhadap hukum karmaphala telah
membentuk karakter dan sikap orang Bali dalam menjaga tindakannya agar tidak
bertentangan dengan prinsip moral dan keutamaan. Mengingat setiap tindakan akan
mendapatkan pahala baik atau buruk sehingga kebaikan senantiasa menjadi
orientasi tindakan. Oleh karena itu, tindakan buruk seperti kriminalitas akan
dihindari sehingga berimplikasi pada terpeliharanya keamanan Bali. Bali sebagai
pulau yang aman terbukti telah menjadi citra yang menarik para pendatang untuk
berkunjung ke Bali. Terlebih lagi dengan balutan tantrisme yang memberikan aroma mistis-religius turut menjadi pagar
secara nishkala bagi tanah Bali.
Berikutnya,
ancaman disintegrasi sosial akibat derasnya arus orang ke Bali belakangan ini menjadi
antitesis atas penerimaan orang Bali terhadap orang luar pada masa lalu. Sejarah menunjukkan bahwa masyarakat Bali begitu terbuka dalam
menerima kehadiran etnis lain. Interaksi masyarakat Bali dan masyarakat luar,
baik dalam bidang politik, ekonomi, maupun perdagangan pada masa lampau telah membangun
masyarakat Bali yang multietnik dan multikultural. Persaudaraan antaretnik dibangun
berdasarkan nilai-nilai kearifan lokal Bali, seperti manyamabraya. Malahan interaksi ini mampu melahirkan sintesa budaya
yang semakin memperkaya khasanah kebudayaan Bali. Kehidupan multikultur nan
damai inilah yang mulai meluntur seiring dengan semakin tingginya kontestasi
kehidupan dan kecurigaan berbasis etnisitas dan agama.
Kesejahteraan menjadi tujuan hidup orang Bali, yakni jagadhita atau kasukertan. Pencapaiannya
hendaknya dilandasi kebenaran (dharma)
dan tindakan (karma) menjadi sarana pencapaiannya. Dalam hal
ini, keamanan dan kedamaian menjadi indikator tidak terpisahkan dari kondisi masyarakat
sejahtera. Oleh karena itu, Bali Mandara menjadi
kondisi ideal yang mesti dibangun secara integral dan simultan. Walaupun
demikian, kuatnya pengaruh materialisme akibat hegemoni modernitas dapat
mendegradasi makna kesejahteraan menjadi pencapaian material semata. Akibatnya,
agama dan kebudayaan Bali tidak luput dari dakwaan sebagai penyebab terjadinya
kemiskinan di Bali. Hal ini menjadi imbauan moral bagi seluruh masyarakat Bali
bahwa pemiskinan kultural memiliki kekuatan yang lebih besar untuk mendegradasi
seluruh aspek kehidupan orang Bali. Oleh karena itu, revitalisasi dan
rekontekstualisasi nilai budaya dan agama menjadi keharusan etis agar untuk
mengenbalikan kejayaan Bali, sesuai semboyan Balidwipa Jaya. Rahayu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar