Jumat, 19 Agustus 2016

EVOLUSI AGAMA HINDU INDIA

EVOLUSI AGAMA HINDU DI INDIA:
(Sebuah Pendekatan Sejarah dan Kebudayaan)

Kata ‘Hindu’ mula-mula diberikan oleh orang-orang asing yang datang ke India seperti, Arab, Persia, dan Yunani sekitar abad ke-8 Masehi. Mereka datang ke India melalui jalur Barat-Daya India yang disebut Hindu-Kush, di pegunungan Himalaya. Pengertian Hindu bagi orang-orang asing itu menunjuk pada “Orang-orang yang mendiami daerah lembah sungai Sindhu, termasuk agama dan kebudayaan yang mereka anut”. Istilah ‘Hindu’ secara resmi digunakan pertama kali dalam sebuah prasasti yang dikeluarkan oleh raja-raja yang memerintah kerajaan Vijayanagar di India Selatan pada abad ke-15 Masehi. Istilah ini, juga digunakan dalam catatan-catatan Raja Achaemenian dari Iran, sehingga kemudian istilah ‘Hindu’ umum dipakai oleh pengarang-pengarang Islam di India pada zaman itu (Klostermaier, 1990; Chattopadhyaya, 1970).

Orang-orang di lembah sungai Sindhu memang sudah memiliki peradaban yang tinggi, bahkan sebelum bangsa Arya datang ke India sekitar tahun 2.000 SM. Peradaban lembah sungai Sindhu dibangun oleh penduduk asli India, yaitu bangsa Dravida sekitar tahun 3.000 SM – 2.000 SM (Majumdar, 1998; Mahajan, 2002). Bukti-bukti sejarah yang ditemukan di sepanjang lembah sungai Sindhu, Harappa, dan Mohenjodaro menegaskan hal tersebut. Bangsa Dravida telah membangun sebuah peradaban kota dan juga sudah beragama. Para ahli menyebutnya agama orang Dravida (Dravidian Religion); agama pribumi India (Aboriginal Religion); agama asli India (Indegenious Religion); atau agama lembah sungai Sindhu (Indus Religion).
 
Agama pribumi ini memegang peranan penting dalam pertemuannya dengan agama Weda (Vedic Religion) yang dibawa bangsa Arya kemudian. Pertemuan antara agama lembah sungai Sindhu dan agama Weda mengalami evolusi secara terus-menerus hingga mencapai bentuknya seperti sekarang. Sejarah evolusi agama Hindu menunjukkan terjadinya transformasi ide, pemikiran, dan praktik keagaman Hindu yang berevolusi secara perlahan dan bertahap dari zaman ke zaman. Dengan didukung bukti-bukti sejarah yang otentik, serta fakta-fakta keagamaan hasil catatan para ahli sejarah, arkeologi, kesusasteraan, dan Indologi, kebenaran ilmiah dari evolusi tersebut cukup meyakinkan. Ini menjadi petunjuk penting untuk memahami situai keagamaan Hindu di India dari periode pra-Weda (pra-Vedic Period) hingga India Modern (Modern India).
 
Walaupun demikian, kontroversi terhadap kebenaran sejarah ini sering terjadi. Hal ini karena pijakan dan cara pandang yang digunakan setiap orang untuk memahami suatu kajian berbeda-beda. Apalagi kebenaran agama bersifat sakral, mutlak, dan tak terbantahkan. Namun bagi ilmuwan sejarah evolusi Hindu khususnya, kebenaran ajaran agama Hindu bukanlah fokus perhatiannya. Ilmuwan sejarah justru lebih senang bergumul dengan bukti-bukti sejarah yang melatarbelakangi munculnya suatu ajaran sehingga tampak begitu dominan pada zamannya. Cara kerja ilmu sejarah inilah yang harus dimengerti dan dipahami untuk mendalami sejarah evolusi agama Hindu. Dengan demikian konfrontasi dapat dihindari untuk membuka cakrawala pengetahuan terhadap aspek-aspek agama Hindu secara lebih luas dan mendalam.


A. Zaman Peradaban Lembah Sungai Sindhu (3000 SM – 2000 SM)

Sir John Mashall menemukan peninggalan sejarah di Harappa dan Mohenjodaro pada akhir abad ke-20. Penemuan sejarah ini menunjukkan adanya bukti-bukti bahwa sebelum kedatangan bangsa Arya, penduduk asli India telah memiliki peradaban sendiri. Teori tentang peradaban India Kuno diawali dari penggalian arkeologis di distrik Sind, daerah Larkana (Mohenjodaro) dan Montgomery di distrik Punjab Barat pada tahun 1921. Sekarang, sebagian besar wilayah tersebut merupakan bagian dari wilayah negara Pakistan (Majumdar, 1998; Mahajan, 2002). Penggalian dilanjutkan di sepanjang lembah sungai Sindhu, bahkan lebih jauh lagi. Dari penggalian sepanjang lembah sungai Sindhu ditemukan peninggalan-peninggalan arkeologis sebagaimana ditemukan dalam situs Mohenjodaro. Bukti-bukti ini diyakini para ahli sejarah India sebagai tinggalan peradaban bangsa Dravida yang disebut Peradaban Lembah Sungai Sindhu atau Harappa (Majumdar, 1998; Mahajan, 2002).
 
Menurut para sarjana peradaban lembah sungai Sindhu ini berlangsung sekitar tahun 3000 SM sampai 2000 SM (Majumdar, 1998; Mahajan, 2002). Agama orang Dravida (Dravidian Religion) atau agama lembah sungai Sindhu (Indus Religion), memberikan catatan penting bagi sejarah evolusi agama Hindu di India. Mengingat banyak sekali ajaran agama lembah sungai Sindhu yang mempengaruhi agama dan kebudayaan Weda yang datang belakangan bersama kedatangan orang Arya ke India. Alat-alat upacara dan keagamaan yang ditemukan di berbagai tempat di lembah sungai Sindhu jelas sekali menunjukkan ciri yang sama dengan pemakaian upacara keagamaan dalam agama Weda (Kumar, 1988). Kebudayaan lembah sungai Sindhu ini secara berangsur-angsur mempengaruhi kebudayaan orang Arya sehingga terjadilah percampuran kebudayaan antara keduanya, walaupun akhirnya lebih didominasi oleh agama Weda. Untuk menunjukkan pengaruh peradaban lembah sungai Sindhu terhadap agama Weda akan diuraikan ciri-ciri penting agama Pribumi India, sebagai berikut.
 
Pertama, ciri yang sangat menonjol dalam agama lembah sungai Sindhu adalah adanya pemujaan kepada Mother Goddess (Dewi Ibu) (Macmillan (ed), 1978). Mother Goddess ini digambarkan sebagai wanita telanjang dengan posisi mengangkang, tengkurap, terlentang, dan berdiri. Gambar-gambar ini ditemukan pada barang-barang seperti materai tanah liat (seals), tembikar, dan jimat (amulet). Orang-orang yang hidup di lembah sungai Sindhu percaya bahwa Mother Goddess atau kekuatan perempuan (Shakti) merupakan sumber dari semua ciptaan (Mahajan, 1960; Kundra, 1968). Selain itu juga diyakini sebagai dewi kesuburan, penguasa tumbuh-tumbuhan, penguasa, dan pemberi kekuatan magis.
 
Kedua, pemujaan kepada Dewa Laki-laki atau Dewa Purusha (Male God). Dalam salah satu materai (seal), ditemukan suatu ukiran yang berwujud manusia bertanduk dua, memakai ikat kepala, dan di kelilingi beberapa binatang. Wujud ukiran itu menyerupai orang yang bermeditasi atau beryoga. Wujud ini dianggap sebagai prototipe Siwa sebagai Mahayogi. Sementara itu, gaya (style) dari perwujudan orang itu disebut Pasupati atau dewa penguasa binatang buas. Atribut yang terpenting dari dewa Pasupati adalah bermata tiga (tri netra) dan memegang senjata Trisula (Tripathi, 1999). Prototipe Siwa sebagai Pasupati ini ditandai dengan binatang-binatang yang mengelilinginya dan wujudnya yang bertanduk mengingatkan pada konsep Trisula dalam agama Hindu.
 
Ketiga, pemujaan lingga merupakan penemuan penting dari kebudayaan lembah sungai Sindhu. Kepercayaan ini dipandang lebih primitif daripada pemujaan patung (iconic worship). Bukti adanya pemujaan lingga ini ditandai dengan penemuan batu berbentuk phallus (alat kelamin laki-laki) yang berbentuk kerucut (conical) dan silinder (cylinder). Wujud lingga ini banyak dipuja oleh umat Hindu sampai sekarang (Rajeev, 1990). Pemujaan ini memegang peranan penting dalam agama lembah sungai Sindhu. Penemuan ini mendukung pernyataan bahwa bibit-bibit pemujaan kepada Siwa sudah ditemukan dalam peradaban lembah sungai Sindhu.
 
Keempat, selain prototipe pemujaan Siwa (Male God) dan Shakti (Mother Goddes) dalam agama Hindu, juga ditemukan simbol-simbol pemujaan yang menyerupai kepercayaan animisme, seperti batu, pohon-pohon, dan binatang. Mereka percaya semua itu merupakan tempat dari roh halus, yang baik maupun yang buruk (Mahajan, 1960). Pemujaan kepada pohon ditandai dengan ditemukannya bukti berupa gambar-gambar pohon bersama-sama dengan wujud manusia dengan atribut-atributnya. Ada beberapa pohon yang dilukiskan dalam sebuah materai (seal) antara lain: pohon pipal, beringin, dan akasia. Sementara itu, tanda-tanda adanya pemujaan kepada binatang ditandai adanya gambar-bambar binatang seperti ular, lembu, harimau, kerbau, badak, gajah, dan binatang aneh bertanduk satu (unicorn). Mengenai pemujaan kepada binatang ini ada beberapa pendapat yang menjelaskan kemungkinan tujuan dan fungsinya, antara lain: (a) sebagai pemujaan kepada pohon atau binatang itu sendiri (sejenis animisme dan dinamisme); (b) sebagai kendaraan dewa tertentu; dan (c) sebagai simbol-simbol yang berkaitan dewa tertentu. Pendapat ini dapat dipahami karena binatang-binatang yang dipuja oleh orang-orang di lembah sungai Sindhu ini memiliki keserupaan dengan wahana dewa-dewa yang dipuja dalam kesusasteraan Weda berikutnya. Seperti misalnya, lembu sebagai wahana Dewa Siwa dan harimau sebagai wahana Dewi Durga.
 
Kelima, pemujaan kepada patung (ikonisme) merupakan salah satu yang terpenting dalam kebudayaan lembah sungai Sindhu, bahkan tidak dikenal dalam agama Weda (Luniya, 2001). Bukti adanya pemujaan ini ditandai dengan ditemukannya beberapa terakota yang berbentuk patung-patung manusia dengan atribut dan wujud tertentu. Satu di antara yang terpenting adalah adanya patung yang menyerupai seorang yogi. Dengan ciri-ciri mata memicing melihat ujung hidung (Mahajan, 2002). Boleh jadi, patung ini merupakan perwujudan prototipe Siwa Mahayogi, seperti ditunjukkan dalam lukisan materai.
 
Keenam, penggalian situs di Harappa dan Mohenjodaro ternyata juga menunjukkan adanya bukti-bukti bahwa agama lembah Sungai Sindhu sudah mengenal adanya upacara kuban. Dalam sebuah materai (seal) yang ditemukan Harappa terdapat lukisan seorang laki-laki mengangkat sabit dan di depannya duduk seorang perempuan dalam sikap menyembah. Ini diperkirakan sebagai upacara kurban manusia sebagai persembahan untuk meminta kesuburan (Marshall, 1931; Mackay, 1935). Sementara itu, penemuan bukti sejarah dari sebuah materai di Mohenjodaro melukiskan: (a) seorang pemuja dengan sikap menyembah; (b) di sebelah pemuja tersebut ada seekor binatang; (c) seorang lak-laki memegang sabit; dan (d) di bawah gambar tersebut terdapat tujuh perempuan berderet. Lukisan binatang dan orang memegang sabit ini diperkirakan sebagai bukti adanya kurban binatang (Marshall, 1931; Mackay, 1935). Penemuan sejarah lainnya dari agama lembah sungai Sindhu adalah adanya upacara dengan menggunakan api. Bukti ini ditemukan berupa sebuah benda mirip cangkir dengan noda hitam bekas jilatan api di pinggirnya. Selain itu, juga ditemukan bukti-bukti adanya persembahan bunga, daun, buah, dan air (Majumdar, 1998:18; Luniya, 2002:25). Agama lembah sungai Sindhu juga sudah mengenal upacara kematian. Ada tiga sistem upacara kematian, yaitu penguburan, penjemuran, dan pembakaran mayat yang abu sisa pembakarannya dibuang ke sungai (Luniya, 2002). Upacara persembahan ini nantinya akan berperanan penting dalam sejarah evolusi agama Hindu di India pada zaman-zaman berikutnya.
 
Agama lembah sungai Sindhu menunjukkan adanya bentuk religi awal pada zaman India Kuno. Kepercayaan di lembah sungai Sindhu memiliki kesamaan dengan kepercayaan dalam agama Hindu. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa prototipe pemujaan kepada Siwa dan Durga (Shakti), lingga, pohon, binatang, upacara kurban, dan upacara persembahan lainnya sudah lama dipraktikkan oleh masyarakat di lembah sungai Sindhu, jauh sebelum kedatangan orang-orang Arya ke India (Macmillan (ed). 1978). Dengan mengetahui hal ini maka semakin jelas bahwa sumbangan peradaban lembah sungai Sindhu dalam perkembangan dan evolusi Hinduisme di India harus diakui sebagai faktor yang sangat penting.
 
B. Zaman Weda (2.000 SM – 600 SM)
Kata ‘Veda’ berasal dari urat kata ‘Vid’ yang artinya ‘pengetahuan’ atau ‘mengetahui’. Veda diyakini bersumber dari wahyu Tuhan yang didengar langsung oleh para Maharsi sehingga disebut sruti. Dengan demikian Veda bukanlah buatan manusia (apauruseya). Pengajaran dan pewarisannya dilakukan secara lisan. Veda berjumlah empat, yakni Rig Veda Samhita, Sama Veda Samhita, Yajur Veda Samhita, dan Atharva Veda Samhita. Selain itu, juga terdapat Veda-Veda minor (Upaveda) dan badan-badan Veda (Vedangga) yang bersumber dari kitab suci Veda. Kelompok pertama disebut Sruti, dan yang terakhir disebut Smrti (Macmillan (ed), 2002). Kitab suci Veda terdiri atas bagian-bagian, sebagai berikut.
  1. Kitab-kitab Mantra Samhita dari Catur Weda.
  2. Kitab-kitab Brahmana yang dikaitkan dengan setiap Weda Samhita.
  3. Kitab-kitab Aranyaka yang dikaitkan dengan setiap Weda Samhita.
  4. Kitab-kitab Upanisad, atau disebut juga kitab Wedanta yang dikaitkan dengan setiap Weda Samhita. Wedanta artinya bagian akhir Weda (Datta, 1950:17; Rajeev, 1990:15).
Weda pada mulanya diajarkan secara lisan dalam garis perguruan (parampara) oleh banyak Rshi. Jadi, besar kemungkinan bahwa Weda tidaklah tersusun secara sistematis. Baru kemudian Weda dikodifikasikan menjadi empat disebut Catur Weda Samhita. Secara tradisi diyakini bahwa pengkodifikasian Weda dilakukan oleh Maharsi Wyasa bersama keempat muridnya, yaitu Pulaha, Jaimini, Waisampayana, dan Sumantu. Para sarjana memperkirakan bahwa pengkodifikasian itu dilakukan antara tahun 1.500 SM – 1.000 SM. Dalam pandangan ilmu sejarah, secara umum Zaman Weda dibagi menjadi dua periode, yaitu Zaman Rig Weda atau Zaman Weda Awal (Early Vedic Period), dan Zaman Weda Akhir (Later Vedic Period) (Majumdar, 1998).
 
Zaman Weda Awal disebut juga zaman Rig Weda (Early Vedic Period) diperkirakan berlangsung antara tahun 2.000 SM – 1.000 SM (Tripathi, 1999). Adapun ciri-ciri yang terpenting dari agama Rig Weda dapat dilihat dari (1) konsep ketuhanan, dan (2) ritual yang dilaksanakan. Konsep ketuhanan yang dianut pada zaman Rig Weda adalah henoteisme, kathenoteisme, politeisme, panteisme, monoteisme, dan monisme. Agama Rig Weda (Rig Veda Religion) percaya kepada banyak dewa, tetapi ada satu Dewa Tertinggi. Dewa Tertinggi ini menjadi pemimpin dari dewa-dewa yang lain. Setiap suku bangsa Arya mempercayai adanya satu Dewa Tertinggi sebagai Yang Maha Kuasa. Mengingat bangsa Arya terdiri atas beberapa suku sehingga Dewa Tertinggi bagi satu suku, kadangkala berbeda dengan Dewa Tertinggi pada suku yang lain. Ini menyebabkan ada banyak Dewa Tertinggi dalam Rig Weda sehingga seringkali disebut politeisme (Muller, 1872; Kundra, 1968). Dewa Tertinggi ini diyakini adalah pencipta, pemelihara, pelindung, pemberi kebahagiaan, dan juga pemberi kekayaan kepada manusia. Adapun dewa-dewa yang dipuja dalam agama Rig Weda, antara lain Surya, Usha, Indra, Parjana, Wayu, Agni, Kuwera, dan lain-lain. Jumlah dewa dari agama Rig Weda berjumlah 33 (Tribhir Ekadasai) (Mac Donell, 1991).
 
Dyaus adalah dewa yang bersinar di sorga dan Pthiwi adalah dewi bumi. Kedua dewa ini merupakan dewa yang tertua dari dewa-dewa yang disebutkan dalam Rig Weda. Kemudian, kedua dewa ini digeser atau digantikan kedudukannya oleh Waruna dan Indra. Dewa Waruna adalah dewa yang paling mulia. Ia adalah dewa atau pemimpin dari pada para dewa. Dewa Waruna adalah Dewa Mahatahu, sekaligus Penguasa Alam Semesta. Tiada seorang pun orang yang berdosa dapat terlepas dari mata Dewa Waruna sehingga kepada-Nya manusia memohon pengampunan dosa (Griswold, 1999). Indra adalah dewa yang paling terkenal dan yang paling banyak dipuja karena hampir seperempat dari seluruh jumlah nyanyian pemujaan dalam kitab Rig Weda Samhita, ditujukan kepada dewa Indra. Indra diyakini memiliki kekuatan yang sangat mengagumkan, juga sebagai dewa penguasa hujan, dewa sahabat manusia, dan dewa perang.
 
Di samping dewa-dewa tersebut di atas, ada pula dewa seperti Marut (angin ribut), Wayu (dewa angin), Parjanya (dewa awan), dan Agni (dewa api). Dewa Agni adalah dewa yang dipuja dalam wujud api yajna. Artinya, api yajna itu sendiri adalah disucikan dan dipuja sebagai Agni. Dewa Agni juga dianggap sebagai dewa pendeta dan dewa perantara untuk membawa persembahan yajna kepada para dewa lain. Selain itu, Dewa Aditya (dewa matahari) juga dipuja dalam berbagai wujud, misalnya sebagai Mitra (dewa yang bersifat dermawan), Surya (dewa pemberi sinar), Sawitri (dewa pemberi gairah), Pushan (dewa pemberi makanan), Sawita, Ashwin, dan Usha. Selain percaya kepada dewa-dewa, agama Rig Weda juga percaya adanya leluhur. Ada beberapa kepercayaan terhadap leluhur dalam kitab Rig Weda, sebagai berikut.
  1. Leluhur pergi ke sorga ataupun neraka berdasarkan yajna yang dipersembahkan karma).
  2. Leluhur tinggal bersama para dewa.
  3. Leluhur ikut minum soma (minuman keras) bersama para dewa.
  4. Lluhur ikut menikmati persembahan (swadha).
  5. Kedudukan leluhur sama dengan para dewa.
Walaupun mulanya agama Rig Weda dipandang sebagai politeisme, tetapi pendapat ini mulai diluruskan. Mengingat pada sloka terakhir dari kitab Rig Weda jelas sekali menunjukkan bahwa kepercayaan dari agama Rig Weda mengarah pada kepercayaan monotheisme, bahkan monisme. Hal ini ditemukan dalam kitab suci Rig Weda, Mandala X, yang menyatakan bahwa “yang ada” berasal dari “yang tidak ada”, “yang nyata” muncul dari “yang tak nyata”. Kemudian, juga dalam kitab tersebut dijelaskan adanya kepercayaan bahwa Tuhan itu adalah Esa, tetapi memiliki banyak nama (‘Ekam sad viprah bahuda vadanti’). Oleh karena itu, konsep ketuhanan yang menjadi ciri penting dalam agama Rig Weda adalah percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa, tetapi juga percaya kepada banyak dewa sebagai manifestasi-Nya.
 
Dalam konteks ritual, upacara Soma merupakan pusat dari ritual dari agama Weda. Selain menjadi persembahan, minuman Soma juga dipuja sebagai dewa, sama halnya dengan Saraswati yang dipuja sebagai dewa sungai dan dewa pengetahuan (Griswold, 1999). Upacara Soma dijelaskan sebagai upacara persembahan minuman yang dapat menyenangkan hati (memabukkan) para dewa. Ciri penting lainnya bahwa pada zaman ini juga dikenal binatang-binatang yang selain disucikan, juga ada yang dikurbankan seperti, sapi, kambing, kerbau, binatang-binatang buruan, ular, dan burung-burung. Menurut sarjana Indologi (Mahajan, 1960; Kundra, 1968; Majumdar, 1998) bahwa sapi dalam Weda, selain ia disucikan, juga dikurbankan. Pendapat serupa juga disampaikan oleh Swami Vivekananda. Berkenaan dengan kurban binatang dijelaskan dalam kitab suci Rig Weda berupa mantra yang diucapkan pendeta sebelum upacara kurban dilakukan, sebagai berikut.

“Engkau tidak disakiti, engkau tidak dibunuh, engkau tidak mati, engkau akan pergi ke tempat para dewa melalui jalan yang benar dan indah”.

“Engkau akan dijemput dengan kereta yang indah, yang ditarik oleh kuda-kuda milik Dewa Indra, kuda milik Dewa Maruta, dan kuda milik Dewa Aswin, dan para dewa juga akan menemanimu pergi ke sorga”.

Pada zaman Rig Weda juga dilaksanakan upacara kematian. Disebutkan dua jenis upacara kematian, yaitu dengan jalan dibakar (Agni Dagdha) dan dikubur (Anagni Dagdha). Di samping itu, juga agama Rig Weda melaksanakan yajna kepada leluhur. Orang Arya percaya bahwa dengan melaksanakan yajna kepada leluhur maka leluhur juga akan menolong manusia, seperti memberikan perlindungan, kesehatan yang sempurna, kesejahteraan, tidak menyakiti keturunannya atas dosa-dosa yang diperbuat, kekayaan pada keturunannya, dan menganugerahi keturunan. Catatan penting lainnya dari agama Rig Weda bahwa agama ini tidak mengajarkan pembuatan dan penyembahan patung. Rig Weda juga tidak menganjurkan untuk membuat tempat pemujaan atau kuil-kuil. Pada zaman ini, penganut agama Rig Weda bersembahyang dengan memuja Tuhan di tempat terbuka atau altar (Mahajan, 1960).
 
Pasca berakhirnya zaman Rig Weda, orang-orang Arya memasuki kondisi kehidupan yang berbeda, baik dalam hal agama, sosial, budaya, dan ekonomi. Ini merupakan pembabakan sejarah kedua dalam agama Weda (Vedic Religion). Zaman Weda Akhir (Later Vedic Period) berlangsung sekitar tahun 1.000 SM atau 800 SM (Mahajan, 1960). Petunjuk keagamaan orang Arya pada zaman ini dapat dapat dijumpai dalam kitab suci Sama Weda, Yajur Weda, dan Atharwa Weda, termasuk juga kitab-kitab Brahmana, Aranyaka, dan Upanisad. Dari semua kitab-kitab ini akan ditemukan ide mengenai agama, kebudayaan, politik, sosial, dan ekonomi masyarakat India pada Zaman Weda Akhir (Tripathi, 1999).
 
Pada zaman Sama Weda, kehidupan ekonomi masyarakat Arya semakin membaik. Bangsa Arya sudah berhasil menguasai wilayah India Utara dan India Timur. Perdagangan juga semakin maju. Suku bangsa Arya muncul sebagai tuan-tuan tanah di India. Pada zaman ini sistem kerajaan sudah mulai terbentuk. Agama Weda juga mengalami perkembangan dan kemajuan yang pesat sehingga kedudukan pendeta menjadi sangat penting pada zaman ini. Kondisi sosial yang demikian menjadi awal mula lahirnya sistem kasta di India. Sistem pelapisan sosial ini didasarkan pada konsep catur warna yang telah disebutkan dalam Rig Weda. Pada zaman ini, catur warna tidaklah berdasarkan atas profesi, tetapi berdasarkan keturunan atau warisan.
 
Dalam hal keagamaan, tata cara pemujaan dan ketaatan pada pelaksanaan ritual keagamaan mencapai kemajuan yang luar biasa. Mantra-mantra Rig Weda yang semula hanya dibaca pada waktu upacara keagamaan, pada zaman Sama Weda sudah mulai dinyanyikan. Melagukan mantra-mantra Rig Weda dalam pelaksanaan upacara yajna adalah ciri utama zaman Sama Weda ini. Pada zaman ini pula, nyanyian-nyanyian suci itu dikodifikasikan menjadi bentuk kitab suci baru yang disebut kitab suci Sama Weda (Datta, 1950).
 
Setelah berhasil mengkodifikasikan kitab suci Sama Weda, mulailah dikumpulkan sloka-sloka suci lainnya dalam bentuk baru yang disebut kitab suci Yajur Weda. Zaman ini pula disebut zaman Yajur Weda. Perubahan atau evolusi yang sangat penting pada zaman Yajur Weda adalah terjadinya perubahan kehidupan sosial ekonomi bangsa Arya. Bangsa Arya sudah berhasil menguasai seluruh India sehingga muncul negara-negara jajahan. Oleh karena itu, mulai muncul upaya untuk mempertahankan dan mengukuhkan kekuasaan sehingga disusunlah kembali cara-cara untuk melaksanakan kurban suci (yajna). Kitab suci yang berisi petunjuk-petunjuk tentang yajna lengkap dengan mantra-mantra pemujaannya disebut Yajur Weda. Yajur Weda dibagi atas dua bagian penting, yakni Krishna Yajur Weda (Yajur Weda Hitam) dan Shukla Yajur Weda (Yajur Weda Putih). Demikianlah yajna-yajna diklasifikasikan untuk tujuan-tujuan tertentu (Datta, 1950).
 
Kedudukan yajna pada zaman ini sangat penting. Yajna diyakini sebagai satu-satunya jalan untuk mencapai sorga atau moksa. Di samping itu, juga yajna-yajna itu dibuat dan disesuaikan dengan daerah-daerah setempat. Ada beberapa jenis yajna yang dilaksanakan pada zaman ini, antara lain: Gosawa, Rajasuya, Wajapeya, Goghana, Caturmasya, Nirruddha pasu bandha, Maduparka, Gawamayana, Sarwamedhayajna, Naramedhayajna, Aswamedhayajna, dan Homa atau Agnihotra. Upacara-upacara besar seperti, Rajasuya, Sarwamedhayajna, dan Aswamedhayajna dilaksanakan untuk merayakan kemenangan raja, pengukuhan raja, dan tanda kebesaran dan kekuasaan. Sementara itu, yajna-yajna yang lain secara umum bertujuan untuk (a) membujuk para dewa agar hukum alam (rta) berfungsi sebagaimana mestinya, agar tanah menjadi subur, dan agar dewa tidak murka; (b) menyenangkan hati para dewa sehingga berkenan memberi anugerah, keuntungan, kemenangan, dan kekuatan; dan (c) mendapatkan pengampunan dosa.
 
Kedudukan pendeta pada zaman ini sangatlah penting karena berkaitan dengan keberhasilan yajna yang dilaksanakan. Ada beberapa hal yang menjelaskan pentingnya kedudukan pendeta pada zaman Weda ini, sebagai berikut.
  1. Pendeta memiliki kekuatan magis.
  2. Pendeta dapat memberikan kekuatan magis atau gaib.
  3. Pendeta berfungsi untuk mengesahkan kedudukan raja.
  4. Pendeta mendoakan kemenangan raja.
  5. Hanya pendeta yang dapat melakukan upacara secara tepat dan benar.
  6. Pendeta adalah perantara manusia dengan para dewa.
  7. Salah dalam pelaksanaan yajna, berarti tujuan upacara tidak tercapai.
Mengingat pentingnya upacara yajna pada zaman ini sehingga yajna diyakini mampu mengantarkan manusia menuju sorga. Malahan, menurut kitab Yajur Weda bahwa sorga hanya dapat diraih dengan cara mempersembahkan yajna kurban (karma); membaca mantra-mantra suci Weda; mempersembahkan air soma; dan dengan perbuatan baik yang ditujukan kepada para dewa. Berdasarkan uraian tersebut di atas maka dapat dijelaskan karakteristik agama Weda (Vedic Religion), sebagai berikut.
  1. Percaya banyak dewa, tetapi juga percaya kepada Tuhan Yang Esa.
  2. Percaya adanya leluhur.
  3. Pentingnya pembacaan kitab suci Weda.
  4. Pentingnya melaksanakan upacara yajna kurban.
  5. Pentingnya melaksanakan upacara kematian.
  6. Pentingnya kedudukan pendeta.
  7. Tidak menyembah patung.
  8. Tidak membuat tempat ibadah (kuil).
  9. Bersifat optimistik, yaitu agama rasa, kepuasan hati, dan bhakti.
  10. Moksa dan sorga hanya dapat dicapai melalui yajna.

C. Zaman Brahmana (1000 SM – 300 M)

Setelah pengkodifikasian kitab Catur Weda selesai dilakukan, maka kitab suci Catur Weda mulai ditafsirkan untuk pertama kalinya ke dalam kitab-kitab Brahmana. Kitab Brahmana pada akhirnya memegang peranan penting dalam pelaksanaan agama Hindu di India pada masa itu. Agama Weda (Vedic Religion) digantikan dengan agama Brahmana (Brahmanical Religion). Pergantian ini ditandai dengan adanya ciri-ciri penting dalam agama Brahmana yang tidak muncul sebelumnya pada zaman Weda. Para ahli umumnya membagi menjadi tiga periode, yakni (1) Zaman Kejayaan Agama Hindu (1000 SM – 600 SM); (2) Zaman Kemunduran Agama Hindu (600 SM – 200 SM); dan (3) Zaman Kebangkitan Agama Hindu (200 SM – 300 M). Ciri-ciri terpenting dari setiap zaman itu diuraikan, seperti berikut di bawah ini. 

 (1) Zaman Kejayaan Agama Hindu (1000 SM – 600 SM)

Zaman kejayaan agama Hindu berlangsung bersamaan dengan perkembangan keagamaan menurut kitab-kitab Brahmana, Aranyaka, dan Upanisad. Zaman Brahmana merupakan zaman perluasan dan tersebarnya agama dan kebudayaan Brahmana (Hindu). Setiap upacara dan upakara yang disebutkan dalam setiap kitab suci Catur Weda, ditafsirkan secara teliti dan ditulis kembali dalam kitab tersendiri. Kitab-kitab hasil penafsiran inilah yang disebut kitab-kitab Brahmana. Setiap kitab Weda Samhita memiliki kitab Brahmana-nya sendiri, antara lain: Rig Weda memiliki Aitereya Brahmana dan Kausitaki Brahmana; Sama Weda memiliki Tandya Brahmana dan Sadwingsa Brahmana; Yajur Weda memiliki Taitiriya Brahmana dan Shatapatha Brahmana; dan Artharwa Weda memiliki Gopatha Brahmana. Selain itu, masih ada kitab-kitab Brahmana lainnya (Datta, 1950). Kitab-kitab ini ditulis dengan bahasa Sansekerta klasik (Classic Sanskrit), menggantikan bahasa Sansekerta Weda (Vedic Sanskrit).
 
Teologi dalam kitab Brahmana tidak jauh berbeda dengan teologi dalam kitab suci Catur Weda. Hanya saja pada zaman ini muncul beberapa nama dewa baru yang dipuja, sedangkan beberapa dewa yang lama dilupakan dan tidak dipuja lagi. Meskipun tidak terjadi perubahan yang signifikan secara teologi, tetapi spirit keagamaan mengalami perubahan besar. Upacara dan upakara agama tumbuh subur. Dalam kitab ini tidak hanya dibicarakan tentang upacara kecil dan sederhana yang dilakukan masyarakat, melainkan juga upacara yajna yang besar, megah, dan mahal, terutama oleh golongan aristokrat dalam masyarakat. Sebagai akibat dari perkembangan itu bahwa keberadaan golongan pendeta sangatlah penting dan didudukkan pada tempat yang sangat terhormat (Kundra, 1968). Keberadaan kitab Brahmana sangat penting bagi golongan pendeta untuk melaksanakan upacara ritual dengan benar, teratur, dan memenuhi syarat kehikmatannya. Di samping itu, juga mulai muncul kekuasaaan dari golongan pendeta yang mengajarkan adanya bermacam-macam upacara ritual (Datta, 1950). Selain berisi keterangan-keterangan mengenai proses pelaksanaan upacara ritual, juga terdapat diskusi mengenai tradisi-tradisi yang berlaku pada zaman itu, baik pada masyarakat kota maupun desa. Kitab yang terpenting dari semua kitab Brahmana adalah kitab Satapatha Brahmana.
 
Semua upacara dikembangkan, diperluas, dan dirinci tidak habis-habisnya. Kemudian, setiap upacara dan upakara dihubungkan dengan arti dan makna mistis. Golongan pendeta pada zaman Brahmana ini memusatkan seluruh pikirannya untuk menemukan arti mistis yang terkandung dalam tata cara dan upacara ritual keagamaan. Arti mistis itu tidak hanya dicari dan ditafsirkan dari upacara yang dilakukan dalam keluarga saja (Grihasutra), tetapi juga dicari arti mistisnya pada seluruh upacara umum (Srautasutra). Kemudian hal ini diwujudkan dalam wujud upacara-upacara dan upakara agama yang sangat mengagumkan dan juga sangat rumit, yang belum pernah terjadi atau diciptakan oleh manusia di dunia ini (Majumdar, 1998).
 
Upacara yajna yang dilakukan oleh setiap rumah tangga melingkupi rangkaian seluruh kehidupan manusia. Mulai dari orang mengandung sampai meninggal (life circle ceremony). Di samping itu, juga banyak upacara yajna yang berhubungan dengan roh orang yang sudah meninggal. Upacara yajna yang dilaksanakan oleh masyarakat umum adalah upacara-upacara besar. Salah satu yang sangat terkenal adalah Aswamedhayajna atau korban binatang kuda. Upacara ini hanya boleh dilakukan oleh para raja yang besar dan kuat, serta mendapatkan pengakuan dari kerajaan lain. Upacara Aswamedhayajna ini dilakukan secara besar-besaran dengan menggunakan tenaga dari ratusan pendeta, mengorbankan banyak binatang, dan berbagai sarana upacara yang cukup rumit (Datta, 1950; Majumdar, 1998). Upacara besar lainnya adalah Sarwamedhayajna. Ini adalah upacara kurban suci dengan mengorbankan bermacam-macam binatang. Masih banyak lagi upacara besar lainnya yang menggunakan binatang sebagai korban suci (Datta, 1950). Ada beberapa ciri penting pada zaman Brahmana ini, yaitu (a) munculnya sistem pelapisan sosial (catur warna) dalam arti kasta; (b) pemakaian bahasa Sansekerta klasik dalam penulisan kitab suci; (c) munculnya upacara dan upakara yang banyak dan rumit; (d) agama Brahmana bersifat aristokratik; dan (e) munculnya pelaksanaan upacara yajna dengan menggunakan kurban binatang. Jadi, pada zaman ini Weda ditafsirkan secara Karma Kanda. 
 
Bersamaan dengan berlangsungnya zaman Brahmana, muncul peristiwa penting lainnya dalam agama Hindu di India. Kehidupan sosial keagamaan yang telah mapan memberikan ruang bagi para rsi untuk merenungkan kembali berbagai aspek keagamaan yang terdapat dalam kitab Catur Veda. Perenungan para rsi ini meliputi aspek-aspek metafisis dari Weda seperti, penciptaan, alam semesta beserta segala isinya, serta hal-hal spiritual yang bisa menuntun manusia mencapai moksa. Ini dapat dipahami mengingat konsepsi mengenai alam semesta dari bangsa Arya sangat terbatas. Para rsi tidak bisa menerima begitu saja ide tentang penciptaan yang ditulis dalam zaman Weda Akhir (Later Vedic Period).
 
Mantra-mantra dalam kitab suci Rig Weda dan kitab Brahmana yang menyebutkan bahwa dunia ini muncul dari yajna dan dipelihara pula dengan yajna (kurban suci) mulai diragukan oleh para Rshi. Keragu-raguan itu dapat dilihat dari pertanyaan-pertanyaan para Rshi mengenai “kapan semua ini muncul dan bagaimana ciptaan itu terjadi? Padahal, para dewa itu muncul belakangan daripada ciptaannya. Oleh karena itu, siapa yang sebenarnya tahu akan hal ini dan kapan penciptaan itu terjadi?” (Datta, 1950). Pertanyaan-pertanyaan ini menjadi spirit untuk melakukan penyelidikan yang lebih luas dan mendalam sehingga mendorong para Rshi pergi ke hutan. Mereka membawa kitab-kitab suci untuk dibaca, dibahas, dan direnungkan berulang-ulang. Hasil dari perenungan tersebut ditulis kembali oleh para rsi dan para pendeta di hutan-hutan (aranya) sehingga disebut kitab Aranyaka. Seperti misalnya, Rig Weda memiliki Aitereya Aranyaka, Kausitaki Aranyaka; dan Yajur Weda memiliki Brhad Aranyaka dan Taittiriya Aranyaka. Isi utama dari kitab Aranyaka adalah tuntunan cara upacara dan upakara yang harus dilakukan oleh mereka yang hidup di hutan. Selain itu juga, tentang hal-hal spiritual yang dapat menuntun mereka untuk mencapai moksa (Datta, 1950:97). Kitab-kitab Aranyaka melahirkan beberapa ajaran yang penting dalam agama Hindu. Kitab ini percaya bahwa moksa bukan hanya dapat dicapai melalui yajna, tetapi juga melalui etika dan spiritualitas. Diterimanya ajaran mengenai pertapaan (tapa brata) dan meditasi menjadi ciri penting dari zaman ini (Majumdar, 1998). Pada zaman ini ajaran Weda ditafsirkan secara Upasana Kanda.
 
Perkembangan pemikiran pada zaman Brahmana mengalami puncaknya pada zaman Upanisad, sekitar tahun 800 SM hingga 600 SM (Majumdar, 1998). Zaman ini ditandai dengan munculnya pemikiran filosofis dan logika untuk mengungkap misteri alam semesta dan aspek metafisis lainnya. Penciptaan alam semesta, kehidupan dan kematian, serta ajaran tentang moksa menjadi inti pemikiran Upanisad (Sharma, 2001). Ajaran-ajaran upanisad muncul sebagai penafsiran mendalam dan radikal terhadap isi kitab suci Catur Weda. Jumlah seluruh kitab Upanisad dari yang tertua hingga yang termuda adalah 108 (seratus delapan) buah. Akan tetapi, terdapat 12 (dua belas) kitab Upanisad yang dipandang penting, yaitu Aitereya, Kausitaki (Rig Weda); Kena, Chandogya (Sama Weda); Swetaswatara, Taittriya, Brhadaranyaka, Isa, Katha, Mandukya (Yajur Weda); dan Prasna, Mundaka (Atharwa Weda) (Winternitz, 1990).
 
Hampir semua kitab Upanisad membahas hakikat tentang Brahma, Atman, hubungan antara Brahman dan Atman, hakikat maya, widya, dan kelepasan. Ajaran dalam Upanisad bersifat monisme absolut, yaitu ajaran yang menyatakan bahwa segala yang ada bersumber dari satu asas sebagai Realitas Tertinggi (Brahman). Brahman adalah asas pertama dari alam semesta, Prinsip Tertinggi yang tanpa perubahan, sumber dari segala penciptaan, dan pengendali seluruh hukum alam (rta). Pada zaman Brahmana, Brahman sudah dianggap sebagai asas yang pertama dari alam semesta, tetapi pada zaman Upanisad lebih diperjelas lagi (Chatterjee dan Datta, 1954; Hiriyana, 1978). Menurut Taittirya Upanisad bahwa segala sesuatu mengalir dari Brahman sehingga segala sesuatu pada hakikatnya adalah Brahman. Demikian juga dengan hakikat rohani manusia yang disebut Atman bersumber dari Brahman. Oleh karena itu, hakikat Brahman dan Atman tidaklah berbeda. Brahman adalah azas kosmis, sedangkan Atman adalah asas hidup manusia (Chatterjee dan Datta, 1954; Hiriyana, 1978). Oleh karena hakikat Atman sama dengan Brahma, maka sifat dari Atman adalah kekal dan abadi (nitya), ia tidak pernah terlahir ataupun mati. Akan tetapi, karena Atman bersatu dengan tubuh (asas materi) maka seolah-oleh ia mengalami proses kelahiran dan kematian berulang-ulang. Artinya, setelah seorang meninggal maka Atman-nya akan berpindah ke badan yang lain, dan seterusnya. Ajaran kelahiran berulang-ulang ini dikenal dengan nama samsara atau punarbhawa (Rajeev, 1990).
 
Ajaran perpindahan Atman (punarbhawa) ini erat hubungannya dengan hukum karma. Atman harus lahir kembali berulang-ulang untuk memetik hasil dari buah perbuatannya di masa lalu (wasana karma). Dijelaskan dalam kitab Upanisad  bahwa setelah orang meninggal maka jiwanya akan pergi ke dunia nenek moyang melalui asap pembakaran. Perjalanan itu terjadi ketika matahari bergerak dari arah selatan ke utara (uttarayana). Di dunia nenek moyang itulah perbuatan baik dan buruk dinikmati, setelah itu mereka akan menjelma kembali. Penjelmaan ini akan terjadi berulang-ulang sampai akhirnya Atman bersatu dengan Brahman atau Paramatman. Keadaan bersatu inilah yang disebut moksa. Uraian ini menunjukkan bahwa tradisi filosofis dari zaman Upanisad merupakan kelanjutan dari agama Brahmana dan Aranyaka, bahkan agama Veda sebelumnya. Mengingat dalam Upanisad masih meyakini adanya alam nenek moyang (leluhur) yang dicapai melalui asap upacara pembakaran (Agni Dagdha). Ini membedakan ciri filsafat Upanisad dengan filsafat India (darsana) yang akan muncul pada zaman berikutnya.
 
Dengan demikian, ciri utama dari zaman Upanisad adalah munculnya ajaran tentang Brahman, atman, hukum karma, kelahiran berulang-ulang (samsara atau punarbhawa), dan moksa (Sharma, 2001). Pada zaman ini, ajaran Weda ditafsirkan secara Jnana Kanda bahwa moksa tidak hanya dapat dicapai dengan yajna, etika, tapa brata, dan meditasi, tetapi juga dengan pengetahuan mengenai brahman (Brahma Widya). Oleh karena itu, agama Hindu pada periode ini tidak lagi berkiblat ke luar, ke alam semesta, namun mencari Brahman dalam diri sendiri melalui kontemplasi dan spekulasi metafisika.
 
Agama Hindu pada zaman Brahmana, Aranyaka, dan Upanisad dikatakan sedang mengalami masa kejayaannya. Ini dikarenakan Weda telah ditafsirkan dalam tiga aspek penting, yakni karma kanda, upasana kanda, dan jnana kanda. Penafsiran ini semakin memperkaya pengetahuan, penghayatan, dan pengamalan religius umat Hindu di India pada masa itu. Ini menandai bahwa tiga kerangka agama Hindu, yaitu tattwa, susila, dan acara telah dilaksanakan secara holistik dan integral.

2. Zaman Kemunduran Agama Hindu (600 SM – 200 SM)

Agama Brahmana ditandai dengan munculnya penafsiran terhadap kitab suci Catur Weda yang melahirkan kitab-kitab Brahmana, Aranyaka, dan Upanisad. Namun demikian, penafsiran ini hanya dilakukan oleh para rsi yang memiliki otoritas untuk itu dan berlangsung dalam tradisi perguruan yang ketat (Majumdar, 1998). Meskipun Upanisad berisi pemikiran filosofis dan spekulasi metafisis, tetapi ini merupakan ajaran rahasia yang berlangsung antara “guru dan murid”. Ini ditegaskan dengan kata ‘upanisad’ yang berarti ‘duduk dekat dengan guru’, untuk menerima ajaran-ajaran mengenai rahasia ketuhanan (brahma rahasyam).
 
Kondisi ini berbeda dengan peristiwa keagamaan Hindu di India yang terjadi pada sekitar abad ke-6 sebelum masehi. Pada masa ini, kitab Catur Weda dipelajari secara terbuka dan bebas ditafsirkan oleh siapapun. Kebebasan ini menyebabkan munculnya beberapa aliran yang pada akhirnya tidak mengakui otoritas Weda sebagai kitab suci. Aliran itu adalah Buddha, Jaina, Charwaka, Ajawika, Prawrajaka, Nirgantas, dan lain sebagainya. Aliran-aliran ini menentang dan melawan agama Brahmana (agama Hindu yang dianut masyarakat India pada zaman itu). Mereka juga menolak otoritas dan kekuasan kitab suci Weda, juga seluruh upacara ritual yang bersumber dari kitab suci Weda (Tripathi, 1999).  Sebaliknya, mereka mendukung dan menganjurkan etika, mengagungkan nilai-nilai kehidupan, tapa brata yang keras, dan penebusan dosa dengan jalan yang luar biasa untuk mencapai moksa.
 
Dari sekian banyak aliran yang muncul pada zaman ini, agama Buddha rupanya memegang peranan yang paling signifikan dalam evolusi agama Hindu di India. Ajaran agama Buddha tidak pernah membicarakan keberadaan Tuhan. Agama Buddha lebih menekankan ajarannya sebagai way of life (pandangan hidup), yakni jalan hidup luhur dan saleh. Ia menentang segala dogma agama yang berlaku, tetapi menjunjung tinggi jalan rasional, kebijaksanaan, dan perkembangan spiritualitas. Bagi agama Buddha, tujuan hidup yang tertinggi adalah pembebasan atman dari ikatan keduniawian sebagai penyebab penderitaan (duhka). Hanya dengan mengetahui sumber duhka dan jalan untuk melenyapkannya, orang akan mencapai kebebasan dari kelahiran dan kematian yang disebut nirwana. Agama Buddha menentang kebenaran Weda, mengutuk korban binatang, menentang upacara ritual yang dianggap tidak ada artinya, menentang catur warna (kasta), dan menentang kekuasaan para pendeta.
 
Ajaran agama Buddha yang cukup sederhana ini mampu menarik simpati rakyat India pada waktu itu. Ajaran agama Buddha menyebar begitu cepat ke seluruh India sehingga sebagian besar orang-orang Hindu (beragama Brahmana) beralih-agama ke agama Buddha. Malahan, jumlah penganut agama Buddha pada waktu itu mencapai hampir 90 persen dari keseluruhan penduduk India. Hanya orang-orang Hindu yang masih taat saja yang tetap beragama Hindu, dan kebanyakan dari mereka adalah golongan Brahmana (Hariharan, 1987). Dapat dikatakan bahwa zaman ini adalah zaman keemasan agama Buddha (The Golden Age of Buddhism) di India. Peristiwa ini mengakibatkan agama di India pecah menjadi dua golongan, yaitu golongan ortodoks (ortodoxsect) dan golongan rasionalis (heterodexsect). Golongan ortodoks atau smarta atau karma kandi, adalah mereka yang masih menganut agama Brahmana. Sebaliknya, golongan rasionalis adalah para penganut agama Buddha, Jaina, dan sebagainya, yang menentang agama Brahmana (Tripathi, 1999). Dengan meluasnya pengaruh golongan rasionalis ini maka agama Brahmana mengalami kemunduran yang luar biasa.
 
Pada intinya, golongan rasionalis (heterodoxsect) ini menyatakan bahwa nirwana tidak dapat dicapai melalui yajna, tapa brata, ataupun brahma widya, melainkan hanya melalui etika dan perbuatan baik. Ini yang mendasari mereka menentang ajaran-ajaran agama Brahmana, seperti:
  1. Menentang kebenaran Weda;
  2. Menentang upacara yajna yang banyak dan rumit;
  3. Menentang agama yang bersifat aristokrat;
  4. Menentang adanya sistem warna (kasta);
  5. Menentang penggunaan bahasa Sansekerta;
  6. Menentang pembunuhan binatang untuk pelaksanaan upacara yajna, dan menekankan ajaran ahimsa secara ketat; 
  7. Menentang kekuasaan golongan Brahmana dalam mengatur keperluan spiritual masyarakat (Mahajan, 2002).

3. Zaman Kebangkitan Agama Hindu (200 SM – 300 M)

Zaman keemasan agama Buddha di India (The Golden Age of Buddhism) telah merubah wajah sejarah India pada masa itu. Bukan hanya sejarah agama, melainkan juga sejarah politik dan kebudayaan India. Dari segi politik, India dipimpin oleh raja-raja yang beragama Buddha, bahkan agama Buddha ditetapkan sebagai agama negara. Raja-raja pada waktu itu memperlihatkan sikap anti terhadap agama Hindu (agama Brahmana) dan melarang seluruh upacara yajna yang menggunakan kurban binatang (Kundra, 1968; Sharma, 2001). Sejarah ini berlangsung sampai akhir abad ke-3 sebelum masehi.
 
Pada abad ke-2 sebelum masehi kaum Brahmana bangkit mengadakan pemberontakan melawan pemerintah kerajaan yang beragama Buddha. Pada zaman ini terjadi pemberontakan dari golongan agama Hindu yang dipimpin oleh Pushyamitra. Dia adalah seorang brahmana yang menjabat sebagai senapati di kerajaan Magadha. Pusyamitra berhasil membunuh raja terakhir dari Dinasti Maurya yang bernama Brihadratha pada tahun 184 SM. Disebutkan dalam kitab Harshacarita bahwa ketika raja Brihadratha sedang mengadakan pemeriksaan pasukan dalam sebuah parade, saat itulah ia dibunuh oleh Pushyamitra. Setelah itu, Pusyamitra merampas kerajaan Maurya dan kemudian mendirikan dinasti Brahmana yang disebut Sungga (Majumdar, 1998).
 
Mengenai Pusyamitra, lebih lanjut dijelaskan dalam kitab-kitab agama Buddha dan catatan ahli sejarah agama Buddha dari Tibet yang bernama Taranatha (hidup sekitar abad ke-16 masehi). Taranatha mengatakan bahwa Pushyamitra adalah seorang raja Brahmana yang kejam. Pernyataan ini didukung oleh kitab Diwya Wadana yang menyebutkan bahwa Pushyamitra telah membunuh dan menyiksa pengikut-pengikut agama Buddha. Selanjutnya juga, dikatakan bahwa Pushyamitra telah mengeluarkan pengumuman yang berisi “barangsiapa dapat memenggal leher seorang Bhiksu dan membawa kepalanya ke hadapannya, maka ia akan menghadiahkan seratus dinar mas”. Pengumuman ini dikeluarkan di Kota Sakala oleh raja Pushyamitra. Selanjutnya Taranatha menjelaskan bahwa Pushyamita adalah seorang kafir yang tidak percaya pada ajaran-ajaran Sang Buddha dan dia sendiri yang memimpin serbuan untuk membakar dan menghancurkan Wihara dan membunuh para Bhiksu (Sinha, 1985).
 
Pushyamitra adalah seorang raja Brahmana yang pantang mundur untuk melindungi, mempertahankan, dan menyebarkan agama Brahmana. Dia menjadi pelopor yang mendobrak dan memusnahkan pengaruh agama Buddha di India. Pada masa pemerintahannya, ia membangkitkan kembali pelaksanaan ritual seperti,  upacara Aswamedhayajna – upacara yang terbesar dalam agama Hindu (Mahajan, 2002). Selain Pushyamitra, juga muncul mazhab-mazhab yang berdasarkan agama Brahmana (Hindu) turut menentang perkembangan agama Buddha dan pengaruhnya di India. Terutama adalah mazhab Wasudewa atau umumnya disebut mazhab Waisnawa, dan mazhab Saiwa (Macmillan (ed), 2001).
 
Mazhab Wasudewa atau mazab Waisnawa mendasarkan ajaran-ajarannya pada ajaran Karma Kanda, seperti yang diajarkan dalam kitab-kitab Brahmana. Mazhab ini memuja Dewa Wasudewa. Pada zaman ini (sekitar abad kedua sebelum masehi), Wasudewa disamakan dengan Dewa Wishnu, yakni salah satu dewa yang dipuja dalam kitab suci Weda (Majumdar, 1998). Sementara itu, mazhab Saiwa umumnya adalah pemuja lingga. Pemujaan lingga merupakan warisan dari agama lembah sungai Sindhu. Pada zaman Weda, pemujaan lingga umumnya hanya dilakukan oleh golongan Dravida, tetapi akhirnya menyebar luas pada orang-orang Arya. Mazhab Saiwa berkembang pada sekitar abad pertama sebelum masehi. Mazhab ini mengikuti ajaran ritual atau Karma Kanda yang bersumber dari kitab suci Weda dan juga berdasarkan kitab-kitab Brahmana. Dewa Siwa yang diakui sebagai Dewa Tertinggi dalam mazhab ini disamakan dengan Dewa Rudra, yakni salah satu dewa yang disebutkan dalam kitab suci Weda (Mahajan, 2002). Kedua mazhab ini turut serta menentang dan melawan penyebaran agama Buddha sehingga agama Buddha mengalami kemunduran di India.
 
Setelah agama Buddha mengalami kemunduran dan tidak lagi diterima oleh rakyat India, mulailah mazhab Wasudewa atau mazhab Waisnawa meniru dan mengambil-alih beberapa ajaran dari agama Buddha. Adapun ajaran-ajaran yang diambil oleh mazhab Waisnawa, antara lain: ajaran ahimsa atau tidak membunuh binatang; mulai membuat patung untuk memuja dewa Wasudewa atau dewa Wisnu; dan ajaran vegetarian (Kundra, 1968). Sebaliknya, mazhab Saiwa tetap menjalankan ajaran ritual berdasarkan ajaran kitab-kitab Brahmana. Mereka tetap melaksanakan upacara yajna, korban suci binatang, dan hidup non-vegetarian (boleh memakan daging) (Sharma, 2001).
 
Dengan adanya perbedaan ajaran yang mendasar dari kedua mazab ini, maka agama Hindu pecah untuk kedua kalinya. Mazhab Waisnawa disebut golongan rasionalis atau golongan Jnana Kandhi yang menerima kebenaran filsafat, rasio, dan logika. Mazhab ini menentang upacara kurban seperti yang disebutkan dalam kitab suci Weda, menolak perbedaan warna, dan kekuasaan pendeta. Golongan rasionalis ini disebut juga dengan nama golongan Wedantis (Sharma, 2001). Sebaliknya, mazhab Saiwa disebut golongan ortodoks atau golongan Karma-Kandi atau umumnya disebut golongan golongan tradisi. Mazhab Saiwa ini mendasarkan pemikirannya pada pentingnya ritual, serta tetap mempertahankan tradisi seperti yang diajarkan dalam kitab suci Weda dan penjelasannya berdasarkan kitab-kitab Brahmana. Mereka tetap mempertahankan dan melaksanakan upacara yajna sebagai dasar ajaran yang terpenting dan umumnya mereka tidak vegetarian (Sharma, 2004).
 
Mazhab Waisnawa dan Saiwa saling bertentangan untuk mempertaruhkan prinsip-prinsip kepercayaannya masing-masing. Pada zaman ini pula muncul mazhab lain sebagai penengah yang disebut mazhab Brahmana atau mazhab Smarta atau mazhab yang berdasarkan tradisi. Mazhab Brahmana-Smarta ini muncul pada abad pertama sebelum masehi. Mazhab ini mengajarkan penyembahan pada Dewa Trimurti, yaitu Brahma, Wisnu dan Rudra (Majumdar, 1998).
 
Demikianlah pada zaman kebangkitan agama Hindu ini, terjadi banyak perubahan dalam kehidupan keagamaan masyarakat India. Dewa-dewa yang disebutkan dalam kitab suci Weda seperti, Indra, Waruna, Agni, dan Ashwin, tidak dianggap menjadi dewa yang penting lagi sehingga tidak dipuja lagi oleh umat Hindu (Majumdar, 1998). Akan tetapi, dewa-dewa yang semula tidak penting dalam kitab suci Weda seperti, Wisnu, Siwa, dan lain-lain, justru diangkat menjadi dewa terpenting dan dipuja oleh masyarakat (Mahajan, 2002).
 
Dalam kesusasteraan Hindu, pada zaman ini mulai berkembang penulisan sastra-sastra suci selain di luar kitab suci Weda. Mengingat pada zaman ini, pembacaan kitab suci Weda dilarang untuk umum. Golongan pendeta brahmana takut akan terjadinya kesalahan penafsiran sebagaimana terjadi pada akhir zaman Upanisad dahulu. Oleh karena itu, golongan pendeta brahmana menulis kitab-kitab suci baru yang disebut dengan nama Pancama Weda (Weda kelima). Seperti misalnya, kitab-kitab Itihasa (Ramayana dan Mahabharata), Bhagawad Gita, kitab-kitab Purana, dan sebagainya. Kitab Pancama Weda ini dapat dibaca oleh masyarakat umum, dan dikatakan bahwa kesuciannya sama dengan kesucian kitab suci Weda (Sullivan, 1998).
 
Pada zaman ini juga berkembang sistem filsafat Hindu yang bersumber dari kitab-kitab Upanisad. Uraian-uraian filsafat disusun kembali secara sistematis dan terkoordinasi sehingga membangun satu sistem filsafat yang utuh. Pada zaman ini ditulis kitab-kitab sutra yang menjadi sumber ajaran dari filsafat Hindu (Sad Darsana), yaitu Nyayasutra (Nyaya), Waisesikasutra (Waisesika), Samkhyasutra (Samkhya), Yogasutra (Yoga), Mimamsasutra (Purwa Mimamsa/Mimamsa), dan Wedantasutra (Uttara Mimamsa/Wedanta). Sistem filsafat ini berisi uraian tentang alam semesta, pencipta dan ciptaanNya, dan pertanyaan tentang hidup dan mati secara logis-filosofis (Rajeev, 1990).
 
Di samping itu, juga ditulis kitab-kitab suci baru untuk setiap mazhab. Seperti misalnya, kitab suci Atharwashirah Upanisad, Nilarudra Upanisad, dan sejenisnya, merupakan kitab suci untuk pengikut mazhab Saiwa. Demikian juga dengan kitab Narashingha Upanisad, Ramapurwa-Tapaniya Upanisad, dan sejenisnya adalah kitab suci untuk pengikut mazab Waisnawa. Kitab suci lainnya adalah kitab suci Khila Sukta dari kitab suci Rig Weda yang kemudian dijadikan sebagai kitab suci dari masing-masing mazhab seperti Shri Sukta (untuk pemujaan Laksmi, Wisnu, dan Shiwa) dan Ratri-Sukta (untuk memuja Durga dan penjelasan mengenai Omkara), dan lain-lain (Datta, 1950).
 
Sementara itu, kitab-kitab Brahmana yang berisi ajaran-ajaran mengenai upacara yajna dan ritual lainnya mulai disusun kembali. Penyusunan ini untuk memudahkan dalam memahami isi kitab Brahmana yang rumit dan kurang sistematis. Kitab-kitab mengenai ritual yang baru ini disusun dalam kalimat-kalimat pendek sehingga disebut kitab-kitab Sutra. Kitab-kitab Sutra tentang upacara ritual dan yajna yang terpenting adalah kitab Kaplasutra. Kitab Kalpasutra ini terdiri atas Srautasutra (upacara umum), Grihyasutra (upacara di rumah tangga), Dharmasutra dan Sulbasutra (Sharma, 2001). Ciri penting lainnya dari zaman ini adalah munculnya pemujaan Pancayatana Puja (Bali: pangider-ider). Setiap mazhab bahkan memiliki Pancayatana Puja-nya masing-masing, seperti Pancanama, Shiwapanca, Pancakosika, Pancabrahma (Shiwa); Pancaratra, Pancawyuha (Waisnawa); Pancaboddha, Pancatatagatha (Buddha), Dig Palaka (Agama Purana); dan Panca Bedha (Tantra) (Gupta, 2000; Sharma, 2001).
 
Dalam hal sosial-keagamaan, pada zaman ini terjadi pengakuan terhadap semua adat istiadat di daerah. Seperti disebutkan dalam Kitab Ashwalayana Grihyasutra “oleh karena adanya berbagai macam adat istiadat yang berlaku di dunia ini, baik di desa-desa atau kota-kota, semua itu harus dilaksanakan sesuai dengan adat yang sudah berlaku umum di sana” (Oldenberg, 1988). Malahan, pada periode ini hukum sosial dijadikan hukum agama sehingga siapa yang melanggar adat dianggap melanggar hukum agama. Pada zaman ini kitab Dharmasastra menjadi kitab hukum Hindu yang juga menjadi sumber hukum sosial India pada zaman itu (Kane,1998).  

 
E. Zaman Purana: Zaman Keemasan Agama Hindu (300 M – 700 M)

Pada akhir zaman Brahmana (zaman kebangkitan agama Hindu), kehormatan agama Hindu yang sempat hilang karena menguatnya pengaruh agama Buddha di India dapat diraih kembali. India kembali diperintah oleh raja-raja beragama Hindu  dari keturunan Dinasti Gupta. Perkembangan agama Hindu pada zaman ini mendapat dukungan penuh dari raja dan seluruh aparatur kerajaan. Mereka semua aktif mengembangkan dan mengagungkan agama Hindu. Upacara yang dahulu sudah tidak dilaksanakan lagi, sekarang dilaksanakan kembali dengan tertib dan khidmat (Macmillan (ed), 2001). Dengan diperintahnya kembali India oleh raja-raja yang beragama Hindu maka agama Hindu tumbuh subur dan berkembang.
 
Walaupun demikian, agama Hindu yang berkembang pada zaman ini merupakan kelanjutan dari zaman Brahmana akhir (200 SM – 300 M). Salah satu ciri terpenting dari zaman Brahmana akhir adalah munculnya mazhab-mazhab dalam agama Hindu. Secara teologis, kemunculan mazhab-mazhab ini telah menggeser dewa-dewa yang semula dipuja dalam kitab suci Weda dan digantikan dengan dewa-dewa lain yang diyakini sebagai Tuhan oleh mazhab tersebut (Mahajan, 2002). Dari sekian mazhab yang ada, mazhab Waisnawa dan mazab Saiwa sangat terkenal pada zaman ini. Mazhab Waisnawa mengagungkan Dewa Wasudewa yang disamakan dengan Dewa Wishnu dalam Weda, sedangkan mazhab Saiwa mengagungkan Dewa Siwa yang disamakan dengan Dewa Rudra dalam Weda.
 
Dalam hal kesusasteraan Hindu, zaman Brahmana akhir juga ditandai dengan ditulisnya kitab-kitab Pancama Weda. Kitab ini menjadi pengganti kitab suci Catur Weda yang pada masa itu tidak boleh dibaca masyarakat umum. Ini menyebabkan setiap mazhab menulis dan mengagungkan satu atau beberapa Pancama Weda, sebagai kitab yang paling disucikan dalam mazhabnya. Malahan, kesuciannya diyakini sama dengan kitab Catur Weda. Penulisan kitab-kitab ini terus berlanjut seiring dengan semakin berkembangnya mazhab-mazhab dalam agama Hindu. Kesusasteraan Hindu yang penting pada zaman ini adalah kitab-kitab Purana. Secara tradisi, diyakini bahwa kitab purana ditulis oleh Maharsi Wyasa dan umumnya disebut Pancama Weda (Shastri, 1973). Ada 18 (delapan belas) kitab Purana mayor (Mahapurana) dan 108 (seratus delapan) kitab Purana minor (Upapurana). Seperti misalnya, Shiwa Purana adalah salah satu kitab suci dari mazhab Saiwa; Brahmanda-Purana adalah kitab suci dari mazhab Shakta; dan Bhagawata-purana adalah salah satu kitab suci dari mazhab Waisnawa, dan lain-lain (Mani, 1984).
 
Bermunculannya kitab-kitab Purana seiring dengan tumbuh-suburnya mazhab-mazhab dalam agama Hindu sehingga zaman ini disebut zaman Purana. Zaman ini berlangsung dari tahun 300 masehi hingga 700 masehi (Kundra, 1968). Adapun agama Hindu pada zaman itu disebut agama Purana (Puranic religion). Berbeda dengan agama Brahmana yang menitikberatkan pada pelaksanaan upacara yajna dan persembahan kurban binatang, agama Purana justru bersifat sektarian. Artinya, pada zaman ini muncul banyak sekte (mazhab) dan setiap sekte memiliki keyakinan dan tata caranya sendiri. Adapun karakteristik sebuah mazhab atau sekte, antara lain: memiliki nama Tuhan sendiri; memiliki kitab suci sendiri; memiliki sadhana sendiri; doktrin ajaran sendiri; memiliki ritual pemujaan yang khas; memiliki kosmologi dan kosmogoni sendiri; memiliki ajaran yoga-nya sendiri; memiliki kepercayaan moksa sendiri; dan memiliki sistem filsafat sendiri (Mani, 1984; Rajeev, 1990).
 
Sebagai kelanjutan dari zaman Brahmana akhir, Mazhab Waisnawa dan Saiwa juga semakin berkembang pada zaman Purana ini. Akan tetapi, ajaran-ajaran dari mazhab Waisnawa mengalami banyak perubahan dibandingkan ajaran awal pada zaman kemunculannya sekitar abad kedua sebelum masehi. Perubahan dalam mazhab Waisnawa ini terutama karena dipegaruhi oleh agama Buddha. Ajaran-ajaran yang berasal dari agama Buddha seperti, ahimsa, vegetarian, pemujaan patung, dan penolakan terhadap sistem kasta, pembangunan kuil-kuil, pada akhirnya menjadi bagian dari ajaran mazhab Waisnawa (Kundra, 1968). Pada zaman ini juga, Sapi mulai disucikan, bahkan dipuja terutama oleh penganut Waisnawa.
 
Perkembangan mazhab Bhagawata-Waisnawa semakin pesat. Ini ditandai dengan munculnya sub-sub sekte yang intinya memuja Dewa Wisnu. Ajaran mengenai Awatara yang muncul dalam kitab-kitab Purana mulai diyakini oleh penganutnya. Akhirnya, muncul pemujaan kepada Awatara Dewa Wisnu, seperti Rama, Krishna, Narasinga, dan lain-lain. Demikian pula pemujaan kepada Dewi Laksmi, Radha, Hanuman, dan Garuda mulai berkembang dan mengakar dalam masyarakat (Tripathi, 1999). Mazhab Waisnawa menekankan tiga macam jalan untuk mencapai Moksa, yaitu: pertama, melalui Karmamarga (perbuatan); kedua, melalui Jnanamarga (jalan ilmu pengetahuan); dan ketiga, melalui Bhaktimarga (jalan berbakti). Dalam pelaksanaan Karmamarga, cara-cara pelaksanaan upacara keagamaan secara tepat dan benar harus dilakukan (Macmillan (ed), 2001).
 
Pada zaman Purana ini, mazhab Saiwa juga berkembang pesat dan menyebar luas ke seluruh India. Mazhab Saiwa pertama kali muncul pada abad pertama sebelum masehi. Pada zaman ini, mazhab Saiwa memiliki banyak sub-sekte seperti misalnya, mazhab Pasupata, Kapalika, Kalamuka, Linggayat, dan lain-lain (Mahajan, 2002). Menurut ajaran mazhab Saiwa, moksa hanya dapat dicapai dengan jalan bhakti melalui samskara dan sadhana Pancamakara (lima macam persembahan), dengan jalan yoga, dan  setelah mendapat anugerah dari Siwa. Ajaran dan filsafat semacam ini disebut filsafat Saiwa Siddhanta (Law, 2000). Sementara itu, mazhab Saiwa-Bhairawa, Kalamukha, dan Kapalika, melakukan ritual pemujaan dengan persembahan berupa Sadhana Pancamakara (biji-bijian, daging, ikan, dan lain-lain) (Dutt, 1997). Mazhab Saiwa pada umumnya masih mempertahankan ajaran-ajaran upacara kurban sebagaimana diajarkan dalam kitab suci Weda dan kitab-kitab Brahmana.
 
Selain mazhab Waisnawa dan Saiwa seperti yang tersebut di atas, masih banyak lagi mazhab dan sub-sub mazhab seperti, Saiwa Sakti, Ardhanareshwari, Harihara, dan lain-lain. Demikian pula, pemujaan Ganesha, Surya (Sora), Sakti tumbuh dengan pesatnya di kalangan masyarakat (Tripathi, 1999). Pada zaman Purana juga, mazhab Trimurti yang sudah muncul sejak abad pertama sebelum masehi juga berkembang luas di kalangan masyarakat (Mahajan, 2002). Mazhab yang menyembah Trimurti (Brahma-Wishnu-Siwa) ini ikut menyebar ke Indonesia bersama dengan mazhab Saiwagama dan Waisnawagama. Zaman Purana ini memang tepat disebut zaman keemasan agama Hindu (The Golden Age of Hindusm). Meningat agama Hindu sudah mulai tersebar ke seluruh India, bahkan juga tersebar ke luar negara India termasuk ke Asia Tenggara dan Indonesia, bahkan sejak abad pertama masehi (Kundra, 1968).
 
Perkembangan agama Hindu di India dan penyebarannya ke luar India, tidak dapat dilepaskan dari semakin berkembangan ajaran Tantrayana atau Tantrisme. Kitab-kitab Tantrayana yang umum disebut kitab agama atau kitab Tantra, banyak ditulis pada zaman ini. Kitab Tantrayana ini dibagi menjadi dua, yaitu kitab Daksinagama dan Wamagama. Setiap mazhab dalam Tantrayana memiliki kitab-kitab sendiri seperti, Shiwagama, Shaktagama, Waisnawagama, dan lain-lain (Banerjee, 1988).
 
Kitab Waisnawagama berisi tentang teologi, atribut-atribut para dewa, mantra, cara mengucapkannya, cara meditasi, dan lain-lain. Hal-hal ini diuraikan secara panjang lebar dalam kitab tersebut. Kitab Waisnawagama ada dua macam, yakni Pancharatra dan Waikanagama (Gupta, 2000). Sementara itu, kitab Saiwagama jumlahnya sebanyak 208 buah. Paling terkenal dari kitab Saiwagama adalah Pasupata Sutra, Tattwa Sanggraha, Moksa Karika, dan lain-lain. Sedangkan kitab Saktagama berjumlah 64 buah dan yang terpenting adalah Sarada Tilaka, Mantra Maharnawa, dan lain-lain (Rao, 1999).
 
Tantrayana berpengaruh sangat kuat dalam masyarakat, bahkan mampu mempengaruhi seluruh mazhab yang ada dalam agama Hindu. Tanpa kecuali juga mempengaruhi mazhab Saiwa dan mazhab Waisnawa, sehingga muncul mazhab Saiwatantra atau Saiwagama dan Waisnawatantra atau Waisnawagama. Mazhab Tantrayana ini memusatkan pemujaan kepada sakti atau istri dari dewa-dewa. Seperti pemujaan kepada Durga, Parwati, Sakti, atau Bhairawi sebagai Sakti dari Dewa Siwa. Demikian juga pemujaan kepada Mahalaksmi sebagai Sakti Dewa Wisnu, dan Mahasaraswati sebagai Sakti Dewa Brahma. Demikianlah pemujaan kepada Sakti (Istri Dewa) menjadi ciri penting ajaran Tantrayana. Mazhab ini muncul dan berkembang pesat sekitar abad ke-5 masehi, tetapi bibit-bibit ajarannya sudah dapat dirujuk dalam agama Dravida atau lembah sungai Sindhu (Gupta, 2000; Sharma, 2001).
 
Munculnya ajaran Tantrayana menjadi ciri penting pada zaman Purana ini. Oleh karena itu, perlu dijelaskan secara singkat ciri-ciri ajaran tantra. Menurut ajaran tantra, moksa dapat dicapai dengan sadhana (disiplin rohani); mempersembahkan sarana pancatattwa, yaitu persembahan biji-bijian (mudra), daging (mamsa), ikan (matsya), minuman keras (mada), dan simbol-simbol seksualitas (maithuna); melalui bhakti; yogatantra; dan mendapatkan anugerah Siwa (Dutt, 1997). Selain itu, ajaran Tantrayana juga menganjurkan persembahan binatang kurban seperti kerbau, kambing, burung, dan lain-lain. Dalam ajaran tantra juga diajarkan tentang persembahan darah (Bali: nyambleh). Pusat perkembangan ajaran Tantrayana dan Shakta terutama adalah di wilayah Assam, India Timur.
 
Apabila diamati lebih jauh bahwa hakikat ajaran Tantrayana memiliki keserupaan dengan praktik agama Hindu di Indonesia. Ini dapat dibenarkan karena agama Hindu yang datang ke Indonesia sejak abad pertama masehi adalah semua mazhab yang muncul pada zaman Purana. Terutama adalah mazhab Saiwagama atau Saiwatantra dan Waisnawagama atau Waisnawatantra. Kedua mazhab ini menekankan ajaran untuk melaksanakan yajna (korban binatang) sebagai salah satu sarana dan sadhana mencapai moksa. Lain dari pada itu bahwa agama Hindu di Indonesia juga mewarisi filsafat Saiwasidhanta yang berkembang di India Selatan.
 
Berdasarkan uraian di atas dapat dijelaskan ciri-ciri penting dalam agama Purana (Puranic Religion) dan kebudayaan India pada zaman ini. Akan tetapi, beberapa ciri ini sudah mulai muncul sejak zaman Brahmana akhir, sebagai berikut:
  1. Munculnya banyak sekte, dan kadangkala saling bertentangan;
  2. Golongan Waisnawa mengambil-alih ajaran Buddha;
  3. Ajaran agama Buddha mempengaruhi agama Hindu;
  4. Berkembangnya ajaran Tantrayana;
  5. Kitab-kitab Purana diakui sebagai Pancama Weda;
  6. Mulai munculnya tempat-tempat pemujaan;
  7. Mulai melakukan pemujaan patung (arcanam);
  8. Pertentangan antara kelompok vegetarian dan non vegetarian;
  9. Catur Warna mulai dipahami sebagai profesi;
  10. Munculnya kasta Pariah;
  11. Ajaran Catur Asrama mulai dilaksanakan secara disiplin;
  12. Upacara-upacara besar dilaksanakan;
  13. Munculnya perhitungan tentang zaman (kalpa);
  14. Munculnya pemujaan kepada Awatara Wisnu (termasuk Buddha);
  15. Pemujaan dewa-dewa sebanyak 333.000.000;
  16. Muncul perayaan hari raya agama Hindu;
  17. Pemujaan Pancayatana;
  18. Pendeta mendapatkan kedudukan penting;
  19. Dharmasastra diakui sebagai Smerti yang bersumber dari Weda, sehingga hukum adat disamakan dengan hukum agama.

F. Zaman  Reformasi Hindu (700 M – 1.200 M)

Zaman Purana menandai terjadinya evolusi agama Hindu di India, yaitu munculnya berbagai macam mazhab atau sekte. Meskipun demikian agama Purana (Puranic religion) masih mewarisi konsep-konsep keagamamaan dari zaman Brahmana. Keduanya sama-sama menekankan praktik agama yang penuh dengan upakara dan upacara yajna (Majumdar, 1998). Agama Brahmana dan agama Purana mementingkan upacara yajna sebagai jalan untuk mencapai moksa. Hal ini diuraikan secara teliti dan mendalam dalam kitab Mimamsasutra (Mahajan, 2002). Ajaran yang mengajarkan pentingnya kedudukan yajna dalam agama Hindu ini dikembangkan dan diajarkan oleh para rsi pada zaman ini. Dengan pelopor-pelopornya antara lain, Rsi Prabhakara, Rsi Kumarila Batta, dan masih banyak lagi. Ajaran ini rupanya mendapat sambutan yang luas di kalangan umat Hindu. Agama Hindu yang berdasarkan yajna, sebagaimana muncul sejak zaman Weda, Brahmana, dan Purana ini umumnya disebut Hindu ortodoks atau agama Brahmana-Smarta (Kundra, 1968). Ajaran inilah yang menjadi agama rakyat India hingga akhir zaman Purana (sekitar 300 Masehi).
 
Akhir zaman Purana ditandai dengan terjadinya kekacauan dalam agama Hindu, akibat pertentangan yang hebat antara satu mazhab dengan mazhab yang lainnya. Setiap mazhab membenarkan prinsip-prinsip kepercayaan dan ajaran dari mazab mereka sendiri dan menyalahkan kebenaran dari mazhab yang lain. Hal-hal yang dipertentangkan terutama mengenai ajaran Ahimsa (Mahajan, 200). Di samping itu, juga mengenai upacara yajna, kurban binatang, vegetarian dan non-vegetarian, dan hal-hal prinsip lainnya. Pertentangan itu semakin memanas dan memuncak pada akhir zaman Purana. Selain itu, pertentangan antara pemeluk agama Hindu dan agama Buddha juga terus berlangsung (Kundra, 1968). Sebagai catatan bahwa meskipun kerajaan Buddha sudah dapat dihancurkan oleh golongan Brahmana (Pushyamitra pada tahun 184 SM), tetapi pengaruh ajaran Buddha masih cukup kuat di India.
 
Pertentangan yang terjadi pada zaman itu tidak terlepas dari semakin berkembangnya tradisi filsafat di India (darsana). Salah satu sistem filsafat yang penting pada zaman ini adalah Mimamsa. Inti dari filsafat Mimamsa atau Purwamimamsa adalah pengukuhan kesucian Weda bagian Brahmana yang menekankan pada upacara agama. Ajaran filsafat ini bersumber dari kitab Mimamsasutra yang ditulis oleh Maharsi Jaimini. Kemudian dalam perkembangannya muncullah komentar terhadap Mimamsasutra oleh Sabaraswamin. Komentar ini diterangkan dengan cara berbeda oleh Rsi Kumarila Bhatta dan Rsi Prabhakara sehingga akan muncul dua aliran, yaitu aliran pengikut Kumarila Bhatta dan aliran pengikut Prabhakara. Meskipun demikian kedua aliran ini tidak memiliki perbedaan secara prinsip, kecuali pada ajaran-ajaran yang tidak begitu penting (Chaterjee dan Datta, 1954).
 
Ajaran Mimamsa mengatakan bahwa satu-satunya jalan untuk mencapai sorga atau moksa adalah upacara yajna dan persembahan kurban. Rsi Kumarila Bhatta (750 M) menyebarluaskan ajaran ini dan berusaha mempengaruhi Raja Samudra Gupta untuk membangkitkan upacara-upacara yajna yang ada di dalam Weda. Propaganda ini berhasil dilakukan sehingga Raja Samudra Gupta sudah melaksanakan upacara Aswamedhayajna lebih dari dua kali selama masa pemerintahannya (Kundra, 1968; Majumdar, 1998; Mahajan, 2002). Dengan berkembangnya filsafat Mimamsa ini maka pelaksanaan agama Hindu di India diwarnai dengan berbagai upacara yajna dan kurban suci. Malahan, upacara-upacara besar kembali dilaksanakan terutama oleh raja-raja pada zaman itu.
 
Hampir bersamaan dengan zaman ini, muncul aliran filsafat lain yang disebut Uttaramimamsa atau Wedanta. Berbeda dengan Mimamsa (Purwamimamsa), sistem filsafat ini mendasarkan ajarannya pada kitab Upanisad. Filsafat Wedanta secara sistematis disusun dalam kitab Wedantasutra yang ditulis oleh Maharsi Badarayana. Dalam perkembangannya, kitab Wedantasutra ini mendapatkan komentar dari beberapa ahli yang kemudian menjadi pemimpin atau tokoh aliran Wedanta. Tokoh-tokoh itu antara lain, Sangkaracharya, Ramanuja, Madhwa, Wallabha, Nimbarka, dan banyak lagi yang lainnya. Semua tokoh ini memiliki cara pandang masing-masing sehingga aliran yang dilahirkan juga memiliki perbedaan-perbedaan yang sangat prinsipil (Chaterjee dan Datta, 1954).
 
Kehadiran golongan Wedantis telah menyebabkan pembaharuan besar dalam keagamaan Hindu di India pada zaman itu. Golongan ini membuat gerakan untuk mensistematisasikan ajaran agama Hindu, secara rasional dan radikal. Dengan demikian kitab suci Weda menjadi lebih mudah dipahami dan dapat diterima oleh masyarakat umum. Salah satu pelopor gerakan ini adalah seorang Brahmana asal Keladi Kerala, India Selatan yang bernama Sangkaracharya (788 M – 820 M). Dia memiliki kecerdasan yang luar biasa dalam bidang ajaran Saiwa Paksa. Sangkaracharya juga orang yang pintar dalam berdebat tentang filsafat dan ajaran-ajaran Weda. Malahan, diyakini bahwa Sangkaracharya sudah berhasil menguasai ajaran Catur Weda dan susastra-susastra Hindu lainnya, ketika masih berusia lima tahun. Kecerdasannya ini mampu mengatasi pemimpin-pemimpin suatu aliran dalam diskusi-diskusi spiritual. Ini menyebabkan Sangkaracharya memiliki pengikut yang luar biasa di India pada zaman itu.
 
Sangkaracharya juga berhasil memenangkan perdebatan dengan Bhiksu-bhiksu Buddha. Melalui penjelasan tentang agama Hindu yang lebih sederhana, rasional, dan filosofis, Sangkaracharya berhasil melenyapkan agama Buddha di India (Thapar, 1979). Sangkaracharya menjadi pelopor berdirinya aliran filsafat Adwaita atau monisme-absolut. Dia juga menentang sistem-sistem, ajaran-ajaran, dan filsafat ritual dan upacara yajna yang dilakukan oleh umat Hindu. Kemudian menggantikannya dengan ajaran Wedanta. Sangkaracharya juga, menentang Rsi Kumarila Bhatta dan Prabhakara yang mengajarkan ritual dan korban yajna. Sangkaracharya juga berhasil menghilangkan semua upacara yajna yang memakai Pancatattwa seperti yang dilakukan mazhab Tantrayana, yajna yang dilakukan oleh golongan Brahmana-Smarta untuk pemujaan pada Dewa Siwa, Dewi Shakti (Durga), dan lain-lain (Sharma, 2001). Pancatattwa adalah lima macam unsur persembahan yang terdiri atas: Mada (arak-brem), Matsya (ikan), Mamsa (daging), Mudra (biji-bijian dan buah-buahan), dan Maithuna (simbol seksualitas, di Bali diganti dengan porosan).
 
Dengan semakin berkembangnya ajaran Sangkaracharya maka pada zaman ini agama Hindu mengalami perpecahan untuk ketiga kalinya. Agama Hindu pecah menjadi dua golongan besar (Thapar, 1979), sebagai berikut. 
  1. Golongan Wedanta (Waidika-Dharma) yang dipimpin oleh Sangkaracharya dari mazhab Shaiwa dan Ramanuja dari mazhab Waisnawa. Golongan ini mendasarkan ajarannya kepada kitab Brahmasutra, Bhagawadgita, dan Upanisad (Wedanta). Ketiga kitab ini disebut Prasthanatraya (Klostermaier, 1988:107). Golongan ini disebut juga golongan rasionalis.
  2. Golongan Tantrayana (Tantrika-Dharma) atau golongan ritual yang dipimpin oleh Rsi Prabhakara, Rsi Madhana Misra, Rsi Kumarila Bhatta dari mazhab Saiwatantra dan Waisnawatantra. Golongan ini mendasarkan ajarannya pada upacara atau ritual yang filosofinya diambil dari kitab-kitab Brahmana, Mimamsasutra, dan kitab-kitab Tantra (Agama). Ajaran ini digunakan sebagai alat untuk melawan penganut agama Buddha dan juga untuk menghadapi golongan penganut ajaran Wedanta (Waidika-Dharma) atau golongan Wedantis (Kundra, 1968:220; Klostermaier, 1998:107). Golongan ini juga sering disebut golongan ortodoks.
Sejak zaman ini terjadilah pertentangan yang hebat antara golongan Wedanta (Waidika-Dharma) dengan golongan Tantrayana (Tantrika-Dharma), bahkan sampai sekarang. Namun demikian gerakan yang dilakukan oleh Sangkaracharya dan pengikut Wedantis lainnya, tampak begitu gencar untuk mereformasi agama Hindu. Ini menyebabkan ajaran Wedanta tampak begitu menonjol pada zaman ini sehingga para ahli sejarah menyebut zaman ini sebagai zaman Reformasi Hindu atau zaman Sangkaracharya (Kundra, 1968; Majumdar, 1998; Mahajan, 2001).
 
Mula-mula, gerakan reformasi yang dilakukan Sangkaracharya adalah menentang ajaran agama Buddha. Sangkaracharya mengalahkan para pemimpin dan penganut agama Buddha melalui perdebatan filsafat. Setelah itu, dia menarik kembali para pengikut agama Buddha tersebut untuk kembali ke agama Hindu. Sejak saat itu agama Buddha perlahan-lahan lenyap dari tanah kelahirannya, India. Sisanya yang kebanyakan adalah penganut agama Buddha Tantra (Wajrayana) lari menyelamatkan diri ke Tibet (Klostermaier, 1988).
 
Setelah Sangkaracharya mengalahkan agama Buddha maka mulailah ia melawan golongan penganut ajaran Saiwatantra di bawah pimpinan Kumarila Bhatta. Sangkaracharya ingin menghilangkan semua sistim ritual dan upacara yajna yang dilakukan oleh mazhab Saiwatantra dan Waisnawatantra, kemudian menggantinya dengan ajaran Wedanta, khususnya Adwaita wedanta. Ajaran filsafat Adwaita wedanta mengajarkan monisme-absolut. Sistem filsafat ini mengajarkan bahwa hanya ada satu Realitas Tertinggi, yaitu Brahman. Hanya Brahman yang nyata (sat), sedangkan yang lain adalah ilusi (maya) (Klostermaier, 1988).
 
Keberhasilan Sangkaracharya mengalahkan pemimpin-pemimpin agama Buddha dan rsi-rsi dari golongan Tantrayana menjadikannya sebagai pemimpin keagamaan yang sangat disegani di India. Selanjutnya, ia mengelompokkan semua mazhab dalam agama Hindu menjadi lima kelompok (Panca Paksa) yang disebut Pancopasana. Adapun lima macam keyakinan (Pancopasana) itu adalah Shaiwa Paksa, Waisnawa Paksa, Shakta Paksa, Ganapatya Paksa, dan Saura Paksa. Sementara itu, Sangkaracharya sendiri menjadi pemimpin mazhab Shiwa Wedanta. Untuk mengajarkan dan menyebarkan ajaran ini maka ia mendirikan lima pusat pendidikan (Pitha/Matha) di penjuru India. Kelima pusat pendidikan ini adalah Saradha-Pitha di Shringeri, India Selatan; Jyoti-Matha di Badrinath India Utara; Kalika-Pitha di Dwarka, India Barat; Wimala-Pitha di Puri, India Timur; dan Rameswaram di India Selatan. Pitha/Matha ini menjadi pusat untuk mempelajari dan menyebarkan ajaran Shiwa Wedanta dari India ke seluruh dunia sampai sekarang. Sampai sekarang, Pitha-pitha tersebut melanjutkan garis perguruan Sangkaracharya dan pemimpinnya juga dipanggil Sangkaracharya. Tujuannya untuk meneruskan dan menyebarluaskan ajaran Adwaita Wedanta (Mahajan, 2001).
 
Dalam kurun waktu berikutnya, ajaran Adwaita-wedanta yang diajarkan Sangkaracharya ditentang oleh pemimpin-pemimpin golongan Wedantis dari mazhab Waisnawa (Thapar, 1979). Penentangan ini dilakukan oleh Ramanuja. Ramanuja diperkirakan hidup pada tahun 1.050 Masehi – 1.137 Masehi. Ajaran-ajaran Ramanuja sesungguhnya juga berdasarkan pada ajaran filsafat Wedanta. Akan tetapi, ia adalah golongan Wedantis dari mazhab Waisnawa dan mengajarkan filsafat Wisistadwaita. Ramanuja menentang ajaran-ajaran dari golongan Saiwa dan filsafat Adwaita yang diajarkan oleh Sangkaracharya. Perbedaan prinsip dari kedua sistem filsafat ini adalah pandangannya tentang Brahman, jiwa, dan alam semesta. Menurut Ramanuja, alam semesta bersumber dari Brahman dan benar-benar nyata, bukan maya seperti pandangan Sangkaracarya. Alam semesta adalah prakrti yang mengalami perubahan secara nyata (parinamawada). Sebaliknya,  Sangkaracharya meyakini bahwa perubahan itu hanya ilusi atau kelihatannya saja berubah (wiwartawada), karena Brahman sebagai Realitas Tertinggi tidak pernah berubah (Chaterjee dan Datta, 1954; Hiriyana, 1978).  
 
Kemudian, filsafat Wisistadwaita juga ditentang oleh pemimpin golongan Waisnawa-Wedanta lainnya yang bernama Madhwa. Madhwa menyalahkan ajaran filsafat Ramanuja dan membangun sistem filsafat yang disebut Dwaita-wedanta. Menurut Madhwa, Realitas Tertinggi bukanlah Brahman yang nirguna (tanpa sifat), tetapi Tuhan yang Berpribadi dan memiliki sifat-sifat yang banyak sekali (saguna). Jnana (pengetahuan tentang sifat-sifat Tuhan) akan menuntun orang menuju bhakti. Melalui bhakti manusia akan mencapai tujuan akhir, yaitu melihat langsung Mahawisnu yang akan menuntun menuju moksa, kebahagiaan abadi (Chaterjee dan Datta, 1954; Hiriyana, 1978).
 
Filsafat Dwaita-wedanta ini juga ditentang oleh golongan mazhab Waisnawa-Wedanta lainnya, yaitu Nimbarka. Dia menyalahkan filsafat Dwaita dari Madhwa dan membangun ajaran filsafat yang disebut Dwaitadwaita. Nimbarka mengajarkan pentingnya penyerahan diri secara tulus ikhlas dan pemujaan kepada Krishna-Radha. Menurut ajaran dari mazhab Nimbarka, Krishna adalah Tuhan tertinggi dari alam semesta. Akhirnya, Walabha seorang dari golongan Waisnawa Wedanta tidak mau menerima ajaran filsafat dari Nimbarka dan membangun ajaran filsafat yang lain disebut Suddhadwaita. Walabha mengajarkan penebusan dosa, tapa-brata yang sangat keras, meninggalkan keduniawian, dan penyatuan yang sempurna antara Atman dengan Paramatman. Di samping itu, ia juga mengajarkan bhakti secara tulus ikhlas kepada Krishna dengan menyerahkan segalanya (badan, pikiran, dan kekayaan) pada Krishna.
 
Dengan demikian terjadilah perbedaan pendapat mengenai prinsip-prinsip filsafat dan perpecahan pun terjadi dalam golongan Waisnawa-Wedanta. Masing-masing golongan ini membangun garis perguruan yang disebut Sampradaya, dan  memuja Krishna sebagai Tuhan. Mazhab Waishnawa-Wedanta memiliki empat Sampradaya, yaitu Sampradaya Shri-Waishnawa (mengikuti ajaran filsafat dari Rsi Waishnawa Ramanuja), Sampradaya Brahma (mengikuti ajaran filsafat Rsi Waishnawa Madhwa), Sampradaya Kumara (mengikuti ajaran filsafat dari Rsi Waishnawa Nimbarka) dan Sampradaya Rudra (mengikuti filsafat dari Rsi Waishnawa Wallabha) (Klostermaier, 1988).
 
Sementara itu, ajaran Tantrayana yang telah begitu kuat mempengaruhi mazhab Waishnawa, Shiwa, dan Buddha, akhirnya juga sedikit terpengaruh oleh ajaran Wedanta (Thapar, 1979:261). Mazhab Shaiwa yang kena pengaruh ajaran Tantrayana (Shaiwatantra atau Shaiwagama), juga mendasarkan ajaran filsafatnya pada filsafat Adwaita (monisme-absolut). Dengan persatuan kedua ajaran ini maka muncullah beberapa variasi filsafat Shaiwa-Siddhanta, antara lain: Saiwa-Siddhanta dari Tamil (India Selatan); Shaiwa-Siddhanta dari Deccan dan Maysor (disebut Wira-Shaiwa); Shaiwa-Siddhanta dari Kashmir (India Uttara) (Singh, 1991). Demikian juga dengan Shaiwa-Siddhanta dari Indonesia (Bali) juga menjadi varian dari perkembangan filsafat ini. Semua cabang dari ajaran Shaiwa ini mengakui kesucian kitab suci Weda dan meyakini tidak ada yang lebih tinggi dari Weda. Dari ajaran filsafat Siddhanta ini kemudian, munculah ajaran Shaiwa-Bhairawa.
 
Berdasarkan uraian di atas maka ciri-ciri terpenting dari zaman Reformasi Hindu atau zaman Sangkaracharya adalah sebagai berikut.
  1. Munculnya kelompok Wedanta yang mendasarkan diri pada Prasthana Traya (Brahmasutra, Bhagavadgita, dan Upanisad/Wedanta). Ini merupakan sistem filsafat Wedanta baru (New System of Vedanta) karena sebelumnya Wedanta hanya mendasarkan diri pada kitab-kitab Upanisad.
  2. Munculnya perselisihan antara aliran filsafat, baik antara Mimamsa dengan Wedanta, maupun dalam aliran Wedanta itu sendiri.
  3. Munculnya Sampradaya Waisnawa.


G. Zaman Gerakan Bhakti (Bhakti Movement) (1.200 M – 1.800 M)

Sejak tarikh awal masehi, India sudah dikunjungi oleh orang-orang asing yang beragama non-Hindu. Orang-orang Kristen sudah memasuki India sejak abad pertama masehi dan aktif menyebarkan agamanya. Kemudian, disusul dengan kedatangan orang-orang Islam. Sejak abad ke-8 Masehi, India sudah mulai ramai dikunjungi pedagang-pedagang dari Arab. Secara bergelombang, mereka masuk dari pantai Malabar wilayah kerajaan Chera (di India Selatan bagian barat). Orang-orang Arab itu mulai bertempat tinggal dan menetap di daerah-daerah pantai India Selatan. Mereka sangat disenangi oleh raja-raja Hindu di India Selatan karena mereka bertingkah laku ramah, baik, dan sopan. Oleh karena itu, banyak pedagang-pedagang dari Arab yang diberikan tanah-tanah kosong untuk tempat mereka berdagang. Selain berdagang, mereka juga diperkenankan untuk menjalankan ibadan agama mereka, yakni Islam. Pada waktu itu, orang-orang Arab tidak aktif menyebarkan agama Islam sehingga mereka hidup aman dan damai dengan penduduk Hindu di sana (Thapar, 1979).
 
Berbeda dengan masuknya orang-orang Islam ke India Selatan, orang-orang Islam ternyata juga melakukan penyerangan ke India Barat. Pada tahun 712 M, seorang keturunan Arab dari Irak yang bernama Muhammad Bin Qasim menyerbu daerah Sind di India Barat. Dengan kekuatan 6.000 tentara, 4.000 pasukan unta, dan 100 tentara cadangan, mereka berhasil menguasai daerah Sind dan meng-Islam-kan penduduk di sana . Kemudian, dari tahun 1.000 M sampai 1.026 M, Sultan Mahmud Gazni dan tentara dari Turki menyerbu India sebanyak 18 kali. Mereka menghancurkan kuil-kuil, merampas kekayaan kuil, dan menghancurkan kuil Krishna di Mathura. Selanjutnya, dari tahun 1.175 M – 1.205 M, Muhammad Ghori dari Afganistan menyerang India dan mendirikan pusat pemerintahan di Delhi.
 
Selama pemerintahan sultan-sultan Islam, India mengalami masa paling suram pada masa pemerintahan Sultan Aurangzeb (1.658 M – 1.707 M). Pada masa pemerintahannya, orang-orang Hindu di India dijadikan budak karena dianggap berdosa memberikan kedudukan yang sama antara orang Hindu dengan orang Islam. Agar kedudukan keduanya sama maka India harus dijadikan negara Islam. Untuk mempercepat proses peng-Islam-an India, maka Aurangzeb melakukan gerakan politik diskriminatif dan intoleran. Orang-orang Islam dilarang menggunakan nama-nama dan istilah-istilah Hindu; perayaan hari raya Hindu dilarang; umat Hindu dilarang membangun kuil baru; kuil-kuil baru dihancurkan; memerintahkan menghancurkan kuil-kuil besar seperti, Mathura, Jagatnath, dan diganti dengan Masjid; ribuan kuil Hindu dihancurkan terutama yang berada di kota-kota suci, seperti Haridwar, Badrinath, Benares, dan Mathura; ketika melakukan perjalanan kenegaraan maka seluruh kuil yang dilewati harus dihancurkan; umat Hindu harus membayar pajak jika mengunjungi tempat-tempat suci (tirthayatra); anti kaum Brahmana karena sering melawan sultan; melarang umat Hindu membuang abu jenazah di sungai-sungai besar; orang Islam bebas bayar pajak; orang Hindu juga dibebaskan bayar pajak, jika mau masuk Islam. Akibat kebijakan politik Aurangzeb inilah, hampir seluruh kuil kuno di India sudah dihancurkan sehingga kuil-kuil yang ada sekarang adalah kuil yang baru dibangun belakangan.
 
Penjajahan sultan-sultan Islam di India baru berakhir pada akhir abad ke-19 masehi (Kundra, 1968). Dengan dikuasai dan dijajahnya India oleh sultan-sultan Islam hampir seribu tahun lamanya, sehingga mengakibatkan perubahan yang signifikan dalam perkembangan agama dan kebudayaan Hindu di India. Banyak orang Hindu yang masuk Islam untuk menghindari pembayaran jizyah (pajak) yang berat dan agar mendapatkan pekerjaan. Perempuan Hindu juga ikut-ikutan menjalankan sistem jilbab (kerudung). Budaya ini masih dapat ditemukan sampai sekarang, yakni wanita India yang memakai sati (kerudung India). Kemudian juga, mulai terjadi perkawinan usia dini di kalangan masyarakat Hindu. Orang-orang Hindu menggunakan bahasa Hindi, sedangkan orang Islam menggunakan bahasa Urdu dan Parsi. Dalam bidang seni dan arsitektur juga muncul perpaduan Hindu-Islam yang disebut Indo-Sarasenic atau Indo-Islam.
 
Dalam bidang keagamaan, prinsip-prinsip dan ide-ide dari ajaran Islam begitu kuat mempengaruhi pemimpin-pemimpin Hindu, baik secara langsung maupun tidak. Ide-ide ajaran Islam mendorong tumbuhnya gerakan liberal dari pemimpin-pemimpin dan para rsi yang beragama Hindu. Gerakan keagamaan Hindu terutama adalah munculnya ajaran-ajaran yang sederhana, seperti ajaran tentang monoteisme (percaya kepada satu Tuhan), anti terhadap penyembahan patung, dan semua orang adalah saudara dengan hak-hak yang sama (manusa pada) (Mahajan, 2001). Di samping itu, ajaran-ajaran dan ide-ide dari golongan sufi juga mempengaruhi agama Hindu. Kebanyakan penganut ajaran-ajaran Sufi ini hidup dengan jalan mengasingkan diri, mengabdikan diri, dan mempersiapkan diri mereka untuk merealisasikan Tuhan dengan jalan Samadhi (Kundra, 1968; Mahajan, 2001).
 
Meskipun demikian, tidak seluruhnya dari ide-ide dan ajaran-ajaran agama Islam diterima oleh pemimpin Hindu. Ajaran yang diterima, utamanya adalah prinsip-prinsip demokrasi dari ajaran Islam yang diterapkan dalam kehidupan sosial dan sistem agama Hindu. Prinsip penting lainnya adalah ajaran Islam yang sangat sederhana, mudah dimengerti dan dilaksanakan oleh masyarakat banyak. Hal ini sangat mempengaruhi pemikiran pemimpin Hindu untuk diterapkan dalam agama Hindu. Ciri agama yang demokratis dalam Hindu ditandai dengan munculnya gerakan menentang sistem kasta dan ajaran mengenai manusa pada, yaitu manusia sama kedudukannya di hadapan Tuhan. Sementara itu, ciri ajaran agama Hindu yang sederhana dan mudah dilaksanakan adalah percaya satu Tuhan (monoteisme), tidak menyembah patung, dan mengutamakan bhakti sehingga upacara-upacara yajna yang rumit tidak dilakukan lagi.
 
Pengaruh Islam lainnya adalah ajaran yang dianut oleh golongan sufi (penganut mistisisme Islam). Golongan sufi menekankan kepasrahan yang total kepada Tuhan. Penyerahan diri secara tulus ikhlas inilah yang disebut bhakti. Bhakti yang sesungguhnya adalah kerelaan untuk mengabdikan diri sepenuhnya kepada Tuhan. Ini dilakukan dengan menyebut berulang-ulang nama Tuhan (dzikir) dan tafakur (meditasi). Untuk melakukan ini semua diperlukan tuntunan dari seorang guru. Sufi adalah ajaran melihat ke dalam diri (self-realization) sehingga ia menolak pengikatan pada dogma agama secara berlebihan (Zaechner, 1994).
 
Ajaran sufi ini begitu kuat pengaruhnya terhadap ajaran bhakti yang muncul pada zaman ini. Pada kelompok Waisnawa utamanya, prinsip Tuhan monoteis diterima sebagai Tuhan yang Berpribadi, yaitu Krishna. Bhakti mendalam kepada Krishna diwujudkan dengan menyebut nama-Nya berulang-ulang (kirtanam). Demikian juga dengan mempersembahkan pikiran, perbuatan, dan kekayaan kepada Krishna. Kedudukan seorang Guru, Swami, atau Baba juga sangat penting untuk menggantikan pendeta, sekaligus sebagai penghubung manusia dengan Krishna. Kelompok ini menolak kewajiban beryajna atau kurban persembahan karena dianggap sebagai tradisi agama yang palsu. Mereka juga mengutuk ajaran thirta yatra karena Tuhan dapat dicari dalam diri (Macmillan (ed), 2001).
 
India pada zaman ini ditandai dengan tumbuhnya berbagai mazhab baru dalam agama  Hindu, terutama dari golongan Waisnawa-wedanta yang melakukan gerakan bhakti. Gerakan Bhakti (Bhakti Movement) umumnya dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu: pertama, gerakan yang mendasarkan ajaran pada agama  dan sosial misalnya, gerakan yang dipimpin oleh Guru Nanak, Kabir, dan lain-lain; dan kedua, adalah gerakan yang semata-mata hanya berdasarkan pada ajaran agama seperti yang dipimpin oleh Ramananda, Nimbarka, Wallabha, Chaitanya, Tulsidas dan lain-lain (Mahajan, 2001). Gerakan Bhakti (bhakti movement) yang muncul pada zaman ini menekankan ajaran mereka pada kesamaan hak dan kedudukan dalam masyarakat (manusa pada) dan memegang teguh keyakinan bahwa martabat manusia tergantung pada tindakan mereka, bukan karena kelahirannya (Macmillan (ed), 2001).
 
Guru Nanak adalah salah satu pelopor Gerakan Bhakti (Bhakti Movement) yang bergerak dalam bidang agama dan sosial. Guru Nanak adalah seorang reformis dari mazhab Waisnawa. Ia mengajarkan ajaran Waisnawa yang bebas dari praktek penyembahan patung, bebas dari kasta, dan bebas dari segala takhayul. Guru Nanak mendirikan agama Sikh yang bertujuan untuk mempersatukan ajaran Islam dengan ajaran Hindu, sekaligus untuk mempersatukan kedua umat beragama itu (Mahajan, 2001). Reformis terkenal lainnya adalah Kabir. Ia mengajarkan ajaran agama berdasarkan cinta kasih dengan tujuan untuk mengembangkan persatuan antara semua kasta dan agama. Ia menentang praktik penyembahan patung, upacara agama dan yajna (kurban suci), dan menekankan ajaran kesamaan hak di antara manusia (manusapada) (Macmillan (ed), 2001).
 
Gerakan Bhakti yang hanya bergerak dalam bidang agama terutama dilakukan oleh golongan Waisnawa-wedanta. Salah satu pemimpinnya yang paling terkenal adalah Chaitanya. Chaitanya menyebarkan ajaran cinta kasih dari Krishna bersama dua orang muridnya, yaitu Nityananda dan Adwaitananda. Ajarannya adalah menyembah Krishna dan semua Awatara-nya. Bhakti mendalam kepada Krishna diwujudkan dengan menyerahkan badan, pikiran, dan kekayaan secara tulus kepada Krishna. Golongan ini meyakini Bhagawad Gita dan Srimad Bhagawata Puranam sebagai kitab suci. Keadaan moksa (sorga) menurut Chaitanya adalah berada dekat dengan Krishna di alam rohani yang disebut Waikuntha. Sorga ini dapat dicapai hanya melalui bhakti, yaitu menyebut nama Krishna terus-menerus (Kirtanam), serta menyanyikan dan menarikan rohani (Sangkirtan). Setelah meninggal, Chaitanya dipuja sebagai Awatara dari Krishna, sedangkan kedua muridnya dianggap sebagai Angsa-awatara dari Krishna. Ketiganya diakui sebagai Tritunggal. Chaitanya disebut juga Mahaprabhu, sedangkan guru-guru yang masih hidup dan meneruskan ajaran-ajarannya diberi gelar Goswami, Prabhu, atau Acharya. Mereka berkedudukan tinggi dalam mazhab Chaitanya, bahkan dianggap sedikit lebih rendah dari para dewa. Mereka dipuja sebagai Guru karena mereka adalah perantara antara manusia dan Krishna (Mahajan,2001).
 
Gerakan Bhakti juga dilakukan oleh golongan Waishnawa-wedanta lainnya yang dipelopori oleh Tulsi Das. Tulsi Das adalah pendiri dari mazhab penyembah Rama. Ia menulis kitab suci untuk mazhabnya yang disebut Ramayana Tulsi Das. Kitab ini menggunakan bahasa Hindi (bahasa nasional India sekarang). Tulsi Das mengajarkan bahwa Rama adalah Tuhan yang tertinggi. Rama adalah Tuhan pencipta alam semesta dan juga memelihara alam semesta ini. Untuk menyelamatkan pengikutnya ia menjelma (awatara) sebagai Rama (Mahajan, 2001).
 
Selain  mazhab Waishnawa-wedanta, kemudian muncul juga mazhab yang disebut Gaudiya Waishnawa-wedanta. Menurut mazhab ini, Krisna adalah Tuhan Tertinggi. Mazhab ini meyakini bahwa Krishna muncul sebagai Brahma untuk menciptakan alam semesta. Kemudian, Krishna mengajarkan ajaran-ajarannya kepada Narada. Narada mengajarkan pada Byasa mengenai kitab suci Catur Weda. Kemudian kitab suci ini diajarkan kepada Rsi Madhwa. Mazhab Gaudiya Waisnawa ini akan dilanjutkan oleh Thakur Bhakti Vinobha yang mendirikan Gaudiya Waishnawa Mission yang melanjutkan ajaran dari Chaitanya Mahaprabhu. Murid yang terkenal dari Thakur Bhakti Vinobha adalah Swami Bhakti Siddhanta yang juga adalah guru dari Swami Prabhupada Bhaktivedanta. Swami Prabhupada kemudian mendirikan Kesadaran Krishna (ISKCON) di New York, Amerika Serikat. Mazab ini dari Amerika menyebar ke seluruh dunia termasuk ke India dan ke Indonesia.

 
H. Gerakan Hindu Moderen (Neo Hinduism) (1.800 Masehi - Sampai sekarang)

Dengan  datangnya  orang-orang Inggris yang menaklukkan India (1754 Masehi - 1850 Masehi) maka India menjadi jajahan Inggris sampai tahun 1947. Melalui penjajahan ini mereka juga membawa dan menyebarkan agama Kristen di India. Disamping itu mereka juga membawa kebudayaan Barat dan misionaris ditugasnya sengaja untuk menyebarkan agama Kristen, mengkristenkan orang-orang Hindu. Hal ini merupakan tantangan yang sangat berat bagi agama dan kebudayaan Hindu.
 
Antara tahun 1850-1950, golongan cerdik cendekiawan dan sarjana-sarjana Hindu yang telah menyelesaikan  studinya di luar negeri  terutama  yang belajar di Inggris dan negara-negara Eropa  mulai melakukan reformasi dan penyusunan kembali agama Hindu. Mereka ingin memberikan pengertian yang benar dan sejati mengenai agama Hindu, dengan jalan berusaha untuk menafsirkan  secara baru dan modern agama Hindu itu berdasarkan logika yang bersifat rasionalis;  mengajarkan prinsip-prinsip dan dasar-dasar agama Hindu yang praktis dan modern; sekaligus membangun kehidupan masyarakat sosial sesuai dengan zaman modern ini. Dengan pandangan mereka yang rasional itu mereka membuat berbagai gerakan-gerakan (movements). Gerakan dari golongan rasional  ini muncul secara serentak di India terutama di Kholkata,  yang merupakan gerakan yang radikal dengan merombak agama Hindu sedemikian rupa dan kemudian memasukan ajaran yang baik dari agama Kristen, Islam dan lain-lain  ke dalam tubuh agama Hindu  sehingga agama Hindu menjadi lebih modern dan maju.
 
Gerakan  reformasi  dari  Gerakan  Hindu  Moderen  (Neo-Hinduism) ini dapat digolongkan menjadi dua yakni :

1.  Gerakan reformasi yang membuat pembaharuan dalam tubuh agama Hindu. Pemimpin Gerakan Reformasi yang terkenal adalah Raja Rammohan Roy, Mahatma Gandhi, Dewendranath Tagore dan lain-lain.

2.  Gerakan Revivalist (kebangkitan kembali agama Hindu). Pemimpin-pemimpin Gerakan Revitalist ini adalah Swami Dayanand Saraswati dengan Arya Samaj-nya, Ramakrishna Paramangsa dengan Ramakrisna Mission-nya dan lain-lain.

Gerakan Hindu Moderen (Neo Hinduism) itu pula dapat dibagi menjadi dua yakni gerakan yang muncul sebelum India merdeka dan Gerakan Hindu Moderen yang muncul setelah India merdeka. Gerakan Hindu Moderen umumnya mengajarkan agama yang bersifat Universal (Universal Teaching) yang umumnya ajaran agama yang diajarkan mereka dikenal dengan nama agama Universal (Universal Religion) atau Spiritual Universal. Agama Universal adalah suatu agama yang mengasimilasikan dasar-dasar pokok dari semua  agama (Islam, Kristen, Hindu dan lain-lain) ke dalam pandangan dan perspektif yang lebih luas dan menerima dasar pokok yang bersifat umum yang tidak akan menyakiti sentimen dari agama tertentu. Idenya untuk memiliki keadaan harmonis diantara semua agama di dunia dan juga untuk memiliki keharmonisan yang sempurna.
 
Umumnya golongan Rasionalis yang membuat Gerakan Hindu Moderen itu menyatakan bahwa Hinduisme adalah  a way of life  bukan berarti agama dalam pengertian yang sebenarnya, dan bukan pula suatu sistem yang semata-mata bersifat dogma-dogma. Gerakan Hindu moderen dipelopori untuk pertama kali di India oleh Raja Ram Mohan Roy. Gerakan yang didirikannya  merupakan gerakan perintis dalam pelaksanaan reformasi agama Hindu. Gerakan Hindu Modern berpandangan bahwa agama Hindu harus direformasi apabila ingin menghadapi penyerangan agresif dari agama-agama lain. Gerakan Hindu modern umumnya mengambil suatu tindakan yang mendasarkan ajaran-ajaran mereka dengan :

1.  Tidak menerima upacara adat agama Hindu
2.  Menolak semua pelaksanaan agama Hindu yang tidak bersifat logis, seperti tahayul, magic dan lain-lain.
3.  Tidak mau menerima adat istiadat yang kaku yang tidak masuk akal di kalangan umat Hindu.
4.  Menolak semua ajaran-ajaran para pendeta yang tidak masuk akal.

Mengenai tradisi kuno dan adat istiadat, Gerakan Hindu moderen berpendapat bahwa “menerima dan menjalankan adat-adat tradisi kuno merupakan suatu kesalahan besar; kata pemimpin dari gerakan Brahmo Samaj. Tradisi  itu harus diterima dan dijalankan hanya berdasarkan nilai-nilai sosial dan spiritual. Demikian pula tradisi dan kepercayaan agama Hindu itu harus diuji dan dilaksanakan berdasarkan dasar rasionalisme. Selain dari itu Raja Ram Mohan Roy, pemimpin Gerakan Hindu Modern yang disebut Brahmo Samaj itu mendasarkan ajaran-ajarannya pada  sinthesis dari ajaran Wedanta (Upanishad)  dengan ajaran Islam, Kristen dan pemikiran liberal dari orang Eropa  yang moderen, dan menentang pemujaan patung.

Selain dari Raja Ram Mohan Roy, pemimpin Gerakan Hindu Modern yang lain yang sangat terkenal adalah Mahatma Gandhi, umumnya disebut Gandhian. Mahatma Gandhi         mengatakan  “What we see today is not pure Hinduism” artinya “apa yang kita lihat sekarang adalah bukan Hinduisme yang murni”. Mahatma Gandhi menginginkan “Purified Hinduism”, yaitu Hinduisme yang dimurnikan.  Menurut Mahatma Gandhi, Weda, Upanishad, Itihasa, dan Purana-purana harus diintepretasikan secara rasional.

Pemimpin Gerakan Revivalist dari Gerakan Hindu Modern yang terkenal adalah Swami Dayananda Saraswati. Ia mendirikan suatu gerakan yang disebut dengan nama Arya Samaj. Ia yakin akan kebenaran dari Weda. Ia melakukan paraphrased dan mengomentari kitab suci Weda  secara keseluruhan  berbeda  sama sekali dengan komentar dari golongan tradisi (Smarta) maupun dengan golongan sarjana Indologi baik dari India maupun dari Eropa.Swami Dayananda Saraswati mengatakan bahwa setiap orang berhak untuk membaca kitab suci Weda. Ia menekankan ajaran-ajarannya, yaitu:
  1. Menentang penyembahan patung;
  2. Menolak adanya Awatara;
  3. Menolak kepercayaan kepada tahayul dan kekuatan gaib;
  4. Menentang kebohongan dari kitab Smrti termasuk kitab Itihasa dan Purana;]
  5. Menentang adanya kasta;
  6. Menentang pelaksanaan yajna (korban binatang);
  7. Menentang pemujaan dan upacara untuk leluhur;
  8. Menentang melakukan Tirthayatra;
  9. Mengakui setiap orang, dari kasta apa pun bisa menjadi pendeta;
  10. Menentang membuat  dan mempersembahan/sesajen;
  11. Menentang pembuatan kuil-kuil.
Pemimpin dari Gerakan Arya Samaj ini mengatakan bahwa untuk membersihkan agama Hindu dari semua tahayul  dan untuk mendapatkan kebenaran sejati hanya dapat dicapai dengan “kembali ke Weda” (go back to Veda). Ia juga mengatakan bahwa setiap orang, baik yang berkasta tinggi ataupun rendah memiliki hak yang sama untuk membaca Weda. Semboyan ini sangat terkenal yang diucapkan oleh pengikut-pengikut Arya Samaj yang didirikan oleh Swami Dayanand Saraswati .
 
Pemimpin lain yang terkenal dari Gerakan Revivalist dari Gerakan Hindu Moderen adalah Ramakrishna Paramangsha, guru dari Swami Wiwekananda. Ramakrishna Mission kemudian didirikan oleh Swami Wiwekananda untuk menghormati dan menyebarkan ajaran-ajaran  gurunya. Tidak seperti halnya dengan gerakan-gerakan Reformis  yang lain dari Gerakan Hindu Modern yang muncul berdasarkan pemikiran  para sarjana yang berpendidikan Barat, namun Rama Krishna adalah salah seorang revivalis yang muncul dari pemikiran secara tradisi dengan mencampur ajarannya dengan ajaran Islam, Kristen dan lain-lain14. Ia mendasarkan ajarannya sedemikian rupa karena ia menyadari bahwa semua agama memiliki tujuan yang sama. Menurut dia kepercayaan pada agama adalah nomor dua sedangkan yang terpenting adalah setiap orang akan menjadi suci apabila orang mempersembahkan dirinya sendiri kepada Tuhan berdasarkan cinta kasih dan melayani tetangganya dengan penuh   kasih sayang. Apabila hal ini dilakukan maka orang tidak perlu untuk merubah agama ke agama lain. Persatuan dengan Tuhan harus dicari oleh penganut Kristen menurut ajaran Kristen. Demikian pula tafakur pada Tuhan harus dicari oleh orang Islam menurut agama dan kepercayaannya. Sedangkan untuk orang Hindu ia harus mencarinya menurut agama Hindu untuk dapat bersatu dengan Tuhan.
 
Gerakan Theosophy memberikan spirit yang  sangat besar sekali pada kebangkitan kembali dari agama Hindu. Hal ini sangat dirasakan oleh pemimpin agama Hindu dan menyebarkannya secara luas, terutama pada pasca India  merdeka. Dengan ini, maka mulailah banyak timbul orang suci, swami, baba dan lain-lain  untuk mendirikan suatu organisasi, menyebarkan agama Hindu moderen dalam  wujud baru yang lebih segar dan berpandangan jauh yang berbeda dari apa yang disebut dengan agama Hindu Orthodoks (kuno). Mereka membuat berbagai asram untuk menyebarkan ajaran dan idenya  dengan menafsirkan ajaran agama Hindu yang berdasarkan tafsiran mereka itu sendiri dan dengan mengolahnya dengan pandangan, cara dan pola berfikir Barat dan juga menurut pandangan Islam dan Kristen.
 
Oleh karena agama Hindu umumnya tidak memiliki pusat agama (central religius authority) walaupun telah ada pusat kekuasaan mazab Saiwa yang didirikan oleh Sangkaracharya, namun ditentang dan tidak diakui oleh mazab Waisnawa atau mazab lain dari agama Hindu. Sedangkan Wishwa Hindu Parishad baru  saja (tahun 1964) didirikan untuk menghadapi agama lain, dan juga tantangan dari science dan teknologi Barat. Dengan timbulnya Gerakan Hindu Modern, hal ini merupakan cambuk dan senjata yang ampuh. Mereka mulai mendirikan organisasi baru dengan ashramnya  dengan menyebarkan ajarannya berdasarkan ajaran modern dan berdasarkan pemikiran agama berdasarkan tafsiran mereka masing-masing dan dengan kepercayaan dan kebenaran dari mereka sendiri. Ajarannya disebarkan ke seluruh dunia.
 
Ajaran mereka itu ada yang hanya memakai Weda saja ada yang menekankan pada kitab Upanishad dan Wedanta ada pula yang mendasarkan ajaran mereka hanya pada kitab Purana dan Itihasa. Hal ini menyebabkan munculnya berpuluh-puluh orang suci, swami, baba dan lain-lain  yang menyatakan bahwa ajaran mereka adalah yang paling benar sedangkan ajaran yang bermazab Hindu yang lain salah.
 
Ajaran-ajaran agama yang muncul setelah India merdeka adalah Sai Baba, Ananda Marga, Brahma Kumari, Babaji, Radhaswami Satsang, Mataji Shri Nirmala Devi, Shri Ravi Shankar, Swami Dhananjoy Des Kathia Babaji, Mata Amritanandamayi Devi, Sadnguru Jaggi Vasudev, Bhagwan Rajneesh, Swami Chinmananda , Babaji Haidakhana dengan Chinmaya-mission dan lain-lain yang ratusan jumlahnya  yang muncul kemudian tersebar keseluruh dunia. Prof. Dr. Rao mengatakan bahwa sekarang, dari semua Gerakan Pembaharuan (Reform Movement) yang tersebut di atas beberapa dari mereka ini ada yang masih berfungsi setelah India merdeka, namun kekuatan, kegiatan dan tenaganya sudah mulai berkurang dan tidak seperti dahulu ketika dirintisnya.

(Sumber: Prof. D.Litt. Dr. I Gusti Putu Phalgunadhi, MA)
 
Banerjee, S.C., A Brief History of Tantra Literature, Calcutta, 1988.
Bhattacharya, Jogindra Nath. Hindu Caste and Sects.
Chattopadhyaya, Evolution of Hindu Sects, New Delhi, 2000
Chandra, Tara, History of the Freedom Movement in India.
Dutt, Manmatha Nath, Mahanirwana Tantra, Waranasi, 1979.
Dutt, Bhupendra Nath, Dialectics of Hindu Ritualism, Calcutta, 1950.
Bhattacharya, N.N., Medieval Bhakti Movement in India,
Griswold, H.D., The Religion of the Rigveda, Delhi, 1999.
Grover, B.L., A New Look at Modern India History, Delhi, 1998
Jagannath & Vishvanath, Golden History of India, Jalandhar, 1994.
Gupta, Sanjukta, Laksmi Tantra, A Pancaratra Text, Delhi, 1972.
Griffith, Ralph T.H., Hymns of the Rgveda, Vol. I & Vol. II, New Delhi, 1999.
------------ Hymns of the Samaveda, Delhi, 1996
------------ The Texts of the White Yajurveda or vajasaneya - Samhita, Delhi, 1987
------------ Hymns of the Atharvaveda, Vol. I & Vol. II New Delhi, 1985.
Luniya, B.N. , Evolution of Indian Culture, Agra, 2002
Kundra, D.N., A New Text Book of History of India, Delhi, 1968
Kundra, Ravinder Nath, History of Ancient and Medieval India, Delhi.
Narang, Kripal Singh, Hinduism, Patiala, 1969.
Khanna, K.C., India, Ancient and Medieval, New Delhi, 1976.
Klostermaier, Klaus K., A Survey of Hinduism, Delhi, 1990 A Short Introduction to Hinduism, Oxford, 1988.
Macmillan, An Advanced History of India, New Delhi, 2001.
Mahajan, V.D., Ancient India, New Delhi, 1960.
------------ History of Medieval India, New Delhi, 2001.
------------ Modern India History, New Delhi, 2000.
Majumdar, R.C., Ancient India, Delhi, 1998.
Philipps, Maurice, The Evoluation of Hinduism, New Delhi, 1993.
Rajeev, Rajendra Kumar, World-Famouse Religions and Sects, Delhi, 1990.
Rao, S.K. Ramachandra, Agama-Kosha, Banglore, 1990.
Mani, Vettam, Puranic Encyclopedia, Madras, 1984.
Jha, D.N., Ancient India, New Delhi, 2002.
Sharma, Ram Sharan, Sudras in Ancient India, New Delhi, 1980.
Dharma, L.P., History of Ancient India, Delhi, 2001.
------------ History of Modern India, Delhi, 2002.
Shastri, Acharya Jagadishwar, Brahmandapuranam, Patna, 1973.
Singh, Jaidev, Shiwa Sutras, Delhi, 1991.
Sinha, B.C. Glorious Art of The Sunga Age, Delhi, 1985.
Sullivan, Bruce M., Seer of the Fifth Veda, Delhi, 1999.
Renou, Louis, Religions of Ancient India, New Delhi, 1972.
Schomerus, H.W., Saiva Siddhanta, Delhi, 2000.       
Swami Dayanand  Sarasvati by Sri Aurobindo.
The Devine Life and Masage of Sri Sathya Sai Baba.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar