Sabtu, 20 Agustus 2016

EKONOMI KREATIF HINDU

KIWA-TENGEN:
EKONOMI KREATIF HINDU

Nanang Sutrisno

Agama senantiasa selibat dengan urusan hidup dan kehidupan manusia. Bukan hanya dalam urusan manusia dengan Yang Sakral, melainkan juga dalam urusan praksis kehidupan sehari-hari. Hal ini dapat dilihat dari pergumulan teks-teks Hindu khususnya Smerti, dalam menguraikan doktrin triwarga (‘tiga dasar kehidupan’) dan triparartha (‘tiga tujuan hidup’), yakni dharma, artha, dan kama. Kitab Dharmasastra menjadi rujukan hukum Hindu yang mengatur secara umum tugas, hak, dan kewajiban manusia, baik sebagai makhluk individu maupun sosial. Arthasastra menguraikan secara panjang lebar mengenai politik, ekonomi, ketatanegaraan, dan kepemimpinan. Begitu juga dengan Kamasastra yang menjelaskan seluk-beluk pemenuhan keinginan, hasrat, nafsu, dan libido manusia. Artinya, seluruh hierarki kebutuhan manusia – seperti gagasan Abraham Maslow – telah menjadi simpul penting dalam pembahasan teks-teks Smerti.
Internalisasi dan eksternalisasi nilai-nilai agama dalam kehidupan praksis sehari-hari sesungguhnya menjadi idealisme Hindu dalam kedudukannya sebagai sanatana dharma (‘kebenaran abadi’). Artinya, dharma (‘ajaran kebenaran dan kebajikan’) sebagai inti Hinduisme harus menjadi prinsip pengarah dan penuntun (guiding principle) tindakan manusia pada sepanjang garis eksistensinya. Melalui reinterpretasi dan reaktualisasi ajaran dharma sesuai dengan ruang, waktu, dan tindakan manusia, kiranya kehadiran agama selalu menemukan panggilannya dari zaman ke zaman. Terlebih lagi ketika dunia-kehidupan manusia mulai bergerak menjauh dari ikatan-ikatan religius dan mengarah ke bentuk-bentuk sekularisme baru.
Sekularisme yang ditandai dengan adanya pemisahan secara tegas antara agama dan bidang-bidang kehidupan non-agama menjadi gejala sosial yang begitu kuat melanda masyarakat dunia dewasa ini. Seiring dengan bergulirnya modernisasi yang beriringan dengan penyebarluasan kapitalisme ke seluruh dunia, maka ekonomi telah menjadi kekuatan dominan dalam mentransformasi kehidupan masyarakat. Dalam hal ini, agama semakin tersudut ke dalam ruang privat sehingga kehilangan signifikansinya di dalam ruang-ruang publik. Malahan agama turut terdegradasi kedudukan dan fungsinya, yakni sekadar menjadi bagian dari superstruktur ekonomi dan posisinya sejajar dengan instrumen-instrumen kapitalis lainnya. Singkatnya, agama dalam sistem kapitalisme tidak lebih dari sekadar alat dan uang yang menjadi Tuhan masyarakat. Agama Uang atau Moneytheism mendapatkan maknanya sebagai konstruksi teologis baru yang paling sesuai dengan struktur psikis dan budaya masyarakat modern dewasa ini.
Pada kenyataannya, seluruh negara dan bangsa cenderung mengukur tingkat kemajuan masyarakatnya berdasarkan pencapaian material, misalnya pendapatan per kapita. Implikasinya bahwa spiritualitas dan moralitas kerap terpinggirkan dalam wacana sosial kemasyarakatan, bahkan terdistorsi maknanya sebagai instrumen yang dapat dimobilisasi untuk tujuan-tujuan sekuler. Memperalat agama atau menjadikan agama sebagai alat untuk meraih keuntungan ekonomi tidak lagi dianggap hal yang tabu untuk dilakukan. Mobilisasi instrumental religius untuk tujuan-tujuan non-religius sekaligus menandai wajah ‘agama publik’ dewasa ini sehingga kedudukannya ditentukan oleh mekanisme pasar. Apabila gejala ini dikonstruksi secara dikotomis, maka ekonomi (sekuler—nonreligus) diposisikan pada bagian kiri (kiwa) yang dapat diperlawankan dengan agama (religius) pada bagian kanan (tengen). Namun benarkah ekonomi dan agama bertentangan?
Pertanyaan tersebut telah menggelitik para cendikiawan agama dan sosial untuk menguraikannya ke dalam eksemplar-eksemplar teori baru. Mereka mulai mengalihkan pandangan dari perkembangan sosial keagamaan yang terjadi di Dunia Barat ke Dunia Timur yang sebelumnya hanya dianggap sebagai Dunia Ketiga dari perspektif Barat. Keberhasilan India, Jepang, China, Korea, dan negara-negara di Timur Tengah dalam membangun perekonomian masyarakatnya menunjukkan kebangkitan peran budaya (termasuk agama) yang demikian mengesankan. Dalam hal ini, agama seolah-olah terlahir kembali menjadi spirit baru (new spirit) untuk mengejar ketertinggalan masyarakat Asia dari kemajuan ekonomi, politik, ilmu pengetahuan dan teknologi yang dicapai masyarakat Eropa dan Amerika Serikat. Malahan belakangan ini, semakin banyak saja perusahaan Asia yang berhasil melakukan ekspansi bisnisnya ke Eropa dan seluruh dunia. 
Kebangkitan peran budaya sebagai spirit ekonomi baru Dunia Timur kiranya dapat dijadikan refleksi kritis untuk memaknai kembali kiwa-tengen bukan sebagai pertentangan, melainkan prinsip kesepasangan. Artinya, kemajuan ekonomi tidak mesti diraih dengan meninggalkan religiusitas, tetapi sebaliknya religiusitaslah yang harus dijadikan spirit untuk membangun kemajuan ekonomi. Hal ini tentunya tidak sulit bagi umat Hindu yang telah menetapkan doktrin triwarga dan triparartha (dharma, artha, dan kama) sebagai dasar dan tujuan kehidupannya. Dalam kerangka inilah, ekonomi kreatif Hindu dapat dibangun dan digelorakan kembali, baik pada tataran ideal maupun praksis. Untuk itu, kristalisasi gagasan Prof. Mantra – salah satu pemikir Hindu lokal yang menginternasional – mengenai taksu dan jengah kiranya dapat direfleksikan kembali dalam konteks ekonomi kreatif.
Taksu (inner spirit—spirit internal) lahir dari spirit dharma bahwa seluruh aktivitas diabdikan untuk persembahan dan pelayanan kepada Tuhan. Melalui prinsip karma yoga (‘kerja sebagai yadnya’) seluruh tindakan kerja untuk meraih kesejahteraan material (artha) harus dilakukan dengan penuh dedikasi dan berorientasi pada kerja itu sendiri. Semboyan “kerja, kerja, kerja!” yang disampaikan Pak Jokowi merupakan langkah nyata nan sederhana untuk melaksanakan prinsip ini. Kerja untuk kerja, tanpa kalkulasi hasil yang berlebihan, akan melahirkan produk dan jasa yang berkualitas. Sementara itu, jengah (competitive pride – keunggulan kompetitif) lahir dari spirit kama bahwa kreativitas harus terus bertumbuh dan dikembangkan dalam diri umat Hindu. “Jika orang lain bisa, mengapa saya tidak?” adalah ungkapan sederhana yang dapat dijadikan spirit untuk terus berkreasi tanpa henti. Dengan spirit taksu dan jengah, ekonomi kreatif bukanlah hal yang sulit diwujudkan bagi umat Hindu, jika dan hanya jika itu dilakukan dalam tindakan nyata. Mengejar kemajuan secara material (artha) berlandaskan dharma (kebenaran dan kebajikan) yang didorong oleh kama (semangat bersaing) merupakan satu kesatuan ekonomi kreatif Hindu.
Perluasan atas prinsip ini dapat dikembangkan menjadi sistem pemberdayaan ekonomi Hindu yang utuh dan padu berdasarkan potensi, perencanaan, pengorganisasian, aktualisasi, dan pencapaian tujuan. Alam semesta (bhuwana agung) dan sumber daya manusia (bhuwana alit) senyatanya adalah potensi yang dapat digali dan dikembangkan dengan tetap mengedepankan keseimbangan (tri hita karana). Atas potensi inilah, aktivitas ekonomi dapat direncanakan dengan mempertimbangkan pengalaman masa lalu (atita), kondisi kekinian (wartamana), dan peluang masa depan (anagatha). Pengorganisasian pekerjaan dilakukan dengan prinsip varna (profesi atau keahlian) sehingga setiap orang melakukan pekerjaan berdasarkan bidang keahliannya masing-masing (the right man on the right place). Selanjutnya, aktivitas pekerjaan dilaksanakan berdasarkan pengetahuan (jnana), spiritualitas (raja), kerja keras (karma), dan persembahan kepada Tuhan (bhakti). Pada puncaknya, tujuan dari semua itu adalah tercapainya kesejahteraan duniawi (jagadhita) dan kesentosaan rohani (moksa).
Menggali dan mengaktualisasikan prinsip-prinsip kerja Hindu dalam membangun ekonomi kreatif inilah yang dimaksud dengan kesepasangan kiwa-tengen. Mengejar kemajuan material bukanlah hal yang bertentangan dengan dharma, tetapi menjadikan dharma sebagai dasar untuk mewujudkan kesejahteraan itulah yang utama. Dari dharma berpulang kepada dharma, itulah prinsip ekonomi kreatif Hindu. Membangun kesejahteraan umat Hindu bahkan menjadi keharusan, apalagi dalam kontestasi antarumat beragama yang memberikan tantangan baru bagi eksistensi minoritas Hindu. Rahayu!!!




Tidak ada komentar:

Posting Komentar