Sabtu, 20 Agustus 2016

DARI BALIDWIPA KE BALI MANDARA

DARI BALIDWIPA KE BALI MANDARA

Nanang Sutrisno

Balidwipa, kecil nan indah. Begitulah citra Bali di mata dunia. Citra ini tidak hanya terbentuk setelah Bali menjadi tujuan wisata dunia, tetapi jauh sebelumnya. Bukti sejarah menunjukkan bahwa Bali telah menjadi tujuan kunjungan orang-orang luar sejak peradaban Bali Kuno. Kontak dengan Jawa kerap dikaitkan dengan kedatangan Rsi Markandeya bersama pengikutnya sekitar abad ke-8 Masehi. Keberadaan orang-orang China, beserta agama dan kebudayaan mereka di sekitar perbukitan Kintamani, juga menjadi petunjuk terjadinya interaksi dengan China. Sementara itu, kunjungan para pedagang India ke Bali hingga kini juga masih diperingati oleh masyarakat Kalingga (Orissa) – India dalam sebuah ritual keagamaan yang disebut Baliyatra.

Daya tarik Bali bagi masyarakat luar tentu bukanlah tanpa alasan. Eksotisme alam dan keramah-tamahan penduduk Bali, boleh jadi merupakan salah satu alasannya. Walaupun demikian, spirit dalam (inner power) Balidwipa yang disebut taksu, sama sekali tidak dapat diabaikan. Bali mataksu – ini merupakan dimensi mistis-religius Balidwipa yang berada di luar jangkauan nalar empiris-rasional. Taksu inilah yang senantiasa dijaga oleh masyarakat Bali dari masa ke masa. Melalui pergulatan cipta, rasa, dan karsa yang merentang dari zaman prasejarah, Bali Kuno, Bali Madya, hingga Bali Modern, taksu Bali dibangun dan dipelihara melalui harmoni agama dan kebudayaan.  

Interaksi dengan dunia luar memang memberikan pengaruh besar dalam perkembangan kebudayaan Bali. Unsur-unsur kebudayaan asing diterima, diseleksi, dan dirajut sedemikian rupa dalam arena transformasi budaya yang begitu mengesankan. Pepatraan, seperti Mesir, Ulanda (Belanda), dan China menjadi contoh nyata betapa kebudayaan asing turut memperkaya ragam seni ukir Bali. Transformasi budaya seperti itu, juga terjadi dalam ranah keagamaan orang Bali sehingga agama Hindu Bali tampil dalam cita-rasa yang unik dan spesifik. Eratnya jalinan agama dan budaya telah membangun daya kreatif manusia Bali dalam membangun kehidupan sosiokultural berdasarkan nilai-nilai yang diyakini mampu mewujudkan kesejahteraan (jagadhita) sebagai prasyarat utama mencapai tujuan hidup tertinggi (mahapurusa artha), yaitu moksa.

Dalam rajutan Tuhan-alam-manusia inilah, Balidwipa menjadi permata nusantara yang sulit dicari tandingannya. Lukisan alam Bali yang begitu memesona menjadi arena perburuan para penikmat keindahan. Laut, gunung, sungai, danau, hutan, sawah, dan ladang mengalunkan simfoni alam nan eksotik. Lukisan alam ini dipercantik dengan warna-warni kehidupan sosial, budaya, dan agama masyarakat Bali yang dipenuhi dengan ritual-ritual keagamaan untuk membangun harmoni dengan Tuhan, alam, dan sesamanya. Berbagai julukan pun akhirnya disematkan kepada Bali, seperti pulau surga (the paradise island), pulau seribu pura (the island of thousand temple), pulau dewata (the island of Gods), dan sebagai fajarnya dunia (the morning of the wolrd).

Akan tetapi, fenomena belakangan ini menunjukkan bahwa Bali telah berubah. Wajah Bali masa kini tidak lagi secantik Bali Tempoe Doeloe. Sebuah kejutan ditulis Bawa Atmadja (2005) bahwa Bali pulau seribu pura, tak seindah penampilannya. Sementara bangunan-bangunan suci berdiri dengan megah, ritual-ritual keagamaan yang kian marak, dan ceramah keagamaan yang kian intensif, justru kafe remang-remang, prostitusi ilegal, dan kriminalitas juga semakin menjamur. Wajah Bali yang dahulu dilukis dengan religiusitas, keramah-tamahan masyarakat, dan pesona alam, kini mulai menampakkan sisi gelapnya seiring berjalannya waktu. Celakanya, paradoks tersebut hadir dalam satu ruang yang sama, yakni desa pakraman. Padahal, desa pakraman merupakan wadah penanaman dan pengembangan religiusitas umat Hindu di Bali.

Fenomena tersebut menunjukkan bahwa manusia Bali tengah mengalami kegamangan dan kebingungan di tengah gelombang perubahan yang berlangsung begitu cepat dan rumit. Daya tahan kebudayaan semakin rapuh diterpa derasnya arus modern dan global. Identitas Bali secara kultural menjadi semakin kabur di tengah benturan globalisme yang menurut Appadurai (1993) ditandai dengan perpindahan orang, teknologi, media informasi, moneterisasi, serta pengaruh ideologi lainnya, seperti HAM dan demokrasi. Berbagai konflik sosial akhirnya sulit dihindari karena disorientasi nilai terjadi hampir pada semua bidang kehidupan masyarakat. Semakin tingginya tingkat persaingan antarindividu atau kelompok dalam berbagai aspek kehidupan, dominannya nilai simbolis barang, proses estetisasi kehidupan, melemahnya sistem referensi tradisional, dan kehidupan yang berorientasi pasar mewarnai dinamika sosial masyarakat Bali masa kini.

Ketegangan semakin memuncak ketika masyarakat Bali mulai merasa terdesak dengan derasnya arus pendatang (new comers). Aroma persaingan dengan pendatang terutama dalam perebutan sektor-sektor ekonomi telah mengubah karakter dan sikap orang Bali terutama dalam persoalan seputar identitas diri. Kehadiran pendatang mulai diidentifikasi secara dikotomis sehingga jurang pemisah antara penduduk pribumi dan pendatang semakin lebar jaraknya. Kecurigaan berbasis etnisitas dan agama menebar ancaman disintegrasi sosial yang semakin serius dewasa ini. Apalagi ketika jurang perbedaan tersebut dijustifikasi oleh simbol-simbol kultural, seperti Warung Muslim versus Warung Hindu.

Implikasinya bahwa keamanan, kedamaian, dan kesejahteraan menjadi nilai yang begitu mahal bagi masyarakat Bali saat ini. Visi Pemerintah Provinsi Bali untuk mewujudkan Bali Mandara (aman, damai, dan sejahtera) merefleksikan betapa ketiganya menjadi kebutuhan yang begitu penting dan mendesak bagi masyarakat Bali saat ini. Hal ini hendaknya dipahami sebagai respons atas terjadinya disorientasi nilai kehidupan orang Bali seiring perubahan sosial dan kebudayaan yang berlangsung begitu cepat dan massif. Mengingat nilai-nilai keamanan, kedamaian, dan kesejahteraan menjadi bagian dari keutamaan kebudayaan Bali yang dijiwai ajaran agama Hindu.

Kepercayaan terhadap hukum karmaphala telah membentuk karakter dan sikap orang Bali dalam menjaga tindakannya agar tidak bertentangan dengan prinsip moral dan keutamaan. Mengingat setiap tindakan akan mendapatkan pahala baik atau buruk sehingga kebaikan senantiasa menjadi orientasi tindakan. Oleh karena itu, tindakan buruk seperti kriminalitas akan dihindari sehingga berimplikasi pada terpeliharanya keamanan Bali. Bali sebagai pulau yang aman terbukti telah menjadi citra yang menarik para pendatang untuk berkunjung ke Bali. Terlebih lagi dengan balutan tantrisme yang memberikan aroma mistis-religius turut menjadi pagar secara nishkala bagi tanah Bali   

Berikutnya, ancaman disintegrasi sosial akibat derasnya arus orang ke Bali belakangan ini menjadi antitesis atas penerimaan orang Bali terhadap orang luar pada masa lalu. Sejarah menunjukkan bahwa masyarakat Bali begitu terbuka dalam menerima kehadiran etnis lain. Interaksi masyarakat Bali dan masyarakat luar, baik dalam bidang politik, ekonomi, maupun perdagangan pada masa lampau telah membangun masyarakat Bali yang multietnik dan multikultural. Persaudaraan antaretnik dibangun berdasarkan nilai-nilai kearifan lokal Bali, seperti manyamabraya. Malahan interaksi ini mampu melahirkan sintesa budaya yang semakin memperkaya khasanah kebudayaan Bali. Kehidupan multikultur nan damai inilah yang mulai meluntur seiring dengan semakin tingginya kontestasi kehidupan dan kecurigaan berbasis etnisitas dan agama.


Kesejahteraan menjadi tujuan hidup orang Bali, yakni jagadhita atau kasukertan. Pencapaiannya hendaknya dilandasi kebenaran (dharma) dan tindakan (karma) menjadi sarana pencapaiannya. Dalam hal ini, keamanan dan kedamaian menjadi indikator tidak terpisahkan dari kondisi masyarakat sejahtera. Oleh karena itu, Bali Mandara menjadi kondisi ideal yang mesti dibangun secara integral dan simultan. Walaupun demikian, kuatnya pengaruh materialisme akibat hegemoni modernitas dapat mendegradasi makna kesejahteraan menjadi pencapaian material semata. Akibatnya, agama dan kebudayaan Bali tidak luput dari dakwaan sebagai penyebab terjadinya kemiskinan di Bali. Hal ini menjadi imbauan moral bagi seluruh masyarakat Bali bahwa pemiskinan kultural memiliki kekuatan yang lebih besar untuk mendegradasi seluruh aspek kehidupan orang Bali. Oleh karena itu, revitalisasi dan rekontekstualisasi nilai budaya dan agama menjadi keharusan etis agar untuk mengenbalikan kejayaan Bali, sesuai semboyan Balidwipa Jaya. Rahayu. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar