Sabtu, 20 Agustus 2016

PASRAMAN

PASRAMAN APA KABAR?

Nanang Sutrisno

Marjinalisasi pendidikan Hindu sebenarnya bukanlah isu baru, walaupun tetap seksis untuk dibicarakan. Minoritisasi secara struktural oleh kelompok dominan diperparah dengan lemahnya agensi umat Hindu dalam memperjuangkan akses pendidikan agama dan keagamaan. Minimnya pengangkatan guru agama Hindu, baik oleh Kementerian Agama maupun pemerintah daerah dapat dipandang sebagai upaya terstruktur untuk melemahkan posisi umat Hindu pada ranah pendidikan formal. Padahal dalam satu dasa warsa ke depan, banyak guru agama Hindu yang akan memasuki masa pensiun.
Kondisi tersebut mengisyaratkan bahwa kelangkaan guru agama Hindu menjadi bayang-bayang suram pendidikan Hindu pada masa yang akan datang. Tantangan ini akan terasa lebih berat terutama bagi minoritas Hindu di luar Bali. Mengingat pendidikan agama Hindu di luar Bali berimplikasi luas terhadap munculnya persoalan-persoalan yang bersifat krusial, seperti konversi agama. Kelangkaan atau bahkan ‘ketiadaan’ guru agama Hindu di sekolah-sekolah formal kerap dijadikan senjata ampuh oleh kelompok mayoritas untuk mengkonversi siswa yang beragama Hindu. Seorang siswa yang semula beragama Hindu dapat beralih ke agama lain hanya karena alasan pragmatis, yakni mendapatkan pendidikan agama. Ditambah lagi dengan jumlah siswa beragama Hindu yang relatif kecil, juga dapat membangun struktur psikis minoritas dalam pergaulan lintas agama.
UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 senyatanya telah menyediakan payung hukum yang jelas dan tegas agar tidak terjadi diskriminasi pendidikan agama di sekolah. Hal ini dapat dibaca pada Pasal 12 ayat 1 (a) yang menyebutkan bahwa setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama. Namun dalam praktik, implementasi undang-undang tersebut masih jauh panggang dari api. Nyatanya, masih banyak siswa beragama Hindu yang tidak mendapatkan pendidikan agama Hindu di sekolah, bahkan sampai tamat. Kondisi tersebut mengisyaratkan bahwa umat Hindu tidak boleh hanya menunggu itikad baik pemerintah untuk mendapatkan hak-hak pendidikan agamanya. Terlebih lagi dengan sistem otonomi daerah yang membuka ruang terjadinya praktik-praktik peminggiran minoritas melalui kebijakan politik lokal.
Menyikapi realitas tersebut, peluang paling niscaya yang dapat dioptimalkan umat Hindu adalah penguatan basis pendidikan Hindu pada gatra informal dan nonformal. Dalam hal ini, revitalisasi peran serta optimalisasi fungsi keluarga dan pasraman mendapatkan makna pentingnya dalam menata pendidikan Hindu. Keluarga dengan peran domestiknya diharapkan dapat menjadi benteng pertama dan utama dalam penanaman sraddha bhakti. Sebaliknya, pasraman diharapkan dapat mengambil peran yang lebih luas dalam konteks pendidikan agama dan keagamaan sekaligus. Sekilas mengenai pengertian pendidikan agama dan keagamaan dapat dirujuk dalam PP No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Keagamaan. Pendidikan agama adalah pendidikan yang diselenggarakan secara formal sesuai dengan format kurikulum pendidikan agama yang berlaku. Sementara itu, pendidikan keagamaan adalah pendidikan agama yang tumbuh dari inisiatif masyarakat.
Dalam konteks pendidikan agama, selama ini pasraman telah menunjukkan peran dan fungsi yang signifikan terutama bagi umat Hindu di luar Bali. Sebut saja misalnya, pasraman yang dikemas dalam bentuk “Sekolah Minggu” dan diselenggarakan di pura-pura mampu ditransformasikan menjadi ranah pendidikan agama (semi) formal. Guru pasraman dapat mengajarkan pendidikan agama sesuai kurikulum pendidikan formal yang berlaku, memberikan penilaian, dan nilai tersebut dapat dikonversi menjadi nilai pendidikan agama Hindu di sekolah masing-masing. Tegasnya, pasraman dapat mensubtitusi peran pendidikan agama Hindu secara formal yang tidak diperoleh siswa di sekolah.
Sementara itu, fungsi pasraman dalam pendidikan keagamaan terutama adalah media sosialisasi dan internalisasi ajaran agama Hindu. Melalui penyampaian ajaran agama, pengembangan seni dan budaya keagamaan, praktik-praktik ritual, serta disiplin spiritual, pasraman dapat berkembang menjadi arena yang produktif dalam pembentukan sistem pengetahuan, karakter, sikap, dan perilaku keagamaan umat Hindu. Proses transformasi sosioreligius dapat berlangsung secara intensif dalam pasraman karena hubungan guru-murid tidak dibangun dengan ikatan instrumental, tetapi lebih mengedepankan ikatan emosional dan komunalitas.
Menyimak demikian signifikannya peran pasraman dalam mengatasi problematika pendidikan yang dihadapi umat Hindu, kiranya keberadaan pasraman perlu mendapatkan perhatian yang lebih serius. Setuju atau tidak, pasraman sekarang ini masih menghadapi persoalan-persoalan struktural dan kultural yang problematis. Masih banyaknya pasraman yang tidak memiliki legalitas formal kerap menghadapi persoalan saat berhadapan dengan regulasi pemerintah, misalnya dalam penyaluranbantuan. Apalagi jika pasraman tersebut didirikan hanya dengan spirit ngayah, tanpa didukung kemandirian finansial sehingga keberlanjutan aktivitasnya tergantung pada donasi secara sukarela atau bantuan pihak ketiga. Sebaliknya, pasraman yang didirikan secara mandiri oleh perorangan atau kelompok, juga acapkali harus berhadapan dengan berbagai persoalan kultural karena terlalu kuatnya hegemoni pendiri. Ideologisasi dan kultus terhadap sosok guru (pendiri atau pengasuh) sulit dihindari, apalagi jika ajaran yang disampaikan bersifat eksklusif dan kurang sejalan dengan kultur lokal.
Hal tersebut mengisyaratkan belum ditemukannya bentuk pasraman yang benar-benar ideal bagi umat Hindu sehingga keberadaannya mampu berintegrasi dengan sistem pendidikan Hindu secara holistik dan berkesinambungan. Implikasinya bahwa penerimaan umat Hindu terhadap keberadaan pasraman masih belum menunjukkan perkembangan yang mengesankan. Ditandai dengan tanggapan umat Hindu yang merasa enggan memasukkan anak-anaknya ke pasraman, kecuali yang terintegrasi dengan pendidikan formal. Oleh karena itu, reposisi dan revitalisasi pasraman perlu terus dilakukan agar keberadaannya tetap fungsional bagi umat Hindu. Reposisi berkaitan dengan upaya penguatan struktur pasraman, baik secara internal kelembagaan maupun hubungannya dengan struktur yang lebih luas. Sementara itu, revitalisasi bertalian erat dengan upaya peningkatan peran dan fungsi pasraman sebagai arena pendidikan keagamaan. Upaya tersebut tentu harus didasari nilai keutamaan, yakni pelayanan dan pengabdian kepada umat Hindu.
Dalam konteks kekinian, pasraman hendaknya tidak dibangun semata-mata untuk merespons keterpinggiran pendidikan Hindu. Namun alangkah eloknya jika pasraman memang dibangun karena kebutuhan umat Hindu untuk membangun generasi masa depan yang suputra. Kakawin Nitisastra menjelaskan karakter suputra dalam dua terminologi utama, yakni sadhu (religius dan bermoral) dan gunawan (cerdas dan berguna). Artinya, pasraman harus menjadi wadah pendidikan untuk membentuk generasi yang religius, berkepribadian luhur, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, serta siap memasuki dunia kerja yang sesungguhnya. Karakter ini hanya mungkin dibentuk apabila struktur dan kultur pasraman mampu menyediakan ruang seluas-luasnya bagi pengembangan minat, bakat, pengetahuan, dan keterampilan peserta didik yang dilandasi nilai-nilai religiusitas Hindu dan budaya lokal.

Membangun generasi suputra adalah panggilan rohani bagi setiap relawan Hindu untuk membangun pasraman masa kini. Pasraman harus menjadi arena transformasi habitus kehinduan dan berbagai modal umat Hindu dalam mengarungi perubahan menuju masa depan yang lebih baik. Lahirnya pasraman-pasraman modern yang produktif dalam pembentukan intelektualitas, moralitas, dan religiusitas generasi masa depan Hindu akan menjadi kabar baik yang selalu dinanti umat Hindu. Rahayu!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar