Selasa, 23 Agustus 2016

TUMPEK KANDANG

 TUMPEK KANDANG

Oleh
Dr. Nanang Sutrisno, S.Ag, M.Si


A.    Landasan Sastra
Upacara Tumpek secara khusus dibahas dalam Lontar Sundarigama. Untuk diketahui bahwa lontar Sundarigama merupakan intisari dari ajaran wariga gemet. Hal ini tertulis dalam bait ke-3 yang berbunyi sebagai berikut. 
Um, ranak si Purahita mekabehan, Siwa, Sogata, rengen pawarahkwe kita anakku, an Ling aji Sundarigama, pakertin tikang pawitran, pangisining wariga gemet, pacatuning rat bhawana, wastu wayang ning ngastuti, Sanghyang bunten ing wwang mahayu raga sarira, dadi hawan ing krta nugrahanira Sang Hyang Maha Wisesa, tumurun ring bhuwana, lwih tinemunia, rahayu hanrus ring Tribhuwana, palaning han dadi wwang, mapageh ikang sundih aji, mening mahening kajagadhitan ta purahita kabeh, bhyuh bala, byuh sisya, kadang apa lwir nia, nihan”
Artinya :
Wahai anakku para purahita semuanya, Siwa Budha, dengarkanlah nasehatku ini untukmu anakku, bahwa dalam ajaran Sundarigama merupakan tuntunan pelaksanaan pesucian, isi dari wariga gemet, sebagai kehidupan dunia, wujud dalam memuja Hyang Widhi Wasa dan menjadi perantara bagi manusia untuk menyelamatkan dirinya, yang menjadi jalan tuntunan dalam memohon nugraha Sang Hyang Wisesa. Ajaran ini diturunkan ke dunia dan diberikan kepada manusia agar manusia dapat menikmati kebahagiaan kekal di atas dunia. Makmurlah Negara karena menikmati keutamaan, yaitu keselamatan terus-menerus di tri bhuwana (bhur, bwah, swah), inilah keutamaan yang amat mulia bagi manusia, dan itulah yang menyebabkan langgengnya kesucian bagi Negara dan rajanya. Keheningan dan kemurnian para purahita adalah kebahagiaan dunia, kemakmuran rakyat, para pelajar, para saudara dan siapapun juga. 

Pada dasarnya Hari Raya Tumpek adalah hari raya yang jatuh pada hari Saniscara Kliwon. Adapun bentuk pemujaan dan perayaan disesuaikan dengan Wuku yang mengikutinya sehingga akan lahir 6 (enam) jenis upacara Tumpek dengan maksud dan tujuan yang berbeda satu dengan lainnya. Mengenai arti penting dari pelaksanaan upacara Tumpek, seperti dijelaskan dalam Lontar Sundarigama sebagai berikut.
Saniscara Kliwon ngaran, wekasing tuduh rikang wwang, haywa lali amusti Sang Hyang Maha Wisesa, haywa deh, ndan haywa pisah, apasamana tumurun kertanira Sanghyang Anta Wisesa ring rat kabeh...
Artinya:
Hari Saniscara Kliwon dinamakan hari inti, hakikat dari anugerah Hyang Widhi, yang diberikan kepada manusia. Oleh karenanya, janganlah lupa menyembah Hyang Maha Wisesa, jangan menjauhkan diri, bahkan janganlah sampai terpisah dengan Beliau. Sebab segala sesuatu yang ada ialah karena turunnya kesempurnaan Hyang Widhi yang terus menerus dilimpahkan kepada seluruh dunia.

Hari raya Tumpek Kandang hadir setiap 210 hari sekali, tepatnya pada Saniscara Kliwon wuku Uye. Secara etimologi, kata tumpek berarti hari Sabtu Kliwon dalam sistem kalender Jawa-Bali, sedangkan kata kandang berarti rumah hewan piaraan atau binatang piaraan itu sendiri (Tim, 2002:123). Bagi umat Hindu di Bali khususnya, upacara ini disebut juga Tumpek Wawalungan atau Oton Wewalungan atau Tumpek Uye, yaitu hari selamatan binatang-binatang piaraan (binatang yang dikandangkan) atau binatang ternak (wawalungan). Mengenai Tumpek Kandang sebagaimana tersurat dalam Lontar Sundarigama adalah sebagai berikut.
Uye, Saniscara Kliwon, Tumpek Kandang, prakrti ring sarwa sato, patik wenang paru hana upadana nia, yan ia sapi, kebo, asti, salwir nia satoraja...”
Artinya:
Wuku Uye, pada Saniscara Kliwon, adalah Tumpek Kandang, yaitu hari untuk mengupacarai semua jenis binatang ternak dan binatang lainnya. Adapaun upacaranya: jika Sapi, Kerbau, Gajah, dan binatang besar lainnya (sato agung)...

Landasan filosofis dan teologisnya juga dapat ditemukan dalam teks selanjutnya, sebagai berikut.
”...kalingania iking widhana ring manusa, amarid saking Sanghyang Rare Angon, wenang ayabin, pituhun ya ring manusa, sinukmaning sato, paksi, mina, ring raganta wawalungan, Sanghyang Rare Angon, cariranira utama”.
Artinya:
Adapun penjelasannya bahwa banten-banten ini, serta upacaranya itu seperti mengupacarai manusia karena konon binatang-binatang itu dijiwai oleh Sanghyang Rare Angon. Itulah sebabnya patut diupacarai. Sebenarnya, manusia itu adalah makhluk utamanya daripada binatang-binatang seperti, burung, ikan, dan sebagainya. Demikianlah Sanghyang Rare Angon menjadikan sarwa binatang sebagai badan utama Beliau.

Dari kutipan lontar di atas dapat dipahami bahwa upacara Tumpek Kandang adalah upacara bagi semua jenis binatang. Upacara ini didasari oleh keyakinan panteistik bahwa Tuhan/Ida Sanghyang Widhi Wasa berada dalam diri semua makhluk. Demikianlah Sanghyang Rare Angon yang berbadankan sarwa sato (semua binatang) sesungguhnya adalah jiwa semua makhluk (advestam sarva bhutanam). Mitologi Sanghyang Rare Angon mengisahkan bahwa Bhatara Siwa turun ke dunia sebagai penggembala binatang. Ini merupakan ajaran khas Siwaistik, yakni Siwa sebagai Pasupati (penguasa binatang) yang berkembang dalam Siwaisme di India (Phalgunadi, 2005). Ajaran inilah yang kemudian berpadu dengan tradisi Hindu Bali.

B.    Tata Cara Pelaksanaan
Tujuan utama dari pelaksanaan hari-hari baik dan suci adalah untuk kebahagiaan semua makhluk (bhuta hita, sarwa prani hita). Dalam bait ke-4, Lontar Sundarigama juga dijelaskan bahwa “pada saat hari yang uttama (kala wayutama) adalah waktu pesucian para dewa-dewi, bhatara-bhatari, widyadara-widyadari, pitara-pitari. Beliau beryoga semedi untuk kebahagiaan dunia maka manusia pun patut untuk ikut serta melaksanakan pujawali untuk menyambut cinta kasih yang akan dilimpahkan oleh Hyang Widhi, berbakti dengan upacara yang disuguhkan kepada para Bhatara”. Dengan demikian maka melalui persembahan bhakti pada Hyang Widhi Wasa tatkala hari-hari suci adalah utama demi terciptanya keselamatan dan kebahagiaan dunia. Adapun tata cara pelaksanaan upacara Tumpek Kandang seperti dijelaskan dalam lontar Sundarigama berikut ini.
”...upadania: tumpeng, tebasan, pareresikan, panyeneng, jerimpen. Yan ing Bawi : Tumpeng, penyeneng, canang raka. Yan ring babi ina : anaman bakkok, belayang tunggal lawan sagawon. Yan ing sarwa paksi: ayam, itik, angsa, dolong, titiran, kukur, kunang salwir nia: anaman manut rupania, yang paksi anaman paksi, yan ayam anaman ayam, duluran nyeneng, tetebus mwang kembang pahes”.
Artinya :
” adalah tumpeng, tetebasan, pareresik, penyeneng, dan jerimpen. Kalau terhadap Babi jantan (bangkung) adalah tumpeng tebasan, penyeneng, dan canang raka. Kalau ternak Babi betina persembahannya adalah ketupat belekok, belayang tunggal, dan sagu. Kalau untuk jenis burung, ayam, itik, titiran, demikian pula perkutut, dan sejenisnya maka persembahannya adalah ketupat menurut bentuk rupanya, yaitu kalau burung berupa ketupat burung, kalau ayam dengan ketupat berupa ayam. Lain daripada itu juga dengan banten penyeneng, tetebus, dan kembang payas.

”... sedengnging latri tan wenang anambut karya, meneng juga pwa ya, heningakna juga ikang adnyana malilian, umengetaken Sanghyang Dharma, mwang kawyiadnyana sastra kabeh, mangkan telas kangetakna haywa sang wruhing tattwa yeki tan mituhu, mwang alpa ring mami, tan panemwa rahayu ring saparania, apania mangkana, wwang tan pakarti, tan payasa, tan pakrama, sania lawan sato, binania amangan sega. Yan sang wiku tan manut, dudu sira Wiku, ranak ira Sanghyang Dharma”.
Artinya:
Pada malam harinya, tidak dibenarkan mengambil pekerjaan jasmani, melainkan hanya melakukan renungan suci, yakni mengheningkan cipta dan diarahkan untuk menyadari Sanghyang Dharma. Lain daripada itu, juga diarahkan kepada inti sari ajaran agama seluruhnya. Demikianlah semuanya agar diingat-ingat, terutama harus disadari oleh orang yang mendalami tattwa. Apabila hal ini tidak dilaksanakan, lebih-lebih jika malah dinodai, niscaya tidak akan mendapatkan keselamatan di manapun nantinya berada, mengapa demikian? Karena orang yang tidak melaksanakan Kerti, Yasa, dan Karma (tindakan terpuji, pengabdian, dan perbuatan baik), dapatlah disamakan dengan binatang, bedanya hanya karena ia memakan nasi. Jika sang Wiku yang bijaksana tidak menuruti ajaran ini, bukanlah dia disebut Wiku yang disayangi oleh Sanghyang Dharma.

Dari uraian tersebut dapat dipahami bahwa tata cara pelaksanaan upacara Tumpek Kandang dilaksanakan dengan mempersembahkan babantenan seperti yang telah disebutkan. Wajib bagi umat Hindu untuk menghaturkan persembahan, melakukan puja, sujud bhakti kepada kemuliaan dan kebesaran Hyang Widhi, Beliau yang Mahapemurah dan pemberi anugerah keutamaan bagi kehidupan manusia. Pada malam harinya, upacara Tumpek Kandang adalah malam yang baik untuk melakukan renungan suci, tapa-brata-yoga-samadhi. Hubungan transendental terus-menerus ditujukan kepada Sanghyang Dharma, Kebenaran Abadi. Anugerah utama yang dimohon adalah supaya kehidupan manusia senantiasa dituntun oleh dharma, demi tercapainya tujuan tertinggi (purusa artha), yakni moksartham jagadhita ya ca itu dharma. Hal ini seperti dijelaskan dalam Sarasamuccaya, seloka 14 ”ikang dharma ngarania, henuning mara ring swarga ika, kadi gatining perahu an hetuning banyaga nentasing tasik” (’..yang disebut dharma adalah jalan menuju sorga, seperti sebuah perahu yang digunakan nelayan untuk menyeberangi samudera’).

C.    Fungsi dan Makna
Tumpek Kandang merupakan ritual yang begitu penting bagi masyarakat terutama mereka yang menggantungkan mata pencahariannya pada bidang peternakan. Bagi para peternak tentu hewan piaraan atau hewan ternak menjadi sangat penting bagi kehidupannya karena ternak inilah sumber penghidupan dan kesejahteraan. Mengingat keberadaan hewan ternak sebagai sumber kesejahteraan sehingga hewan-hewan ternak ini diberikan posisi yang terhormat dan mulia. Binatang adalah kamadhenu (pemuas keinginan/kama manusia). Mitos dan mistik merupakan cara masyarakat agraris untuk memaknai pemuliaan kepada binatang tersebut sehingga setiap ritual yang berkenaan hewan piaraan atau ternak selalu dihubungkan Yang Transenden, yakni Sanghyang Rare Angon sebagai dewa penguasa seluruh binatang dalam konteks lokal (Bali).
Beberapa mitologi Hewan Suci yang tertuang dalam berbagai kitab Purana, misalnya sapi adalah jenis binatang peliharaan yang sangat dimuliakan umat Hindu. Sapi dalam tradisi Hindu hendaknya dihormati sebagai ibu, di samping juga bumi pertiwi, kitab suci dan lain sebagainya (Visvanathan, 2001:236). Dalam kitab suci Veda dinyatakan bahwa Tuhan mengambil wujud sebagai Garuda untuk memberikan rasa aman dan kesejahteraan kepada umat manusia. Ada hewan suci lainnya, seperti angsa, merak, naga, dan lain-lain. Dalam hal ini Tuhan dihadirkan dalam wujud-wujud tertentu sebagaimana umat manusia mendambakannya hingga lahirlah konsep ista dewata (dewa-dewa pujaan). Tuhan hadir berwujud atau tidak berwujud (Sarupa atau Nirrupa), personal atau impersonal sesuai dengan kemampuan imajinatif dan ekspresif manusia. Barong disebut Banaspati yang berarti raja hutan atau raja pohon, ia juga disebut Prajapati, raja dari semua binatang buas. Dalam ajaran Saiwasiddhanta, Siva disebut Pasupati, pengendali dan gembala semua binatang piaraan. Demikianlah agama Hindu turut memuliakan tradisi religius Tumpek Kandang, yakni wujud pemujaan kepada Hyang Siwa Pasupati, atau oleh masyarakat Hindu Bali umumnya disebut Sanghyang Rare Angon.
Upacara Agama Hindu pada dasarnya dibangun oleh tiga kesadaran sebagai satu kesatuan, yakni kesadaran ketuhanan (teosentris), kesadaran humanis (antroposentris), dan kesadaran alam (kosmosentris). Ketiga kesadaran ini merupakan tiga penyebab kebahagiaan manusia (tri hita karana) sehingga ketiga-tiganya harus hadir secara simultan dan integral dalam sebuah ritual. Dalam upacara Tumpek Kandang, kesadaran ketuhanan diwujudkan dengan pemujaan kepada Sanghyang Rare Angon yang menjadi jiwa seluruh binatang, khususnya hewan ternak dan piaraan. Kemudian, kesadaran humanis bahwa otonan wawalungan sama artinya dengan upacara kepada manusia sehingga upacara ini adalah upaya memanusiakan binatang. Memperlakukan binatang seperti halnya manusia, merupakan kesadaran humanis eksistensial bahwa binatang (juga tumbuh-tumbuhan) turut membangun eksistensi manusia. Dapat dibayangkan ketika manusia tanpa tumbuh-tumbuhan dan binatang, mustahil eksistensinya akan terjaga di dunia ini. Sementara itu, kesadaran kosmis bahwa upacara tumpek merupakan cara manusia membangun dan melestarikan lingkungan alam dan budayanya. Pelestarian lingkungan alam ditujukan untuk keselamatan bumi pertiwi, tumbuh-tumbuhan dan binatang di dalamnya, sedangkan pelestarian lingkungan budaya bahwa melalui upacara ini manusia menyatakan sikap hidupnya kepada alam dan lingkungan sehingga manusia dapat menyelaraskan diri dengan harmoni semesta. Dengan demikian Tumpek Kandang adalah cara umat Hindu membangun kesadaran universal untuk mewujudkan kebahagiaan dunia, seperti dijelaskan dalam Yajurveda XVI.48 ”Berbuatlah agar semua orang, binatang-binatang dan semua makhluk hidup berbahagia”.
Segala persembahan dalam konteks bhakti adalah kasih. Dalam Lontar Sunarigama dinyatakan "Saniscara Kliwon Uye pinaka prakertining sarwa sato". Artinya, hari itu hendaknya dijadikan tonggak untuk melestarikan semua jenis hewan. Sementara itu, dalam Sarasamuscaya juga disebutkan "Aywa tan masih ring sarwa prani, apan prani ngaran prana", yang artinya janganlah tidak sayang kepada binatang karena binatang dan semua makhluk adalah kehidupan. Dengan demikian pelaksanaan Tumpek Kandang merupakan pembiasaan dan pembudayaan umat Hindu dalam mengembangkan kasih sayang kepada semua makhluk. Dalam ajaran Hindu, diyakini bahwa Tuhan Yang Mahaesa adalah jiwa semua makhluk sehingga kasih kepada semua makluk adalah kasih kepada Tuhan. Umat Hindu mewujudkannya dalam Puja Tri Sandhya yang menyatakan ”Sarvaprani hitankarah” (hendaknya semua makhluk hidup berbahagia). Ini adalah doa universal untuk keseimbangan jagat raya dan segala isinya.
Keempat, dalam realitasnya umat Hindu masih banyak yang menggantungkan kehidupannya pada peternakan sebagai mata pencaharian dan sumber penghasilan. Umat Hindu diajarkan untuk tidak menikmati begitu saja penghasilan yang diperoleh tanpa mempersembahkannya lebih dahulu kepada Tuhan. Sebagaimana dinyatakan dalam Bhagavadgita, Bab III, sloka 12, sebagai berikut.
Istan bhogan hi vo deva, dasyante yajna bhavitah
Tair dattan apradayaibhayo, yo bhukte stena eva sah
Terjemahannya :
Para Dewa mengurus berbagai kebutuhan hidup. Bila para dewa dipuaskan dengan pelaksanaan yajna (kurban suci), mereka akan menyediakan segala kebutuhan untukmu. Tetapi orang yang menikmati berkat-berkat itu tanpa mempersembahkannya kepada para dewa sebagai balasan, pasti dia adalah pencuri (Prabhupada, 1986:169).

Melalui upacara Tumpek Kandang inilah umat Hindu mewujudkan persembahannya kepada Tuhan sebagai yajna. Dengan demikian umat Hindu tidak ingin dikatakan sebagai ”tulah hidup” karena begitu saja menikmati penghasilan tanpa persembahan. Yajna Tumpek Kandang, di dalamnya mengandung ucapan terima kasih, sekaligus permohonan agar hewan ternak yang dijadikan sumber penghasilan akan memberikan hasil yang semakin melimpah. Melalui pelaksanaan Tumpek Kandang, umat Hindu menyisihkan dana yang diperoleh untuk melaksanakan dharma, dengan harapan investasi meningkat (artha), dan bidang pekerjaan ini dapat  dinikmati untuk pemenuhan kebutuhan dan kesenangan hidup (kama).
Penekun acara agama Hindu, Drs. IB Putu Sudarsana, MBA, M.M., dalam bukunya ”Ajaran Agama Hindu: Acara Agama” (2007) menyatakan bahwa Tumpek Uye sejatinya adalah kurban suci untuk semua jenis binatang yang ada di alam semesta ini seperti golongan sato, mina, paksi, manuk, serta gumatat-gumitit. Tujuannya untuk memberikan penyupatan agar kelahiran berikutnya dari roh hewan-hewan tersebut bisa meningkat kualitas tingkat kehidupannya. Namun, Sudarsana (2007) menilai penyupatan itu tidak semata-mata untuk binatang dalam pengertian fisik yang ada di bhuwana agung (alam semesta), tetapi juga nonfisik berupa sifat-sifat kebinatangan yang ada dalam diri manusia (bhuwana alit).

D.    Implementasi Nilai Tumpek Kandang
Tumpek Kandang, meskipun pada dasarnya adalah persembahan untuk semua jenis binatang, tetapi dalam praktiknya lebih diprioritaskan bagi binatang ternak dan piaraan. Ini menegaskan bahwa masyarakat pada masa lalu, juga masa sekarang telah terbiasa melakukan pilihan rasional pada hal-hal yang sangat dekat dan dianggap penting dalam kehidupannya. Pilihan rasional ini pula menyebabkan ritual keagamaan selalu mengalami reinterpretasi dan rekontekstualisasi pada setiap zaman. Esensi Tumpek Kandang dapat dipertahaknakan, ketika masyarakat menyadari dan merasakan pentingnya hewan ternak dan piaraan dalam kehidupannya. Untuk itu pemberdayaan bidang peternakan menjadi nilai penting yang perlu direvitalisasi dalam setiap pelaksanaan upacara Tumpek Kandang.  Upaya pemberdayaan bidang peternakan dapat dimulai dengan membangun kesadaran masyarakat bahwa bidang peternakan bernilai ekonomis tinggi apabila digeluti dan ditekuni secara sungguh-sungguh.
Hal ini menghendaki agar peternakan dikelola secara profesional sehingga bidang ini dapat menjadi tumpuan keluarga peternak dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Dengan demikian, makna Tumpek Kandang sebagai hari cinta kasih kepada binatang dapat divitalkan maknanya menjadi kecintaan pada profesi sebagai peternak karena menyayangi binatang ternak dan piaraan merupakan dasar untuk mengelola peternakan dengan baik. Pada gilirannya, Tumpek Kandang akan kembali menemukan makna sakralnya bahwa Sanghyang Rare Angon yang telah menjaga hewan ternak, serta memberikan kemakmuran dan kebahagiaan pada pemiliknya, akan senantiasa dipuja dan disuguhi persembahan terbaik oleh para peternak yang budiman.
Tumpek Kandang adalah ritual sakral yang telah dilaksanakan oleh umat Hindu secara turun-temurun. Pemujaan kepada Sanghyang Rare Angon, penguasa para binatang, merupakan bentuk kasih universal umat Hindu kepada semua makhluk untuk menciptakan kebahagiaan semesta (sarwa prani hita). Bagi masyarakat modern yang kehidupannya terikat pada rasionalitas dan berorientasi pada kesejahteraan hidup material (ekonomi), maka makna upacara Tumpek Kandang perlu direvitalisasi dalam konteks pemberdayaan bidang peternakan. Dengan demikian ritual ini semakin fungsional bagi masyarakat karena Sang Hyang Rare Angon dihadirkan dalam hewan ternak dan piaraan yang memberikan kesejahteraan pada manusia.


DAFTAR PUSTAKA

Phalgunadi, I Gusti Putu. 2005. Sekilas Sejarah Evolusi Agama Hindu. Denpasar. Magister Ilmu Agama dan Kebudayaan.

PHDI Kabupaten Badung. 1994. Sundarigama. Badung: Pemerintah Kabupaten Dati. II Badung.

Prabhupada, A.C. Bhaktivedanta Swami, 1986. Bhagavad Gita Sesuai Dengan Aslinya,  Jakarta. Hanuman Sakti.

Pudja, Gde. 1998. Yajurveda (Veda Surti) Bagian I. Surabaya. Paramita.

Sudarsana, IB. Putu. 2007. Ajaran Agama Hindu: Acara Agama. Denpasar: Yayasan Dharma Acarya.

Tim Penyusun. 2002. Kamus Istilah Agama Hindu. Denpasar: Pemerintah Daerah Provinsi Bali.

Visvanathan, ed. 2001. Tanya Jawab Hindu Bagi Pemula. Surabaya: Paramita. 


1 komentar: