DEMOKRASI DALAM ARTHASASTRA
Refleksi Politik Multikultural Hinduistis
Oleh
Nanang Sutrisno
“rwaneka dhatu winuwus wara buddha wiswa/
bhineka rakwa ring apan kena parwanosen/
mangka ng Jinatwa kalawan Siwatwa tunggal/
bhineka tunggal ika tan hana dharma mangrwa//
(disebutkan dua perwujudan Beliau, yaitu
Buddha dan Siwa/
berbeda konon, tetapi kapankah dapat dibagi dua/
demikianlah kebenaran Buddha dan kebenaran
Siwa itu satu/
yang berbeda itu sesungguhnya satu jua, karena tidak ada dharma yang mendua//)
(Kakawin Sutasoma)
1. Pendahuluan
Petikan bait Kakawin Sutasoma di atas merupakan
catatan penting tentang Siwa dan Buddha di Indonesia. Dalam kronik
sejarah, kemanunggalan Siwa dan Buddha memang memiliki karakter yang
sedikit berbeda di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Di Jawa Tengah (Mataram Kuna) Siwa dan Buddha merupakan dua agama besar yang hidup berdampingan secara serasi,
selaras, dan harmonis dalam satu negara (Suamba, 2007:91). Mengikuti catatan Rassers (1926:6)
bahwa Siwa atau Buddha adalah agama negara yang terkait erat dengan
wangsa-wangsa kerajaan tertentu yang berkuasa (Sedyawati, 2009:19). Sementara
itu, Siwa-Buddha pada masa pemerintahan di Jawa Timur adalah aspek saja dari satu
agama yang tunggal (Rassers, 1926:6; Sedyawati, 2009:19). J. Gonda dan Haryati Soebadio
(Sedyawati, 2009:33) menyebut penyatuan Saiwa
dan Buddha di Majapahit dengan
istilah “koalisi”, yaitu sebagai prinsip tertinggi atau kebenaran tertinggi dan
segala manifestasinya, tetapi dalam praktiknya tetaplah terpisah. Siwa-Buddha adalah prinsip kebenaran
tertinggi yang tidak dapat dibedakan satu dengan yang lain. Konon berbeda, tetapi sesungguhnya satu karena
tidak ada kebenaran yang mendua.
Sejarah Siwa-Buddha di Indonesia telah berhasil
menunjukkan betapa bangsa ini memiliki kemampuan kreatif dalam membangun
kehidupan berbangsa dan bernegara. Inilah lokal genius. Haryati Soebadio (Ayatrohaedi, 1986:18-19) mengartikan
local genius sejajar dengan apa yang
dewasa ini dikenal dengan culture
identity, yaitu identitas atau kepribadian budaya suatu bangsa yang mampu
menyerap dan mengolah pengaruh kebudayaan dari luar sehingga sesuai dengan
watak dan karakter pribadinya. Bhinneka Tunggal Ika adalah hasil kreatif bangsa
Majapahit dalam menjawab tantangan kehidupan di bidang keagamaan (Sedyawati,
2009:27). Kearifan masa lalu ini telah menginspirasi founding
father bangsa Indonesia untuk menetapkannya sebagai semboyan Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Seperti juga Bung Karno yang selalu menegaskan Jas Merah (jangan lupakan sejarah), maka Bhinneka Tunggal Ika adalah landasan negara untuk membangun bangsa yang plural dengan pengakuan terhadap
kelompok-kelompok masyarakat yang mempunyai latar belakang ras, suku, adat-istiadat, dan agama yang berbeda.
Pemilihan semboyan Bhinneka Tunggal Ika dari bait Sutasoma
– kitab suci Siwa-Buddha ini – tentu
bukanlah kebetulan. Ini merupakan kerja reflektif historis yang menegaskan
betapa bangsa Indonesia adalah bangsa yang religius. Penegasan ini salah
satunya dapat dirujuk dari pelacakan hermeneutis-historis
terhadap arkeologi kebudayaan Indonesia yang dilakukan oleh Jacob Sumardjo
(2002:1—10). Dari kajian tersebut ditemukan bahwa sifat
religius bangsa ini sudah tertanam dalam berbagai kebudayaan lokal, bahkan
sebelum Hindu sebagai agama pertama masuk ke Indonesia. Selanjutnya,
persentuhan antara agama-agama lokal dengan agama-agama besar yang datang
kemudian seperti, Hindu, Buddha, Islam, Kristen, dan Kong Hu Cu, semakin
meneguhkan sifat religius bangsa ini. Oleh karena itu, tidaklah berlebihan jika
para pendiri bangsa ini menempatkan
Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama Pancasila. Demikian juga, dalam Undang-undang Dasar 1945, pasal 29 yang
menyatakan bahwa negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Artinya,
negara kesatuan ini adalah negara yang berketuhanan, bukan negara agama dan
bukan pula negara sekuler.
Karakter bangsa Indonesia yang
religius ini sesungguhnya bisa menjadi modal penting bagi
suksesnya pembangunan nasional. Mengingat agama berisikan ajaran-ajaran
mengenai kebenaran yang tertinggi dan mutlak tentang eksistensi manusia, serta
petunjuk-petunjuk untuk hidup selamat di dunia dan akhirat. Agama sebagai
sistem keyakinan dapat menjadi bagian sistem nilai yang ada dalam kebudayaan
masyarakat bersangkutan, menjadi pendorong atau penggerak, serta pengontrol
dari tindakan-tindakan para anggota masyarakat tersebut untuk tetap berjalan
sesuai dengan nilai-nilai kebudayaan dan ajaran-ajaran agamanya (Ghazali, 2000:59). Secara sosiologis, agama dalam realitas
kehidupan juga akan bersentuhan dengan pemenuhan kebutuhan hidup manusia, baik
yang bersifat fisik-biologis, sosial, ekonomi dan politik. Demikian juga agama
akan bersentuhan dengan kebutuhan-kebutuhan integratif yang menyangkut hal-hal
yang sangat penting dalam kehidupan manusia, yaitu keinginan untuk hidup
beradab, bermoral, tenteram, dan damai. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
keberagamaan itu saling kait-mengait antara hal-hal yang bersifat normatif
dengan dimensi kehidupan yang bersifat praksis aktual, baik pada level
individual maupun kolektif (Notingham, 2002:36).
Namun demikian, pentingnya peran
agama dalam kehidupan individu dan sosial, juga harus berhadapan dengan sisi
paradoks dari agama itu sendiri. Sifat paradoks dari agama bahwa di satu sisi
agama diyakini sebagai jalan penjamin menuju keselamatan, cinta dan perdamaian,
sementara itu di sisi lain agama justru menjadi sumber penyebab dan alasan bagi
kehancuran dan kemalangan umat manusia. Karena agama orang bisa saling
mencinta, tetapi atas nama agama pula orang saling membunuh dan menghancurkan
(Sindhunata, 2003:13). Penyerangan terhadap kelompok Ahmadiyah di Cikeusik,
serta pengerusakan gereja dan sekolah di Temanggung pada awal bulan Februari
2011, menjadi bukti betapa kekerasan atas nama agama telah menjadi catatan
kelam bagi negeri yang konon sangat religius ini. Apabila gejala ini terus
berlanjut, bukan tidak mungkin bahwa pluralitas agama di Indonesia akan menjadi
sumber disintegrasi yang paling menakutkan dalam sejarah kehidupan bangsa yang
sedang merenda terwujudnya negara demokrasi. Oleh karena itu, pluralitas agama
harus menjadi dimensi penting yang perlu dibicarakan dalam upaya demokratisasi
Indonesia.
Pluralitas agama di Indonesia
harus dipandang sebagai keniscayaan yang dapat menjadi potensi integrasi,
sekaligus pula potensi konflik (Notingham, 2002; Sindhunata, 2003). Oleh karena itu, demokratisasi agama harus
mendahului demokratisasi bidang-bidang kehidupan lainnya dalam pembangunan
demokrasi di Indonesia. Ini merupakan konsekuensi logis dari karakter bangsa
yang religius pada satu sisi, sedangkan pada sisi yang lain juga pluralitas
agama masih menyisakan banyak masalah di negeri ini. Artinya, selama proses
demokratisasi Indonesia berlangsung, semua agama harus mendapatkan kesempatan
seluas-luasnya untuk berperan-serta dalam membangun mentalitas dan partisipasi
pemeluknya dalam pembangunan. Sementara itu, kesadaran multikultural harus
ditanamkan secara terus-menerus dalam diri setiap pemeluk agama sehingga mereka
bisa hidup berdampingan dalam perbedaan. Apabila persoalan pluralitas ini masih belum dapat diselesaikan, sebaliknya
dominasi mayoritas dan tirani minoritas masih terjadi maka cita-cita demokrasi
itu akan semakin sulit terwujud. Malahan, demokrasi itu akan menjadi tirani,
ketika penindasan terhadap minoritas masih terjadi dan opini minoritas tetap
dibungkam (Triguna, 2004).
Untuk itu diperlukan kesiapan dari
setiap agama untuk melakukan transformasi internal. Agama harus berani
merumuskan kembali pandangan-pandangannya mengenai martabat manusia,
kesejajaran kedudukan semua manusia di muka undang-undang, dan solidaritas
hakiki antara sesama umat beragama. Dengan cara ini, setiap agama akan dapat
berintegrasi dengan keyakinan-keyakinan lain dalam pencapaian sejumlah
nilai-nilai universal yang akan mendudukkan hubungan antaragama pada sebuah
tataran baru. Artinya, agama akan memiliki sumbangan yang berarti dalam proses
demokrasi, jika dalam dirinya sendiri berwatak membebaskan. Atas dasar ini
pula, setiap agama harus memiliki kerelaan untuk menerima pendapat atau ajaran
agama lain sebagai nilai kebenaran yang bisa dibagi bersama dan untuk kebaikan
bersama. Dengan demikian demokrasi akan mengarah pada makna hakikinya, yaitu
sebuah tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara yang bermuara pada satunya
kata ”dari kita, dengan kita, dan untuk kita”. Dalam kerangka inilah, sumbangan
pemikiran dari agama-agama untuk demokratisasi Indonesia perlu mendapatkan
apresiasi dari seluruh komponen bangsa.
Salah satu sumbangan pemikiran
yang layak diapresiasi guna demokratisasi Indonesia adalah politik Hindu.
Bagaimanapun juga, Hindu telah membangun fondasi ketatanegaraan dan politik
nusantara pada masa lampau. Dikatakan demikian karena konsepsi tentang negara,
pemerintahan, politik, dan kepemimpinan memang diperkenalkan oleh Hindu dengan
sistem kerajaan yang khas. Walaupun sistem ini tidak lagi digunakan di
Indonesia, bukan berarti pemikiran yang disumbangkan dapat diabaikan begitu
saja. Setidak-tidaknya, pemikiran politik Hindu khususnya mengenai aspek-aspek
demokrasi dapat dijadikan media refleksi untuk menatap demokrasi Indonesia ke
depan. Paling tidak, Hindu dengan pemikiran khas orientalisnya dapat menjadi
penyeimbang, bahkan juga kontrol bagi model demokrasi Indonesia yang selama ini
cenderung berorientasi ke Barat (Eropa dan Amerika). Inilah yang akan dibahas dalam
makalah singkat ini.
2. Politik
Menurut Hindu
Politik telah menjadi masalah yang
menggelitik pemikiran manusia selama berabad-abad. Setidaknya, persoalan
politik muncul sejak sekelompok orang mulai hidup bersama sehingga masalah
pengaturan dan pengawasan mulai diperlukan. Sejak saat itu para pemikir politik
mulai membahas masalah-masalah yang menyangkut lingkup serta batasan penerapan
kekuasaan, hubungan antara pemerintah dan yang diperintah, serta sistem apa
yang paling baik untuk menjamin pengawasan dan pengaturan tersebut dapat
berjalan dengan baik (Varma, 2001:3). Dalam perkembangannya, politik semakin mendapatkan maknanya dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara.
Lebih lanjut Varma (2001:3)
menjelaskan bahwa pemikiran politik berkembang dari masa ke masa. Apabila para
pemikir politik kuno cenderung memusatkan perhatian pada terbentuknya sebuah
negara ideal, maka pada zaman modern telah merambah masalah-masalah kekuasaan,
wewenang, pemerintahan, dan sebagainya. Pandangan kaum evolusionis ini
mengindikasikan adanya pembedaan yang tegas antara pemikiran politik zaman kuno
dan modern. Meskipun demikian, tidak bermakna bahwa pemikiran politik kuno
tidak relevan lagi dengan fenomena perpolitikan modern. Hal ini dibuktikan dengan
masih tingginya minat para pemikir politik modern terhadap karya-karya politik
kuno, misalnya Aristoteles, Plato, dan Arthasastra
karya Kautilya (Rao, 2003:13—17).
Hindu memandang politik tidak
semata-mata sebagai alat dan cara untuk memperoleh dan mempertahankan
kekuasaan. Lebih jauh dari itu bahwa politik merupakan alat bagi penegakkan Dharma. Hal ini banyak dijelaskan dalam
percakapan antara Bhagawan Bhisma dengan Yudhistira pasca perang Bharatayudha,
yaitu kitab Santi Parwa LXIII,
sebagai berikut:
"manakala politik telah sirna, Veda pun sirna pula, semua aturan hidup
hilang musnah, semua kewajiban manusia terabaikan. Pada politiklah semua
berlindung. Pada politiklah semua awal tindakan diwujudkan, pada politiklah
semua pengetahuan dipersatukan, pada politiklah semua dunia terpusatkan".
"ketika
tujuan hidup manusia - dharma, artha,
kama, dan moksa semakin jauh.
Begitu juga pembagian masyarakat semakin kacau, maka pada politikiah semua
berlindung, pada politiklah semua kegiatan agama/yajna diikatkan, pada politiklah semua pengetahuan dipersatukan,
dan pada politiklah dunia terpusatkan"
Politik hadir untuk membawa
keteraturan sistem di masyarakat. Tanpa kendali politik, masyarakat akan tumbuh
menurut hukum ikan (matsyanyaya), yaitu ikan yang besar memangsa ikan
yang kecil (Sen,
1986:23). Jika demikian adanya, maka kehidupan sosial akan mengalami chaos dan dharma sebagai prinsip hidup tertinggi akan ditinggalkan. Untuk
menghindarkan rakyat dari kondisi tanpa aturan inilah politik mendapatkan
tempat mulia dalam Hindu, yaitu
bertujuan untuk menegakkan dharma.
Dharma adalah hukum, kewajiban, dan
kebenaran yang menjadi landasan pencapaian tujuan hidup manusia, yakni
kesejahteraan dunia (jagadhita) dan
kebahagiaan rohani (moksa). Dharma adalah prinsip dasar dari hukum
universal (rta) dan hukum moral (satya), yang apabila dilanggar akan berakibat pada kehancuran umat
manusia, namun sebaliknya jika ditegakkan akan membawa kemuliaan (dharma raksatah raksitah). Melalui
politiklah, penegakan dharma memperoleh
makna praksisnya sebagai sistem yang mengatur dan menjamin pelaksanaan
prinsip-prinsip dharma dalam
masyarakat. Di sini, kebijakan dan kekuatan politik haruslah digunakan untuk
mengantarkan rakyat dalam mencapai tujuan-tujuan hidupnya.
Menurut Hindu, kesejahteraan rakyat (artha)
adalah tujuan ideal bagi semua sistem politik. Untuk mencapai tujuan tersebut
Hindu menekankan pentingnya kepaduan antara kepemimpinan (leadership) dengan sistem politik (political system). Seperti dijelaskan dalam Arthasastra bahwa negara dan pemerintah berperan sangat penting
dalam mengusahakan serta memelihara kemakmuran bangsa/rakyat. Untuk mendapatkan
keseimbangan antara kemakmuran rakyat dan kekayaan negara, Arthasastra mengajukan dua syarat utama, yaitu pertama, penegakan hukum dan ketertiban; dan kedua, adalah kinerja administratif yang memadai. Penegakan hukum
dan ketertiban dilakukan dengan seperangkat denda dan sanksi (dandaniti), sedangkan kinerja
administratif meliputi raksha (perlindungan
dari agresi luar), palana (pemeliharaan
ketertiban/hukum), dan yogakshema (menjamin
kesejahteraan rakyat) (Radendra S., 2005:3-4). Untuk melaksanakan semua konsep
ideal ini maka kepemimpinan menjadi faktor penentunya. Oleh karena itu, seluruh
sistem politik pada akhirnya harus bermuara pada hadirnya sosok pemimpin yang
memiliki jiwa kenegarawanan sehingga mampu melaksanakan amanat rakyat.
Konsep mengenai
pemimpin ideal bagi suatu negara telah menjadi pembahasan penting dalam
berbagai kesusasteraan Hindu, baik di India maupun Indonesia. Sebut saja Manawadharmasastra, Arthasastra, Nitisastra,
Rajadharma, Dandaniti, dan sebagainya, serta kitab-kitab berbahasa Jawa
Kuna yang ditulis di Indonesia. Salah satu konsep kepemimpinan yang begitu
populer di Indonesia adalah Asta Brata, yang
semula termuat dalam kitab Manawadharmasastra
dan mendapatkan penjabaran lebih jauh dalam Kakawin Ramayana. Pada intinya, seluruh ajaran kepemimpinan Hindu
menjelaskan bahwa pemimpin yang
baik adalah pemimpin yang mampu memberikan teladan,
selalu mengusahakan kesejahteraan rakyat (sukanikang
rat), dan menghindari kesenangan
pribadi (tan agawe
sukaning awak). Dalam
Kautilya Arthasastra dijelaskan bahwa "apa yang menjadikan raja senang
hendaknya tidak dianggap sebagai kebahagiaan, tetapi segala yang membuat rakyat
bahagia itulah kesenangan yang harus selalu diupayakan oleh seorang raja" (Gunadha, 2003:iii). Ungkapan ini menegaskan bahwa sasaran
politik Hindu adalah kebahagiaan rakyat, bukanlah kesejahteraan penguasanya
karena penguasa yang berhasil membawa rakyatnya pada kebahagiaan tertinggi, kemuliaan niscaya diraih
("sang sura menanging ranaggana,
mamukti sukha wibawa, bogha wiryawan").
Lebih lanjut dijelaskan dalam Kautilya Arthasastra bahwa seorang raja
harus mengurus kebutuhan warganya, meningkatkan produksi, mendistribusikannya,
serta melakukan upaya bagi kesejahteraan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat
(Gunadha, 2003:v). Sampai di sini jelas bahwa Arthasastra menitikberatkan peranan pemerintah dalam menciptakan
kesejahteraan yang dimakni sebagai keseluruhan proses dan aktivitas
mensejahterakan warga negara dan menerangkan sistem pelayanan sosial dan skema
perlindungan sosial bagi kelompok yang kurang beruntung (Suharto, 2005b),
seperti cita-cita negara kesejahteraan (welfare
state). Malahan, Arthasastra juga
menegaskan bahwa seorang raja dapat dihukum apabila dia mengabaikan
kesejahteraan umum (Rao, 2003:104). Dari sini dapat dilihat bahwa meskipun
sistem politik Hindu pada masanya adalah bersifat monarkhi, namun bukanlah monarkhi
absolute. Ini dibuktikan dengan posisi seorang raja sebagai pemegang
kekuasaan dan pemerintahan tertinggi, ternyata bukanlah sosok yang kebal hukum.
Dengan demikian, Hindu telah menanamkan benih-benih demokrasi dalam sistem
monarkhi yang khas.
3. Aspek-aspek
Demokrasi dalam Arthasastra
Demokrasi dalam pengertian klasik
setidak-tidaknya diartikan adalah “pemerintahan rakyat“ (dari kata demos yang berarti rakyat; dan kratos yang artinya pemerintahan). Dalam
hal ini, baik sebagai sebuah konsepi maupun praktik, demokrasi mengalami
perkembangan yang sangat panjang, yakni melalui perjalanan historis sepanjang
lebih dari dua setengah milenium. Dalam pemikiran Yunani, mula-mula demokrasi
berarti bentuk politik di mana rakyat sendiri memiliki dan menjalankan seluruh
kekuasaan politik (Bagus, 2002:154). Selanjutnya, dalam pemikiran modern,
demokrasi menjadi ide filosofis tentang kedaulatan rakyat. Artinya, semua
kekuasaan politik dikembalikan kepada rakyat. Presiden Lincoln dalam pidatonya
memberikan kesimpulan yang bergema kuat tentang definisi terbaik demokrasi
dalam sejarah Amerika dengan menyatakan, “pemerintahan dari rakyat, oleh
rakyat, dan untuk rakyat” (Melvin I. Urofsky dalam Clack, 2001:2). Tekanan
kepada kata “rakyat” diberikan untuk memberi kontras terhadap berbagai bentuk
pemerintahan absolut lainnya, seperti raja-raja yang sumber otoritasnya berasal
dari kekuasaan turun-temurun, dan/atau yang secara langsung maupun tidak
menyatakan diri memiliki kekuasaan untuk memerintah berdasarkan sumber yang
berasal dari kekuasaan Ilahi[1].
Demokrasi adalah sesuatu yang
berat, bahkan mungkin merupakan bentuk pemerintahan yang paling rumit dan
sulit. Demokrasi tidak dirancang demi efisiensi, tetapi demi
pertanggungjawaban. Sebuah pemerintahan demokratis mungkin tidak bisa bertindak
secepat pemerintahan diktator, namun sekali mengambil tindakan bisa dipastikan
adanya dukungan publik untuk langkah ini. Ada bermacam-macam istilah demokrasi,
antara lain ada yang dinamakan demokrasi konstitusionil, demokrasi parlementer,
demokrasi terimpin, demokrasi pancasila, dan lain sebaginya (Budiardjo,
l983:50; Triguna, 2004:7). Lebih lanjut dijelaskan bahwa dari sekian banyak
demokrasi ada dua aliran yang paling penting, yaitu demokrasi konstitusionil
dan satu kelompok aliran yang menamakan dirinya “demokrasi”, tetapi pada hakikatnya
mendasarkan dirinya atas komunisme.
Ciri khas demokrasi konstitusionil
adalah gagasan bahwa pemerintah yang demokratis adalah pemerintah yang terbatas
kekuasaannya dan tidak dibenarkan bertindak sewenang-wenang terhadap warga
negaranya. Pembatasan-pembatasan atas kekuasaan pemerintah tercantum dalam
konstitusi, maka dari itu sering disebut pemerintahan berdasarkan konstitusi
(Budiardjo, l983:52; Triguna, 2004:7). Konstitusi dirumuskan melalui proses
hukum yang dituangkan dalam bentuk undang-undang. Menurut sistem demokrasi
bahwa pemerintahan dapat dilakukan secara langsung atau melalui wakil-wakil
rakyat. Wakil-wakil rakyat dipilih secara bebas dan rahasia menurut prinsip
yang ditentukan oleh suara mayoritas rakyat. Wakil-wakil rakyat menduduki jabatan
dalam waktu tertentu dengan diberikan hak dan kewajiban yang digariskan secara
jelas. Selanjutnya, kepala negara dipilih oleh rakyat atau oleh wakil-wakilnya
(Bagus, 2002:155). Bentuk pemerintahan konstituasi menurut Greg Russel (Clack,
2001:9-11) terdiri atas beberapa prinsip, yaitu kedaulatan rakyat, kekuasaan
hukum, pemisahan kekuasaan dan sistem pengawasan serta pertimbangan,
federalisme, dan perjuangan untuk hak-hak individu.
Ini berarti bahwa dalam
perkembangannya, definisi demokrasi akhirnya harus menerima elemen
“perwakilan”, yaitu sesuatu yang di kemudian hari diterima sebagai sebuah
keniscayaan yang tak terelakkan karena alasan pemerintahan langsung oleh rakyat
menjadi hampir tidak mungkin dikerjakan dalam masyarakat yang relatif jauh
lebih besar jumlahnya dibandingkan dengan masyarakat di negara kota Athena dari
mana konsepsi demokrasi itu dilahirkan dan dipraktikan. Sejak Abad XVIII dan
sesudahnya, baik sebagai konsepsi maupun praktik, prinsip perwakilan merupakan
hal yang melekat dalam pengertian demokrasi. Prinsip perwakilan sebagaimana
dimengerti sesungguhnya juga telah mengalami sejarah perkembangan yang panjang.
Sampai sebelum berakhirnya akhir Abad XIX, prinsip perwakilan dalam demokrasi
hanya merujuk pada sejumlah kelompok kecil masyarakat. Walaupun terdapat
“pemilihan wakil-wakil rakyat”, tidak semua warga negara memiliki hak memilih
dan dipilih. Di Eropa, berawal di Inggris, anggota parlemen hanya terdiri atas
mereka yang berasal dari kelompok bangsawan dan tuan tanah. Itu juga sering hanya
untuk menghasilkan parlemen yang sampai batas-batas tertentu tidak lebih dari
sekedar sebagai pendamping kekuasaan para raja. Di Eropa, dua kelompok
masyarakat inilah yang sampai pada akhir Abad-18 menjadi klas sosial yang
secara ekslusif memiliki priveledge
dalam sistem perwakilan (Plato, 2002).
Hanya menjelang peralihan ke Abad
ke-20 belakangan ini prinsip perwakilan semacam itu mengalami revolusi yang
berarti. Prinsip perwakilan pada
akhirnya juga mencakup rakyat dalam arti yang lebih luas. Tidak hanya itu,
konsepsi demokrasi pada akhirnya juga menyentuh hal yang paling mendasar dari
hubungan kekuasaan, yaitu, di manapun demokrasi selalu mensyaratkan hadirnya
“relasi-relasi yang bebas, merdeka, dan setara” di antara warga negara. Sampai sebelum 1760 rupanya tidak sebuah
negara manapun di dunia mengadopsi pemerintahan demokratik dalam pengertian
yang dipakai sekarang. Pada 1919 demokrasi telah dipraktikkan di Inggris dan
negara-negara dominion Inggris, seperti Kanada, Australia, dan Selandia Baru, di
samping itu demokrasi juga dipraktikkan di Amerika Serikat, dan beberapa negara
Eropa Utara dan Barat, seperti Perancis, Jerman, Italia, Swiss, Austria,
Scandinavia. Pada akhir Abad XX, lebih dari separuh jumlah negara-negara di
dunia mengadopsi demokrasi (Russel dan Urofsky dalam Clack, 2001:7—10).
Pada dasarnya pemahaman tentang
esensi demokrasi yang berkembang sejak awal hingga pertengahan abad ini merujuk
pada konsepsi pemisahan dan pembagian kekuasaan. Pemisahan kekuasaan (separation
of power) memiliki fokus yang terutama berdimensi horizontal, sedangkan
pembagian kekuasaan (distribution of power) memiliki fokus yang
berdimensi vertikal. Pemisahan kekuasaan berbicara tentang bagaimana tugas dan
kewenangan di antara tiga cabang pemerintahan dipisahkan untuk menghindarkan
kemungkinan terjadinya absolutisme kekuasaan. Tiga cabang pemerintahan ini
adalah lembaga yudisial, eksekutif, dan legislatif. Prinsip umum yang dipakai
sebagai dasar untuk membuat pemisahan kekuasaan di antara tiga lembaga ini
bersumber pada ajaran pokok tentang fungsi pengawasan dan keseimbangan
kekuasaan (checks and balances) (Sparingga, 2007). Dalam konteks
hubungan ini, eksekutif ditempatkan sebagai lembaga yang menjalankan amanah
rakyat sebagaimana dirumuskan oleh wakil-wakil mereka di lembaga legislatif.
Sementara itu, legislatif memainkan peran sebagai lembaga yang merumuskan
aspirasi rakyat. Aspirasi inilah yang dipakai sebagai dasar untuk bekerja
merumuskan program-program kebijakan yang pada dasarnya merupakan usaha
mendistribusikan dan mengalokasikan sumber dan nilai. Pada tempat semacam
inilah terdapat kebutuhan untuk membangun legislatif yang peka (sensitive)
dan tanggap (responsive) terhadap dinamika dan perkembangan aspirasi
yang terdapat dalam masyarakat (Sparringa, 2007). Sementara itu, lembaga
yudisial memiliki posisi yang amat sentral untuk memastikan bahwa prinsip
kebebasan dan keadilan (free and fairness) dalam politik itu terjadi.
Lembaga ini mengantongi sebuah kewenangan tertinggi untuk menjalankan sebuah
sistem peradilan yang bebas dari campur tangan kekuasaan lainnya. Lembaga
yudisial bekerja dengan prinsip yang menjunjung tinggi keadilan – sebuah
prinsip yang tak dapat dianulir oleh kekuasaan manapun termasuk kekuasaan
mayoritas dalam legislatif (Sparringa, 2007).
Esensi lainnya yang terdapat dalam
demokrasi menurut Sparringa (2007) adalah pembagian kekuasaan di antara
pemerintah pusat, regional, dan lokal.
Dalam pembagian kekuasaan semacam ini terdapat pengaturan yang jelas tentang
apa yang menjadi kekuasaan pemerintah di tingkat pusat dan daerah. Roh yang
pada umumnya dipakai untuk melakukan pembagian ini pada umumnya dilakukan
dengan dalil umum, seperti berikut ini.
Apa yang oleh konstitusi tidak diserahkan pengelolaan kekuasaannya
kepada pemerintah pusat haruslah diserahkan pengelolaannya kepada pemerintah di
tingkat regional (dalam kasus di Indonesia, provinsi). Apa yang oleh konstitusi
dan undang-undang lainnya tidak diserahkan pengelolaan kekuasaannya kepada
pemerintah pusat dan regional haruslah diserahkan pengelolaannya kepada
pemerintah di tingkat lokal (dalam kasus di Indonesia, kabupaten/kota). Dalam
praktiknya, roh semacam itu sedikit banyak juga dipengaruhi oleh bentuk negara
yang dipakai (negara kesatuan atau federal) (Sparringa, 2007).
Sistem demokrasi berjalan dengan
baik, apabila rakyat memiliki kematangan politik. Manakala terjadi perbedaan
pandangan di antara mereka maka bagian yang lebih kecil dengan lapang dada
harus mengikuti pemikiran yang disetujui oleh sebagian besar warga masyarakat
(Triguna dalam Wesnawa, 2002:40). Artinya, rakyat harus memiliki kesiapan untuk mengedepankan
kepentingan umum daripada kepentingan pribadi. Keputusan-keputusan yang dicapai
secara musyawarah haruslah diterima sebagai keputusan yang mengikat seluruh
warga negara. Konsep esensial tersebut dalam sistem politik demokrasi memiliki
unsur-unsur pokok, yaitu negara, kekuasaan, pengambilan keputusan,
kebijaksanaan, dan pembagian atau alokasi (Budiardjo, l983:9). Menurut Melvin
I. Urofsky (2001:3-5) ada beberapa unsur penting dalam sistem demokrasi, yaitu
prinsip pemerintahan berdasarkan kostitusi; pemilihan umum yang demokratis;
federalisme, pemerintahan negara bagian dan lokal; pembuatan undang-undang;
sistem peradilan yang independen; kekuasaan lembaga kepresidenan; peran media
yang bebas; peran kelompok-kelompok kepentingan; hak masyarakat untuk tahu; dan
kontrol sipil atas militer. Sementara itu, Henry B. Mayo menjelaskan bahwa
nilai-nilai umum yang mendasari sistem politik demokrasi adalah (l)
menyelesaikan perselisihan secara damai dan melembaga, (2) menjamin
terselenggaranya perubahan secara damai dalam suatu masyarakat yang sedang
berubah, (3) menyelenggarakan pergantian pimpinan secara teratur, (4) membatasi
pemakaian kekerasan sampai minimum, (5) mengakui serta menganggap wajar adanya
keanekaragaman dalam masyarakat yang tercermin dalam keanekaragagaman pendapat,
kepentingan, serta tingkah-laku (Budiarjo, l983:62-63; Triguna, 1999:5 dan
2002:9).
Atas dasar pengertian,
unsur-unsur, dan nilai-nilai demokrasi tersebut tulisan ini mencoba menelusuri
unsur-unsur negara dalam buku Arthasastra
yang mengandung (benih) aspek atau nilai demokrasi dalam buku Arthasastra. Untuk itu penelusuran
diawali dari pengertian negara yang dedifinisikan oleh Kautilya. Kautilya
merumuskan negara sebagai suatu kumpulan dari bermacam-macam masyarakat yang
diwujudkan atas dasar prinsip-prinsip militer dan dharma. Negara melambangkan dharma
yang universal, yaitu suatu perlambang yang berisikan kebebasan individu (Rao, 2003:82). Bagi Kautilya, dharma adalah konsep yang bersifat etis. Dalam konteks individu dharma adalah swadharma atau kewajiban-kewajiban dan tanggung jawab; dalam
konteks kemasyarakatan ia adalah solidaritas sosial; dalam konteks agama yang
dipeluk masyarakat ia adalah realisasi diri yang disebut moksa; dan dalam konteks vyavahara,
charitra, dan peraturan yang diundangkan dharma adalah keadilan (Rao, 2003:154).
Kautilya menganjurkan agar negara dibangun berdasarkan empat kaki hukum: dhramasastra atau hukum suci, vyavahava atau kesaksian, carittara atau sejarah atau tradisi,
dan sasana
atau maklumat raja-raja (Rao, 2003:41).
Buku Arthasastra pertama-tama menelaah tujuan masyarakat dengan
menerangkan posisi Trayi (Veda),
Anvikshaki (filsafat), vartta (ekonomi), dan dandaniti (hukum) dalam kerangka keberadaan manusia. Kemudian
dilanjutkan dengan menjelaskan warnasrama
dharma sebagai landasan tertib sosial dan kewajiban-kewajiban umum yang
berlaku untuk semua orang. Sebagai seorang negarawan, Kautilya menaruh
perhatian besar terhadap kerjaan dan kekuasaan. Dalam buku 6 bab I, Arthasastra
menyebutkan unsur-unsur negara itu terdiri atas svami, amatya, janapada, durga, kosa,
danda, dan mitra. Svami adalah yang dipertuan atau master,
yaitu lebih menunjuk kepada seorang kepala negara atau presiden ketimbang
sebagai seorang raja; Amatya adalah
para menteri atau pejabat tinggi negara; Janapada
adalah wilayah dan penduduknya; Durga adalah
benteng; Kosa adalah perbendaharaan
negara; Danda adalah tentara; dan mitra adalah sekutu. Kautilya menyusun buku
Arthasastra atas sistem
monarki-konstitusi. Svami diposisikan
dalam struktur pemerintahan sebagai pemegang kekuasaan tertinggi. Kekuasaannya
tidak absolut. Kedudukan dan fungsinya sebagai seorang svami ditentukan dan diatur secara ketat. Ada pelapisan dan
distribusi kekuasaan yang jelas. Tugas dan kewajiban svami menurut Kautilya dibedakan menjadi tiga, yaitu tugas
eksekutif, yudikatif, dan administratif. Ini menandakan adanya sistem pembagian
kekuasaan, sebaigamana yang berkembang dalam sistem demokrasi.
Krishna Rao
setelah mempelajari Arthasastra
berkesimpulan bahwa negara Kautilya adalah negara monisme yang ditetapkan
berdasarkan sifat pluralistik. Kautilya membicarakan negara tidak dalam
pengertian nasional karena negaranya tidak terbatas pada satu ras, bahasa, dan
agama (Rao, 2003:69). Dijelaskan pula bahwa negara
merupakan lingkaran organisasi di mana emosi dan peradaban hidup rakyatnya bisa
menyatu (Rao, 2003:11l). Atas dasar itu Kautilya menjelaskan
tujuh unsur yang disebut saptangga
yang membangun konsep negaranya. Dari saptangga
itu ditemukan nilai-nilai yang menjadi unsur-unsur demokrasi sebagai berikut.
(1)
Negara
menjamin kebebasan dalam berserikat atau berorganisasi. Di dalam negara ada
serikat kerja, yaitu suatu kesatuan sosial tertentu yang dibangun atas tujuan
bersama. Organisasi dibentuk atas dasar fungsi atau pandangan. Ada sejumlah
istilah yang dipakai oleh Kautilya untuk menyatakan serikat kerja, yaitu sreni: kelompok perdamaian, pelayan militer, dan perdagangan; kula: dewan perwakilan atau oligarki
pangeran-pangeran; puga: perserikatan
bermacam-macam kasta yang tidak
mempunyai jabatan; ghana: komfederasi
gabungan sebuah perserikatan; dan sanggha:
perserikatan politik. Semua unsur itu masing-masing mewakili bermacam-macam
kehidupan sosial Hindu. Organisasi serikat kerja ini berbadan hukum dan svami wajib menghormati atau mengakuinya
(Rao, 2003:116).
(2)
Kerjasama
yang merdeka dan harmonis. Krishna Rao
menjelaskan bahwa serikat pekerja dalam Arthasastra
sebagai organisasi yang demokratis (Rao, 2003:35).
Mengingat terdapat bukti kerjasama yang merdeka dalam semua bidang kehidupan.
(3)
Ada
jaminan perlindungan hidup bagi warga negara. Negara didirikan untuk
perlindungan hidup, perlindungan hak milik dan untuk menjamin
kesempatan-kesempatan untuk kemajuan sosial (Rao, 2003:39).
Ada departemen pemerintah pusat yang khusus terdiri atas para menteri dan
komisaris disebut pradeshtarah untuk
melindungi kepentingan para tukang dalam hubungannya dengan serikat kerjanya
yang menjamin mereka dengan jaminan (Rao, 2003:42).
(4)
Kepala
negara menyatakan diri sebagai perantara rakyat dan diberi kedudukan oleh
hukum. Svami yang ideal bagi Kautilya
adalah seorang rajarsi, yaitu raja
yang memiliki kualitas, antara lain kelahiran mulia, cerdas, arif, gagah
berani, gesit yang memandang dirinya sebagai perantara rakyat dan diberikan
kedudukan oleh hukum (Rao, 2003:65).
(5)
Kebijakan
kepala negara ditetapkan melalui pertimbangan. Negara dan svami ibarat badan dengan jiwanya. Setiap kebijakan dan tindakan svami harus ditetapkan melalui diskusi
atau pertimbangan mantriparisad.
Kabinet utama yang harus memutuskan kebijaksanaan ini terdiri atas mentri
utama, panglima, purohita, dan yuvaraja. Peranan svami adalah dharmapravartaka,
yaitu seorang kepala negara yang terus-menerus dalam pekerjaan yang benar demi
negara. Tanggung jawabnya adalah mempertahankan dharma dan melindungi rakyatnya dengan keadilan. Kautilya berkata:
“Svami tidak akan pernah memberikan
rakyatnya menyimpang dari kewajiban-kewajiban mereka yang telah ditetapkan.
Sebab barang siapa yang mendukung kewajibannya sendiri, berpatokan pada
kebiasaan arya, mengikuti
kewajiban-kewajiban kasta dan varnasramadharma akan memperoleh
kebahagiaan di dunia ini dan di akhirat (Rao,
2003:65). Dalam menjalankan kebijakan atau menyelesaikan konflik, svami menerapkan ajaran niti yang disebut sadguna, yaitu sama, bheda, danda, upeksa, maya, dan indrajala (Rao, 2003:96). Sama
atau rekonsiliasi adalah hal yang pertama-tama dilaksanakan. Apabila
rekonsiliasi gagal barulah diterapkan guna
berikutnya. Ini artinya, Kautilya mendukung penyelesaian masalah secara damai.
(6)
Suksesi
kepemimpinan dilaksanakan secara terencana. Putra-putra svami, sebelum ia diangkat menjadi svami, terlebih dahulu ia harus melewati masa pendidikan,
pengajaran dan pelatihan. Kurikulum pengajaran dan pelatihan tersebut berisi,
antara lain (a) mereka dididik untuk menjadi orang yang disiplin, menguasai
dirinya. Kautilya menyatakan, tujuan tertinggi dari ilmu pengetahuan adalah
penguasaan atas indria (Teks:1.6.3); (b) terdapat berbagai cabang ilmu
pengetahuan yang harus dipelajari oleh putra-putra svami. Akan tetapi yang paling pokok yang harus dikuasai oleh putra
svami adalah ilmu pemerintahan.
Kemudian baru trayiveda, filsafat dan
ekonomi. Yang menarik, calon svami
juga harus mempelajari itihasa; dan
(c) pelatihan yang paling utama adalah pelatihan keprajuritan. Seorang putra svami sebelum menjadi svami terlebih dahulu harus diuji
keberanian dan keterampilannya dalam berperang. Demikian juga dalam menangani
berbagai persoalan kenegaraan. Putra svami
yang nantinya dipilih menjadi svami
adalah putranya yang paling berkualitas berdasarkan kasih-sayang kemanusiaan
dan dicintai rakyat.
(7)
Ada
struktur pemerintahan dan pembagian tugas secara profesional. Sebagai kepala
negara, svami memiliki tiga tugas
pokok, yaitu eksekutif, yudikatif, dan administratif. Dalam bidang eksekutif, svami bertugas melindungi negara;
menjaga perdamaian; memberi bantuan kepada yang membutuhkan; mengorganisir
rakyat dalam menanggulangi bencana alam, mengangkat menteri, pejabat sipil, dan
panglima tentara; berkonsultasi dengan mantripasad
dan lembaga intelijen; mengonrol potensi keuangan, tentara; mengecek penerimaan
dan pengeluaran negara; dan menetapkan kebijakan luar negeri dan pergerakan
tentara. Berdasarkan penjabaran di atas jelas tampak bahwa ada distribusi
kekuasaan. Svami dalam menjalankan
roda pemerintahan didampingi dan dibantu oleh para menteri, amatya. Kautilya mengajarkan bahwa para
menteri haruslah putra bangsa sendiri yang siap mengabdi sesuai dengan tugas
yang dibebankan kepadanya.
(8)
Kedudukan
dan fungsi pejabat negara ditentukan berdasarkan kualitas moral dan
keahliannya. Menteri-menteri adalah bagikan dua mata svami, karena itu mereka haruslah orang yang arthacita, bercita-cita luhur; silavan,
bertabiat mulya; sampriya, suka membahagiakan orang lain atau masyarakat; prajna, cerdas; dakhya, kreatif; dan vagmi,
berpengetahuan luas.
(9)
Hukum
diubah dan dibuat dengan memperhatikan sumber dharma dan bersifat rasional. Dalam bidang yudikatif, svami bukan sumber hukum, tetapi
memiliki kekuasaan tertinggi atas pengontrolan para hakim. Svami hanya bertugas mengadministrasikan institusi yang bertugas
dalam membuat dan mengubah hukum. Kautilya menyatakan hukum haruslah rasional,
berdasarkan dharma, sesuai dengan veda trayi, veda smrti, sista atau kebiasaan arif orang suci dan
tradisi (Rao, 2003:104—105).
Para hakim hendaknya menguasai dharmasastra.
Interpretasi hukum hendaknya tidak memihak (Rao, 2003:l05).
(10)
Pemerintahan
dijalankan berdasarkan hukum. Berdasarkan undang-undang administrasi, - dharmasthiya, hukum sipil dan kantaka
sodhana, penal law – svami mengkonsolidasi kerajaan dengan
administrasi terpusat. Secara teknis pekerjaan administrasi ditangani oleh para
pejabat birokrasi secara baik dan efisien (Rao, 2003:l09). Di samping mengontrol kerja para pejabat
negara, svami juga berkewajiban
memberi inspirasi dan dorongan fundamental bagi aktivitas negara.
(11)
Ada
bantuan negara untuk kesejahtraan sosial. Perhatian terhadap kesejahtraan
rakyat dalam bidang ekonomi adalah kewajiban svami, karena ia adalah ayah bagi rakyatnya. Bantuan negara yang
diberikan adalah untuk membangkitkan industri-industri perorangan (Rao, 2003:114). Bantuan hendaknya diberikan secara langsung
dan cepat kepada perorangan atau golongan (Rao, 2003:117).
Negara membiayai rakyat yang tidak berpenghasilan (Rao, 2003:116). Ini berarti kesejahtraan rakyat adalah
kesejahtraan svami. Kautilya
menyatakan: “rasa tidak puas warga negara
merupakan malapetaka serius bagi negara”.
(12)
Besar
pajak dan keuntungan perdagangan diatur berdasarkan kesepakatan. Kekayaan
kerajaan Mauria sengat tergantung kepada penghasilan negara dan pajak. Ada
undang-undang yang mengatur mengenai perpajakan. Undang-undang ini dibuat atas
kesepakatan raja dan rakyat (Rao, 2003:129).
Contoh, pemasukan penghasilan dari tambang dikenai pajak 5% (Rao, 2003:125). Pengambilan keuntungan dalam berdagang
dikendalikan. Kautilya mengatakan bahwa pengawas perdagangan memastikan
keuntungan 5% atas barang-barang lokal, dan 10%
terhadap barang-barang (Rao, 2003:43).
(13)
Rakyat
yang berkualitas dan bebas dari rasa malas. Janapada
adalah wilayah dan penduduk. Penduduk adalah warga negara yang dinamis
dalam organisasinya dan mengaktifkan wilayahnya (Rao, 2003:44).
Kautilya mengatakan rakyat haruslah individu-individu yang berhati tulus dan
penuh cintakasih, bhakti-suci.
Kreatif, giat bekerja untuk mendapatkan nafkah. Mau mengembangkan sumber daya
yang terpendam dalam dirinya, kamasila
karsakah. Bebas dari sifat malas dan acuh-tak acuh, pramada. Dikatakan pula bahwa individu bukan pribadi yang
terisolir, tetapi bagian dari suatu tatanan sosial. Ada tiga kelas penduduk,
yaitu negarawan, angkatan perang, dan para pekerja. Ketiga kelas penduduk itu
masing masing mempunyai kewajiban yang telah ditetapkan dan dilarang untuk
mencampur-adukkan kewajiban (Rao, 2003:65).
Kautilya mengatakan, “baur dalam
kewajiban dan rasa tidak puas warga negara dikatakan malapetaka serius bagi
negara”.
(14)
Kesetaraan
gender. Kautilya mempunyai pandangan yang sama dengan Manu tentang wanita, yaitu
yatra naryasya pujyonte tatra ramante
devatah. Artinya, para dewa akan turun menjelajahi dunia bilamana para
wanita dihormati. Kautilya menegaskan, ia yang menghormati kaum wanita berarti
perduli terhadap peraturan pemerintah. Berzinah dengan gadis belum dewasa
adalah tindakan kriminal. Memperkosa dan membunuh wanita mendapat hukuman yang
berat. Kautilya menghargai perkawinan yang monogami. Hubungan antara suami
dengan istrinya adalah hubungan yang saling mengasihi. Perkawinan merupakan
suatu ikatan yang kooperatif terutama dalam kedekatan dan kebahagiaan.
Suami-istri bukan saja bersikap sebagai teman, tetapi bersama-sama menanggung
berat-ringannya pekerjaan. Suami harus memperlakukan istrinya dengan penuh
hormat. Istri berhak mengklaim biaya hidup dan hasil yang diperoleh suaminya
sesuai dengan proporsinya. Tidak dibenarkan di antara mereka berdua boleh
melakukan kekejaman (Rao, 2003:145-146).
4. Simpulan
Kerajaan atau negara yang diidealkan oleh
Kautilya adalah negara dinamis yang dibangun dengan poros dharma untuk mencapai cita-cita jagaddhita:
artha dan kama. Oleh karena itu, negara
haruslah dipimpin oleh seorang svami, yaitu
seorang raja yang berkualitas rsi.
Artinya, seorang pemimpin negara yang telah berhasil menjelmakan dharma sebagai kepribadiannya. Negara
dan svami ibarat tubuh dengan
jiwanya. Svami adalah seorang grahastin, seorang ayah bagi rakyatnya, dharma-svami. Oleh sebab itu tujuan
utamanya adalah mengusahakan artha
untuk mendorong (kama) anak-anaknya
untuk mendapatkan dharma, dan
mengamalkan dharma-nya. Dharma dalam konteks kerajaan atau
negara adalah hakikat demokrasi. Kautilya dengan tandas menyatakan bahwa dharma dalam konteks individu adalah
kewajiban-kewajiban dan tanggung jawab; dalam konteks sosial adalah solidaritas
sosial; dalam konteks agama yang dipeluk rakyat adalah realisasi diri; dalam
konteks peraturan yang diundangkan adalah danda.
Jiwa demokrasi ini kemudian dikonkretkan dalam unsur-unsur negara yang disebut astangga.
Dengan demikian di dalam Arthasastra tercermin unsur-unsur demokrasi, seperti dijelaskan
dalam konsepsi demokrasi di atas, antara lain kerajaan atau negara mengakui
keanekaan; rakyat bebas dalam berserikat atau berorganisasi; terdapat kerja
sama yang merdeka dan harmonis; svami
mengusahakan tegaknya keadilan; terdapat pemisahan dan pembagian kekuasaan;
kekuasaan diperoleh berdasarkan hukum; pemilihan pejabat negara berdasarkan
kualitas moral dan keahliannya; kebijakan pemerintah dijalankan berdasarkan
hukum; suksesi kepemimpinan dilaksanakan secara terencana; ada kebebasan
individu untuk mengembangkan bakat dan minat; menjamin perlindungan hak dan
kesejahteraan sosial; besarnya pajak dan keuntungan perdagangan ditetapkan
berdasarkan kesepakatan; dan penyelesaian perselisihan secara melembaga dengan
mengutamakan perdamaian.
Mengakhiri pembahasan ini
dihadirkan refleksi demokrasi Arthasastra
dalam politik multikultural Hindu. Arthasastra
telah menanamkan konsep-konsep demokrasi dalam sistem pemerintahan monarki.
Demokrasi yang menempatkan kebebasan individu dalam kerangka kesetaraan dan
kesejajaran telah diapresiasi begitu lugas dan brilian dalam Arthasastra. Artinya, Arthasastra telah mengubah pandangan logosentrisme yang mengklaim sistem monarki adalah
absolutisme kekuasaan. Model kekuasaan mutlak yang menidakkan dan meniadakan
multikulturalitas. Malahan politik multikultural begitu kental menjiwai
kerangka demokrasi dengan diakuinya kelompok-kelompok intelektual dan
profesional (kula, puga, srenggi)
yang merepresentasikan golongan intelektual organis dalam tradisi Gramscian.
Dengan demikian, demokrasi Arthasastra bukanlah
tirani kekuasaan. puput.
5. Daftar
Pustaka
Bagus. Lorens, 2002. Kamus
filsafat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Berg, C.C, 1985, Penulisan
Sejarah Jawa, Jakarta: Bhatara.
Budiardjo, Miriam, 1983. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakata:
Gramedia.
Carrithers, David Wallace.
1977. The Spirit of Laws by Montesquieu.
Berkeley – Los Angeles- London: University of California Press.
Clack, George, 2001, Demokrasi (Jurnal), A March of The
Lyberty: A Constitutional History of the United States (2nd ed,
2001).
De Graaf, H.J, 1985, Awal
Kebangkitan Mataram: Masa Pemerintahan Senapati, Jakarta: Grafiti Pers.
_________, 1987, Disntergrasi
Mataram: Di Bawah Mangkurat I, Jakarta: Grafiti Pers.
Kahmad, H. Dadang, 2000, Sosiologi Agama, Bandung: Pt. Remaja Rosdakarya.
Kimball, Charles.2003. Kala Agama Jadi Bencana. Bandung:
PT.Mizan.
Machiavelli, The Art
of War (terjemahan: E. Setyawati Alkhatab dan Toni Setiawan), Yogyakarta:
Bentang Budaya.
Mantra,
Ida Bagus, dkk. 2002. Siwa-Buddha Puja di
Indonesia. Denpasar: Yayasan Dharma Sastra.
Nottingham, Elizabeth K. 1985. Agama dan Masyarakat. Jakarta:
CV.Rajawali.
Plato, 2002, The
Republic (terjemahan: Sylvester Sukur), Yogyakarta: Bentang Budaya.
Radendra S. Ida Bagus. 2005. Ekonomi dan Politik Dalam Arthasastra.
Denpasar: Program Magister Ilmu Agama dan Kebudayaan UNHI Denpasar bekerjasama
dengan Penerbit Widya Dharma.
Rao, M.V.Krishna. 2003. Studies In Kautilya. Denpasar: Program
Magister Ilmu Agama dan Kebudayaan UNHI Denpasar bekerjasama dengan Penerbit
Widya Dharma.
Rassers, Willem
Huibert. 1926. Siwa en Boeddha in den
Indischen Archipel, edisi Translation
Series – KITLV, No. 3. 1959 oleh Nijhoff.
Rousseau, Jean Jacques. The Social Contract Discourses. Translated with Introduction by
G.D.H.Cole,MA. London : J.M.Dent & Sons Ltd.
Schrieke, 1955, The Native Rulers (dalam Indonesian Sociological Studies – Selected Studies on Indonesia. Bandung:
The Hague.
Sedyawati, Edi.
2009. Saiwa dan Bauddha di Masa Jawa Kuna.
Denpasar: Widya Dharma.
Sen, Ajit Kumar. 1986. Hindu Political Thought. Delhi: Gian
Publishing House.
Sparringa, Daniel, 2007,
”Kapita Selekta Politik Indonesia” (kumpulan materi kuliah), Denpasar: Propgram
Pendidikan Doktor kajian Budaya, Program Pascasarjana, UNUD.
Suamba, I.B.
Putu. 2007. Siwa-Buddha di Indonesia
Ajaran dan Perkembangannya. Denpasar: Program Magister Ilmu Agama dan
Kebudayaan berkerjasama dengan Penerbit Widya Dharma.
Triguna, I.B.G Yudha, 1999,
“Strategi Adaptasi Budaya” (Modul Teori Adaptasi Budaya), Jakarta: Dikdasmen.
________,2002. “Strategi Pemberdayaan Masyarakat dan
Kebudayaan Bali dalam Dinamika Multikultural” (Makalah). Denpasar: Balai
Kajian.
________,2002. Hindu dan
Modernitas: Refleksi Sosiologi Agama terhadap Fenomena Spiritualitas.
Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam Bidang Sosiologi Agama. Denpasar:
Universitas Hindu Indonesia.
________,2003. “Masyarakat Sipil dalam Tradisi Desa Pakraman
untuk Masa Depan Masyarakat Bali” (Makalah, 14 Maret). Denpasar: Hotel
Inna, Veteran.
Varma, S.P.
2001. Teori Politik Modern. Jakarta:
RajaGrafindo Persada.
Wesnawa, Ida Bagus Putu. 2002. Revitalisasi Kebudayaan Hindu Untuk
Ketahanan Masyarakat Bali. Denpasar: Sekretariat Dewan Perwakilan Daerah
Propinsi Bali.
[1]
Model pemerintahan dan sistem kekuasaan seperti ini, yang menganggap bahwa raja
memiliki kekuasaan absolut, bahkan mewakili kekuasaan para dewa di bumi
sehingga ucapan raja harus dipatuhi, dapat ditelusuri dalam sistem perintahan
raja-raja di Jawa. Lihat, Berg, C.C, 1985;
De Graaf, H.J, 1985; dan De Graaf, H.J, 1987.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar