KIWA-TENGEN:
EKONOMI KREATIF HINDU
Nanang Sutrisno
Agama senantiasa selibat dengan urusan hidup dan kehidupan
manusia. Bukan hanya dalam urusan manusia dengan Yang Sakral, melainkan juga
dalam urusan praksis kehidupan sehari-hari. Hal ini dapat dilihat dari
pergumulan teks-teks Hindu khususnya Smerti,
dalam menguraikan doktrin triwarga (‘tiga
dasar kehidupan’) dan triparartha (‘tiga
tujuan hidup’), yakni dharma, artha, dan
kama. Kitab Dharmasastra menjadi rujukan hukum Hindu yang mengatur secara umum tugas,
hak, dan kewajiban manusia, baik sebagai makhluk individu maupun sosial. Arthasastra menguraikan secara panjang
lebar mengenai politik, ekonomi, ketatanegaraan, dan kepemimpinan. Begitu juga
dengan Kamasastra yang menjelaskan
seluk-beluk pemenuhan keinginan, hasrat, nafsu, dan libido manusia. Artinya,
seluruh hierarki kebutuhan manusia – seperti gagasan Abraham Maslow – telah
menjadi simpul penting dalam pembahasan teks-teks Smerti.
Internalisasi dan eksternalisasi nilai-nilai agama dalam
kehidupan praksis sehari-hari sesungguhnya menjadi idealisme Hindu dalam
kedudukannya sebagai sanatana dharma (‘kebenaran
abadi’). Artinya, dharma (‘ajaran
kebenaran dan kebajikan’) sebagai
inti Hinduisme harus menjadi prinsip pengarah dan penuntun (guiding principle) tindakan manusia pada
sepanjang garis eksistensinya. Melalui reinterpretasi dan reaktualisasi ajaran dharma sesuai dengan ruang, waktu, dan
tindakan manusia, kiranya kehadiran agama selalu menemukan panggilannya dari
zaman ke zaman. Terlebih lagi ketika dunia-kehidupan manusia mulai bergerak
menjauh dari ikatan-ikatan religius dan mengarah ke bentuk-bentuk sekularisme
baru.
Sekularisme yang ditandai dengan adanya pemisahan secara
tegas antara agama dan bidang-bidang kehidupan non-agama menjadi gejala sosial yang
begitu kuat melanda masyarakat dunia dewasa ini. Seiring dengan bergulirnya
modernisasi yang beriringan dengan penyebarluasan kapitalisme ke seluruh dunia,
maka ekonomi telah menjadi kekuatan dominan dalam mentransformasi kehidupan
masyarakat. Dalam hal ini, agama semakin tersudut ke dalam ruang privat
sehingga kehilangan signifikansinya di dalam ruang-ruang publik. Malahan agama
turut terdegradasi kedudukan dan fungsinya, yakni sekadar menjadi bagian dari
superstruktur ekonomi dan posisinya sejajar dengan instrumen-instrumen
kapitalis lainnya. Singkatnya, agama dalam sistem kapitalisme tidak lebih dari
sekadar alat dan uang yang menjadi Tuhan masyarakat. Agama Uang atau Moneytheism mendapatkan
maknanya sebagai konstruksi teologis baru yang paling sesuai dengan struktur
psikis dan budaya masyarakat modern dewasa ini.
Pada kenyataannya, seluruh negara dan bangsa cenderung mengukur
tingkat kemajuan masyarakatnya berdasarkan pencapaian material, misalnya pendapatan
per kapita. Implikasinya bahwa spiritualitas dan moralitas kerap terpinggirkan
dalam wacana sosial kemasyarakatan, bahkan terdistorsi maknanya sebagai
instrumen yang dapat dimobilisasi untuk tujuan-tujuan sekuler. Memperalat agama
atau menjadikan agama sebagai alat untuk meraih keuntungan ekonomi tidak lagi
dianggap hal yang tabu untuk dilakukan. Mobilisasi instrumental religius untuk
tujuan-tujuan non-religius sekaligus menandai wajah ‘agama publik’ dewasa ini
sehingga kedudukannya ditentukan oleh mekanisme pasar. Apabila gejala ini dikonstruksi
secara dikotomis, maka ekonomi (sekuler—nonreligus) diposisikan pada bagian
kiri (kiwa) yang dapat diperlawankan
dengan agama (religius) pada bagian kanan (tengen).
Namun benarkah ekonomi dan agama bertentangan?
Pertanyaan tersebut telah menggelitik para cendikiawan agama dan
sosial untuk menguraikannya ke dalam eksemplar-eksemplar teori baru. Mereka mulai
mengalihkan pandangan dari perkembangan sosial keagamaan yang terjadi di Dunia
Barat ke Dunia Timur yang sebelumnya hanya dianggap sebagai Dunia Ketiga dari perspektif Barat.
Keberhasilan India, Jepang, China, Korea, dan negara-negara di Timur Tengah
dalam membangun perekonomian masyarakatnya menunjukkan kebangkitan peran budaya
(termasuk agama) yang demikian mengesankan. Dalam hal ini, agama seolah-olah terlahir
kembali menjadi spirit baru (new spirit) untuk mengejar ketertinggalan
masyarakat Asia dari kemajuan ekonomi, politik, ilmu pengetahuan dan teknologi
yang dicapai masyarakat Eropa dan Amerika Serikat. Malahan belakangan ini,
semakin banyak saja perusahaan Asia yang berhasil melakukan ekspansi bisnisnya
ke Eropa dan seluruh dunia.
Kebangkitan peran budaya sebagai spirit ekonomi baru Dunia
Timur kiranya dapat dijadikan refleksi kritis untuk memaknai kembali kiwa-tengen bukan sebagai pertentangan,
melainkan prinsip kesepasangan. Artinya, kemajuan ekonomi tidak mesti diraih
dengan meninggalkan religiusitas, tetapi sebaliknya religiusitaslah yang harus
dijadikan spirit untuk membangun kemajuan ekonomi. Hal ini tentunya tidak sulit
bagi umat Hindu yang telah menetapkan doktrin triwarga dan triparartha (dharma, artha, dan kama) sebagai dasar dan tujuan kehidupannya. Dalam kerangka inilah,
ekonomi kreatif Hindu dapat dibangun dan digelorakan kembali, baik pada tataran
ideal maupun praksis. Untuk itu, kristalisasi gagasan Prof. Mantra – salah satu
pemikir Hindu lokal yang menginternasional – mengenai taksu dan jengah kiranya
dapat direfleksikan kembali dalam konteks ekonomi kreatif.
Taksu (inner spirit—spirit
internal) lahir dari spirit dharma bahwa
seluruh aktivitas diabdikan untuk persembahan dan pelayanan kepada Tuhan.
Melalui prinsip karma yoga (‘kerja
sebagai yadnya’) seluruh tindakan
kerja untuk meraih kesejahteraan material (artha)
harus dilakukan dengan penuh dedikasi dan berorientasi pada kerja itu sendiri.
Semboyan “kerja, kerja, kerja!” yang disampaikan Pak Jokowi merupakan langkah
nyata nan sederhana untuk melaksanakan prinsip ini. Kerja untuk kerja, tanpa
kalkulasi hasil yang berlebihan, akan melahirkan produk dan jasa yang
berkualitas. Sementara itu, jengah (competitive pride – keunggulan
kompetitif) lahir dari spirit kama bahwa
kreativitas harus terus bertumbuh dan dikembangkan dalam diri umat Hindu. “Jika
orang lain bisa, mengapa saya tidak?” adalah ungkapan sederhana yang dapat
dijadikan spirit untuk terus berkreasi tanpa henti. Dengan spirit taksu dan jengah, ekonomi kreatif bukanlah hal yang sulit diwujudkan bagi
umat Hindu, jika dan hanya jika itu dilakukan dalam tindakan nyata. Mengejar
kemajuan secara material (artha) berlandaskan
dharma (kebenaran dan kebajikan) yang
didorong oleh kama (semangat
bersaing) merupakan satu kesatuan ekonomi kreatif Hindu.
Perluasan atas prinsip ini dapat dikembangkan menjadi sistem
pemberdayaan ekonomi Hindu yang utuh dan padu berdasarkan potensi, perencanaan,
pengorganisasian, aktualisasi, dan pencapaian tujuan. Alam semesta (bhuwana agung) dan sumber daya manusia (bhuwana alit) senyatanya adalah potensi
yang dapat digali dan dikembangkan dengan tetap mengedepankan keseimbangan (tri hita karana). Atas potensi inilah,
aktivitas ekonomi dapat direncanakan dengan mempertimbangkan pengalaman masa
lalu (atita), kondisi kekinian (wartamana), dan peluang masa depan (anagatha). Pengorganisasian pekerjaan
dilakukan dengan prinsip varna (profesi
atau keahlian) sehingga setiap orang melakukan pekerjaan berdasarkan bidang
keahliannya masing-masing (the right man
on the right place). Selanjutnya, aktivitas pekerjaan dilaksanakan
berdasarkan pengetahuan (jnana),
spiritualitas (raja), kerja keras (karma), dan persembahan kepada Tuhan (bhakti). Pada puncaknya, tujuan dari
semua itu adalah tercapainya kesejahteraan duniawi (jagadhita) dan kesentosaan rohani (moksa).
Menggali dan mengaktualisasikan prinsip-prinsip kerja Hindu
dalam membangun ekonomi kreatif inilah yang dimaksud dengan kesepasangan kiwa-tengen. Mengejar kemajuan material
bukanlah hal yang bertentangan dengan dharma,
tetapi menjadikan dharma sebagai
dasar untuk mewujudkan kesejahteraan itulah yang utama. Dari dharma berpulang kepada dharma, itulah prinsip ekonomi kreatif
Hindu. Membangun kesejahteraan umat Hindu bahkan menjadi keharusan, apalagi
dalam kontestasi antarumat beragama yang memberikan tantangan baru bagi eksistensi
minoritas Hindu. Rahayu!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar