EVOLUSI AGAMA HINDU DI INDIA:
(Sebuah
Pendekatan Sejarah dan Kebudayaan)
Kata
‘Hindu’ mula-mula diberikan oleh orang-orang asing yang datang ke India seperti, Arab,
Persia, dan Yunani sekitar abad ke-8 Masehi. Mereka datang ke India melalui jalur Barat-Daya India
yang disebut Hindu-Kush, di pegunungan Himalaya. Pengertian Hindu bagi
orang-orang asing itu menunjuk pada “Orang-orang yang mendiami daerah lembah
sungai Sindhu, termasuk agama dan kebudayaan yang mereka anut”. Istilah ‘Hindu’ secara
resmi digunakan pertama kali dalam sebuah prasasti yang dikeluarkan oleh raja-raja yang
memerintah kerajaan Vijayanagar di India Selatan pada abad ke-15 Masehi. Istilah
ini, juga digunakan dalam catatan-catatan Raja Achaemenian dari Iran, sehingga
kemudian istilah ‘Hindu’ umum dipakai oleh pengarang-pengarang Islam di India pada zaman
itu (Klostermaier, 1990; Chattopadhyaya, 1970).
Orang-orang
di lembah sungai Sindhu memang sudah memiliki peradaban yang tinggi, bahkan
sebelum bangsa Arya datang ke India sekitar tahun 2.000 SM. Peradaban lembah
sungai Sindhu dibangun oleh penduduk asli India, yaitu bangsa Dravida sekitar
tahun 3.000 SM – 2.000 SM (Majumdar, 1998; Mahajan, 2002).
Bukti-bukti sejarah yang ditemukan di sepanjang lembah sungai Sindhu, Harappa,
dan Mohenjodaro menegaskan hal tersebut. Bangsa Dravida telah membangun sebuah peradaban kota dan juga sudah beragama. Para ahli
menyebutnya agama orang Dravida (Dravidian
Religion); agama pribumi India (Aboriginal
Religion); agama asli India (Indegenious
Religion); atau agama lembah sungai Sindhu (Indus Religion).
Agama pribumi ini memegang peranan penting dalam
pertemuannya dengan agama Weda (Vedic Religion) yang dibawa bangsa Arya kemudian. Pertemuan
antara agama lembah sungai Sindhu
dan agama Weda mengalami
evolusi secara terus-menerus hingga mencapai bentuknya seperti sekarang. Sejarah evolusi agama Hindu menunjukkan terjadinya transformasi ide,
pemikiran, dan praktik keagaman Hindu yang berevolusi secara perlahan dan
bertahap dari zaman ke zaman. Dengan didukung bukti-bukti sejarah yang otentik,
serta fakta-fakta keagamaan hasil catatan para ahli sejarah, arkeologi,
kesusasteraan, dan Indologi, kebenaran ilmiah dari evolusi tersebut cukup
meyakinkan. Ini menjadi petunjuk penting untuk memahami situai keagamaan Hindu
di India dari periode pra-Weda (pra-Vedic
Period) hingga India Modern (Modern
India).
Walaupun demikian, kontroversi terhadap kebenaran sejarah ini sering terjadi. Hal ini karena pijakan dan cara pandang yang digunakan
setiap orang untuk memahami suatu kajian berbeda-beda. Apalagi kebenaran agama bersifat sakral, mutlak, dan tak terbantahkan. Namun bagi
ilmuwan sejarah evolusi Hindu khususnya, kebenaran ajaran agama Hindu bukanlah fokus perhatiannya. Ilmuwan sejarah justru
lebih senang bergumul dengan bukti-bukti sejarah yang melatarbelakangi
munculnya suatu ajaran sehingga tampak begitu dominan pada zamannya. Cara kerja
ilmu sejarah inilah yang harus dimengerti dan dipahami untuk mendalami sejarah
evolusi agama Hindu. Dengan demikian konfrontasi dapat dihindari untuk membuka
cakrawala pengetahuan terhadap aspek-aspek agama Hindu secara lebih luas dan
mendalam.
A. Zaman Peradaban Lembah Sungai Sindhu (3000 SM – 2000 SM)
A. Zaman Peradaban Lembah Sungai Sindhu (3000 SM – 2000 SM)
Sir John
Mashall menemukan peninggalan sejarah di Harappa dan Mohenjodaro pada akhir
abad ke-20. Penemuan sejarah ini menunjukkan adanya bukti-bukti bahwa sebelum
kedatangan bangsa Arya, penduduk asli India telah memiliki peradaban sendiri.
Teori tentang peradaban India Kuno diawali dari penggalian arkeologis di
distrik Sind, daerah Larkana (Mohenjodaro) dan Montgomery di distrik Punjab
Barat pada tahun 1921. Sekarang, sebagian besar wilayah tersebut merupakan bagian dari wilayah negara Pakistan
(Majumdar, 1998; Mahajan, 2002). Penggalian dilanjutkan di
sepanjang lembah sungai Sindhu, bahkan lebih jauh lagi. Dari penggalian
sepanjang lembah sungai Sindhu ditemukan peninggalan-peninggalan arkeologis sebagaimana ditemukan dalam situs Mohenjodaro. Bukti-bukti ini diyakini para ahli sejarah India
sebagai tinggalan peradaban bangsa Dravida yang disebut Peradaban
Lembah Sungai Sindhu atau Harappa (Majumdar, 1998; Mahajan,
2002).
Menurut para
sarjana peradaban lembah sungai Sindhu ini berlangsung sekitar tahun 3000 SM
sampai 2000 SM (Majumdar, 1998; Mahajan, 2002). Agama orang
Dravida (Dravidian Religion) atau agama lembah sungai Sindhu (Indus Religion), memberikan catatan
penting bagi sejarah evolusi agama Hindu di India. Mengingat banyak sekali
ajaran agama lembah sungai Sindhu yang mempengaruhi agama dan kebudayaan Weda
yang datang belakangan bersama kedatangan orang Arya ke India. Alat-alat
upacara dan keagamaan yang ditemukan di berbagai tempat di lembah sungai Sindhu
jelas sekali menunjukkan ciri yang sama dengan pemakaian upacara keagamaan dalam
agama Weda (Kumar, 1988). Kebudayaan lembah sungai Sindhu ini secara
berangsur-angsur mempengaruhi kebudayaan orang Arya sehingga terjadilah
percampuran kebudayaan antara keduanya, walaupun akhirnya lebih didominasi oleh
agama Weda. Untuk menunjukkan pengaruh peradaban lembah sungai Sindhu terhadap
agama Weda akan diuraikan ciri-ciri penting agama Pribumi India, sebagai
berikut.
Pertama, ciri yang sangat menonjol dalam agama lembah sungai Sindhu adalah
adanya pemujaan kepada Mother Goddess (Dewi Ibu) (Macmillan (ed),
1978). Mother Goddess ini digambarkan sebagai wanita telanjang dengan
posisi mengangkang, tengkurap, terlentang, dan berdiri. Gambar-gambar ini
ditemukan pada barang-barang seperti materai tanah liat (seals), tembikar,
dan jimat (amulet). Orang-orang yang hidup di lembah sungai Sindhu
percaya bahwa Mother Goddess
atau kekuatan perempuan (Shakti) merupakan sumber dari semua
ciptaan (Mahajan, 1960; Kundra, 1968). Selain itu juga diyakini sebagai
dewi kesuburan, penguasa tumbuh-tumbuhan, penguasa, dan pemberi kekuatan magis.
Kedua, pemujaan kepada Dewa
Laki-laki atau Dewa Purusha (Male God). Dalam salah satu materai (seal), ditemukan suatu ukiran yang
berwujud manusia bertanduk dua, memakai ikat kepala, dan di kelilingi beberapa binatang. Wujud ukiran
itu menyerupai orang yang bermeditasi atau beryoga. Wujud ini dianggap sebagai prototipe Siwa sebagai Mahayogi. Sementara itu, gaya (style) dari perwujudan orang itu disebut Pasupati atau dewa penguasa binatang
buas. Atribut yang terpenting dari dewa Pasupati adalah bermata tiga (tri netra) dan memegang senjata Trisula (Tripathi, 1999). Prototipe Siwa sebagai Pasupati
ini ditandai dengan binatang-binatang yang mengelilinginya dan wujudnya yang
bertanduk mengingatkan pada konsep Trisula
dalam agama Hindu.
Ketiga,
pemujaan lingga merupakan penemuan penting dari
kebudayaan lembah sungai Sindhu. Kepercayaan ini dipandang lebih primitif
daripada pemujaan patung (iconic worship).
Bukti adanya pemujaan lingga ini
ditandai dengan penemuan batu berbentuk phallus
(alat kelamin laki-laki) yang berbentuk kerucut (conical) dan silinder (cylinder).
Wujud lingga ini banyak dipuja oleh
umat Hindu sampai sekarang (Rajeev, 1990). Pemujaan ini memegang peranan
penting dalam agama lembah sungai Sindhu.
Penemuan ini mendukung pernyataan bahwa bibit-bibit pemujaan kepada Siwa
sudah ditemukan dalam peradaban lembah sungai Sindhu.
Keempat, selain prototipe pemujaan Siwa (Male God) dan Shakti
(Mother Goddes) dalam agama Hindu, juga ditemukan simbol-simbol pemujaan yang menyerupai
kepercayaan animisme, seperti batu, pohon-pohon, dan binatang. Mereka percaya semua itu merupakan
tempat dari roh halus, yang baik maupun yang buruk (Mahajan, 1960). Pemujaan kepada
pohon ditandai dengan ditemukannya bukti berupa gambar-gambar pohon bersama-sama
dengan wujud manusia dengan atribut-atributnya. Ada beberapa pohon yang
dilukiskan dalam sebuah materai (seal)
antara lain: pohon pipal, beringin,
dan akasia. Sementara itu, tanda-tanda adanya pemujaan kepada binatang ditandai
adanya gambar-bambar binatang seperti ular, lembu, harimau, kerbau, badak,
gajah, dan binatang aneh bertanduk satu (unicorn).
Mengenai pemujaan kepada binatang ini ada beberapa pendapat yang menjelaskan
kemungkinan tujuan dan fungsinya, antara lain: (a) sebagai pemujaan kepada
pohon atau binatang itu sendiri (sejenis animisme dan dinamisme); (b) sebagai
kendaraan dewa tertentu; dan (c) sebagai simbol-simbol yang berkaitan dewa
tertentu. Pendapat ini dapat dipahami karena binatang-binatang yang dipuja oleh
orang-orang di lembah sungai Sindhu ini memiliki keserupaan dengan wahana
dewa-dewa yang dipuja dalam kesusasteraan Weda berikutnya. Seperti misalnya,
lembu sebagai wahana Dewa Siwa dan harimau sebagai wahana Dewi Durga.
Kelima, pemujaan
kepada patung (ikonisme) merupakan salah satu yang terpenting dalam kebudayaan lembah sungai
Sindhu, bahkan tidak dikenal dalam agama Weda (Luniya, 2001). Bukti adanya
pemujaan ini ditandai dengan ditemukannya beberapa terakota yang berbentuk
patung-patung manusia dengan atribut dan wujud tertentu. Satu di antara yang
terpenting adalah adanya patung yang menyerupai seorang yogi. Dengan ciri-ciri mata memicing melihat ujung hidung (Mahajan,
2002). Boleh jadi, patung ini merupakan perwujudan prototipe Siwa Mahayogi, seperti ditunjukkan dalam lukisan materai.
Keenam, penggalian situs di Harappa
dan Mohenjodaro ternyata juga menunjukkan adanya bukti-bukti bahwa agama lembah
Sungai Sindhu sudah mengenal adanya upacara kuban. Dalam sebuah materai (seal) yang ditemukan Harappa terdapat
lukisan seorang laki-laki mengangkat sabit dan di depannya duduk seorang
perempuan dalam sikap menyembah. Ini diperkirakan sebagai upacara kurban
manusia sebagai persembahan untuk meminta kesuburan (Marshall, 1931; Mackay,
1935). Sementara itu, penemuan bukti sejarah dari sebuah materai di Mohenjodaro
melukiskan: (a) seorang pemuja dengan sikap menyembah; (b) di sebelah pemuja
tersebut ada seekor binatang; (c) seorang lak-laki memegang sabit; dan (d) di
bawah gambar tersebut terdapat tujuh perempuan berderet. Lukisan binatang dan
orang memegang sabit ini diperkirakan sebagai bukti adanya kurban binatang
(Marshall, 1931; Mackay, 1935). Penemuan sejarah lainnya dari agama lembah sungai
Sindhu adalah adanya upacara dengan menggunakan api. Bukti ini ditemukan berupa
sebuah benda mirip cangkir dengan noda hitam bekas jilatan api di pinggirnya.
Selain itu, juga ditemukan bukti-bukti adanya persembahan bunga, daun, buah,
dan air (Majumdar, 1998:18; Luniya, 2002:25). Agama lembah sungai Sindhu juga
sudah mengenal upacara kematian. Ada tiga sistem upacara kematian, yaitu
penguburan, penjemuran, dan pembakaran mayat yang abu sisa pembakarannya
dibuang ke sungai (Luniya, 2002). Upacara persembahan ini nantinya akan
berperanan penting dalam sejarah evolusi agama Hindu di India pada zaman-zaman
berikutnya.
Agama lembah
sungai Sindhu menunjukkan adanya bentuk religi awal pada zaman India Kuno.
Kepercayaan di lembah sungai Sindhu memiliki kesamaan dengan kepercayaan dalam
agama Hindu. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa prototipe pemujaan kepada Siwa
dan Durga (Shakti), lingga, pohon, binatang, upacara kurban,
dan upacara persembahan lainnya sudah lama dipraktikkan oleh masyarakat di
lembah sungai Sindhu, jauh sebelum kedatangan orang-orang Arya ke India
(Macmillan (ed). 1978). Dengan mengetahui hal ini maka semakin jelas
bahwa sumbangan peradaban lembah sungai Sindhu dalam perkembangan dan evolusi Hinduisme di India harus
diakui sebagai faktor yang sangat penting.
B. Zaman
Weda (2.000 SM – 600 SM)
Kata ‘Veda’ berasal dari urat kata ‘Vid’ yang artinya ‘pengetahuan’
atau ‘mengetahui’. Veda diyakini bersumber dari wahyu Tuhan yang didengar
langsung oleh para Maharsi sehingga disebut sruti.
Dengan demikian Veda bukanlah buatan manusia (apauruseya). Pengajaran dan pewarisannya dilakukan secara lisan. Veda berjumlah
empat, yakni Rig Veda Samhita, Sama Veda
Samhita, Yajur Veda Samhita, dan
Atharva Veda Samhita. Selain itu,
juga terdapat Veda-Veda minor (Upaveda) dan badan-badan Veda (Vedangga)
yang bersumber dari kitab suci Veda.
Kelompok pertama disebut Sruti, dan
yang terakhir disebut Smrti (Macmillan
(ed), 2002). Kitab suci Veda
terdiri atas bagian-bagian,
sebagai berikut.
- Kitab-kitab Mantra Samhita dari Catur Weda.
- Kitab-kitab Brahmana yang dikaitkan dengan setiap Weda Samhita.
- Kitab-kitab Aranyaka yang dikaitkan dengan setiap Weda Samhita.
- Kitab-kitab Upanisad, atau disebut juga kitab Wedanta yang dikaitkan dengan setiap Weda Samhita. Wedanta artinya bagian akhir Weda (Datta, 1950:17; Rajeev, 1990:15).
Weda pada
mulanya diajarkan secara lisan dalam garis perguruan (parampara) oleh banyak Rshi. Jadi, besar kemungkinan bahwa Weda tidaklah
tersusun secara sistematis. Baru kemudian Weda dikodifikasikan menjadi empat
disebut Catur Weda Samhita. Secara
tradisi diyakini bahwa pengkodifikasian Weda dilakukan oleh Maharsi Wyasa
bersama keempat muridnya, yaitu Pulaha, Jaimini, Waisampayana, dan Sumantu.
Para sarjana memperkirakan bahwa pengkodifikasian itu dilakukan antara tahun
1.500 SM – 1.000 SM. Dalam
pandangan ilmu sejarah, secara umum Zaman Weda dibagi
menjadi dua periode, yaitu Zaman Rig Weda atau Zaman Weda Awal (Early
Vedic Period), dan Zaman Weda Akhir (Later Vedic Period)
(Majumdar, 1998).
Zaman Weda Awal
disebut juga zaman Rig Weda (Early Vedic Period) diperkirakan
berlangsung antara tahun 2.000 SM – 1.000 SM (Tripathi, 1999). Adapun
ciri-ciri yang terpenting dari agama Rig Weda dapat dilihat dari (1) konsep ketuhanan, dan (2) ritual yang
dilaksanakan. Konsep ketuhanan yang dianut pada zaman Rig Weda adalah
henoteisme, kathenoteisme, politeisme, panteisme, monoteisme, dan monisme.
Agama Rig Weda (Rig Veda Religion)
percaya kepada banyak dewa, tetapi ada satu Dewa Tertinggi. Dewa Tertinggi ini
menjadi pemimpin dari dewa-dewa yang lain. Setiap suku bangsa Arya mempercayai
adanya satu Dewa Tertinggi sebagai Yang Maha Kuasa. Mengingat bangsa Arya
terdiri atas beberapa suku sehingga Dewa Tertinggi bagi satu suku, kadangkala berbeda dengan Dewa Tertinggi pada suku
yang lain. Ini menyebabkan ada banyak Dewa Tertinggi dalam Rig Weda sehingga
seringkali disebut politeisme (Muller, 1872; Kundra, 1968). Dewa
Tertinggi ini diyakini adalah pencipta, pemelihara, pelindung, pemberi
kebahagiaan, dan juga pemberi kekayaan kepada manusia. Adapun dewa-dewa yang dipuja dalam agama Rig Weda, antara lain Surya, Usha,
Indra, Parjana, Wayu, Agni, Kuwera,
dan lain-lain. Jumlah dewa dari agama Rig Weda berjumlah
33 (Tribhir Ekadasai) (Mac Donell,
1991).
Dyaus adalah dewa yang bersinar di sorga dan Pthiwi adalah
dewi bumi. Kedua dewa ini merupakan dewa yang tertua dari dewa-dewa yang
disebutkan dalam Rig Weda. Kemudian, kedua dewa ini digeser atau digantikan
kedudukannya oleh Waruna dan Indra. Dewa Waruna adalah dewa yang paling mulia.
Ia adalah dewa atau pemimpin dari pada para dewa. Dewa Waruna adalah Dewa
Mahatahu, sekaligus Penguasa Alam Semesta. Tiada seorang pun orang yang berdosa
dapat terlepas dari mata Dewa Waruna
sehingga kepada-Nya manusia memohon pengampunan dosa (Griswold, 1999). Indra
adalah dewa yang paling terkenal dan yang paling banyak dipuja karena hampir seperempat
dari seluruh jumlah nyanyian pemujaan dalam kitab Rig Weda Samhita, ditujukan
kepada dewa Indra. Indra diyakini
memiliki kekuatan yang sangat mengagumkan, juga sebagai dewa penguasa
hujan, dewa sahabat manusia, dan dewa perang.
Di samping dewa-dewa tersebut di atas, ada pula dewa
seperti Marut (angin ribut), Wayu (dewa angin), Parjanya (dewa awan), dan Agni
(dewa api). Dewa Agni adalah dewa yang dipuja dalam wujud api yajna. Artinya, api yajna itu sendiri adalah disucikan dan dipuja sebagai Agni. Dewa Agni
juga dianggap sebagai dewa pendeta dan dewa perantara untuk membawa persembahan
yajna kepada para dewa lain. Selain
itu, Dewa Aditya (dewa matahari) juga dipuja dalam berbagai wujud, misalnya
sebagai Mitra (dewa yang bersifat dermawan), Surya (dewa pemberi sinar),
Sawitri (dewa pemberi gairah), Pushan (dewa pemberi makanan), Sawita, Ashwin,
dan Usha. Selain percaya kepada dewa-dewa, agama Rig Weda juga percaya adanya
leluhur. Ada beberapa kepercayaan terhadap leluhur dalam kitab Rig Weda, sebagai
berikut.
- Leluhur pergi ke sorga ataupun neraka berdasarkan yajna yang dipersembahkan karma).
- Leluhur tinggal bersama para dewa.
- Leluhur ikut minum soma (minuman keras) bersama para dewa.
- Lluhur ikut menikmati persembahan (swadha).
- Kedudukan leluhur sama dengan para dewa.
Walaupun mulanya agama Rig Weda dipandang sebagai
politeisme, tetapi pendapat ini mulai diluruskan. Mengingat pada sloka terakhir dari kitab Rig Weda jelas
sekali menunjukkan bahwa kepercayaan dari agama Rig Weda mengarah pada
kepercayaan monotheisme, bahkan monisme. Hal ini ditemukan dalam kitab suci Rig
Weda, Mandala X, yang menyatakan
bahwa “yang ada” berasal dari “yang tidak ada”, “yang nyata” muncul dari “yang
tak nyata”. Kemudian, juga dalam kitab tersebut dijelaskan adanya kepercayaan
bahwa Tuhan itu adalah Esa, tetapi memiliki banyak nama (‘Ekam
sad viprah bahuda vadanti’). Oleh karena itu, konsep
ketuhanan yang menjadi ciri penting dalam agama Rig Weda adalah percaya kepada
Tuhan Yang Maha Esa, tetapi juga percaya kepada banyak dewa sebagai manifestasi-Nya.
Dalam konteks ritual, upacara Soma merupakan pusat
dari ritual dari agama Weda. Selain menjadi persembahan, minuman Soma juga dipuja sebagai dewa, sama
halnya dengan Saraswati yang dipuja sebagai dewa sungai dan dewa pengetahuan
(Griswold, 1999). Upacara Soma dijelaskan sebagai upacara
persembahan minuman yang dapat menyenangkan hati (memabukkan) para dewa. Ciri
penting lainnya bahwa pada zaman ini juga dikenal binatang-binatang yang selain disucikan, juga ada
yang dikurbankan seperti, sapi, kambing, kerbau, binatang-binatang buruan,
ular, dan burung-burung. Menurut sarjana Indologi (Mahajan, 1960; Kundra, 1968;
Majumdar, 1998) bahwa sapi dalam Weda, selain ia disucikan, juga dikurbankan.
Pendapat serupa juga disampaikan oleh Swami Vivekananda. Berkenaan dengan kurban binatang dijelaskan dalam
kitab suci Rig Weda berupa mantra yang diucapkan pendeta sebelum upacara kurban dilakukan, sebagai berikut.
“Engkau
tidak disakiti, engkau tidak dibunuh, engkau tidak mati, engkau akan pergi ke
tempat para dewa melalui jalan yang benar dan indah”.
“Engkau
akan dijemput dengan kereta yang indah, yang ditarik oleh kuda-kuda milik Dewa
Indra, kuda milik Dewa Maruta, dan kuda milik Dewa Aswin, dan para dewa juga
akan menemanimu pergi ke sorga”.
Pada zaman Rig Weda juga dilaksanakan upacara kematian.
Disebutkan dua jenis upacara kematian, yaitu dengan jalan dibakar (Agni Dagdha) dan dikubur (Anagni Dagdha). Di samping itu, juga agama
Rig Weda melaksanakan yajna kepada
leluhur. Orang Arya percaya bahwa dengan melaksanakan yajna kepada leluhur maka leluhur juga akan menolong manusia,
seperti memberikan perlindungan, kesehatan yang sempurna, kesejahteraan, tidak menyakiti keturunannya atas dosa-dosa yang diperbuat, kekayaan pada
keturunannya, dan menganugerahi keturunan. Catatan penting lainnya dari agama Rig
Weda bahwa agama ini tidak mengajarkan pembuatan dan penyembahan patung. Rig
Weda juga tidak menganjurkan untuk membuat tempat pemujaan atau kuil-kuil. Pada zaman ini, penganut agama Rig Weda bersembahyang dengan memuja Tuhan di tempat terbuka atau altar (Mahajan, 1960).
Pasca berakhirnya zaman Rig Weda, orang-orang Arya memasuki kondisi kehidupan yang
berbeda, baik dalam hal agama, sosial, budaya, dan ekonomi. Ini merupakan
pembabakan sejarah kedua dalam agama Weda (Vedic
Religion). Zaman Weda Akhir (Later
Vedic Period) berlangsung sekitar tahun 1.000 SM atau 800 SM (Mahajan,
1960). Petunjuk keagamaan orang Arya pada zaman ini dapat dapat dijumpai
dalam kitab suci Sama Weda, Yajur Weda, dan Atharwa Weda, termasuk juga kitab-kitab Brahmana, Aranyaka, dan Upanisad.
Dari semua kitab-kitab ini akan ditemukan ide mengenai agama, kebudayaan,
politik, sosial, dan ekonomi masyarakat India pada Zaman Weda Akhir (Tripathi,
1999).
Pada zaman Sama
Weda, kehidupan ekonomi masyarakat Arya semakin membaik. Bangsa Arya
sudah berhasil menguasai wilayah India Utara dan India Timur. Perdagangan juga
semakin maju. Suku bangsa Arya muncul sebagai tuan-tuan tanah di India. Pada zaman
ini sistem kerajaan sudah mulai terbentuk. Agama Weda juga mengalami
perkembangan dan kemajuan yang pesat sehingga kedudukan pendeta menjadi sangat
penting pada zaman ini. Kondisi sosial yang demikian menjadi awal mula lahirnya
sistem kasta di India. Sistem pelapisan sosial ini didasarkan pada konsep catur warna yang telah disebutkan dalam
Rig Weda. Pada zaman ini, catur warna tidaklah
berdasarkan atas profesi, tetapi berdasarkan keturunan atau warisan.
Dalam hal keagamaan, tata cara pemujaan dan ketaatan pada
pelaksanaan ritual keagamaan mencapai kemajuan yang luar biasa. Mantra-mantra Rig Weda yang semula
hanya dibaca pada waktu upacara keagamaan, pada zaman Sama Weda sudah mulai dinyanyikan. Melagukan mantra-mantra Rig Weda dalam
pelaksanaan upacara yajna adalah ciri utama zaman Sama Weda ini. Pada zaman ini pula,
nyanyian-nyanyian suci itu dikodifikasikan menjadi bentuk kitab suci baru yang
disebut kitab suci Sama Weda (Datta,
1950).
Setelah berhasil mengkodifikasikan kitab suci Sama Weda, mulailah dikumpulkan sloka-sloka
suci lainnya dalam bentuk baru yang disebut kitab suci Yajur Weda. Zaman ini pula disebut zaman Yajur Weda. Perubahan atau evolusi yang sangat penting pada zaman Yajur Weda adalah terjadinya perubahan
kehidupan sosial ekonomi bangsa Arya. Bangsa Arya sudah berhasil menguasai
seluruh India sehingga muncul negara-negara jajahan. Oleh karena itu, mulai
muncul upaya untuk mempertahankan dan mengukuhkan kekuasaan sehingga disusunlah
kembali cara-cara untuk melaksanakan kurban suci (yajna). Kitab suci yang berisi petunjuk-petunjuk tentang yajna lengkap dengan mantra-mantra pemujaannya
disebut Yajur Weda. Yajur Weda dibagi
atas dua bagian penting, yakni Krishna Yajur Weda (Yajur Weda
Hitam) dan Shukla Yajur Weda (Yajur Weda Putih). Demikianlah yajna-yajna
diklasifikasikan untuk tujuan-tujuan tertentu (Datta, 1950).
Kedudukan yajna pada zaman ini sangat
penting. Yajna diyakini sebagai satu-satunya jalan untuk mencapai sorga
atau moksa. Di samping itu, juga yajna-yajna itu dibuat dan
disesuaikan dengan daerah-daerah setempat. Ada beberapa jenis yajna yang dilaksanakan pada zaman ini,
antara lain: Gosawa, Rajasuya, Wajapeya,
Goghana, Caturmasya, Nirruddha pasu bandha, Maduparka, Gawamayana,
Sarwamedhayajna, Naramedhayajna, Aswamedhayajna, dan Homa atau Agnihotra. Upacara-upacara
besar seperti, Rajasuya, Sarwamedhayajna,
dan Aswamedhayajna dilaksanakan
untuk merayakan kemenangan raja, pengukuhan raja, dan tanda kebesaran dan
kekuasaan. Sementara itu, yajna-yajna yang
lain secara umum bertujuan untuk (a) membujuk para dewa agar hukum alam (rta) berfungsi sebagaimana mestinya,
agar tanah menjadi subur, dan agar dewa tidak murka; (b) menyenangkan hati para
dewa sehingga berkenan memberi anugerah, keuntungan, kemenangan, dan kekuatan;
dan (c) mendapatkan pengampunan dosa.
Kedudukan pendeta pada zaman ini sangatlah penting karena berkaitan
dengan keberhasilan yajna yang
dilaksanakan. Ada beberapa hal yang menjelaskan pentingnya kedudukan pendeta
pada zaman Weda ini, sebagai berikut.
- Pendeta memiliki kekuatan magis.
- Pendeta dapat memberikan kekuatan magis atau gaib.
- Pendeta berfungsi untuk mengesahkan kedudukan raja.
- Pendeta mendoakan kemenangan raja.
- Hanya pendeta yang dapat melakukan upacara secara tepat dan benar.
- Pendeta adalah perantara manusia dengan para dewa.
- Salah dalam pelaksanaan yajna, berarti tujuan upacara tidak tercapai.
Mengingat pentingnya upacara yajna pada zaman ini sehingga yajna
diyakini mampu mengantarkan manusia menuju sorga. Malahan, menurut kitab
Yajur Weda bahwa sorga hanya dapat diraih dengan cara mempersembahkan yajna kurban (karma); membaca mantra-mantra suci Weda; mempersembahkan air soma; dan dengan perbuatan baik yang
ditujukan kepada para dewa.
Berdasarkan uraian tersebut di atas maka dapat dijelaskan
karakteristik agama Weda (Vedic Religion),
sebagai berikut.
- Percaya banyak dewa, tetapi juga percaya kepada Tuhan Yang Esa.
- Percaya adanya leluhur.
- Pentingnya pembacaan kitab suci Weda.
- Pentingnya melaksanakan upacara yajna kurban.
- Pentingnya melaksanakan upacara kematian.
- Pentingnya kedudukan pendeta.
- Tidak menyembah patung.
- Tidak membuat tempat ibadah (kuil).
- Bersifat optimistik, yaitu agama rasa, kepuasan hati, dan bhakti.
- Moksa dan sorga hanya dapat dicapai melalui yajna.
C. Zaman Brahmana (1000 SM – 300 M)
Setelah pengkodifikasian kitab Catur Weda selesai
dilakukan,
maka kitab suci Catur
Weda mulai ditafsirkan untuk pertama kalinya ke dalam kitab-kitab Brahmana. Kitab Brahmana pada akhirnya memegang peranan
penting dalam pelaksanaan agama Hindu di India pada masa itu. Agama Weda (Vedic Religion) digantikan dengan agama Brahmana (Brahmanical Religion). Pergantian ini ditandai dengan adanya
ciri-ciri penting dalam agama Brahmana yang tidak muncul sebelumnya pada zaman
Weda. Para ahli
umumnya membagi menjadi tiga periode, yakni (1) Zaman Kejayaan Agama Hindu (1000
SM – 600 SM); (2) Zaman Kemunduran Agama Hindu (600 SM – 200 SM); dan (3) Zaman
Kebangkitan Agama Hindu (200 SM – 300 M). Ciri-ciri terpenting dari setiap
zaman itu diuraikan, seperti berikut di bawah ini.
Zaman kejayaan agama Hindu berlangsung bersamaan dengan
perkembangan keagamaan menurut kitab-kitab Brahmana, Aranyaka, dan Upanisad. Zaman Brahmana merupakan zaman
perluasan dan tersebarnya agama dan kebudayaan Brahmana (Hindu). Setiap upacara
dan upakara yang disebutkan dalam setiap
kitab suci Catur Weda, ditafsirkan secara teliti dan ditulis kembali
dalam kitab tersendiri. Kitab-kitab hasil penafsiran inilah yang disebut
kitab-kitab Brahmana. Setiap kitab Weda Samhita memiliki kitab Brahmana-nya sendiri, antara lain: Rig Weda memiliki Aitereya Brahmana dan Kausitaki
Brahmana; Sama Weda memiliki Tandya
Brahmana dan Sadwingsa Brahmana;
Yajur Weda memiliki Taitiriya Brahmana
dan Shatapatha Brahmana; dan Artharwa
Weda memiliki Gopatha Brahmana.
Selain itu, masih ada kitab-kitab Brahmana
lainnya (Datta, 1950). Kitab-kitab ini ditulis dengan bahasa
Sansekerta klasik (Classic Sanskrit),
menggantikan bahasa Sansekerta Weda (Vedic
Sanskrit).
Teologi dalam kitab Brahmana tidak jauh berbeda dengan teologi dalam kitab suci Catur
Weda. Hanya saja pada zaman ini muncul beberapa nama dewa baru yang dipuja,
sedangkan beberapa dewa yang lama dilupakan dan tidak dipuja lagi. Meskipun
tidak terjadi perubahan yang signifikan secara teologi, tetapi spirit keagamaan
mengalami perubahan besar. Upacara dan upakara
agama tumbuh subur. Dalam kitab ini tidak hanya dibicarakan tentang upacara
kecil dan sederhana yang dilakukan masyarakat, melainkan juga upacara yajna
yang besar, megah, dan mahal, terutama oleh golongan aristokrat dalam
masyarakat. Sebagai akibat dari perkembangan itu bahwa keberadaan golongan pendeta
sangatlah penting dan didudukkan pada tempat yang sangat terhormat (Kundra,
1968). Keberadaan kitab Brahmana
sangat penting bagi golongan pendeta untuk melaksanakan upacara ritual dengan
benar, teratur, dan memenuhi syarat kehikmatannya. Di samping itu, juga mulai
muncul kekuasaaan dari golongan pendeta yang mengajarkan adanya bermacam-macam
upacara ritual (Datta, 1950). Selain berisi keterangan-keterangan
mengenai proses pelaksanaan upacara ritual, juga terdapat diskusi mengenai
tradisi-tradisi yang berlaku pada zaman itu, baik pada masyarakat kota maupun
desa. Kitab yang terpenting dari semua kitab Brahmana adalah kitab Satapatha Brahmana.
Semua upacara dikembangkan, diperluas, dan
dirinci tidak habis-habisnya. Kemudian, setiap upacara dan upakara dihubungkan dengan arti dan makna mistis. Golongan pendeta
pada zaman Brahmana ini memusatkan seluruh pikirannya untuk menemukan arti
mistis yang terkandung dalam tata cara dan upacara ritual keagamaan. Arti mistis
itu tidak hanya dicari dan ditafsirkan dari upacara yang dilakukan dalam
keluarga saja (Grihasutra), tetapi juga dicari arti mistisnya pada seluruh
upacara umum (Srautasutra). Kemudian hal ini diwujudkan dalam wujud
upacara-upacara dan upakara agama
yang sangat mengagumkan dan juga sangat rumit, yang belum pernah terjadi atau
diciptakan oleh manusia di dunia ini (Majumdar, 1998).
Upacara yajna yang dilakukan oleh setiap
rumah tangga melingkupi rangkaian seluruh kehidupan manusia. Mulai dari orang mengandung
sampai meninggal (life circle ceremony).
Di samping itu, juga banyak upacara yajna yang berhubungan dengan roh
orang yang sudah meninggal. Upacara yajna yang dilaksanakan oleh
masyarakat umum adalah upacara-upacara besar. Salah satu yang sangat terkenal
adalah Aswamedhayajna atau korban binatang kuda. Upacara ini hanya
boleh dilakukan oleh para raja yang besar dan kuat, serta mendapatkan pengakuan
dari kerajaan lain. Upacara Aswamedhayajna ini dilakukan
secara besar-besaran dengan menggunakan tenaga dari ratusan pendeta,
mengorbankan banyak binatang, dan berbagai sarana upacara yang cukup rumit
(Datta, 1950; Majumdar, 1998). Upacara besar lainnya adalah Sarwamedhayajna.
Ini adalah upacara kurban
suci dengan mengorbankan bermacam-macam binatang. Masih banyak lagi upacara
besar lainnya yang menggunakan binatang sebagai korban suci (Datta, 1950). Ada beberapa ciri penting pada zaman Brahmana ini, yaitu (a) munculnya sistem pelapisan sosial
(catur warna) dalam arti kasta; (b) pemakaian bahasa Sansekerta klasik dalam
penulisan kitab suci; (c) munculnya upacara dan upakara yang banyak dan rumit; (d) agama Brahmana bersifat aristokratik;
dan (e) munculnya pelaksanaan upacara yajna
dengan menggunakan kurban binatang. Jadi, pada zaman ini Weda ditafsirkan
secara Karma Kanda.
Bersamaan dengan berlangsungnya zaman
Brahmana, muncul peristiwa penting lainnya dalam agama Hindu di India.
Kehidupan sosial keagamaan yang telah mapan memberikan ruang bagi para rsi
untuk merenungkan kembali berbagai aspek keagamaan yang terdapat dalam kitab Catur Veda. Perenungan para rsi ini
meliputi aspek-aspek metafisis dari Weda seperti, penciptaan, alam semesta
beserta segala isinya, serta hal-hal spiritual yang bisa menuntun manusia
mencapai moksa. Ini dapat dipahami
mengingat konsepsi mengenai alam semesta dari bangsa Arya sangat terbatas. Para
rsi tidak bisa menerima begitu saja ide tentang penciptaan yang ditulis dalam zaman
Weda Akhir (Later Vedic Period).
Mantra-mantra
dalam kitab suci Rig Weda dan
kitab Brahmana yang menyebutkan
bahwa dunia ini muncul dari yajna dan dipelihara pula dengan yajna
(kurban suci) mulai diragukan oleh para Rshi. Keragu-raguan itu dapat dilihat dari pertanyaan-pertanyaan
para Rshi mengenai “kapan semua ini
muncul dan bagaimana ciptaan itu terjadi? Padahal, para dewa itu muncul
belakangan daripada ciptaannya. Oleh karena itu, siapa yang sebenarnya tahu
akan hal ini dan kapan penciptaan itu terjadi?” (Datta, 1950). Pertanyaan-pertanyaan
ini menjadi spirit untuk melakukan penyelidikan yang lebih luas dan mendalam sehingga mendorong para Rshi pergi ke hutan. Mereka membawa kitab-kitab
suci untuk dibaca, dibahas, dan direnungkan berulang-ulang. Hasil dari
perenungan tersebut ditulis kembali oleh para rsi dan para pendeta di
hutan-hutan (aranya) sehingga disebut kitab Aranyaka. Seperti
misalnya, Rig Weda memiliki Aitereya
Aranyaka, Kausitaki Aranyaka; dan Yajur Weda memiliki Brhad Aranyaka dan Taittiriya
Aranyaka. Isi utama dari kitab Aranyaka
adalah tuntunan cara upacara dan upakara
yang harus dilakukan oleh mereka yang hidup di hutan. Selain itu juga, tentang
hal-hal spiritual yang dapat menuntun mereka untuk mencapai moksa (Datta, 1950:97). Kitab-kitab Aranyaka melahirkan beberapa ajaran yang penting dalam agama Hindu.
Kitab ini percaya bahwa moksa bukan hanya dapat dicapai melalui yajna, tetapi juga melalui etika dan
spiritualitas. Diterimanya ajaran mengenai pertapaan (tapa brata) dan meditasi menjadi ciri penting dari zaman ini
(Majumdar, 1998). Pada zaman ini ajaran Weda ditafsirkan secara Upasana
Kanda.
Perkembangan pemikiran pada zaman Brahmana mengalami puncaknya pada zaman Upanisad, sekitar tahun 800 SM hingga
600 SM (Majumdar, 1998). Zaman ini ditandai dengan munculnya pemikiran
filosofis dan logika untuk mengungkap misteri alam semesta dan aspek metafisis
lainnya. Penciptaan alam semesta, kehidupan dan kematian, serta ajaran tentang moksa menjadi inti pemikiran Upanisad (Sharma, 2001). Ajaran-ajaran upanisad muncul sebagai penafsiran mendalam dan radikal terhadap
isi kitab suci Catur Weda. Jumlah
seluruh kitab Upanisad dari yang
tertua hingga yang termuda adalah 108 (seratus delapan) buah. Akan tetapi,
terdapat 12 (dua belas) kitab Upanisad yang
dipandang penting, yaitu Aitereya,
Kausitaki (Rig Weda); Kena, Chandogya
(Sama Weda); Swetaswatara, Taittriya,
Brhadaranyaka, Isa, Katha, Mandukya (Yajur Weda); dan Prasna, Mundaka (Atharwa Weda) (Winternitz, 1990).
Hampir semua kitab Upanisad membahas hakikat tentang Brahma, Atman, hubungan antara Brahman
dan Atman, hakikat maya, widya, dan kelepasan. Ajaran dalam
Upanisad bersifat monisme absolut,
yaitu ajaran yang menyatakan bahwa segala yang ada bersumber dari satu asas
sebagai Realitas Tertinggi (Brahman).
Brahman adalah asas pertama dari alam
semesta, Prinsip Tertinggi yang tanpa perubahan, sumber dari segala penciptaan,
dan pengendali seluruh hukum alam (rta).
Pada zaman Brahmana, Brahman sudah dianggap
sebagai asas yang pertama dari alam semesta, tetapi pada zaman Upanisad lebih
diperjelas lagi (Chatterjee dan Datta, 1954; Hiriyana, 1978). Menurut Taittirya Upanisad bahwa segala sesuatu
mengalir dari Brahman sehingga segala
sesuatu pada hakikatnya adalah Brahman. Demikian
juga dengan hakikat rohani manusia yang disebut Atman bersumber dari Brahman.
Oleh karena itu, hakikat Brahman dan
Atman tidaklah berbeda. Brahman adalah azas kosmis, sedangkan Atman adalah asas hidup manusia
(Chatterjee dan Datta, 1954; Hiriyana, 1978). Oleh karena hakikat Atman sama dengan Brahma, maka sifat dari Atman
adalah kekal dan abadi (nitya),
ia tidak pernah terlahir ataupun mati. Akan tetapi, karena Atman bersatu dengan tubuh (asas materi) maka seolah-oleh ia
mengalami proses kelahiran dan kematian berulang-ulang. Artinya, setelah seorang
meninggal maka Atman-nya akan berpindah ke badan yang lain, dan
seterusnya. Ajaran kelahiran berulang-ulang ini dikenal dengan nama samsara
atau punarbhawa (Rajeev,
1990).
Ajaran perpindahan Atman (punarbhawa) ini erat hubungannya
dengan hukum karma. Atman harus
lahir kembali berulang-ulang untuk memetik hasil dari buah perbuatannya di masa
lalu (wasana karma). Dijelaskan dalam kitab Upanisad bahwa setelah orang
meninggal maka jiwanya akan pergi ke dunia nenek moyang melalui asap
pembakaran. Perjalanan itu terjadi ketika matahari bergerak dari arah selatan
ke utara (uttarayana). Di dunia nenek
moyang itulah perbuatan baik dan buruk dinikmati, setelah itu mereka akan
menjelma kembali. Penjelmaan ini akan terjadi berulang-ulang sampai akhirnya Atman bersatu dengan Brahman atau Paramatman. Keadaan bersatu inilah yang disebut moksa. Uraian ini menunjukkan bahwa
tradisi filosofis dari zaman Upanisad merupakan
kelanjutan dari agama Brahmana dan Aranyaka, bahkan agama Veda sebelumnya.
Mengingat dalam Upanisad masih
meyakini adanya alam nenek moyang (leluhur) yang dicapai melalui asap upacara
pembakaran (Agni Dagdha). Ini
membedakan ciri filsafat Upanisad dengan
filsafat India (darsana) yang akan
muncul pada zaman berikutnya.
Dengan demikian, ciri utama dari zaman Upanisad adalah munculnya ajaran tentang
Brahman, atman, hukum karma,
kelahiran berulang-ulang (samsara atau
punarbhawa), dan moksa (Sharma, 2001). Pada
zaman ini, ajaran Weda ditafsirkan secara Jnana Kanda bahwa moksa tidak hanya dapat dicapai dengan yajna, etika, tapa brata, dan meditasi, tetapi juga dengan pengetahuan mengenai brahman (Brahma Widya). Oleh karena itu, agama Hindu pada periode ini tidak
lagi berkiblat ke luar, ke alam semesta, namun mencari Brahman dalam diri sendiri melalui kontemplasi dan spekulasi
metafisika.
Agama
Hindu pada zaman Brahmana, Aranyaka, dan Upanisad dikatakan sedang mengalami
masa kejayaannya. Ini dikarenakan Weda telah ditafsirkan dalam tiga aspek
penting, yakni karma kanda, upasana
kanda, dan jnana kanda. Penafsiran
ini semakin memperkaya pengetahuan, penghayatan, dan pengamalan religius umat
Hindu di India pada masa itu. Ini menandai bahwa tiga kerangka agama Hindu,
yaitu tattwa, susila, dan acara telah dilaksanakan secara holistik dan integral.
2. Zaman Kemunduran Agama Hindu (600 SM – 200 SM)
Agama Brahmana ditandai dengan munculnya
penafsiran terhadap kitab suci Catur Weda
yang melahirkan kitab-kitab Brahmana,
Aranyaka, dan Upanisad. Namun demikian, penafsiran ini hanya dilakukan oleh para
rsi yang memiliki otoritas untuk itu dan berlangsung dalam tradisi perguruan
yang ketat (Majumdar, 1998). Meskipun Upanisad berisi pemikiran filosofis dan
spekulasi metafisis, tetapi ini merupakan ajaran rahasia yang berlangsung
antara “guru dan murid”. Ini ditegaskan dengan kata ‘upanisad’ yang berarti
‘duduk dekat dengan guru’, untuk menerima ajaran-ajaran mengenai rahasia
ketuhanan (brahma rahasyam).
Kondisi ini berbeda dengan peristiwa
keagamaan Hindu di India yang terjadi pada sekitar abad ke-6 sebelum masehi.
Pada masa ini, kitab Catur Weda dipelajari
secara terbuka dan bebas ditafsirkan oleh siapapun. Kebebasan ini menyebabkan
munculnya beberapa aliran yang pada akhirnya tidak mengakui otoritas Weda
sebagai kitab suci. Aliran itu adalah Buddha,
Jaina, Charwaka, Ajawika, Prawrajaka, Nirgantas, dan lain sebagainya. Aliran-aliran ini menentang dan
melawan agama Brahmana (agama Hindu yang dianut masyarakat India pada zaman
itu). Mereka juga menolak otoritas dan kekuasan kitab suci Weda, juga seluruh
upacara ritual yang bersumber dari kitab suci Weda (Tripathi, 1999). Sebaliknya, mereka mendukung dan menganjurkan
etika, mengagungkan nilai-nilai kehidupan, tapa brata yang keras, dan
penebusan dosa dengan jalan yang luar biasa untuk mencapai moksa.
Dari sekian banyak aliran yang muncul pada
zaman ini, agama Buddha rupanya memegang peranan yang paling signifikan dalam
evolusi agama Hindu di India. Ajaran agama Buddha tidak pernah membicarakan keberadaan
Tuhan. Agama Buddha lebih menekankan ajarannya sebagai “way of life” (pandangan
hidup), yakni jalan hidup luhur dan saleh. Ia menentang segala dogma agama yang
berlaku, tetapi menjunjung tinggi jalan rasional, kebijaksanaan, dan
perkembangan spiritualitas. Bagi agama Buddha, tujuan hidup yang tertinggi adalah
pembebasan atman dari ikatan
keduniawian sebagai penyebab penderitaan (duhka).
Hanya dengan mengetahui sumber duhka dan
jalan untuk melenyapkannya, orang akan mencapai kebebasan dari kelahiran dan
kematian yang disebut nirwana. Agama
Buddha menentang kebenaran Weda, mengutuk korban binatang, menentang upacara
ritual yang dianggap tidak ada artinya, menentang catur warna (kasta), dan menentang kekuasaan para pendeta.
Ajaran agama Buddha yang cukup sederhana ini
mampu menarik simpati rakyat India pada waktu itu. Ajaran agama Buddha menyebar
begitu cepat ke seluruh India sehingga sebagian besar orang-orang Hindu (beragama
Brahmana) beralih-agama ke agama Buddha. Malahan, jumlah penganut agama Buddha
pada waktu itu mencapai hampir 90 persen dari keseluruhan penduduk India. Hanya
orang-orang Hindu yang masih taat saja yang tetap beragama Hindu, dan
kebanyakan dari mereka adalah golongan Brahmana (Hariharan, 1987). Dapat
dikatakan bahwa zaman ini adalah zaman keemasan agama Buddha (The Golden Age of Buddhism) di India.
Peristiwa ini mengakibatkan agama di India pecah menjadi dua golongan, yaitu
golongan ortodoks (ortodoxsect) dan
golongan rasionalis (heterodexsect). Golongan
ortodoks atau smarta atau karma kandi, adalah mereka yang masih
menganut agama Brahmana. Sebaliknya, golongan rasionalis adalah para penganut
agama Buddha, Jaina, dan sebagainya, yang menentang agama Brahmana (Tripathi,
1999). Dengan meluasnya pengaruh golongan rasionalis ini maka agama
Brahmana mengalami kemunduran yang luar biasa.
Pada intinya, golongan rasionalis (heterodoxsect) ini menyatakan bahwa nirwana
tidak dapat dicapai melalui yajna,
tapa brata, ataupun brahma widya, melainkan
hanya melalui etika dan perbuatan baik. Ini yang mendasari mereka menentang
ajaran-ajaran agama Brahmana, seperti:
- Menentang kebenaran Weda;
- Menentang upacara yajna yang banyak dan rumit;
- Menentang agama yang bersifat aristokrat;
- Menentang adanya sistem warna (kasta);
- Menentang penggunaan bahasa Sansekerta;
- Menentang pembunuhan binatang untuk pelaksanaan upacara yajna, dan menekankan ajaran ahimsa secara ketat;
- Menentang kekuasaan golongan Brahmana dalam mengatur keperluan spiritual masyarakat (Mahajan, 2002).
3. Zaman Kebangkitan Agama Hindu (200 SM – 300 M)
Zaman keemasan agama Buddha di India (The Golden Age of Buddhism) telah
merubah wajah sejarah India pada masa itu. Bukan hanya sejarah agama, melainkan
juga sejarah politik dan kebudayaan India. Dari segi politik, India dipimpin
oleh raja-raja yang beragama Buddha, bahkan agama Buddha ditetapkan sebagai
agama negara. Raja-raja pada waktu itu memperlihatkan sikap anti terhadap agama
Hindu (agama Brahmana) dan melarang seluruh upacara yajna yang menggunakan kurban binatang (Kundra, 1968; Sharma,
2001). Sejarah ini berlangsung sampai akhir abad ke-3 sebelum masehi.
Pada abad ke-2 sebelum masehi kaum
Brahmana bangkit mengadakan pemberontakan melawan pemerintah kerajaan yang
beragama Buddha. Pada zaman ini terjadi pemberontakan dari golongan agama Hindu
yang dipimpin oleh Pushyamitra. Dia adalah seorang brahmana yang menjabat
sebagai senapati di kerajaan Magadha. Pusyamitra berhasil membunuh raja
terakhir dari Dinasti Maurya yang bernama Brihadratha pada tahun 184 SM.
Disebutkan dalam kitab Harshacarita bahwa ketika raja
Brihadratha sedang mengadakan pemeriksaan pasukan dalam sebuah parade, saat
itulah ia dibunuh oleh Pushyamitra. Setelah itu, Pusyamitra merampas kerajaan
Maurya dan kemudian mendirikan dinasti Brahmana yang disebut Sungga (Majumdar,
1998).
Mengenai Pusyamitra, lebih lanjut dijelaskan
dalam kitab-kitab agama Buddha dan catatan ahli sejarah agama Buddha dari Tibet
yang bernama Taranatha (hidup sekitar abad ke-16 masehi). Taranatha mengatakan
bahwa Pushyamitra adalah seorang raja Brahmana yang kejam. Pernyataan ini
didukung oleh kitab Diwya Wadana yang menyebutkan
bahwa Pushyamitra telah membunuh dan menyiksa pengikut-pengikut agama Buddha. Selanjutnya
juga, dikatakan bahwa Pushyamitra telah mengeluarkan pengumuman yang berisi
“barangsiapa dapat memenggal leher seorang Bhiksu dan membawa kepalanya ke hadapannya, maka ia akan menghadiahkan
seratus dinar mas”. Pengumuman ini dikeluarkan di Kota Sakala oleh raja Pushyamitra.
Selanjutnya Taranatha menjelaskan bahwa Pushyamita adalah seorang kafir yang
tidak percaya pada ajaran-ajaran Sang Buddha dan dia sendiri yang memimpin
serbuan untuk membakar dan menghancurkan Wihara dan membunuh para Bhiksu (Sinha, 1985).
Pushyamitra adalah seorang raja Brahmana yang
pantang mundur untuk melindungi, mempertahankan, dan menyebarkan agama Brahmana.
Dia menjadi pelopor yang mendobrak dan memusnahkan pengaruh agama Buddha di
India. Pada masa pemerintahannya, ia membangkitkan kembali pelaksanaan ritual seperti,
upacara Aswamedhayajna – upacara
yang terbesar dalam agama Hindu (Mahajan, 2002). Selain Pushyamitra, juga
muncul mazhab-mazhab yang berdasarkan agama Brahmana (Hindu) turut menentang
perkembangan agama Buddha dan pengaruhnya di India. Terutama adalah mazhab
Wasudewa atau umumnya disebut mazhab Waisnawa, dan mazhab Saiwa (Macmillan
(ed), 2001).
Mazhab Wasudewa atau mazab Waisnawa mendasarkan
ajaran-ajarannya pada ajaran Karma Kanda, seperti yang
diajarkan dalam kitab-kitab Brahmana.
Mazhab ini memuja Dewa Wasudewa. Pada zaman ini (sekitar abad kedua sebelum
masehi), Wasudewa disamakan dengan Dewa Wishnu, yakni salah satu dewa yang
dipuja dalam kitab suci Weda (Majumdar, 1998). Sementara itu, mazhab
Saiwa umumnya adalah pemuja lingga. Pemujaan lingga merupakan
warisan dari agama lembah sungai Sindhu. Pada zaman Weda, pemujaan lingga umumnya hanya dilakukan oleh
golongan Dravida, tetapi akhirnya menyebar luas pada orang-orang Arya. Mazhab
Saiwa berkembang pada sekitar abad pertama sebelum masehi. Mazhab ini mengikuti
ajaran ritual atau Karma Kanda yang bersumber dari
kitab suci Weda dan juga berdasarkan kitab-kitab Brahmana. Dewa Siwa yang diakui sebagai Dewa Tertinggi dalam mazhab
ini disamakan dengan Dewa Rudra, yakni salah satu dewa yang disebutkan dalam
kitab suci Weda (Mahajan, 2002). Kedua mazhab ini turut serta menentang dan
melawan penyebaran agama Buddha sehingga agama Buddha mengalami kemunduran di
India.
Setelah agama Buddha mengalami kemunduran dan
tidak lagi diterima oleh rakyat India, mulailah mazhab Wasudewa atau mazhab
Waisnawa meniru dan mengambil-alih beberapa ajaran dari agama Buddha. Adapun
ajaran-ajaran yang diambil oleh mazhab Waisnawa, antara lain: ajaran ahimsa
atau tidak membunuh binatang; mulai membuat patung untuk memuja dewa Wasudewa
atau dewa Wisnu; dan ajaran vegetarian (Kundra, 1968). Sebaliknya, mazhab
Saiwa tetap menjalankan ajaran ritual berdasarkan ajaran kitab-kitab Brahmana. Mereka tetap melaksanakan upacara
yajna, korban suci binatang, dan hidup
non-vegetarian (boleh memakan daging) (Sharma, 2001).
Dengan adanya perbedaan ajaran yang mendasar dari
kedua mazab ini, maka agama Hindu pecah untuk kedua kalinya. Mazhab Waisnawa
disebut golongan rasionalis atau golongan Jnana Kandhi yang menerima kebenaran
filsafat, rasio, dan logika. Mazhab ini menentang upacara kurban seperti yang
disebutkan dalam kitab suci Weda, menolak perbedaan warna, dan kekuasaan
pendeta. Golongan rasionalis ini disebut juga dengan nama golongan Wedantis
(Sharma, 2001). Sebaliknya, mazhab Saiwa disebut golongan ortodoks atau
golongan Karma-Kandi atau umumnya disebut golongan golongan tradisi.
Mazhab Saiwa ini mendasarkan pemikirannya pada pentingnya ritual, serta tetap
mempertahankan tradisi seperti yang diajarkan dalam kitab suci Weda dan
penjelasannya berdasarkan kitab-kitab Brahmana.
Mereka tetap mempertahankan dan melaksanakan upacara yajna sebagai dasar
ajaran yang terpenting dan umumnya mereka tidak vegetarian (Sharma, 2004).
Mazhab Waisnawa dan Saiwa saling bertentangan
untuk mempertaruhkan prinsip-prinsip kepercayaannya masing-masing. Pada zaman
ini pula muncul mazhab lain sebagai penengah yang disebut mazhab Brahmana
atau mazhab Smarta atau mazhab yang berdasarkan tradisi. Mazhab Brahmana-Smarta
ini muncul pada abad pertama sebelum masehi. Mazhab ini mengajarkan penyembahan
pada Dewa Trimurti, yaitu Brahma,
Wisnu dan Rudra (Majumdar, 1998).
Demikianlah pada zaman kebangkitan agama
Hindu ini, terjadi banyak perubahan dalam kehidupan keagamaan masyarakat India.
Dewa-dewa yang disebutkan dalam kitab suci Weda seperti, Indra, Waruna, Agni, dan
Ashwin, tidak dianggap menjadi dewa yang penting lagi sehingga tidak dipuja
lagi oleh umat Hindu (Majumdar, 1998). Akan tetapi, dewa-dewa yang semula tidak
penting dalam kitab suci Weda seperti, Wisnu, Siwa, dan lain-lain, justru
diangkat menjadi dewa terpenting dan dipuja oleh masyarakat (Mahajan, 2002).
Dalam kesusasteraan Hindu, pada zaman ini
mulai berkembang penulisan sastra-sastra suci selain di luar kitab suci Weda. Mengingat
pada zaman ini, pembacaan kitab suci Weda dilarang untuk umum. Golongan pendeta
brahmana takut akan terjadinya kesalahan
penafsiran sebagaimana terjadi pada akhir zaman Upanisad dahulu. Oleh karena
itu, golongan pendeta brahmana
menulis kitab-kitab suci baru yang disebut dengan nama Pancama Weda (Weda
kelima). Seperti misalnya, kitab-kitab Itihasa
(Ramayana dan Mahabharata), Bhagawad Gita, kitab-kitab Purana, dan sebagainya. Kitab Pancama
Weda ini dapat dibaca oleh masyarakat umum, dan dikatakan bahwa kesuciannya
sama dengan kesucian kitab suci Weda (Sullivan, 1998).
Pada zaman ini juga berkembang sistem
filsafat Hindu yang bersumber dari kitab-kitab Upanisad. Uraian-uraian filsafat disusun kembali secara sistematis
dan terkoordinasi sehingga membangun satu sistem filsafat yang utuh. Pada zaman
ini ditulis kitab-kitab sutra yang
menjadi sumber ajaran dari filsafat Hindu (Sad Darsana), yaitu Nyayasutra
(Nyaya), Waisesikasutra (Waisesika), Samkhyasutra (Samkhya),
Yogasutra (Yoga), Mimamsasutra (Purwa
Mimamsa/Mimamsa), dan Wedantasutra (Uttara Mimamsa/Wedanta). Sistem
filsafat ini berisi uraian tentang alam semesta, pencipta dan ciptaanNya, dan
pertanyaan tentang hidup dan mati secara logis-filosofis (Rajeev, 1990).
Di samping itu, juga ditulis kitab-kitab suci
baru untuk setiap mazhab. Seperti misalnya, kitab suci Atharwashirah Upanisad, Nilarudra
Upanisad, dan sejenisnya, merupakan kitab suci untuk pengikut mazhab
Saiwa. Demikian juga dengan kitab Narashingha Upanisad, Ramapurwa-Tapaniya
Upanisad, dan sejenisnya
adalah kitab suci untuk pengikut mazab Waisnawa. Kitab suci lainnya adalah
kitab suci Khila Sukta dari kitab suci Rig Weda yang kemudian dijadikan sebagai kitab suci dari
masing-masing mazhab seperti Shri Sukta (untuk pemujaan Laksmi,
Wisnu, dan Shiwa) dan Ratri-Sukta
(untuk memuja Durga dan penjelasan mengenai Omkara),
dan lain-lain (Datta, 1950).
Sementara itu, kitab-kitab Brahmana
yang berisi ajaran-ajaran mengenai upacara yajna
dan ritual lainnya mulai disusun kembali. Penyusunan ini untuk memudahkan dalam
memahami isi kitab Brahmana yang
rumit dan kurang sistematis. Kitab-kitab mengenai ritual yang baru ini disusun
dalam kalimat-kalimat pendek sehingga disebut kitab-kitab Sutra. Kitab-kitab Sutra
tentang upacara ritual dan yajna yang
terpenting adalah kitab Kaplasutra. Kitab Kalpasutra
ini terdiri atas Srautasutra (upacara umum), Grihyasutra (upacara
di rumah tangga), Dharmasutra dan Sulbasutra (Sharma, 2001). Ciri penting lainnya dari zaman ini adalah
munculnya pemujaan Pancayatana Puja (Bali:
pangider-ider). Setiap mazhab bahkan
memiliki Pancayatana Puja-nya
masing-masing, seperti Pancanama,
Shiwapanca, Pancakosika, Pancabrahma (Shiwa); Pancaratra, Pancawyuha (Waisnawa); Pancaboddha, Pancatatagatha (Buddha), Dig Palaka (Agama Purana); dan Panca
Bedha (Tantra) (Gupta, 2000; Sharma, 2001).
Dalam hal sosial-keagamaan, pada zaman ini
terjadi pengakuan terhadap semua adat istiadat di daerah. Seperti disebutkan
dalam Kitab Ashwalayana Grihyasutra “oleh
karena adanya berbagai macam adat istiadat yang berlaku di dunia ini, baik di
desa-desa atau kota-kota, semua itu harus dilaksanakan sesuai dengan adat yang
sudah berlaku umum di sana” (Oldenberg, 1988). Malahan, pada periode ini hukum
sosial dijadikan hukum agama sehingga siapa yang melanggar adat dianggap
melanggar hukum agama. Pada zaman ini kitab Dharmasastra
menjadi kitab hukum Hindu yang juga menjadi sumber hukum sosial India pada
zaman itu (Kane,1998).
Pada akhir zaman
Brahmana (zaman kebangkitan agama Hindu), kehormatan agama Hindu yang sempat
hilang karena menguatnya pengaruh agama Buddha di India dapat diraih kembali.
India kembali diperintah oleh raja-raja beragama Hindu dari keturunan Dinasti Gupta. Perkembangan
agama Hindu pada zaman ini mendapat dukungan penuh dari raja dan seluruh
aparatur kerajaan. Mereka semua aktif mengembangkan dan mengagungkan agama
Hindu. Upacara yang dahulu sudah tidak dilaksanakan lagi, sekarang dilaksanakan
kembali dengan tertib dan khidmat (Macmillan (ed), 2001). Dengan
diperintahnya kembali India oleh raja-raja yang beragama Hindu maka agama Hindu
tumbuh subur dan berkembang.
Walaupun
demikian, agama Hindu yang berkembang pada zaman ini merupakan kelanjutan dari
zaman Brahmana akhir (200 SM – 300 M). Salah satu ciri terpenting dari zaman
Brahmana akhir adalah munculnya mazhab-mazhab dalam agama Hindu. Secara
teologis, kemunculan mazhab-mazhab ini telah menggeser dewa-dewa yang semula dipuja
dalam kitab suci Weda dan digantikan dengan dewa-dewa lain yang diyakini
sebagai Tuhan oleh mazhab tersebut (Mahajan, 2002). Dari sekian mazhab yang
ada, mazhab Waisnawa dan mazab Saiwa sangat terkenal pada zaman ini. Mazhab
Waisnawa mengagungkan Dewa Wasudewa yang disamakan dengan Dewa Wishnu dalam
Weda, sedangkan mazhab Saiwa mengagungkan Dewa Siwa yang disamakan dengan Dewa
Rudra dalam Weda.
Dalam hal
kesusasteraan Hindu, zaman Brahmana akhir juga ditandai dengan ditulisnya
kitab-kitab Pancama Weda. Kitab ini
menjadi pengganti kitab suci Catur Weda yang
pada masa itu tidak boleh dibaca masyarakat umum. Ini menyebabkan setiap mazhab
menulis dan mengagungkan satu atau beberapa Pancama
Weda, sebagai kitab yang paling disucikan dalam mazhabnya. Malahan, kesuciannya
diyakini sama dengan kitab Catur Weda. Penulisan
kitab-kitab ini terus berlanjut seiring dengan semakin berkembangnya
mazhab-mazhab dalam agama Hindu. Kesusasteraan Hindu yang penting pada zaman
ini adalah kitab-kitab Purana. Secara
tradisi, diyakini bahwa kitab purana ditulis
oleh Maharsi Wyasa dan
umumnya disebut Pancama Weda (Shastri,
1973). Ada 18 (delapan belas) kitab Purana
mayor (Mahapurana) dan 108 (seratus
delapan) kitab Purana minor (Upapurana). Seperti misalnya, Shiwa
Purana adalah salah
satu kitab suci dari mazhab Saiwa; Brahmanda-Purana adalah kitab suci dari mazhab Shakta; dan Bhagawata-purana
adalah salah satu kitab suci dari mazhab Waisnawa, dan lain-lain (Mani,
1984).
Bermunculannya kitab-kitab Purana
seiring dengan tumbuh-suburnya mazhab-mazhab dalam agama Hindu sehingga zaman
ini disebut zaman Purana. Zaman ini berlangsung dari tahun 300 masehi hingga
700 masehi (Kundra, 1968). Adapun agama Hindu pada zaman itu disebut agama
Purana (Puranic religion). Berbeda
dengan agama Brahmana yang menitikberatkan pada pelaksanaan upacara yajna dan persembahan kurban binatang, agama Purana justru bersifat sektarian.
Artinya, pada zaman ini muncul banyak sekte (mazhab) dan setiap sekte memiliki
keyakinan dan tata caranya sendiri. Adapun karakteristik sebuah mazhab atau
sekte, antara lain: memiliki nama Tuhan sendiri; memiliki kitab suci sendiri;
memiliki sadhana sendiri; doktrin
ajaran sendiri; memiliki ritual pemujaan yang khas; memiliki kosmologi dan
kosmogoni sendiri; memiliki ajaran yoga-nya
sendiri; memiliki kepercayaan moksa sendiri;
dan memiliki sistem filsafat sendiri (Mani, 1984; Rajeev, 1990).
Sebagai kelanjutan dari zaman Brahmana akhir, Mazhab Waisnawa
dan Saiwa juga semakin berkembang pada zaman Purana ini. Akan tetapi,
ajaran-ajaran dari mazhab Waisnawa mengalami banyak perubahan dibandingkan
ajaran awal pada zaman kemunculannya sekitar abad kedua sebelum masehi.
Perubahan dalam mazhab Waisnawa ini terutama karena dipegaruhi oleh agama
Buddha. Ajaran-ajaran yang berasal dari agama Buddha seperti, ahimsa, vegetarian, pemujaan patung, dan
penolakan terhadap sistem kasta, pembangunan kuil-kuil, pada akhirnya menjadi
bagian dari ajaran mazhab Waisnawa (Kundra, 1968). Pada zaman ini juga, Sapi mulai disucikan, bahkan dipuja terutama oleh penganut Waisnawa.
Perkembangan mazhab Bhagawata-Waisnawa semakin pesat. Ini
ditandai dengan munculnya sub-sub sekte yang intinya memuja Dewa Wisnu. Ajaran mengenai Awatara yang
muncul dalam kitab-kitab Purana mulai diyakini oleh penganutnya. Akhirnya,
muncul pemujaan kepada Awatara Dewa
Wisnu, seperti Rama, Krishna, Narasinga, dan lain-lain. Demikian pula pemujaan kepada
Dewi Laksmi, Radha, Hanuman, dan Garuda mulai berkembang dan mengakar dalam
masyarakat (Tripathi, 1999). Mazhab Waisnawa menekankan tiga macam
jalan untuk mencapai Moksa, yaitu: pertama, melalui Karmamarga
(perbuatan); kedua, melalui Jnanamarga (jalan ilmu pengetahuan); dan ketiga, melalui Bhaktimarga (jalan
berbakti). Dalam pelaksanaan Karmamarga, cara-cara pelaksanaan
upacara keagamaan secara tepat dan benar harus dilakukan (Macmillan (ed),
2001).
Pada zaman Purana
ini, mazhab Saiwa juga berkembang pesat dan menyebar luas ke seluruh India. Mazhab
Saiwa pertama kali muncul pada abad pertama sebelum masehi. Pada zaman ini, mazhab
Saiwa memiliki banyak sub-sekte seperti misalnya, mazhab Pasupata, Kapalika,
Kalamuka, Linggayat, dan lain-lain (Mahajan, 2002). Menurut
ajaran mazhab Saiwa, moksa hanya
dapat dicapai dengan jalan bhakti melalui samskara
dan sadhana Pancamakara
(lima macam persembahan), dengan jalan yoga, dan setelah mendapat
anugerah dari Siwa. Ajaran dan
filsafat semacam ini disebut filsafat Saiwa
Siddhanta (Law, 2000). Sementara itu, mazhab Saiwa-Bhairawa, Kalamukha,
dan Kapalika, melakukan ritual
pemujaan dengan persembahan berupa Sadhana Pancamakara (biji-bijian,
daging, ikan, dan lain-lain) (Dutt, 1997). Mazhab Saiwa pada umumnya masih
mempertahankan ajaran-ajaran upacara kurban sebagaimana diajarkan dalam kitab
suci Weda dan kitab-kitab Brahmana.
Selain mazhab Waisnawa
dan Saiwa seperti yang tersebut di atas, masih banyak lagi mazhab dan sub-sub
mazhab seperti, Saiwa Sakti, Ardhanareshwari, Harihara,
dan lain-lain. Demikian pula, pemujaan Ganesha,
Surya (Sora), Sakti tumbuh dengan
pesatnya di kalangan masyarakat (Tripathi, 1999). Pada zaman Purana juga, mazhab
Trimurti yang sudah muncul sejak abad
pertama sebelum masehi juga berkembang luas di kalangan masyarakat
(Mahajan, 2002). Mazhab yang menyembah Trimurti (Brahma-Wishnu-Siwa) ini ikut menyebar ke Indonesia bersama dengan
mazhab Saiwagama dan Waisnawagama. Zaman Purana ini
memang tepat disebut zaman keemasan agama Hindu (The Golden Age of Hindusm). Meningat agama Hindu sudah mulai
tersebar ke seluruh India, bahkan juga tersebar ke luar negara India termasuk
ke Asia Tenggara dan Indonesia, bahkan sejak abad pertama masehi (Kundra,
1968).
Perkembangan
agama Hindu di India dan penyebarannya ke luar India, tidak dapat dilepaskan
dari semakin berkembangan ajaran Tantrayana
atau Tantrisme. Kitab-kitab Tantrayana
yang umum disebut kitab agama atau
kitab Tantra, banyak ditulis
pada zaman ini. Kitab Tantrayana ini dibagi menjadi dua, yaitu kitab Daksinagama dan Wamagama.
Setiap mazhab dalam Tantrayana memiliki kitab-kitab
sendiri seperti, Shiwagama, Shaktagama, Waisnawagama, dan
lain-lain (Banerjee, 1988).
Kitab Waisnawagama
berisi tentang teologi, atribut-atribut para dewa, mantra, cara mengucapkannya, cara meditasi, dan lain-lain. Hal-hal
ini diuraikan secara panjang lebar dalam kitab tersebut. Kitab Waisnawagama
ada dua macam, yakni Pancharatra dan Waikanagama (Gupta, 2000). Sementara
itu, kitab Saiwagama jumlahnya sebanyak 208 buah. Paling terkenal dari
kitab Saiwagama adalah Pasupata
Sutra, Tattwa Sanggraha, Moksa
Karika, dan lain-lain. Sedangkan kitab Saktagama berjumlah
64 buah dan yang terpenting adalah Sarada Tilaka, Mantra
Maharnawa, dan lain-lain (Rao, 1999).
Tantrayana berpengaruh sangat
kuat dalam masyarakat, bahkan mampu mempengaruhi seluruh mazhab yang ada dalam
agama Hindu. Tanpa kecuali juga mempengaruhi mazhab Saiwa dan mazhab Waisnawa,
sehingga muncul mazhab Saiwatantra atau Saiwagama
dan Waisnawatantra atau Waisnawagama. Mazhab Tantrayana
ini memusatkan pemujaan kepada sakti atau istri dari dewa-dewa. Seperti pemujaan kepada Durga, Parwati,
Sakti, atau Bhairawi sebagai Sakti dari
Dewa Siwa. Demikian juga pemujaan
kepada Mahalaksmi sebagai Sakti Dewa
Wisnu, dan Mahasaraswati sebagai Sakti Dewa
Brahma. Demikianlah pemujaan kepada Sakti
(Istri Dewa) menjadi ciri penting ajaran Tantrayana. Mazhab ini muncul dan berkembang pesat sekitar abad
ke-5 masehi, tetapi bibit-bibit ajarannya sudah dapat dirujuk dalam agama
Dravida atau lembah sungai Sindhu (Gupta, 2000; Sharma, 2001).
Munculnya ajaran Tantrayana menjadi ciri penting pada
zaman Purana ini. Oleh karena itu, perlu dijelaskan secara singkat ciri-ciri
ajaran tantra. Menurut ajaran tantra, moksa dapat dicapai dengan sadhana (disiplin rohani);
mempersembahkan sarana pancatattwa, yaitu
persembahan biji-bijian (mudra),
daging (mamsa), ikan (matsya), minuman keras (mada), dan simbol-simbol seksualitas (maithuna); melalui bhakti; yogatantra; dan mendapatkan anugerah Siwa (Dutt, 1997).
Selain itu, ajaran Tantrayana juga
menganjurkan persembahan binatang kurban seperti kerbau, kambing, burung, dan
lain-lain. Dalam ajaran tantra juga
diajarkan tentang persembahan darah (Bali: nyambleh).
Pusat perkembangan ajaran Tantrayana dan
Shakta terutama adalah di wilayah
Assam, India Timur.
Apabila diamati
lebih jauh bahwa hakikat ajaran Tantrayana
memiliki keserupaan dengan praktik agama Hindu di Indonesia. Ini dapat
dibenarkan karena agama Hindu yang datang ke Indonesia sejak abad pertama
masehi adalah semua mazhab yang muncul pada zaman Purana. Terutama adalah mazhab
Saiwagama
atau Saiwatantra dan Waisnawagama atau Waisnawatantra. Kedua mazhab ini menekankan ajaran untuk
melaksanakan yajna (korban binatang) sebagai salah satu sarana dan sadhana mencapai moksa.
Lain dari pada itu bahwa agama Hindu di Indonesia juga mewarisi filsafat Saiwasidhanta yang berkembang di India
Selatan.
Berdasarkan
uraian di atas dapat dijelaskan ciri-ciri penting dalam agama Purana (Puranic Religion) dan kebudayaan India
pada zaman ini. Akan tetapi, beberapa ciri ini sudah mulai muncul sejak zaman
Brahmana akhir, sebagai berikut:
-
Munculnya banyak sekte, dan kadangkala saling bertentangan;
- Golongan Waisnawa mengambil-alih ajaran Buddha;
- Ajaran agama Buddha mempengaruhi agama Hindu;
- Berkembangnya ajaran Tantrayana;
- Kitab-kitab Purana diakui sebagai Pancama Weda;
- Mulai munculnya tempat-tempat pemujaan;
- Mulai melakukan pemujaan patung (arcanam);
- Pertentangan antara kelompok vegetarian dan non vegetarian;
- Catur Warna mulai dipahami sebagai profesi;
- Munculnya kasta Pariah;
- Ajaran Catur Asrama mulai dilaksanakan secara disiplin;
- Upacara-upacara besar dilaksanakan;
- Munculnya perhitungan tentang zaman (kalpa);
- Munculnya pemujaan kepada Awatara Wisnu (termasuk Buddha);
- Pemujaan dewa-dewa sebanyak 333.000.000;
- Muncul perayaan hari raya agama Hindu;
- Pemujaan Pancayatana;
- Pendeta mendapatkan kedudukan penting;
- Dharmasastra diakui sebagai Smerti yang bersumber dari Weda, sehingga hukum adat disamakan dengan hukum agama.
F. Zaman Reformasi Hindu (700 M – 1.200 M)
Zaman Purana
menandai terjadinya evolusi agama Hindu di India, yaitu munculnya berbagai
macam mazhab atau sekte. Meskipun demikian agama Purana (Puranic religion) masih mewarisi konsep-konsep keagamamaan dari
zaman Brahmana. Keduanya sama-sama menekankan praktik agama yang penuh dengan upakara
dan upacara yajna (Majumdar, 1998). Agama Brahmana dan agama Purana
mementingkan upacara yajna sebagai jalan untuk mencapai
moksa.
Hal ini diuraikan secara teliti dan mendalam dalam kitab Mimamsasutra (Mahajan, 2002). Ajaran yang mengajarkan
pentingnya kedudukan yajna dalam agama Hindu ini
dikembangkan dan diajarkan oleh para rsi pada zaman ini. Dengan
pelopor-pelopornya antara lain, Rsi Prabhakara, Rsi Kumarila Batta, dan masih
banyak lagi. Ajaran ini rupanya mendapat sambutan yang luas di kalangan umat
Hindu. Agama Hindu yang berdasarkan yajna, sebagaimana muncul sejak zaman Weda,
Brahmana, dan Purana ini umumnya
disebut Hindu ortodoks atau agama Brahmana-Smarta
(Kundra, 1968). Ajaran inilah yang menjadi agama rakyat India hingga akhir
zaman Purana (sekitar 300 Masehi).
Akhir zaman
Purana ditandai dengan terjadinya kekacauan dalam agama Hindu, akibat pertentangan
yang hebat antara satu mazhab dengan mazhab yang lainnya. Setiap mazhab
membenarkan prinsip-prinsip kepercayaan dan ajaran dari mazab mereka sendiri
dan menyalahkan kebenaran dari mazhab yang lain. Hal-hal yang dipertentangkan terutama
mengenai ajaran Ahimsa (Mahajan,
200). Di samping itu, juga mengenai upacara yajna, kurban binatang, vegetarian dan non-vegetarian, dan hal-hal
prinsip lainnya. Pertentangan itu semakin memanas dan memuncak pada akhir zaman
Purana. Selain itu, pertentangan antara pemeluk agama Hindu dan agama Buddha
juga terus berlangsung (Kundra, 1968). Sebagai catatan bahwa meskipun
kerajaan Buddha sudah dapat dihancurkan oleh golongan Brahmana (Pushyamitra
pada tahun 184 SM), tetapi pengaruh ajaran Buddha masih cukup kuat di India.
Pertentangan yang
terjadi pada zaman itu tidak terlepas dari semakin berkembangnya tradisi
filsafat di India (darsana). Salah
satu sistem filsafat yang penting pada zaman ini adalah Mimamsa. Inti dari filsafat Mimamsa
atau Purwamimamsa adalah
pengukuhan kesucian Weda bagian Brahmana
yang menekankan pada upacara agama. Ajaran filsafat ini bersumber dari kitab Mimamsasutra yang ditulis oleh Maharsi
Jaimini. Kemudian dalam perkembangannya muncullah komentar terhadap Mimamsasutra oleh Sabaraswamin. Komentar ini diterangkan dengan cara berbeda oleh Rsi
Kumarila Bhatta dan Rsi Prabhakara sehingga akan muncul dua aliran, yaitu
aliran pengikut Kumarila Bhatta dan aliran pengikut Prabhakara. Meskipun
demikian kedua aliran ini tidak memiliki perbedaan secara prinsip, kecuali pada
ajaran-ajaran yang tidak begitu penting (Chaterjee dan Datta, 1954).
Ajaran Mimamsa mengatakan bahwa satu-satunya
jalan untuk mencapai sorga atau moksa adalah
upacara yajna dan persembahan kurban.
Rsi Kumarila Bhatta (750 M) menyebarluaskan ajaran ini dan berusaha
mempengaruhi Raja Samudra Gupta untuk membangkitkan upacara-upacara yajna yang ada di dalam Weda. Propaganda
ini berhasil dilakukan sehingga Raja Samudra Gupta sudah melaksanakan upacara Aswamedhayajna lebih dari dua kali
selama masa pemerintahannya (Kundra, 1968; Majumdar, 1998; Mahajan, 2002). Dengan berkembangnya filsafat Mimamsa ini maka pelaksanaan agama Hindu
di India diwarnai dengan berbagai upacara yajna
dan kurban suci. Malahan, upacara-upacara besar kembali dilaksanakan terutama
oleh raja-raja pada zaman itu.
Hampir bersamaan
dengan zaman ini, muncul aliran filsafat lain yang disebut Uttaramimamsa atau Wedanta. Berbeda
dengan Mimamsa (Purwamimamsa), sistem filsafat ini mendasarkan ajarannya pada kitab
Upanisad. Filsafat Wedanta secara sistematis disusun dalam
kitab Wedantasutra yang ditulis oleh
Maharsi Badarayana. Dalam perkembangannya, kitab Wedantasutra ini mendapatkan komentar dari beberapa ahli yang
kemudian menjadi pemimpin atau tokoh aliran Wedanta. Tokoh-tokoh itu antara
lain, Sangkaracharya, Ramanuja, Madhwa,
Wallabha, Nimbarka, dan banyak lagi yang lainnya. Semua tokoh ini memiliki
cara pandang masing-masing sehingga aliran yang dilahirkan juga memiliki
perbedaan-perbedaan yang sangat prinsipil (Chaterjee dan Datta, 1954).
Kehadiran
golongan Wedantis telah menyebabkan
pembaharuan besar dalam keagamaan Hindu di India pada zaman itu. Golongan ini
membuat gerakan untuk mensistematisasikan ajaran agama Hindu, secara rasional
dan radikal. Dengan demikian kitab suci Weda menjadi lebih mudah dipahami dan
dapat diterima oleh masyarakat umum. Salah satu pelopor gerakan ini adalah seorang
Brahmana asal Keladi Kerala, India Selatan yang bernama Sangkaracharya (788 M –
820 M). Dia memiliki kecerdasan yang luar biasa dalam bidang ajaran Saiwa
Paksa. Sangkaracharya
juga orang yang pintar dalam berdebat tentang filsafat dan ajaran-ajaran Weda.
Malahan, diyakini bahwa Sangkaracharya sudah berhasil menguasai ajaran Catur Weda dan susastra-susastra Hindu
lainnya, ketika masih berusia lima tahun. Kecerdasannya ini mampu mengatasi
pemimpin-pemimpin suatu aliran dalam diskusi-diskusi spiritual. Ini menyebabkan
Sangkaracharya memiliki pengikut yang luar biasa di India pada zaman itu.
Sangkaracharya
juga berhasil memenangkan perdebatan dengan Bhiksu-bhiksu Buddha. Melalui
penjelasan tentang agama Hindu yang lebih sederhana, rasional, dan filosofis,
Sangkaracharya berhasil melenyapkan agama Buddha di India (Thapar, 1979).
Sangkaracharya menjadi pelopor berdirinya aliran filsafat Adwaita atau monisme-absolut.
Dia juga menentang sistem-sistem, ajaran-ajaran, dan filsafat ritual dan
upacara yajna yang dilakukan oleh umat Hindu. Kemudian menggantikannya
dengan ajaran Wedanta. Sangkaracharya juga, menentang Rsi Kumarila Bhatta
dan Prabhakara yang mengajarkan ritual dan korban yajna. Sangkaracharya
juga berhasil menghilangkan semua upacara yajna yang memakai Pancatattwa
seperti yang dilakukan mazhab Tantrayana,
yajna yang dilakukan oleh golongan Brahmana-Smarta
untuk pemujaan pada Dewa Siwa, Dewi Shakti (Durga), dan lain-lain (Sharma,
2001). Pancatattwa adalah
lima macam unsur persembahan yang terdiri atas: Mada (arak-brem), Matsya
(ikan), Mamsa (daging), Mudra (biji-bijian dan
buah-buahan), dan Maithuna (simbol
seksualitas, di Bali diganti dengan porosan).
Dengan semakin
berkembangnya ajaran Sangkaracharya maka pada zaman ini agama Hindu mengalami
perpecahan untuk ketiga kalinya. Agama Hindu pecah menjadi dua golongan besar
(Thapar, 1979), sebagai berikut.
- Golongan Wedanta (Waidika-Dharma) yang dipimpin oleh Sangkaracharya dari mazhab Shaiwa dan Ramanuja dari mazhab Waisnawa. Golongan ini mendasarkan ajarannya kepada kitab Brahmasutra, Bhagawadgita, dan Upanisad (Wedanta). Ketiga kitab ini disebut Prasthanatraya (Klostermaier, 1988:107). Golongan ini disebut juga golongan rasionalis.
- Golongan Tantrayana (Tantrika-Dharma) atau golongan ritual yang dipimpin oleh Rsi Prabhakara, Rsi Madhana Misra, Rsi Kumarila Bhatta dari mazhab Saiwatantra dan Waisnawatantra. Golongan ini mendasarkan ajarannya pada upacara atau ritual yang filosofinya diambil dari kitab-kitab Brahmana, Mimamsasutra, dan kitab-kitab Tantra (Agama). Ajaran ini digunakan sebagai alat untuk melawan penganut agama Buddha dan juga untuk menghadapi golongan penganut ajaran Wedanta (Waidika-Dharma) atau golongan Wedantis (Kundra, 1968:220; Klostermaier, 1998:107). Golongan ini juga sering disebut golongan ortodoks.
Sejak zaman ini
terjadilah pertentangan yang hebat antara golongan Wedanta (Waidika-Dharma) dengan golongan Tantrayana (Tantrika-Dharma), bahkan sampai sekarang.
Namun demikian gerakan yang dilakukan oleh Sangkaracharya dan pengikut Wedantis lainnya, tampak begitu gencar
untuk mereformasi agama Hindu. Ini menyebabkan ajaran Wedanta tampak begitu menonjol pada zaman ini sehingga para ahli
sejarah menyebut zaman ini sebagai zaman Reformasi Hindu atau zaman
Sangkaracharya (Kundra, 1968; Majumdar, 1998; Mahajan, 2001).
Mula-mula, gerakan reformasi yang dilakukan Sangkaracharya
adalah menentang ajaran agama Buddha. Sangkaracharya mengalahkan para pemimpin dan
penganut agama Buddha melalui perdebatan filsafat. Setelah itu, dia menarik
kembali para pengikut agama Buddha tersebut untuk kembali ke agama Hindu. Sejak
saat itu agama Buddha perlahan-lahan lenyap dari tanah kelahirannya, India.
Sisanya yang kebanyakan adalah penganut agama Buddha Tantra (Wajrayana) lari menyelamatkan diri
ke Tibet (Klostermaier, 1988).
Setelah
Sangkaracharya mengalahkan agama Buddha maka mulailah ia melawan golongan
penganut ajaran Saiwatantra di
bawah pimpinan Kumarila Bhatta. Sangkaracharya ingin menghilangkan semua sistim
ritual dan upacara yajna yang dilakukan oleh mazhab Saiwatantra dan Waisnawatantra,
kemudian menggantinya dengan ajaran Wedanta, khususnya Adwaita wedanta.
Ajaran filsafat Adwaita wedanta mengajarkan
monisme-absolut. Sistem filsafat ini mengajarkan bahwa hanya ada satu
Realitas Tertinggi, yaitu Brahman. Hanya
Brahman yang nyata (sat),
sedangkan yang lain adalah ilusi (maya)
(Klostermaier, 1988).
Keberhasilan Sangkaracharya
mengalahkan pemimpin-pemimpin agama Buddha dan rsi-rsi dari golongan Tantrayana menjadikannya sebagai pemimpin
keagamaan yang sangat disegani di India. Selanjutnya, ia mengelompokkan
semua mazhab dalam agama Hindu menjadi lima kelompok (Panca Paksa) yang disebut
Pancopasana.
Adapun lima macam keyakinan (Pancopasana)
itu adalah Shaiwa Paksa, Waisnawa
Paksa, Shakta Paksa, Ganapatya Paksa, dan Saura
Paksa. Sementara itu, Sangkaracharya sendiri menjadi pemimpin mazhab
Shiwa
Wedanta. Untuk mengajarkan
dan menyebarkan ajaran ini maka ia mendirikan lima pusat pendidikan (Pitha/Matha)
di penjuru India. Kelima pusat pendidikan ini adalah Saradha-Pitha di Shringeri, India Selatan; Jyoti-Matha di Badrinath India Utara; Kalika-Pitha di Dwarka, India Barat; Wimala-Pitha di Puri, India Timur; dan Rameswaram di India Selatan. Pitha/Matha ini menjadi pusat untuk mempelajari dan menyebarkan ajaran Shiwa Wedanta dari India ke seluruh
dunia sampai sekarang. Sampai sekarang, Pitha-pitha tersebut melanjutkan
garis perguruan Sangkaracharya dan pemimpinnya juga dipanggil Sangkaracharya.
Tujuannya untuk meneruskan dan menyebarluaskan ajaran Adwaita Wedanta (Mahajan, 2001).
Dalam kurun waktu
berikutnya, ajaran Adwaita-wedanta yang diajarkan Sangkaracharya ditentang oleh pemimpin-pemimpin
golongan Wedantis dari mazhab Waisnawa
(Thapar, 1979). Penentangan ini dilakukan oleh Ramanuja. Ramanuja diperkirakan
hidup pada tahun 1.050 Masehi – 1.137 Masehi. Ajaran-ajaran Ramanuja sesungguhnya
juga berdasarkan pada ajaran filsafat Wedanta.
Akan tetapi, ia adalah golongan Wedantis
dari mazhab Waisnawa dan mengajarkan filsafat Wisistadwaita.
Ramanuja menentang ajaran-ajaran dari golongan Saiwa dan filsafat Adwaita yang diajarkan oleh
Sangkaracharya. Perbedaan prinsip dari kedua sistem filsafat ini adalah
pandangannya tentang Brahman, jiwa, dan alam semesta. Menurut Ramanuja,
alam semesta bersumber dari Brahman dan
benar-benar nyata, bukan maya seperti
pandangan Sangkaracarya. Alam semesta adalah prakrti yang mengalami perubahan secara nyata (parinamawada). Sebaliknya,
Sangkaracharya meyakini bahwa perubahan itu hanya ilusi atau
kelihatannya saja berubah (wiwartawada),
karena Brahman sebagai Realitas
Tertinggi tidak pernah berubah (Chaterjee dan Datta, 1954; Hiriyana, 1978).
Kemudian, filsafat
Wisistadwaita juga ditentang oleh pemimpin golongan
Waisnawa-Wedanta lainnya yang bernama Madhwa. Madhwa menyalahkan ajaran
filsafat Ramanuja dan membangun sistem filsafat yang disebut Dwaita-wedanta.
Menurut Madhwa, Realitas Tertinggi bukanlah Brahman
yang nirguna (tanpa sifat),
tetapi Tuhan yang Berpribadi dan memiliki sifat-sifat yang banyak sekali (saguna). Jnana (pengetahuan
tentang sifat-sifat Tuhan) akan menuntun orang menuju bhakti. Melalui bhakti manusia akan mencapai tujuan
akhir, yaitu melihat langsung Mahawisnu yang akan menuntun menuju moksa,
kebahagiaan abadi (Chaterjee dan Datta, 1954; Hiriyana, 1978).
Filsafat Dwaita-wedanta
ini juga ditentang oleh golongan mazhab Waisnawa-Wedanta
lainnya, yaitu Nimbarka. Dia menyalahkan filsafat Dwaita dari Madhwa
dan membangun ajaran filsafat yang disebut Dwaitadwaita. Nimbarka mengajarkan
pentingnya penyerahan diri secara tulus ikhlas dan pemujaan kepada Krishna-Radha. Menurut ajaran dari mazhab
Nimbarka, Krishna adalah Tuhan tertinggi dari alam semesta. Akhirnya, Walabha
seorang dari golongan Waisnawa Wedanta
tidak mau menerima ajaran filsafat dari Nimbarka dan membangun ajaran filsafat
yang lain disebut Suddhadwaita. Walabha mengajarkan penebusan dosa, tapa-brata
yang sangat keras, meninggalkan keduniawian, dan penyatuan yang sempurna antara
Atman
dengan Paramatman. Di samping itu, ia juga mengajarkan bhakti
secara tulus ikhlas kepada Krishna dengan menyerahkan segalanya (badan,
pikiran, dan kekayaan) pada Krishna.
Dengan demikian terjadilah
perbedaan pendapat mengenai prinsip-prinsip filsafat dan perpecahan pun terjadi
dalam golongan Waisnawa-Wedanta.
Masing-masing golongan ini membangun garis perguruan yang disebut Sampradaya,
dan memuja Krishna sebagai Tuhan. Mazhab
Waishnawa-Wedanta memiliki empat Sampradaya, yaitu Sampradaya
Shri-Waishnawa (mengikuti ajaran filsafat dari Rsi Waishnawa
Ramanuja), Sampradaya Brahma (mengikuti ajaran filsafat Rsi Waishnawa
Madhwa), Sampradaya Kumara (mengikuti ajaran filsafat dari Rsi
Waishnawa Nimbarka) dan Sampradaya Rudra (mengikuti
filsafat dari Rsi Waishnawa Wallabha) (Klostermaier, 1988).
Sementara itu, ajaran
Tantrayana
yang telah begitu kuat mempengaruhi mazhab Waishnawa, Shiwa, dan Buddha,
akhirnya juga sedikit terpengaruh oleh ajaran Wedanta (Thapar, 1979:261). Mazhab Shaiwa yang kena pengaruh ajaran
Tantrayana (Shaiwatantra atau Shaiwagama), juga mendasarkan ajaran filsafatnya
pada filsafat Adwaita (monisme-absolut). Dengan persatuan kedua ajaran ini
maka muncullah beberapa variasi filsafat Shaiwa-Siddhanta, antara lain: Saiwa-Siddhanta dari Tamil (India Selatan); Shaiwa-Siddhanta
dari Deccan dan Maysor (disebut Wira-Shaiwa);
Shaiwa-Siddhanta
dari Kashmir (India Uttara) (Singh, 1991). Demikian juga dengan Shaiwa-Siddhanta
dari Indonesia (Bali) juga menjadi varian dari perkembangan filsafat ini. Semua
cabang dari ajaran Shaiwa ini mengakui kesucian kitab suci Weda dan meyakini tidak
ada yang lebih tinggi dari Weda. Dari ajaran filsafat Siddhanta ini kemudian, munculah
ajaran Shaiwa-Bhairawa.
Berdasarkan
uraian di atas maka ciri-ciri terpenting dari zaman Reformasi Hindu atau zaman
Sangkaracharya adalah sebagai berikut.
- Munculnya kelompok Wedanta yang mendasarkan diri pada Prasthana Traya (Brahmasutra, Bhagavadgita, dan Upanisad/Wedanta). Ini merupakan sistem filsafat Wedanta baru (New System of Vedanta) karena sebelumnya Wedanta hanya mendasarkan diri pada kitab-kitab Upanisad.
- Munculnya perselisihan antara aliran filsafat, baik antara Mimamsa dengan Wedanta, maupun dalam aliran Wedanta itu sendiri.
- Munculnya Sampradaya Waisnawa.
G. Zaman Gerakan Bhakti (Bhakti Movement) (1.200 M – 1.800 M)
Sejak tarikh awal
masehi, India sudah dikunjungi oleh orang-orang asing yang beragama non-Hindu.
Orang-orang Kristen sudah memasuki India sejak abad pertama masehi dan aktif
menyebarkan agamanya. Kemudian, disusul dengan kedatangan orang-orang Islam.
Sejak abad ke-8 Masehi, India sudah mulai ramai dikunjungi pedagang-pedagang
dari Arab. Secara bergelombang, mereka masuk dari pantai Malabar wilayah
kerajaan Chera (di India Selatan bagian barat). Orang-orang Arab itu mulai
bertempat tinggal dan menetap di daerah-daerah pantai India Selatan. Mereka
sangat disenangi oleh raja-raja Hindu di India Selatan karena mereka bertingkah
laku ramah, baik, dan sopan. Oleh karena itu, banyak pedagang-pedagang dari
Arab yang diberikan tanah-tanah kosong untuk tempat mereka berdagang. Selain
berdagang, mereka juga diperkenankan untuk menjalankan ibadan agama mereka, yakni
Islam. Pada waktu itu, orang-orang Arab tidak aktif menyebarkan agama Islam
sehingga mereka hidup aman dan damai dengan penduduk Hindu di sana (Thapar,
1979).
Berbeda dengan
masuknya orang-orang Islam ke India Selatan, orang-orang Islam ternyata juga
melakukan penyerangan ke India Barat. Pada tahun 712 M, seorang keturunan Arab
dari Irak yang bernama Muhammad Bin Qasim menyerbu daerah Sind di India Barat.
Dengan kekuatan 6.000 tentara, 4.000 pasukan unta, dan 100 tentara cadangan,
mereka berhasil menguasai daerah Sind dan meng-Islam-kan penduduk di sana . Kemudian, dari tahun
1.000 M sampai 1.026 M, Sultan Mahmud Gazni dan tentara dari Turki menyerbu
India sebanyak 18 kali. Mereka menghancurkan kuil-kuil, merampas kekayaan kuil,
dan menghancurkan kuil Krishna di Mathura. Selanjutnya, dari tahun 1.175 M – 1.205 M, Muhammad Ghori
dari Afganistan menyerang India dan mendirikan pusat pemerintahan di Delhi.
Selama
pemerintahan sultan-sultan Islam, India mengalami masa paling suram pada masa
pemerintahan Sultan Aurangzeb (1.658 M – 1.707 M). Pada masa pemerintahannya,
orang-orang Hindu di India dijadikan budak karena dianggap berdosa memberikan
kedudukan yang sama antara orang Hindu dengan orang Islam. Agar kedudukan
keduanya sama maka India harus dijadikan negara Islam. Untuk mempercepat proses
peng-Islam-an India, maka Aurangzeb melakukan gerakan politik diskriminatif dan
intoleran. Orang-orang Islam dilarang menggunakan nama-nama dan istilah-istilah
Hindu; perayaan hari raya Hindu dilarang; umat Hindu dilarang membangun kuil
baru; kuil-kuil baru dihancurkan; memerintahkan menghancurkan kuil-kuil besar
seperti, Mathura, Jagatnath, dan
diganti dengan Masjid; ribuan kuil Hindu dihancurkan terutama yang berada di
kota-kota suci, seperti Haridwar, Badrinath, Benares, dan Mathura; ketika
melakukan perjalanan kenegaraan maka seluruh kuil yang dilewati harus
dihancurkan; umat Hindu harus membayar pajak jika mengunjungi tempat-tempat
suci (tirthayatra); anti kaum
Brahmana karena sering melawan sultan; melarang umat Hindu membuang abu jenazah
di sungai-sungai besar; orang Islam bebas bayar pajak; orang Hindu juga
dibebaskan bayar pajak, jika mau masuk Islam. Akibat kebijakan politik Aurangzeb inilah, hampir seluruh kuil
kuno di India sudah dihancurkan sehingga kuil-kuil yang ada sekarang adalah
kuil yang baru dibangun belakangan.
Penjajahan
sultan-sultan Islam di India baru berakhir pada akhir abad ke-19 masehi
(Kundra, 1968). Dengan dikuasai dan dijajahnya India oleh sultan-sultan Islam
hampir seribu tahun lamanya, sehingga mengakibatkan perubahan yang signifikan
dalam perkembangan agama dan kebudayaan Hindu di India. Banyak orang Hindu yang
masuk Islam untuk menghindari pembayaran jizyah
(pajak) yang berat dan agar mendapatkan pekerjaan. Perempuan Hindu juga
ikut-ikutan menjalankan sistem jilbab (kerudung). Budaya ini masih dapat ditemukan
sampai sekarang, yakni wanita India yang memakai sati (kerudung India). Kemudian juga, mulai terjadi perkawinan usia
dini di kalangan masyarakat Hindu. Orang-orang Hindu menggunakan bahasa Hindi,
sedangkan orang Islam menggunakan bahasa Urdu dan Parsi. Dalam bidang seni dan
arsitektur juga muncul perpaduan Hindu-Islam yang disebut Indo-Sarasenic atau
Indo-Islam.
Dalam bidang
keagamaan, prinsip-prinsip dan ide-ide dari ajaran Islam begitu kuat
mempengaruhi pemimpin-pemimpin Hindu, baik secara langsung maupun tidak. Ide-ide
ajaran Islam mendorong tumbuhnya gerakan liberal dari pemimpin-pemimpin dan
para rsi yang beragama Hindu. Gerakan keagamaan Hindu terutama adalah munculnya
ajaran-ajaran yang sederhana, seperti ajaran tentang monoteisme (percaya kepada
satu Tuhan), anti terhadap penyembahan patung, dan semua orang adalah saudara
dengan hak-hak yang sama (manusa pada) (Mahajan, 2001). Di
samping itu, ajaran-ajaran dan ide-ide dari golongan sufi juga mempengaruhi agama Hindu. Kebanyakan penganut
ajaran-ajaran Sufi ini hidup dengan
jalan mengasingkan diri, mengabdikan diri, dan mempersiapkan diri mereka untuk
merealisasikan Tuhan dengan jalan Samadhi (Kundra, 1968; Mahajan, 2001).
Meskipun
demikian, tidak seluruhnya dari ide-ide dan ajaran-ajaran agama Islam diterima
oleh pemimpin Hindu. Ajaran yang diterima, utamanya adalah prinsip-prinsip demokrasi
dari ajaran Islam yang diterapkan dalam kehidupan sosial dan sistem agama
Hindu. Prinsip penting lainnya adalah ajaran Islam yang sangat sederhana, mudah
dimengerti dan dilaksanakan oleh masyarakat banyak. Hal ini sangat mempengaruhi
pemikiran pemimpin Hindu untuk diterapkan dalam agama Hindu. Ciri agama yang
demokratis dalam Hindu ditandai dengan munculnya gerakan menentang sistem kasta
dan ajaran mengenai manusa pada,
yaitu manusia sama kedudukannya di hadapan Tuhan. Sementara itu, ciri ajaran
agama Hindu yang sederhana dan mudah dilaksanakan adalah percaya satu Tuhan
(monoteisme), tidak menyembah patung, dan mengutamakan bhakti sehingga upacara-upacara yajna
yang rumit tidak dilakukan lagi.
Pengaruh Islam
lainnya adalah ajaran yang dianut oleh golongan sufi (penganut mistisisme Islam). Golongan sufi menekankan kepasrahan yang total kepada Tuhan. Penyerahan diri
secara tulus ikhlas inilah yang disebut bhakti.
Bhakti yang sesungguhnya adalah kerelaan untuk mengabdikan diri sepenuhnya
kepada Tuhan. Ini dilakukan dengan
menyebut berulang-ulang nama Tuhan (dzikir) dan tafakur
(meditasi). Untuk melakukan ini semua diperlukan tuntunan dari seorang
guru. Sufi adalah ajaran melihat ke
dalam diri (self-realization)
sehingga ia menolak pengikatan pada dogma agama secara berlebihan (Zaechner,
1994).
Ajaran sufi ini begitu kuat pengaruhnya
terhadap ajaran bhakti yang muncul
pada zaman ini. Pada kelompok Waisnawa utamanya,
prinsip Tuhan monoteis diterima sebagai Tuhan yang Berpribadi, yaitu Krishna. Bhakti mendalam kepada Krishna
diwujudkan dengan menyebut nama-Nya berulang-ulang (kirtanam). Demikian juga dengan mempersembahkan pikiran, perbuatan,
dan kekayaan kepada Krishna. Kedudukan seorang Guru, Swami, atau Baba juga
sangat penting untuk menggantikan pendeta, sekaligus sebagai penghubung manusia
dengan Krishna. Kelompok ini menolak kewajiban beryajna atau kurban persembahan karena dianggap sebagai tradisi agama
yang palsu. Mereka juga mengutuk ajaran thirta yatra karena Tuhan dapat dicari dalam diri (Macmillan
(ed), 2001).
India pada zaman
ini ditandai dengan tumbuhnya berbagai mazhab baru dalam agama Hindu, terutama dari golongan Waisnawa-wedanta
yang melakukan gerakan bhakti. Gerakan Bhakti (Bhakti
Movement) umumnya dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu: pertama, gerakan yang mendasarkan ajaran
pada agama dan sosial misalnya, gerakan yang
dipimpin oleh Guru Nanak, Kabir, dan lain-lain; dan kedua, adalah gerakan yang semata-mata hanya berdasarkan pada
ajaran agama seperti yang dipimpin oleh Ramananda, Nimbarka, Wallabha,
Chaitanya, Tulsidas dan lain-lain (Mahajan, 2001). Gerakan Bhakti (bhakti
movement) yang muncul pada zaman ini menekankan ajaran mereka pada
kesamaan hak dan kedudukan dalam masyarakat (manusa pada) dan memegang
teguh keyakinan bahwa martabat manusia tergantung pada tindakan mereka, bukan karena
kelahirannya (Macmillan (ed), 2001).
Guru Nanak adalah
salah satu pelopor Gerakan Bhakti (Bhakti Movement) yang bergerak
dalam bidang agama dan sosial. Guru Nanak adalah seorang reformis dari mazhab
Waisnawa. Ia mengajarkan ajaran Waisnawa yang bebas dari praktek penyembahan
patung, bebas dari kasta, dan bebas dari segala takhayul. Guru Nanak mendirikan
agama Sikh yang bertujuan untuk
mempersatukan ajaran Islam dengan ajaran Hindu, sekaligus untuk mempersatukan
kedua umat beragama itu (Mahajan, 2001). Reformis terkenal lainnya
adalah Kabir. Ia mengajarkan ajaran agama berdasarkan cinta kasih dengan tujuan
untuk mengembangkan persatuan antara semua kasta dan agama. Ia menentang
praktik penyembahan patung, upacara agama dan yajna (kurban suci),
dan menekankan ajaran kesamaan hak di antara manusia (manusapada)
(Macmillan (ed), 2001).
Gerakan Bhakti yang hanya bergerak dalam bidang agama terutama dilakukan oleh golongan
Waisnawa-wedanta. Salah satu pemimpinnya
yang paling terkenal adalah Chaitanya. Chaitanya menyebarkan ajaran cinta kasih
dari Krishna bersama dua orang muridnya, yaitu Nityananda dan Adwaitananda.
Ajarannya adalah menyembah Krishna dan semua Awatara-nya. Bhakti mendalam
kepada Krishna diwujudkan dengan menyerahkan badan, pikiran, dan kekayaan
secara tulus kepada Krishna. Golongan ini meyakini Bhagawad Gita dan Srimad
Bhagawata Puranam sebagai kitab suci. Keadaan moksa (sorga) menurut Chaitanya adalah berada dekat dengan Krishna
di alam rohani yang disebut Waikuntha. Sorga
ini dapat dicapai hanya melalui bhakti, yaitu menyebut nama
Krishna terus-menerus (Kirtanam),
serta menyanyikan dan menarikan rohani (Sangkirtan).
Setelah meninggal, Chaitanya dipuja sebagai Awatara dari Krishna, sedangkan kedua
muridnya dianggap sebagai Angsa-awatara dari Krishna. Ketiganya
diakui sebagai Tritunggal. Chaitanya disebut juga Mahaprabhu, sedangkan guru-guru
yang masih hidup dan meneruskan ajaran-ajarannya diberi gelar Goswami,
Prabhu,
atau Acharya. Mereka berkedudukan tinggi dalam mazhab Chaitanya, bahkan dianggap sedikit lebih
rendah dari para dewa. Mereka dipuja sebagai Guru karena mereka adalah perantara antara manusia dan Krishna
(Mahajan,2001).
Gerakan
Bhakti juga dilakukan oleh golongan Waishnawa-wedanta lainnya yang dipelopori
oleh Tulsi Das. Tulsi Das adalah pendiri dari mazhab penyembah Rama. Ia menulis
kitab suci untuk mazhabnya yang disebut Ramayana Tulsi Das. Kitab ini menggunakan
bahasa Hindi (bahasa nasional India sekarang). Tulsi Das mengajarkan bahwa Rama
adalah Tuhan yang tertinggi. Rama adalah Tuhan pencipta alam semesta dan juga
memelihara alam semesta ini. Untuk menyelamatkan pengikutnya ia menjelma (awatara)
sebagai Rama (Mahajan, 2001).
Selain mazhab Waishnawa-wedanta,
kemudian muncul juga mazhab yang disebut Gaudiya Waishnawa-wedanta. Menurut mazhab ini, Krisna adalah Tuhan
Tertinggi. Mazhab ini meyakini bahwa Krishna muncul sebagai Brahma untuk menciptakan
alam semesta. Kemudian, Krishna mengajarkan ajaran-ajarannya kepada Narada.
Narada mengajarkan pada Byasa mengenai kitab suci Catur Weda. Kemudian kitab suci ini diajarkan kepada Rsi Madhwa.
Mazhab Gaudiya Waisnawa ini akan
dilanjutkan oleh Thakur Bhakti Vinobha yang mendirikan Gaudiya Waishnawa Mission yang melanjutkan ajaran dari Chaitanya
Mahaprabhu. Murid yang terkenal dari Thakur Bhakti Vinobha adalah Swami Bhakti
Siddhanta yang juga adalah guru dari Swami Prabhupada Bhaktivedanta. Swami
Prabhupada kemudian mendirikan Kesadaran Krishna (ISKCON) di New York, Amerika Serikat. Mazab ini dari
Amerika menyebar ke seluruh dunia termasuk ke India dan ke Indonesia.
Dengan datangnya
orang-orang Inggris yang menaklukkan India (1754 Masehi - 1850 Masehi)
maka India menjadi jajahan Inggris sampai tahun 1947. Melalui penjajahan ini mereka
juga membawa dan menyebarkan agama Kristen di India. Disamping itu mereka juga
membawa kebudayaan Barat dan misionaris ditugasnya sengaja untuk menyebarkan
agama Kristen, mengkristenkan orang-orang Hindu. Hal ini merupakan tantangan
yang sangat berat bagi agama dan kebudayaan Hindu.
Antara tahun 1850-1950, golongan
cerdik cendekiawan dan sarjana-sarjana Hindu yang telah menyelesaikan studinya di luar negeri terutama
yang belajar di Inggris dan negara-negara Eropa mulai melakukan reformasi dan penyusunan
kembali agama Hindu. Mereka ingin memberikan pengertian yang benar dan sejati
mengenai agama Hindu, dengan jalan berusaha untuk menafsirkan secara baru dan modern agama Hindu itu
berdasarkan logika yang bersifat rasionalis;
mengajarkan prinsip-prinsip dan dasar-dasar agama Hindu yang praktis dan
modern; sekaligus membangun kehidupan masyarakat sosial sesuai dengan zaman
modern ini.
Dengan pandangan mereka yang rasional itu mereka membuat berbagai
gerakan-gerakan (movements).
Gerakan dari golongan rasional ini
muncul secara serentak di India terutama di Kholkata, yang merupakan gerakan yang radikal dengan
merombak agama Hindu sedemikian rupa dan kemudian memasukan ajaran yang baik
dari agama Kristen, Islam dan lain-lain
ke dalam tubuh agama Hindu
sehingga agama Hindu menjadi lebih modern dan maju.
Gerakan reformasi
dari Gerakan Hindu
Moderen (Neo-Hinduism) ini dapat digolongkan menjadi dua yakni :
1. Gerakan
reformasi yang membuat pembaharuan dalam tubuh agama Hindu. Pemimpin Gerakan Reformasi
yang terkenal adalah Raja Rammohan Roy, Mahatma Gandhi, Dewendranath Tagore dan
lain-lain.
2. Gerakan
Revivalist (kebangkitan kembali agama Hindu). Pemimpin-pemimpin Gerakan
Revitalist ini adalah Swami Dayanand Saraswati dengan Arya Samaj-nya, Ramakrishna Paramangsa
dengan Ramakrisna Mission-nya
dan lain-lain.
Gerakan Hindu Moderen (Neo Hinduism) itu pula dapat dibagi
menjadi dua yakni gerakan yang muncul sebelum India
merdeka dan Gerakan Hindu Moderen yang muncul setelah India merdeka.
Gerakan Hindu Moderen umumnya mengajarkan agama yang bersifat Universal (Universal Teaching) yang umumnya
ajaran agama yang diajarkan mereka dikenal dengan nama agama Universal (Universal Religion) atau Spiritual Universal. Agama Universal adalah suatu agama
yang mengasimilasikan dasar-dasar pokok dari semua agama (Islam, Kristen, Hindu dan lain-lain)
ke dalam pandangan dan perspektif yang lebih luas dan menerima dasar pokok yang
bersifat umum yang tidak akan menyakiti sentimen dari agama tertentu. Idenya
untuk memiliki keadaan harmonis diantara semua agama di dunia dan juga untuk
memiliki keharmonisan yang sempurna.
Umumnya golongan Rasionalis yang
membuat Gerakan Hindu Moderen itu menyatakan bahwa Hinduisme adalah “a
way of life” bukan berarti agama
dalam pengertian yang sebenarnya, dan bukan pula suatu sistem yang semata-mata
bersifat dogma-dogma. Gerakan Hindu moderen dipelopori untuk
pertama kali di India
oleh Raja Ram Mohan Roy. Gerakan yang didirikannya merupakan gerakan perintis dalam pelaksanaan
reformasi agama Hindu. Gerakan Hindu Modern berpandangan
bahwa agama Hindu harus direformasi apabila ingin menghadapi penyerangan
agresif dari agama-agama lain. Gerakan Hindu modern umumnya mengambil suatu
tindakan yang mendasarkan ajaran-ajaran mereka dengan :
1. Tidak
menerima upacara adat agama Hindu
2. Menolak
semua pelaksanaan agama Hindu yang tidak bersifat logis, seperti tahayul, magic dan lain-lain.3. Tidak mau menerima adat istiadat yang kaku yang tidak masuk akal di kalangan umat Hindu.
4. Menolak semua ajaran-ajaran para pendeta yang tidak masuk akal.
Mengenai tradisi kuno dan
adat istiadat, Gerakan Hindu moderen berpendapat bahwa “menerima dan
menjalankan adat-adat tradisi kuno merupakan suatu kesalahan besar; kata
pemimpin dari gerakan Brahmo Samaj.
Tradisi itu harus diterima dan
dijalankan hanya berdasarkan nilai-nilai sosial dan spiritual. Demikian pula
tradisi dan kepercayaan agama Hindu itu harus diuji dan dilaksanakan
berdasarkan dasar rasionalisme. Selain dari itu Raja Ram Mohan Roy,
pemimpin Gerakan Hindu Modern yang disebut Brahmo Samaj itu mendasarkan ajaran-ajarannya pada sinthesis dari ajaran Wedanta (Upanishad) dengan ajaran Islam, Kristen dan pemikiran
liberal dari orang Eropa yang moderen,
dan menentang pemujaan patung.
Selain dari Raja Ram Mohan Roy, pemimpin Gerakan Hindu Modern yang lain yang sangat terkenal adalah Mahatma Gandhi, umumnya disebut Gandhian. Mahatma Gandhi mengatakan “What we see today is not pure Hinduism” artinya “apa yang kita lihat sekarang adalah bukan Hinduisme yang murni”. Mahatma Gandhi menginginkan “Purified Hinduism”, yaitu Hinduisme yang dimurnikan. Menurut Mahatma Gandhi, Weda, Upanishad, Itihasa, dan Purana-purana harus diintepretasikan secara rasional.
Pemimpin Gerakan Revivalist dari Gerakan Hindu Modern yang terkenal adalah Swami Dayananda Saraswati. Ia mendirikan suatu gerakan yang disebut dengan nama Arya Samaj. Ia yakin akan kebenaran dari Weda. Ia melakukan paraphrased dan mengomentari kitab suci Weda secara keseluruhan berbeda sama sekali dengan komentar dari golongan tradisi (Smarta) maupun dengan golongan sarjana Indologi baik dari India maupun dari Eropa.Swami Dayananda Saraswati mengatakan bahwa setiap orang berhak untuk membaca kitab suci Weda. Ia menekankan ajaran-ajarannya, yaitu:
Selain dari Raja Ram Mohan Roy, pemimpin Gerakan Hindu Modern yang lain yang sangat terkenal adalah Mahatma Gandhi, umumnya disebut Gandhian. Mahatma Gandhi mengatakan “What we see today is not pure Hinduism” artinya “apa yang kita lihat sekarang adalah bukan Hinduisme yang murni”. Mahatma Gandhi menginginkan “Purified Hinduism”, yaitu Hinduisme yang dimurnikan. Menurut Mahatma Gandhi, Weda, Upanishad, Itihasa, dan Purana-purana harus diintepretasikan secara rasional.
Pemimpin Gerakan Revivalist dari Gerakan Hindu Modern yang terkenal adalah Swami Dayananda Saraswati. Ia mendirikan suatu gerakan yang disebut dengan nama Arya Samaj. Ia yakin akan kebenaran dari Weda. Ia melakukan paraphrased dan mengomentari kitab suci Weda secara keseluruhan berbeda sama sekali dengan komentar dari golongan tradisi (Smarta) maupun dengan golongan sarjana Indologi baik dari India maupun dari Eropa.Swami Dayananda Saraswati mengatakan bahwa setiap orang berhak untuk membaca kitab suci Weda. Ia menekankan ajaran-ajarannya, yaitu:
- Menentang penyembahan patung;
- Menolak adanya Awatara;
- Menolak kepercayaan kepada tahayul dan kekuatan gaib;
- Menentang kebohongan dari kitab Smrti termasuk kitab Itihasa dan Purana;]
- Menentang adanya kasta;
- Menentang pelaksanaan yajna (korban binatang);
- Menentang pemujaan dan upacara untuk leluhur;
- Menentang melakukan Tirthayatra;
- Mengakui setiap orang, dari kasta apa pun bisa menjadi pendeta;
- Menentang membuat dan mempersembahan/sesajen;
- Menentang pembuatan kuil-kuil.
Pemimpin dari Gerakan Arya Samaj ini mengatakan bahwa untuk
membersihkan agama Hindu dari semua tahayul
dan untuk mendapatkan kebenaran sejati hanya dapat dicapai dengan
“kembali ke Weda” (go back to Veda). Ia juga mengatakan bahwa setiap orang,
baik yang berkasta tinggi ataupun rendah memiliki hak yang sama untuk membaca
Weda. Semboyan ini sangat terkenal yang diucapkan oleh pengikut-pengikut Arya Samaj yang didirikan oleh Swami
Dayanand Saraswati .
Pemimpin lain yang terkenal dari
Gerakan Revivalist dari Gerakan Hindu Moderen adalah Ramakrishna Paramangsha,
guru dari Swami Wiwekananda. Ramakrishna
Mission kemudian didirikan oleh Swami Wiwekananda untuk menghormati dan
menyebarkan ajaran-ajaran gurunya. Tidak
seperti halnya dengan gerakan-gerakan Reformis
yang lain dari Gerakan Hindu Modern yang muncul berdasarkan
pemikiran para sarjana yang
berpendidikan Barat, namun Rama Krishna adalah salah seorang revivalis yang
muncul dari pemikiran secara tradisi dengan mencampur ajarannya dengan ajaran
Islam, Kristen dan lain-lain14. Ia mendasarkan ajarannya sedemikian rupa
karena ia menyadari bahwa semua agama memiliki tujuan yang sama. Menurut dia
kepercayaan pada agama adalah nomor dua sedangkan yang terpenting adalah setiap
orang akan menjadi suci apabila orang mempersembahkan dirinya sendiri kepada
Tuhan berdasarkan cinta kasih dan melayani tetangganya dengan penuh kasih sayang. Apabila hal ini dilakukan maka
orang tidak perlu untuk merubah agama ke agama lain. Persatuan dengan Tuhan
harus dicari oleh penganut Kristen menurut ajaran Kristen. Demikian pula
tafakur pada Tuhan harus dicari oleh orang Islam menurut agama dan
kepercayaannya. Sedangkan untuk orang Hindu ia harus mencarinya menurut agama
Hindu untuk dapat bersatu dengan Tuhan.
Gerakan Theosophy memberikan spirit yang sangat besar sekali pada kebangkitan kembali
dari agama Hindu. Hal ini sangat dirasakan oleh pemimpin agama Hindu dan
menyebarkannya secara luas, terutama pada pasca India merdeka. Dengan ini, maka mulailah banyak
timbul orang suci, swami, baba dan lain-lain
untuk mendirikan suatu organisasi, menyebarkan agama Hindu moderen
dalam wujud baru yang lebih segar dan
berpandangan jauh yang berbeda dari apa yang disebut dengan agama Hindu
Orthodoks (kuno). Mereka membuat berbagai asram untuk menyebarkan ajaran dan
idenya dengan menafsirkan ajaran agama
Hindu yang berdasarkan tafsiran mereka itu sendiri dan dengan mengolahnya
dengan pandangan, cara dan pola berfikir Barat dan juga menurut pandangan Islam
dan Kristen.
Oleh karena agama Hindu umumnya tidak
memiliki pusat agama (central religius
authority) walaupun telah ada pusat kekuasaan mazab Saiwa yang didirikan
oleh Sangkaracharya, namun ditentang dan tidak diakui oleh mazab Waisnawa atau
mazab lain dari agama Hindu. Sedangkan Wishwa Hindu Parishad baru saja (tahun 1964) didirikan untuk menghadapi
agama lain, dan juga tantangan dari science
dan teknologi Barat. Dengan timbulnya Gerakan Hindu Modern, hal ini merupakan
cambuk dan senjata yang ampuh. Mereka mulai mendirikan organisasi baru dengan
ashramnya dengan menyebarkan ajarannya
berdasarkan ajaran modern dan berdasarkan pemikiran agama berdasarkan tafsiran
mereka masing-masing dan dengan kepercayaan dan kebenaran dari mereka sendiri.
Ajarannya disebarkan ke seluruh dunia.
Ajaran mereka itu ada yang hanya
memakai Weda saja ada yang menekankan pada kitab Upanishad dan Wedanta
ada pula yang mendasarkan ajaran mereka hanya pada kitab Purana dan Itihasa. Hal ini menyebabkan munculnya berpuluh-puluh orang suci,
swami, baba dan lain-lain yang menyatakan
bahwa ajaran mereka adalah yang paling benar sedangkan ajaran yang bermazab
Hindu yang lain salah.
Ajaran-ajaran agama yang muncul
setelah India merdeka adalah Sai Baba, Ananda Marga, Brahma Kumari, Babaji,
Radhaswami Satsang, Mataji Shri Nirmala Devi, Shri Ravi Shankar, Swami
Dhananjoy Des Kathia Babaji, Mata Amritanandamayi Devi, Sadnguru Jaggi Vasudev,
Bhagwan Rajneesh, Swami Chinmananda , Babaji Haidakhana dengan Chinmaya-mission
dan lain-lain yang ratusan jumlahnya
yang muncul kemudian tersebar keseluruh dunia. Prof. Dr. Rao mengatakan bahwa
sekarang, dari semua Gerakan Pembaharuan (Reform Movement) yang tersebut di atas beberapa dari mereka ini
ada yang masih berfungsi setelah India merdeka, namun kekuatan, kegiatan dan
tenaganya sudah mulai berkurang dan tidak seperti dahulu ketika dirintisnya.
(Sumber: Prof. D.Litt. Dr. I Gusti Putu Phalgunadhi, MA)
Chattopadhyaya, Evolution of Hindu Sects,
Chandra, Tara, History of the Freedom Movement in
Dutt, Manmatha Nath, Mahanirwana Tantra, Waranasi, 1979.
Dutt, Bhupendra Nath, Dialectics of Hindu Ritualism,
Bhattacharya, N.N., Medieval Bhakti Movement in
Griswold, H.D., The Religion of the Rigveda,
Grover, B.L., A New Look at Modern
Jagannath & Vishvanath, Golden History of
Gupta, Sanjukta, Laksmi Tantra, A Pancaratra Text,
Griffith, Ralph T.H., Hymns of the Rgveda, Vol. I & Vol. II,
------------ Hymns of the Samaveda,
------------ The Texts of the White Yajurveda or vajasaneya - Samhita,
------------ Hymns of the Atharvaveda, Vol. I & Vol. II
Luniya, B.N. , Evolution of Indian Culture,
Kundra, D.N., A New Text Book of History of
Kundra, Ravinder Nath, History of Ancient and Medieval
Narang, Kripal Singh, Hinduism,
Khanna, K.C.,
Klostermaier, Klaus K., A Survey of Hinduism,
Macmillan, An Advanced History of
Mahajan, V.D., Ancient
------------ History of Medieval
------------ Modern
Majumdar, R.C., Ancient
Philipps, Maurice, The Evoluation of Hinduism,
Rajeev, Rajendra Kumar, World-Famouse Religions and Sects,
Rao, S.K. Ramachandra, Agama-Kosha, Banglore, 1990.
Mani, Vettam, Puranic Encyclopedia,
Jha, D.N., Ancient
Sharma, Ram Sharan, Sudras in Ancient
Dharma, L.P., History of Ancient
------------ History of Modern
Shastri, Acharya Jagadishwar, Brahmandapuranam,
Singh, Jaidev, Shiwa Sutras,
Sinha, B.C. Glorious Art of The Sunga Age,
Sullivan, Bruce M., Seer of the Fifth Veda,
Renou, Louis, Religions of Ancient
Schomerus, H.W., Saiva Siddhanta,
Swami Dayanand Sarasvati by Sri Aurobindo.
The Devine Life and Masage of Sri Sathya Sai Baba.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar