PASRAMAN APA KABAR?
Nanang Sutrisno
Marjinalisasi pendidikan Hindu sebenarnya bukanlah isu baru,
walaupun tetap seksis untuk dibicarakan. Minoritisasi secara struktural oleh
kelompok dominan diperparah dengan lemahnya agensi umat Hindu dalam memperjuangkan
akses pendidikan agama dan keagamaan. Minimnya pengangkatan guru agama Hindu,
baik oleh Kementerian Agama maupun pemerintah daerah dapat dipandang sebagai
upaya terstruktur untuk melemahkan posisi umat Hindu pada ranah pendidikan
formal. Padahal dalam satu dasa warsa ke depan, banyak guru agama Hindu yang
akan memasuki masa pensiun.
Kondisi tersebut mengisyaratkan bahwa kelangkaan guru agama
Hindu menjadi bayang-bayang suram pendidikan Hindu pada masa yang akan datang.
Tantangan ini akan terasa lebih berat terutama bagi minoritas Hindu di luar
Bali. Mengingat pendidikan agama Hindu di luar Bali berimplikasi luas terhadap
munculnya persoalan-persoalan yang bersifat krusial, seperti konversi agama.
Kelangkaan atau bahkan ‘ketiadaan’ guru agama Hindu di sekolah-sekolah formal kerap
dijadikan senjata ampuh oleh kelompok mayoritas untuk mengkonversi siswa yang
beragama Hindu. Seorang siswa yang semula beragama Hindu dapat beralih ke agama
lain hanya karena alasan pragmatis, yakni mendapatkan pendidikan agama. Ditambah lagi dengan jumlah siswa beragama Hindu yang relatif
kecil, juga dapat membangun struktur psikis minoritas dalam pergaulan lintas
agama.
UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 senyatanya
telah menyediakan payung hukum yang jelas dan tegas agar tidak terjadi
diskriminasi pendidikan agama di sekolah. Hal ini dapat dibaca pada Pasal 12
ayat 1 (a) yang menyebutkan bahwa setiap peserta didik pada setiap satuan
pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang
dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama. Namun dalam praktik,
implementasi undang-undang tersebut masih jauh panggang dari api. Nyatanya,
masih banyak siswa beragama Hindu yang tidak mendapatkan pendidikan agama Hindu
di sekolah, bahkan sampai tamat. Kondisi tersebut mengisyaratkan bahwa umat
Hindu tidak boleh hanya menunggu itikad baik pemerintah untuk mendapatkan
hak-hak pendidikan agamanya. Terlebih lagi dengan sistem otonomi daerah yang
membuka ruang terjadinya praktik-praktik peminggiran minoritas melalui
kebijakan politik lokal.
Menyikapi realitas tersebut, peluang
paling niscaya yang dapat dioptimalkan umat Hindu adalah penguatan basis
pendidikan Hindu pada gatra informal dan nonformal. Dalam hal ini, revitalisasi
peran serta optimalisasi fungsi keluarga dan pasraman mendapatkan makna pentingnya dalam menata pendidikan
Hindu. Keluarga dengan peran domestiknya diharapkan dapat menjadi benteng
pertama dan utama dalam penanaman sraddha
– bhakti. Sebaliknya, pasraman diharapkan dapat mengambil
peran yang lebih luas dalam konteks pendidikan agama dan keagamaan sekaligus.
Sekilas mengenai pengertian pendidikan agama
dan keagamaan dapat dirujuk dalam PP No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama
dan Keagamaan. Pendidikan agama adalah pendidikan yang diselenggarakan secara
formal sesuai dengan format kurikulum pendidikan agama yang berlaku. Sementara
itu, pendidikan keagamaan adalah pendidikan agama yang tumbuh dari inisiatif
masyarakat.
Dalam konteks pendidikan agama, selama ini pasraman telah menunjukkan peran dan
fungsi yang signifikan terutama bagi umat Hindu di luar Bali. Sebut saja
misalnya, pasraman yang dikemas dalam
bentuk “Sekolah Minggu” dan diselenggarakan di pura-pura mampu ditransformasikan menjadi ranah pendidikan agama
(semi) formal. Guru pasraman dapat
mengajarkan pendidikan agama sesuai kurikulum pendidikan formal yang berlaku, memberikan
penilaian, dan nilai tersebut dapat dikonversi menjadi nilai pendidikan agama
Hindu di sekolah masing-masing. Tegasnya, pasraman
dapat mensubtitusi peran pendidikan agama Hindu secara formal yang tidak
diperoleh siswa di sekolah.
Sementara itu, fungsi pasraman dalam pendidikan keagamaan
terutama adalah media sosialisasi dan internalisasi ajaran agama Hindu.
Melalui penyampaian ajaran agama, pengembangan seni dan budaya keagamaan, praktik-praktik
ritual, serta disiplin spiritual, pasraman
dapat berkembang menjadi arena yang produktif dalam pembentukan sistem
pengetahuan, karakter, sikap, dan perilaku keagamaan umat Hindu. Proses
transformasi sosioreligius dapat berlangsung secara intensif dalam pasraman karena hubungan guru-murid tidak dibangun dengan ikatan
instrumental, tetapi lebih mengedepankan ikatan emosional dan komunalitas.
Menyimak demikian signifikannya peran pasraman dalam mengatasi problematika pendidikan yang dihadapi umat
Hindu, kiranya keberadaan pasraman perlu
mendapatkan perhatian yang lebih serius. Setuju atau tidak, pasraman sekarang ini masih menghadapi persoalan-persoalan
struktural dan kultural yang problematis. Masih banyaknya pasraman yang tidak memiliki legalitas formal kerap menghadapi
persoalan saat berhadapan dengan regulasi pemerintah, misalnya dalam
penyaluranbantuan. Apalagi jika pasraman tersebut
didirikan hanya dengan spirit ngayah, tanpa
didukung kemandirian finansial sehingga keberlanjutan aktivitasnya tergantung
pada donasi secara sukarela atau bantuan pihak ketiga. Sebaliknya, pasraman yang didirikan secara mandiri
oleh perorangan atau kelompok, juga acapkali harus berhadapan dengan berbagai
persoalan kultural karena terlalu kuatnya hegemoni pendiri. Ideologisasi dan
kultus terhadap sosok guru (pendiri
atau pengasuh) sulit dihindari, apalagi jika ajaran yang disampaikan bersifat
eksklusif dan kurang sejalan dengan kultur lokal.
Hal tersebut mengisyaratkan belum ditemukannya bentuk pasraman yang benar-benar ideal bagi
umat Hindu sehingga keberadaannya mampu berintegrasi dengan sistem pendidikan
Hindu secara holistik dan berkesinambungan. Implikasinya bahwa penerimaan umat
Hindu terhadap keberadaan pasraman masih belum menunjukkan perkembangan yang
mengesankan. Ditandai dengan tanggapan umat Hindu yang merasa enggan memasukkan
anak-anaknya ke pasraman, kecuali yang
terintegrasi dengan pendidikan formal. Oleh karena itu, reposisi dan
revitalisasi pasraman perlu terus
dilakukan agar keberadaannya tetap fungsional bagi umat Hindu. Reposisi berkaitan
dengan upaya penguatan struktur pasraman,
baik secara internal kelembagaan maupun hubungannya dengan struktur yang
lebih luas. Sementara itu, revitalisasi bertalian erat dengan upaya peningkatan
peran dan fungsi pasraman sebagai
arena pendidikan keagamaan. Upaya tersebut tentu harus didasari nilai keutamaan,
yakni pelayanan dan pengabdian kepada umat Hindu.
Dalam konteks kekinian, pasraman
hendaknya tidak dibangun semata-mata untuk merespons keterpinggiran pendidikan
Hindu. Namun alangkah eloknya jika pasraman
memang dibangun karena kebutuhan umat Hindu untuk membangun generasi masa
depan yang suputra. Kakawin Nitisastra menjelaskan karakter suputra dalam dua terminologi utama, yakni sadhu (religius dan bermoral)
dan gunawan (cerdas dan berguna). Artinya, pasraman harus menjadi wadah pendidikan untuk membentuk generasi
yang religius, berkepribadian luhur, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, serta
siap memasuki dunia kerja yang sesungguhnya. Karakter ini hanya mungkin
dibentuk apabila struktur dan kultur pasraman
mampu menyediakan ruang seluas-luasnya bagi pengembangan minat, bakat,
pengetahuan, dan keterampilan peserta didik yang dilandasi nilai-nilai
religiusitas Hindu dan budaya lokal.
Membangun generasi suputra
adalah panggilan rohani bagi setiap relawan Hindu untuk membangun pasraman masa kini. Pasraman harus menjadi arena transformasi habitus kehinduan dan
berbagai modal umat Hindu dalam mengarungi perubahan menuju masa depan yang
lebih baik. Lahirnya pasraman-pasraman modern
yang produktif dalam pembentukan intelektualitas, moralitas, dan religiusitas
generasi masa depan Hindu akan menjadi kabar baik yang selalu dinanti umat
Hindu. Rahayu!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar