TUMPEK KANDANG
Oleh
Dr. Nanang Sutrisno, S.Ag, M.Si
A. Landasan Sastra
Upacara Tumpek secara khusus dibahas dalam Lontar Sundarigama. Untuk
diketahui bahwa lontar Sundarigama merupakan
intisari dari ajaran wariga gemet.
Hal ini tertulis dalam bait ke-3 yang berbunyi sebagai berikut.
“Um, ranak si
Purahita mekabehan, Siwa, Sogata, rengen pawarahkwe kita anakku, an Ling aji
Sundarigama, pakertin tikang pawitran, pangisining wariga gemet, pacatuning rat
bhawana, wastu wayang ning ngastuti, Sanghyang bunten ing wwang mahayu raga
sarira, dadi hawan ing krta nugrahanira Sang Hyang Maha Wisesa, tumurun ring
bhuwana, lwih tinemunia, rahayu hanrus ring Tribhuwana, palaning han dadi
wwang, mapageh ikang sundih aji, mening mahening kajagadhitan ta purahita
kabeh, bhyuh bala, byuh sisya, kadang apa lwir nia, nihan”
Artinya :
Wahai anakku para purahita
semuanya, Siwa Budha, dengarkanlah nasehatku ini untukmu anakku, bahwa
dalam ajaran Sundarigama merupakan
tuntunan pelaksanaan pesucian, isi dari wariga
gemet, sebagai kehidupan dunia, wujud dalam memuja Hyang Widhi Wasa dan
menjadi perantara bagi manusia untuk menyelamatkan dirinya, yang menjadi jalan
tuntunan dalam memohon nugraha Sang Hyang Wisesa. Ajaran ini diturunkan ke
dunia dan diberikan kepada manusia agar manusia dapat menikmati kebahagiaan
kekal di atas dunia. Makmurlah Negara karena menikmati keutamaan, yaitu
keselamatan terus-menerus di tri bhuwana
(bhur, bwah, swah), inilah keutamaan
yang amat mulia bagi manusia, dan itulah yang menyebabkan langgengnya kesucian
bagi Negara dan rajanya. Keheningan dan kemurnian para purahita adalah kebahagiaan dunia, kemakmuran rakyat, para pelajar,
para saudara dan siapapun juga.
Pada dasarnya Hari Raya Tumpek
adalah hari raya yang jatuh pada hari Saniscara Kliwon. Adapun bentuk pemujaan
dan perayaan disesuaikan dengan Wuku yang mengikutinya sehingga akan lahir 6 (enam)
jenis upacara Tumpek dengan maksud
dan tujuan yang berbeda satu dengan lainnya. Mengenai arti penting dari
pelaksanaan upacara Tumpek, seperti
dijelaskan dalam Lontar Sundarigama sebagai berikut.
”Saniscara Kliwon ngaran, wekasing tuduh
rikang wwang, haywa lali amusti Sang Hyang Maha Wisesa, haywa deh, ndan haywa
pisah, apasamana tumurun kertanira Sanghyang Anta Wisesa ring rat kabeh...”
Artinya:
Hari
Saniscara Kliwon dinamakan hari inti, hakikat dari anugerah Hyang Widhi, yang
diberikan kepada manusia. Oleh karenanya, janganlah lupa menyembah Hyang Maha
Wisesa, jangan menjauhkan diri, bahkan janganlah sampai terpisah dengan Beliau.
Sebab segala sesuatu yang ada ialah karena turunnya kesempurnaan Hyang Widhi
yang terus menerus dilimpahkan kepada seluruh dunia.
Hari raya Tumpek Kandang hadir setiap 210 hari sekali, tepatnya pada Saniscara Kliwon wuku Uye. Secara
etimologi, kata tumpek berarti hari Sabtu Kliwon dalam sistem kalender
Jawa-Bali, sedangkan kata kandang berarti
rumah hewan piaraan atau binatang piaraan itu sendiri (Tim, 2002:123). Bagi
umat Hindu di Bali khususnya, upacara ini disebut juga Tumpek Wawalungan atau Oton
Wewalungan atau Tumpek Uye, yaitu
hari selamatan binatang-binatang piaraan (binatang yang dikandangkan) atau
binatang ternak (wawalungan).
Mengenai Tumpek Kandang sebagaimana
tersurat dalam Lontar Sundarigama adalah
sebagai berikut.
”Uye,
Saniscara Kliwon, Tumpek Kandang, prakrti ring sarwa sato, patik wenang paru
hana upadana nia, yan ia sapi, kebo, asti, salwir nia satoraja...”
Artinya:
Wuku
Uye, pada Saniscara Kliwon, adalah Tumpek Kandang, yaitu hari untuk
mengupacarai semua jenis binatang ternak dan binatang lainnya. Adapaun
upacaranya: jika Sapi, Kerbau, Gajah, dan binatang besar lainnya (sato agung)...
Landasan filosofis dan
teologisnya juga dapat ditemukan dalam teks selanjutnya, sebagai berikut.
”...kalingania
iking widhana ring manusa, amarid saking Sanghyang Rare Angon, wenang ayabin,
pituhun ya ring manusa, sinukmaning sato, paksi, mina, ring raganta wawalungan,
Sanghyang Rare Angon, cariranira utama”.
Artinya:
Adapun penjelasannya bahwa banten-banten ini, serta upacaranya itu seperti mengupacarai
manusia karena konon binatang-binatang itu dijiwai oleh Sanghyang Rare Angon.
Itulah sebabnya patut diupacarai. Sebenarnya, manusia itu adalah makhluk
utamanya daripada binatang-binatang seperti, burung, ikan, dan sebagainya.
Demikianlah Sanghyang Rare Angon menjadikan sarwa binatang sebagai badan utama
Beliau.
Dari kutipan lontar di atas dapat dipahami bahwa
upacara Tumpek Kandang adalah upacara
bagi semua jenis binatang. Upacara ini didasari oleh keyakinan panteistik bahwa Tuhan/Ida Sanghyang
Widhi Wasa berada dalam diri semua makhluk. Demikianlah Sanghyang Rare Angon
yang berbadankan sarwa sato (semua
binatang) sesungguhnya adalah jiwa semua makhluk (advestam sarva bhutanam). Mitologi Sanghyang Rare Angon mengisahkan
bahwa Bhatara Siwa turun ke dunia sebagai penggembala binatang. Ini merupakan
ajaran khas Siwaistik, yakni Siwa sebagai Pasupati (penguasa binatang) yang
berkembang dalam Siwaisme di India (Phalgunadi, 2005). Ajaran inilah yang kemudian
berpadu dengan tradisi Hindu Bali.
B. Tata Cara Pelaksanaan
Tujuan utama dari pelaksanaan hari-hari baik dan suci adalah untuk
kebahagiaan semua makhluk (bhuta hita,
sarwa prani hita). Dalam bait ke-4, Lontar Sundarigama juga dijelaskan
bahwa “pada saat hari yang uttama (kala
wayutama) adalah waktu pesucian para dewa-dewi, bhatara-bhatari,
widyadara-widyadari, pitara-pitari. Beliau beryoga semedi untuk kebahagiaan
dunia maka manusia pun patut untuk ikut serta melaksanakan pujawali untuk menyambut cinta kasih yang akan dilimpahkan oleh
Hyang Widhi, berbakti dengan upacara yang disuguhkan kepada para Bhatara”. Dengan demikian maka melalui
persembahan bhakti pada Hyang Widhi Wasa tatkala hari-hari suci adalah utama
demi terciptanya keselamatan dan kebahagiaan dunia. Adapun tata cara
pelaksanaan upacara Tumpek Kandang seperti
dijelaskan dalam lontar Sundarigama berikut
ini.
”...upadania:
tumpeng, tebasan, pareresikan, panyeneng, jerimpen. Yan ing Bawi : Tumpeng,
penyeneng, canang raka. Yan ring babi ina : anaman bakkok, belayang tunggal
lawan sagawon. Yan ing sarwa paksi: ayam, itik, angsa, dolong, titiran, kukur,
kunang salwir nia: anaman manut rupania, yang paksi anaman paksi, yan ayam
anaman ayam, duluran nyeneng, tetebus mwang kembang pahes”.
Artinya :
” adalah tumpeng,
tetebasan, pareresik, penyeneng, dan jerimpen.
Kalau terhadap Babi jantan (bangkung)
adalah tumpeng tebasan, penyeneng, dan
canang raka. Kalau ternak Babi betina
persembahannya adalah ketupat belekok,
belayang tunggal, dan sagu. Kalau untuk jenis burung, ayam, itik, titiran,
demikian pula perkutut, dan sejenisnya maka persembahannya adalah ketupat
menurut bentuk rupanya, yaitu kalau burung berupa ketupat burung, kalau ayam
dengan ketupat berupa ayam. Lain daripada itu juga dengan banten penyeneng, tetebus, dan kembang
payas.
”... sedengnging latri tan wenang anambut karya,
meneng juga pwa ya, heningakna juga ikang adnyana malilian, umengetaken
Sanghyang Dharma, mwang kawyiadnyana sastra kabeh, mangkan telas kangetakna haywa
sang wruhing tattwa yeki tan mituhu, mwang alpa ring mami, tan panemwa rahayu
ring saparania, apania mangkana, wwang tan pakarti, tan payasa, tan pakrama,
sania lawan sato, binania amangan sega. Yan sang wiku tan manut, dudu sira
Wiku, ranak ira Sanghyang Dharma”.
Artinya:
Pada malam
harinya, tidak dibenarkan mengambil pekerjaan jasmani, melainkan hanya
melakukan renungan suci, yakni mengheningkan cipta dan diarahkan untuk
menyadari Sanghyang Dharma. Lain daripada itu, juga diarahkan kepada inti sari
ajaran agama seluruhnya. Demikianlah semuanya agar diingat-ingat, terutama
harus disadari oleh orang yang mendalami tattwa.
Apabila hal ini tidak dilaksanakan, lebih-lebih jika malah dinodai, niscaya
tidak akan mendapatkan keselamatan di manapun nantinya berada, mengapa
demikian? Karena orang yang tidak melaksanakan Kerti, Yasa, dan Karma (tindakan
terpuji, pengabdian, dan perbuatan baik), dapatlah disamakan dengan binatang,
bedanya hanya karena ia memakan nasi. Jika sang Wiku yang bijaksana tidak
menuruti ajaran ini, bukanlah dia disebut Wiku yang disayangi oleh Sanghyang
Dharma.
Dari uraian tersebut dapat dipahami bahwa tata cara pelaksanaan upacara Tumpek Kandang dilaksanakan dengan
mempersembahkan babantenan seperti
yang telah disebutkan. Wajib bagi umat Hindu untuk menghaturkan persembahan,
melakukan puja, sujud bhakti kepada kemuliaan dan kebesaran Hyang Widhi, Beliau
yang Mahapemurah dan pemberi anugerah keutamaan bagi kehidupan manusia. Pada malam harinya, upacara Tumpek Kandang adalah malam yang baik
untuk melakukan renungan suci, tapa-brata-yoga-samadhi.
Hubungan transendental terus-menerus ditujukan kepada Sanghyang Dharma,
Kebenaran Abadi. Anugerah utama yang dimohon adalah supaya kehidupan manusia
senantiasa dituntun oleh dharma, demi
tercapainya tujuan tertinggi (purusa
artha), yakni moksartham jagadhita ya
ca itu dharma. Hal ini seperti dijelaskan dalam Sarasamuccaya, seloka 14 ”ikang
dharma ngarania, henuning mara ring swarga ika, kadi gatining perahu an
hetuning banyaga nentasing tasik” (’..yang disebut dharma adalah jalan menuju sorga, seperti sebuah perahu yang
digunakan nelayan untuk menyeberangi samudera’).
C. Fungsi dan Makna
Tumpek Kandang merupakan
ritual yang begitu penting bagi masyarakat terutama mereka yang menggantungkan
mata pencahariannya pada bidang peternakan. Bagi para peternak tentu hewan
piaraan atau hewan ternak menjadi sangat penting bagi kehidupannya karena
ternak inilah sumber penghidupan dan kesejahteraan. Mengingat keberadaan hewan
ternak sebagai sumber kesejahteraan sehingga hewan-hewan ternak ini diberikan
posisi yang terhormat dan mulia. Binatang adalah kamadhenu (pemuas keinginan/kama
manusia). Mitos dan mistik merupakan cara masyarakat agraris untuk memaknai
pemuliaan kepada binatang tersebut sehingga setiap ritual yang berkenaan hewan
piaraan atau ternak selalu dihubungkan Yang Transenden, yakni Sanghyang Rare
Angon sebagai dewa penguasa seluruh
binatang dalam konteks lokal (Bali).
Beberapa mitologi Hewan Suci yang tertuang dalam berbagai kitab Purana, misalnya sapi adalah jenis
binatang peliharaan yang sangat dimuliakan umat Hindu. Sapi dalam tradisi Hindu hendaknya
dihormati sebagai ibu, di samping juga bumi pertiwi, kitab suci dan lain
sebagainya (Visvanathan, 2001:236). Dalam kitab suci Veda dinyatakan bahwa Tuhan
mengambil wujud sebagai Garuda untuk memberikan rasa aman dan kesejahteraan
kepada umat manusia. Ada hewan suci lainnya, seperti angsa, merak, naga, dan
lain-lain. Dalam hal ini Tuhan dihadirkan dalam wujud-wujud tertentu
sebagaimana umat manusia mendambakannya hingga lahirlah konsep ista dewata (dewa-dewa pujaan). Tuhan
hadir berwujud atau tidak berwujud (Sarupa
atau Nirrupa), personal atau
impersonal sesuai dengan kemampuan imajinatif dan ekspresif manusia. Barong
disebut Banaspati yang berarti raja hutan atau raja pohon, ia juga disebut Prajapati, raja dari semua binatang
buas. Dalam ajaran Saiwasiddhanta, Siva
disebut Pasupati, pengendali dan gembala semua binatang piaraan. Demikianlah
agama Hindu turut memuliakan tradisi religius Tumpek Kandang, yakni wujud pemujaan kepada Hyang Siwa Pasupati,
atau oleh masyarakat Hindu Bali umumnya disebut Sanghyang Rare Angon.
Upacara Agama Hindu pada dasarnya dibangun oleh tiga kesadaran sebagai satu
kesatuan, yakni kesadaran ketuhanan (teosentris), kesadaran humanis
(antroposentris), dan kesadaran alam (kosmosentris). Ketiga kesadaran ini
merupakan tiga penyebab kebahagiaan manusia (tri hita karana) sehingga ketiga-tiganya harus hadir secara
simultan dan integral dalam sebuah ritual. Dalam upacara Tumpek Kandang, kesadaran ketuhanan diwujudkan dengan pemujaan
kepada Sanghyang Rare Angon yang menjadi jiwa seluruh binatang, khususnya hewan
ternak dan piaraan. Kemudian, kesadaran humanis bahwa otonan wawalungan sama artinya dengan upacara kepada manusia
sehingga upacara ini adalah upaya memanusiakan binatang. Memperlakukan binatang
seperti halnya manusia, merupakan kesadaran humanis eksistensial bahwa binatang
(juga tumbuh-tumbuhan) turut membangun eksistensi manusia. Dapat dibayangkan
ketika manusia tanpa tumbuh-tumbuhan dan binatang, mustahil eksistensinya akan
terjaga di dunia ini. Sementara itu, kesadaran kosmis bahwa upacara tumpek merupakan cara manusia membangun
dan melestarikan lingkungan alam dan budayanya. Pelestarian lingkungan alam ditujukan untuk
keselamatan bumi pertiwi, tumbuh-tumbuhan dan binatang di dalamnya, sedangkan
pelestarian lingkungan budaya bahwa melalui upacara ini manusia menyatakan
sikap hidupnya kepada alam dan lingkungan sehingga manusia dapat menyelaraskan
diri dengan harmoni semesta. Dengan demikian Tumpek Kandang adalah cara umat Hindu membangun kesadaran universal
untuk mewujudkan kebahagiaan dunia, seperti dijelaskan dalam Yajurveda XVI.48
”Berbuatlah agar semua orang, binatang-binatang dan semua makhluk hidup
berbahagia”.
Segala persembahan dalam
konteks bhakti adalah kasih. Dalam
Lontar Sunarigama dinyatakan "Saniscara
Kliwon Uye pinaka prakertining sarwa sato". Artinya, hari itu
hendaknya dijadikan tonggak untuk melestarikan semua jenis hewan. Sementara
itu, dalam Sarasamuscaya juga disebutkan "Aywa tan masih ring sarwa prani, apan prani ngaran prana",
yang artinya janganlah tidak sayang kepada binatang karena binatang dan semua
makhluk adalah kehidupan. Dengan demikian pelaksanaan Tumpek Kandang merupakan pembiasaan dan pembudayaan umat Hindu
dalam mengembangkan kasih sayang kepada semua makhluk. Dalam ajaran Hindu,
diyakini bahwa Tuhan Yang Mahaesa adalah jiwa semua makhluk sehingga kasih
kepada semua makluk adalah kasih kepada Tuhan. Umat Hindu mewujudkannya dalam
Puja Tri Sandhya yang menyatakan ”Sarvaprani
hitankarah” (hendaknya semua makhluk hidup berbahagia). Ini adalah doa
universal untuk keseimbangan jagat raya dan segala isinya.
Keempat, dalam
realitasnya umat Hindu masih banyak yang menggantungkan kehidupannya pada
peternakan sebagai mata pencaharian dan sumber penghasilan. Umat Hindu
diajarkan untuk tidak menikmati begitu saja penghasilan yang diperoleh tanpa
mempersembahkannya lebih dahulu kepada Tuhan. Sebagaimana dinyatakan dalam
Bhagavadgita, Bab III, sloka 12, sebagai berikut.
Istan
bhogan hi vo deva, dasyante yajna bhavitah
Tair
dattan apradayaibhayo, yo bhukte stena eva sah
Terjemahannya :
Para Dewa mengurus berbagai kebutuhan hidup. Bila
para dewa dipuaskan dengan pelaksanaan yajna
(kurban suci), mereka akan menyediakan segala kebutuhan untukmu. Tetapi
orang yang menikmati berkat-berkat itu tanpa mempersembahkannya kepada para
dewa sebagai balasan, pasti dia adalah pencuri (Prabhupada, 1986:169).
Melalui upacara Tumpek Kandang inilah umat Hindu
mewujudkan persembahannya kepada Tuhan sebagai yajna. Dengan demikian umat Hindu tidak ingin dikatakan sebagai ”tulah hidup” karena begitu saja
menikmati penghasilan tanpa persembahan. Yajna
Tumpek Kandang, di dalamnya mengandung ucapan terima kasih, sekaligus
permohonan agar hewan ternak yang dijadikan sumber penghasilan akan memberikan
hasil yang semakin melimpah. Melalui pelaksanaan Tumpek Kandang, umat Hindu menyisihkan dana yang diperoleh untuk melaksanakan dharma, dengan harapan investasi meningkat (artha), dan bidang pekerjaan ini dapat dinikmati untuk pemenuhan kebutuhan dan
kesenangan hidup (kama).
Penekun acara agama Hindu,
Drs. IB Putu Sudarsana, MBA, M.M., dalam bukunya ”Ajaran Agama Hindu: Acara
Agama” (2007) menyatakan bahwa Tumpek Uye
sejatinya adalah kurban suci untuk semua jenis binatang yang ada di alam
semesta ini seperti golongan sato, mina,
paksi, manuk, serta gumatat-gumitit.
Tujuannya untuk memberikan penyupatan agar kelahiran berikutnya dari roh
hewan-hewan tersebut bisa meningkat kualitas tingkat kehidupannya. Namun,
Sudarsana (2007) menilai penyupatan
itu tidak semata-mata untuk binatang dalam pengertian fisik yang ada di bhuwana agung (alam semesta), tetapi
juga nonfisik berupa sifat-sifat kebinatangan yang ada dalam diri manusia (bhuwana alit).
D. Implementasi Nilai Tumpek Kandang
Tumpek Kandang, meskipun
pada dasarnya adalah persembahan
untuk semua jenis binatang, tetapi dalam praktiknya lebih
diprioritaskan bagi binatang ternak dan piaraan. Ini menegaskan bahwa masyarakat
pada masa lalu, juga masa sekarang telah terbiasa melakukan pilihan rasional
pada hal-hal yang sangat dekat dan dianggap penting dalam kehidupannya. Pilihan
rasional ini pula menyebabkan ritual keagamaan selalu mengalami reinterpretasi
dan rekontekstualisasi pada setiap zaman. Esensi Tumpek
Kandang dapat dipertahaknakan, ketika masyarakat menyadari dan merasakan pentingnya hewan
ternak dan piaraan dalam kehidupannya. Untuk itu pemberdayaan bidang peternakan
menjadi nilai penting yang perlu direvitalisasi dalam setiap pelaksanaan
upacara Tumpek Kandang. Upaya pemberdayaan bidang peternakan
dapat dimulai dengan membangun kesadaran masyarakat bahwa bidang peternakan
bernilai ekonomis tinggi apabila digeluti dan ditekuni secara sungguh-sungguh.
Hal ini
menghendaki agar peternakan dikelola secara profesional sehingga bidang ini
dapat menjadi tumpuan keluarga peternak dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.
Dengan demikian, makna Tumpek Kandang sebagai
hari cinta kasih kepada binatang dapat divitalkan maknanya menjadi kecintaan
pada profesi sebagai peternak karena menyayangi binatang ternak dan piaraan
merupakan dasar untuk mengelola peternakan dengan baik. Pada gilirannya, Tumpek
Kandang akan kembali
menemukan makna sakralnya bahwa Sanghyang Rare Angon yang telah menjaga hewan
ternak, serta memberikan kemakmuran dan kebahagiaan pada pemiliknya, akan
senantiasa dipuja dan disuguhi persembahan terbaik oleh para peternak yang
budiman.
Tumpek Kandang adalah
ritual sakral yang telah dilaksanakan oleh umat Hindu secara turun-temurun.
Pemujaan kepada Sanghyang Rare Angon, penguasa para binatang, merupakan bentuk
kasih universal umat Hindu kepada semua makhluk untuk menciptakan kebahagiaan
semesta (sarwa prani hita). Bagi
masyarakat modern yang kehidupannya terikat pada rasionalitas dan berorientasi
pada kesejahteraan hidup material (ekonomi), maka makna upacara Tumpek Kandang perlu direvitalisasi
dalam konteks pemberdayaan bidang peternakan. Dengan demikian ritual ini
semakin fungsional bagi masyarakat karena Sang Hyang Rare Angon dihadirkan
dalam hewan ternak dan piaraan yang memberikan kesejahteraan pada manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Phalgunadi, I Gusti Putu.
2005. Sekilas Sejarah Evolusi Agama
Hindu. Denpasar. Magister Ilmu Agama dan Kebudayaan.
PHDI Kabupaten Badung. 1994. Sundarigama.
Badung: Pemerintah Kabupaten Dati. II Badung.
Prabhupada, A.C.
Bhaktivedanta Swami, 1986. Bhagavad Gita
Sesuai Dengan Aslinya, Jakarta.
Hanuman Sakti.
Pudja, Gde. 1998. Yajurveda (Veda Surti) Bagian I. Surabaya. Paramita.
Sudarsana, IB. Putu. 2007. Ajaran Agama Hindu: Acara Agama.
Denpasar: Yayasan Dharma Acarya.
Tim Penyusun. 2002. Kamus Istilah
Agama Hindu. Denpasar: Pemerintah Daerah Provinsi Bali.
Visvanathan, ed. 2001. Tanya Jawab
Hindu Bagi Pemula. Surabaya: Paramita.
Kenapa puja untuk sang hyang rare angon tiḟdak dikemukakan
BalasHapus