REFLEKSI SIWARATRI MASA KINI
Nanang Sutrisno
’Agama
bukan hanya milik orang baik,
tetapi
milik semua orang yang mencita-citakan kebaikan dalam hidupnya’.
Siwaratri atau Siwalatri adalah
rarahinan agung (‘hari besar
keagamaan Hindu’). Upacara ini dilaksanakan
setiap panglong ping patbelas sasih
kapitu (‘catur daseng kapitu krsna’).
Pengetahuan umat Hindu tentang Siwaratri sudah
relatif seragam, yaitu malam Siwa atau malam pemujaan Siwa. Sebaliknya, tata
cara perayaan Siwaratri di berbagai daerah
cukup beraneka-ragam, tetapi umumnya dilaksanakan dengan tradisi ritualistik. Hal
ini menunjukkan bahwa Siwaratri merupakan
‘sebuah teks’ yang selalu terbuka untuk dimaknai dalam berbagai konteks ruang,
waktu, dan tindakan.
Penekun kesusasteraan (‘anak
nyastra’) menggumuli teks Siwaratrikalpa
untuk berburu makna Siwaratri.
Para pengikut ritualisme, suntuk memuja Siwa dengan berbagai sarana dan
prasarananya. Sebaliknya, generasi muda menikmati malam panjang Siwaratri untuk sembahyang sembari
bergadang (‘jagra katanya!’). Artinya,
perayaan Siwaratri mewadahi segala
bentuk pemikiran dan praktik keagamaan umat Hindu dalam perburuan religius dan
spiritual menuju hakikat Siwa. Oleh karena itu, refleksivitas atas makna Siwaratri dalam kehidupan aktual semakin
menemukan panggilannya, bahkan melampaui segala diskursus tentang konsep dan teori
pelaksanaannya.
Gagasan reflektif diperoleh dari pergumulan antara
pengetahuan, pengalaman, dan kesadaran subjektif. Refleksivitas bermula dari
pengetahuan tentang Siwaratri, diperkaya
dengan pengalaman empiris dan psikis selama melaksanakan Siwaratri, lalu dikenangkan dalam kesadaran subjektif sehingga
melahirkan pemahaman yang senantiasa terbarukan. Tujuan dari semua proses
refleksi tersebut adalah tumbuhnya kesadaran mengenai Siwaratri yang terinternalisasi dalam diri dan menjadi pedoman
perilaku sehari-hari. Dengan demikian, Siwaratri
menjadi teks keagamaan yang senantiasa hadir dan hidup (survivre) dalam kehidupan aktual umat
Hindu.
Dalam ranah praksis keagamaan, Siwaratri merupakan ritual rutin berkala (‘setahun sekali’) sehingga
bertransformasi menjadi tradisi religius. Pada dasarnya, tradisi memiliki
elastisitas (‘keliatan’) dan fleksibilitas (‘kelenturan’) dalam ruang dan waktu.
Oleh karena itu, perubahan pada bagian-bagian atau keseluruhannya merupakan keniscayaan
kultural. Sebaliknya, kebertahanan suatu tradisi bergantung kuat pada nilai inti
(core value) yang mendasari tradisi
tersebut. Atas dasar itulah, penanaman dan pembudayaan nilai Siwaratri menjadi langkah penting untuk mempertahankan
tradisi religius tersebut dalam
kehidupan aktual umat Hindu pada masa kini.
Tidak diragukan lagi bahwa Saiwaisme (‘ajaran Siwa’ atau
‘paham ke-Siwa-an’) merupakan prinsip dasar pelaksanaan Siwaratri. Alasannya bahwa Padma
Purana sebagai ‘babon’ dari teks Siwaratrikalpa merupakan teks purana yang bersifat Saiwaistis. Siwatarikalpa dapat dipandang sebagai bentuk
yogasastra Mpu Tanakung untuk memuja
Siwa. Sejumlah sarana pemujaan yang disebutkan dalam teks tersebut, seperti lingga dan bilwa, juga menunjukkan sarana utama pemujaan Siwa. Berdasarkan
alasan tersebut jelaslah bahwa Siwaratri harus
dipahami dari perspektif Saiwaisme.
Ada satu prinsip penting dalam ajaran Siwa bahwa moksa
dapat dicapai dengan (a) jalan bhakti dan persembahan (‘yajna’ atau ‘samskara’), (b) jalan tapa, brata, yoga, dan samadhi; serta (c) mendapatkan anugerah Siwa (Phalgunadi, 2010:42)[1].
Prinsip-prinsip ajaran tersebut juga diterima di Indonesia, kemudian ditransformasikan
dan dimodifikasi sesuai dengan karakter lokal bangsa Indonesia. Dalam
pelaksanaan Siwaratri tampak bahwa
perburuan anugerah Siwa melalui pemujaan dan brata menjadi inti nilai yang diajarkan. Hal ini sekaligus menjawab
keraguan sebagian pihak: “benarkah Siwaratri
adalah malam peleburan dosa?”. Atas pertanyaan tersebut, sebuah optimisme
spiritual dapat dibangun bahwa dengan anugerah Siwa segalanya bisa terjadi.
Pencerahan dapat berlaku bagi siapapun, bahkan pada orang
yang paling jahat sekali pun. Problematik masyarakat modern yang kerap membenturkan ajaran
’karma-phala’ dan ’anugraha’ dapat
dicari kejelasannya dalam teks Siwastawa dan
Bhagavadgita, berikut ini.
Asucirwa
sucir wapi, sarwa kama gato’pi wah,
cintayed
dewa Isanam, sabahyambhyantara sucih.
(’Orang, apakah ia suci atau tidak suci, bahkan diliputi
oleh nafsu sekalipun, bila ia tekun memuja Siwa, ia menjadi suci lahir-bathin’)
(Siwastawa, 7).
Api
cet su duracaro, bhajate mam ananya bhak,
sadhur
ewa sa mantawyah, samyag wyawasito hi sah.
(’Bahkan orang yang terjahat sekalipun, bila ia memusatkan
pikirannya untuk memuja-Ku, ia mesti dipandang sebagai orang yang baik karena
bertindak menuju yang benar’) (Bhagavadgita,
IX.30).
Dari kedua sloka tersebut
dapat dipahami bahwa Siwaratri adalah
malam agung untuk penyucian diri lahir-bathin melalui melakukan pemujaan yang
suntuk dan khusuk kepada Siwa. Refleksivitas ini penting untuk membangun
kepercayaan umat Hindu pada masa kini terhadap kemuliaan ajaran Siwa, terutama
dalam konstelasi sektarianisme agama. Setiap sekte menawarkan keunggulan ajaran
dari sektenya sendiri, dan itu merupakan kenyataan yang tak terbantahkan. Sampradaya Kesadaran Krishna misalnya, ajarannya
menyatakan bahwa sorga tertinggi dengan dicapai mengucapkan nama Krishna secara
berulang-ulang (nama smaranam) dalam
setiap hembusan nafas. Apabila Siwaratri dimaknai
dalam konteks tersebut, kiranya malam peleburan dosa adalah keniscayaan bagi
para penganut Siwaisme yang meyakini kebenaran ajaran Siwa.
Apalagi pemujaan dan brata
Siwaratri sesungguhnya juga bukanlah hal yang mudah dilakukan dalam arti
yang sebenar-benarnya. Jagra (‘tidak
tidur’) tidak hanya berarti bergadang semalaman, tetapi mensyaratkan adanya kesadaran
yang konstan (wairagya, tan aturu) di
mana seluruh kesadaran hanya tertuju pada keagungan Siwa. Monabrata (‘tidak berbicara’) bukan hanya bermakna diam membisu,
melainkan kesadaran ucapan yang diarahkan sepenuhnya untuk melantukan mantra
pemujaan kepada Siwa. Selanjutnya, upawasa
(‘tidak makan minum’) bukanlah puasa biasa, tetapi pengendalian perbuatan
agar seluruh gerak fisik dapat diarahkan sepenuhnya untuk menyembah Siwa.
Secara simbolis dapat dipahami bahwa Brata Siwaratri berhubungan dengan upaya penyucian trikaya, yaitu manah (pikiran), wak (perkataan), dan kaya (perbuatan). Upawasa (‘tidak
makan-minum’) berhubungan dengan pengendalian perbuatan, monabrata (‘tidak berbicara’) adalah pengendalian ucapan, sedangkan
jagra (‘tidak tidur’, ‘selalu sadar’)
adalah pengendalian pikiran agar selalu tertuju pada kesucian (Siwam). Artinya, brata Siwaratri merupakan jalan untuk
membangun kesadaran tri kaya parisudha (‘tiga
perilaku suci’), yaitu manah (‘pikiran’), wak (‘perkataan’), dan kaya (‘perbuatan’)
sehingga diri menjadi suci lahir dan bathin. Pemujaan kepada Siwa yang didasari
kesadaran perilaku suci inilah yang membuka pintu pencerahan dengan hadirnya anugerah
Siwa.
Sejalan dengan itu, juga sejumlah teks Upanisad menyatakan bahwa ‘Yang Mahasuci hanya mungkin ditemui oleh
yang suci’. Oleh karena itu, kesadaran mengenai ‘hidup suci’ menjadi keutamaan
yang perlu dibangun dalam setiap pelaksanaan malam Siwaratri sehingga perburuan anugerah Siwa benar-benar mencapai
maksud dan tujuannya. Kesadaran tersebut kiranya tidak hanya berhenti pada
malam Siwaratri, tetapi menjadi
kesadaran konstan yang harus dipelihara dan diaktualisasikan dalam kehidupan
sehari-hari. Apalagi pada zaman modern yang penuh dengan kontradiksi nilai dan
norma, serta kuatnya hasrat dan fantasma yang membelenggu kedirian manusia masa
kini.
Siwaratri mengajarkan jalan untuk mengatasi nigraha (’kekaburan’ atau ’kegelapan rohani’) guna memperoleh anugeraha (’anugerah’) Siwa. Gagasan
transformasi diri dari segala bentuk papa
(’keterbelengguan’) menuju punya (’pembebasan).
Inilah keutamaan membaca, merenungkan, menghayati, dan mengamalkan ajaran Siwaratri. Rahayu!!!
[1]
Phalgunadi, I Gusti Putu.
2010. Sekilas Sejarah Evolusi Agama Hindu
Edisi Revisi. Denpasar: Program Pascasarjana Universitas Hindu Indonesia
bekerjasama dengan Penerbit Widya Dharma.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar