Selasa, 23 Agustus 2016

DEMOKRASI DALAM ARTHASASTRA

DEMOKRASI DALAM ARTHASASTRA
Refleksi Politik Multikultural Hinduistis

Oleh
Nanang Sutrisno


“rwaneka dhatu winuwus wara buddha wiswa/
bhineka rakwa ring apan kena parwanosen/
mangka ng Jinatwa kalawan Siwatwa tunggal/
bhineka tunggal ika tan hana dharma mangrwa//

 (disebutkan dua perwujudan Beliau, yaitu Buddha dan Siwa/
berbeda konon, tetapi kapankah dapat dibagi dua/
demikianlah kebenaran Buddha dan kebenaran Siwa itu satu/
yang berbeda itu sesungguhnya satu jua, karena tidak ada dharma yang mendua//)
(Kakawin Sutasoma)

1.     Pendahuluan
Petikan bait Kakawin Sutasoma di atas merupakan catatan penting tentang Siwa dan Buddha di Indonesia. Dalam kronik sejarah, kemanunggalan Siwa dan Buddha memang memiliki karakter yang sedikit berbeda di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Di Jawa Tengah (Mataram Kuna) Siwa dan Buddha merupakan dua agama besar yang hidup berdampingan secara serasi, selaras, dan harmonis dalam satu negara (Suamba, 2007:91). Mengikuti catatan Rassers (1926:6) bahwa Siwa atau Buddha adalah agama negara yang terkait erat dengan wangsa-wangsa kerajaan tertentu yang berkuasa (Sedyawati, 2009:19). Sementara itu, Siwa-Buddha pada masa pemerintahan di Jawa Timur adalah aspek saja dari satu agama yang tunggal (Rassers, 1926:6; Sedyawati, 2009:19). J. Gonda dan Haryati Soebadio (Sedyawati, 2009:33) menyebut penyatuan Saiwa dan Buddha di Majapahit dengan istilah “koalisi”, yaitu sebagai prinsip tertinggi atau kebenaran tertinggi dan segala manifestasinya, tetapi dalam praktiknya tetaplah terpisah. Siwa-Buddha adalah prinsip kebenaran tertinggi yang tidak dapat dibedakan satu dengan yang lain. Konon berbeda, tetapi sesungguhnya satu karena tidak ada kebenaran yang mendua.
Sejarah Siwa-Buddha di Indonesia telah berhasil menunjukkan betapa bangsa ini memiliki kemampuan kreatif dalam membangun kehidupan berbangsa dan bernegara. Inilah lokal genius. Haryati Soebadio (Ayatrohaedi, 1986:18-19) mengartikan local genius sejajar dengan apa yang dewasa ini dikenal dengan culture identity, yaitu identitas atau kepribadian budaya suatu bangsa yang mampu menyerap dan mengolah pengaruh kebudayaan dari luar sehingga sesuai dengan watak dan karakter pribadinya. Bhinneka Tunggal Ika adalah hasil kreatif bangsa Majapahit dalam menjawab tantangan kehidupan di bidang keagamaan (Sedyawati, 2009:27). Kearifan masa lalu ini telah menginspirasi founding father bangsa Indonesia untuk menetapkannya sebagai semboyan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Seperti juga Bung Karno yang selalu menegaskan Jas Merah (jangan lupakan sejarah), maka Bhinneka Tunggal Ika adalah landasan negara untuk membangun bangsa yang plural dengan pengakuan terhadap kelompok-kelompok masyarakat yang mempunyai latar belakang ras, suku, adat-istiadat, dan agama yang berbeda.
Pemilihan semboyan Bhinneka Tunggal Ika dari bait Sutasoma – kitab suci Siwa-Buddha ini – tentu bukanlah kebetulan. Ini merupakan kerja reflektif historis yang menegaskan betapa bangsa Indonesia adalah bangsa yang religius. Penegasan ini salah satunya dapat dirujuk dari pelacakan hermeneutis-historis terhadap arkeologi kebudayaan Indonesia yang dilakukan oleh Jacob Sumardjo (2002:1—10). Dari kajian tersebut ditemukan bahwa sifat religius bangsa ini sudah tertanam dalam berbagai kebudayaan lokal, bahkan sebelum Hindu sebagai agama pertama masuk ke Indonesia. Selanjutnya, persentuhan antara agama-agama lokal dengan agama-agama besar yang datang kemudian seperti, Hindu, Buddha, Islam, Kristen, dan Kong Hu Cu, semakin meneguhkan sifat religius bangsa ini. Oleh karena itu, tidaklah berlebihan jika para pendiri bangsa ini menempatkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama Pancasila. Demikian juga, dalam Undang-undang Dasar 1945, pasal 29 yang menyatakan bahwa negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Artinya, negara kesatuan ini adalah negara yang berketuhanan, bukan negara agama dan bukan pula negara sekuler.
Karakter bangsa Indonesia yang religius ini sesungguhnya bisa menjadi modal penting bagi suksesnya pembangunan nasional. Mengingat agama berisikan ajaran-ajaran mengenai kebenaran yang tertinggi dan mutlak tentang eksistensi manusia, serta petunjuk-petunjuk untuk hidup selamat di dunia dan akhirat. Agama sebagai sistem keyakinan dapat menjadi bagian sistem nilai yang ada dalam kebudayaan masyarakat bersangkutan, menjadi pendorong atau penggerak, serta pengontrol dari tindakan-tindakan para anggota masyarakat tersebut untuk tetap berjalan sesuai dengan nilai-nilai kebudayaan dan ajaran-ajaran agamanya (Ghazali, 2000:59). Secara sosiologis, agama dalam realitas kehidupan juga akan bersentuhan dengan pemenuhan kebutuhan hidup manusia, baik yang bersifat fisik-biologis, sosial, ekonomi dan politik. Demikian juga agama akan bersentuhan dengan kebutuhan-kebutuhan integratif yang menyangkut hal-hal yang sangat penting dalam kehidupan manusia, yaitu keinginan untuk hidup beradab, bermoral, tenteram, dan damai. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa keberagamaan itu saling kait-mengait antara hal-hal yang bersifat normatif dengan dimensi kehidupan yang bersifat praksis aktual, baik pada level individual maupun kolektif (Notingham, 2002:36).
Namun demikian, pentingnya peran agama dalam kehidupan individu dan sosial, juga harus berhadapan dengan sisi paradoks dari agama itu sendiri. Sifat paradoks dari agama bahwa di satu sisi agama diyakini sebagai jalan penjamin menuju keselamatan, cinta dan perdamaian, sementara itu di sisi lain agama justru menjadi sumber penyebab dan alasan bagi kehancuran dan kemalangan umat manusia. Karena agama orang bisa saling mencinta, tetapi atas nama agama pula orang saling membunuh dan menghancurkan (Sindhunata, 2003:13). Penyerangan terhadap kelompok Ahmadiyah di Cikeusik, serta pengerusakan gereja dan sekolah di Temanggung pada awal bulan Februari 2011, menjadi bukti betapa kekerasan atas nama agama telah menjadi catatan kelam bagi negeri yang konon sangat religius ini. Apabila gejala ini terus berlanjut, bukan tidak mungkin bahwa pluralitas agama di Indonesia akan menjadi sumber disintegrasi yang paling menakutkan dalam sejarah kehidupan bangsa yang sedang merenda terwujudnya negara demokrasi. Oleh karena itu, pluralitas agama harus menjadi dimensi penting yang perlu dibicarakan dalam upaya demokratisasi Indonesia.
Pluralitas agama di Indonesia harus dipandang sebagai keniscayaan yang dapat menjadi potensi integrasi, sekaligus pula potensi konflik (Notingham, 2002; Sindhunata, 2003). Oleh karena itu, demokratisasi agama harus mendahului demokratisasi bidang-bidang kehidupan lainnya dalam pembangunan demokrasi di Indonesia. Ini merupakan konsekuensi logis dari karakter bangsa yang religius pada satu sisi, sedangkan pada sisi yang lain juga pluralitas agama masih menyisakan banyak masalah di negeri ini. Artinya, selama proses demokratisasi Indonesia berlangsung, semua agama harus mendapatkan kesempatan seluas-luasnya untuk berperan-serta dalam membangun mentalitas dan partisipasi pemeluknya dalam pembangunan. Sementara itu, kesadaran multikultural harus ditanamkan secara terus-menerus dalam diri setiap pemeluk agama sehingga mereka bisa hidup berdampingan dalam perbedaan. Apabila persoalan pluralitas ini masih belum dapat diselesaikan, sebaliknya dominasi mayoritas dan tirani minoritas masih terjadi maka cita-cita demokrasi itu akan semakin sulit terwujud. Malahan, demokrasi itu akan menjadi tirani, ketika penindasan terhadap minoritas masih terjadi dan opini minoritas tetap dibungkam (Triguna, 2004).
Untuk itu diperlukan kesiapan dari setiap agama untuk melakukan transformasi internal. Agama harus berani merumuskan kembali pandangan-pandangannya mengenai martabat manusia, kesejajaran kedudukan semua manusia di muka undang-undang, dan solidaritas hakiki antara sesama umat beragama. Dengan cara ini, setiap agama akan dapat berintegrasi dengan keyakinan-keyakinan lain dalam pencapaian sejumlah nilai-nilai universal yang akan mendudukkan hubungan antaragama pada sebuah tataran baru. Artinya, agama akan memiliki sumbangan yang berarti dalam proses demokrasi, jika dalam dirinya sendiri berwatak membebaskan. Atas dasar ini pula, setiap agama harus memiliki kerelaan untuk menerima pendapat atau ajaran agama lain sebagai nilai kebenaran yang bisa dibagi bersama dan untuk kebaikan bersama. Dengan demikian demokrasi akan mengarah pada makna hakikinya, yaitu sebuah tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara yang bermuara pada satunya kata ”dari kita, dengan kita, dan untuk kita”. Dalam kerangka inilah, sumbangan pemikiran dari agama-agama untuk demokratisasi Indonesia perlu mendapatkan apresiasi dari seluruh komponen bangsa.
Salah satu sumbangan pemikiran yang layak diapresiasi guna demokratisasi Indonesia adalah politik Hindu. Bagaimanapun juga, Hindu telah membangun fondasi ketatanegaraan dan politik nusantara pada masa lampau. Dikatakan demikian karena konsepsi tentang negara, pemerintahan, politik, dan kepemimpinan memang diperkenalkan oleh Hindu dengan sistem kerajaan yang khas. Walaupun sistem ini tidak lagi digunakan di Indonesia, bukan berarti pemikiran yang disumbangkan dapat diabaikan begitu saja. Setidak-tidaknya, pemikiran politik Hindu khususnya mengenai aspek-aspek demokrasi dapat dijadikan media refleksi untuk menatap demokrasi Indonesia ke depan. Paling tidak, Hindu dengan pemikiran khas orientalisnya dapat menjadi penyeimbang, bahkan juga kontrol bagi model demokrasi Indonesia yang selama ini cenderung berorientasi ke Barat (Eropa dan Amerika). Inilah yang akan dibahas dalam makalah singkat ini.
2. Politik Menurut Hindu
Politik telah menjadi masalah yang menggelitik pemikiran manusia selama berabad-abad. Setidaknya, persoalan politik muncul sejak sekelompok orang mulai hidup bersama sehingga masalah pengaturan dan pengawasan mulai diperlukan. Sejak saat itu para pemikir politik mulai membahas masalah-masalah yang menyangkut lingkup serta batasan penerapan kekuasaan, hubungan antara pemerintah dan yang diperintah, serta sistem apa yang paling baik untuk menjamin pengawasan dan pengaturan tersebut dapat berjalan dengan baik (Varma, 2001:3). Dalam perkembangannya, politik semakin mendapatkan maknanya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Lebih lanjut Varma (2001:3) menjelaskan bahwa pemikiran politik berkembang dari masa ke masa. Apabila para pemikir politik kuno cenderung memusatkan perhatian pada terbentuknya sebuah negara ideal, maka pada zaman modern telah merambah masalah-masalah kekuasaan, wewenang, pemerintahan, dan sebagainya. Pandangan kaum evolusionis ini mengindikasikan adanya pembedaan yang tegas antara pemikiran politik zaman kuno dan modern. Meskipun demikian, tidak bermakna bahwa pemikiran politik kuno tidak relevan lagi dengan fenomena perpolitikan modern. Hal ini dibuktikan dengan masih tingginya minat para pemikir politik modern terhadap karya-karya politik kuno, misalnya Aristoteles, Plato, dan Arthasastra karya Kautilya (Rao, 2003:13—17).
Hindu memandang politik tidak semata-mata sebagai alat dan cara untuk memperoleh dan mempertahankan kekuasaan. Lebih jauh dari itu bahwa politik merupakan alat bagi penegakkan Dharma. Hal ini banyak dijelaskan dalam percakapan antara Bhagawan Bhisma dengan Yudhistira pasca perang Bharatayudha, yaitu kitab Santi Parwa LXIII, sebagai berikut:
"manakala politik telah sirna, Veda pun sirna pula, semua aturan hidup hilang musnah, semua kewajiban manusia terabaikan. Pada politiklah semua berlindung. Pada politiklah semua awal tindakan diwujudkan, pada politiklah semua pengetahuan dipersatukan, pada politiklah semua dunia terpusatkan".

"ketika tujuan hidup manusia - dharma, artha, kama, dan moksa semakin jauh. Begitu juga pembagian masyarakat semakin kacau, maka pada politikiah semua berlindung, pada politiklah semua kegiatan agama/yajna diikatkan, pada politiklah semua pengetahuan dipersatukan, dan pada politiklah dunia terpusatkan"
Politik hadir untuk membawa keteraturan sistem di masyarakat. Tanpa kendali politik, masyarakat akan tumbuh menurut hukum ikan (matsyanyaya), yaitu ikan yang besar memangsa ikan yang kecil (Sen, 1986:23). Jika demikian adanya, maka kehidupan sosial akan mengalami chaos dan dharma sebagai prinsip hidup tertinggi akan ditinggalkan. Untuk menghindarkan rakyat dari kondisi tanpa aturan inilah politik mendapatkan tempat mulia dalam Hindu, yaitu  bertujuan untuk menegakkan dharma. Dharma adalah hukum, kewajiban, dan kebenaran yang menjadi landasan pencapaian tujuan hidup manusia, yakni kesejahteraan dunia (jagadhita) dan kebahagiaan rohani (moksa). Dharma adalah prinsip dasar dari hukum universal (rta) dan hukum moral (satya), yang apabila dilanggar akan berakibat pada kehancuran umat manusia, namun sebaliknya jika ditegakkan akan membawa kemuliaan (dharma raksatah raksitah). Melalui politiklah, penegakan dharma memperoleh makna praksisnya sebagai sistem yang mengatur dan menjamin pelaksanaan prinsip-prinsip dharma dalam masyarakat. Di sini, kebijakan dan kekuatan politik haruslah digunakan untuk mengantarkan rakyat dalam mencapai tujuan-tujuan hidupnya.
Menurut Hindu, kesejahteraan rakyat (artha) adalah tujuan ideal bagi semua sistem politik. Untuk mencapai tujuan tersebut Hindu menekankan pentingnya kepaduan antara kepemimpinan (leadership) dengan sistem politik (political system). Seperti dijelaskan dalam Arthasastra bahwa negara dan pemerintah berperan sangat penting dalam mengusahakan serta memelihara kemakmuran bangsa/rakyat. Untuk mendapatkan keseimbangan antara kemakmuran rakyat dan kekayaan negara, Arthasastra mengajukan dua syarat utama, yaitu pertama, penegakan hukum dan ketertiban; dan kedua, adalah kinerja administratif yang memadai. Penegakan hukum dan ketertiban dilakukan dengan seperangkat denda dan sanksi (dandaniti), sedangkan kinerja administratif meliputi raksha (perlindungan dari agresi luar), palana (pemeliharaan ketertiban/hukum), dan yogakshema (menjamin kesejahteraan rakyat) (Radendra S., 2005:3-4). Untuk melaksanakan semua konsep ideal ini maka kepemimpinan menjadi faktor penentunya. Oleh karena itu, seluruh sistem politik pada akhirnya harus bermuara pada hadirnya sosok pemimpin yang memiliki jiwa kenegarawanan sehingga mampu melaksanakan amanat rakyat.
Konsep mengenai pemimpin ideal bagi suatu negara telah menjadi pembahasan penting dalam berbagai kesusasteraan Hindu, baik di India maupun Indonesia. Sebut saja Manawadharmasastra, Arthasastra, Nitisastra, Rajadharma, Dandaniti, dan sebagainya, serta kitab-kitab berbahasa Jawa Kuna yang ditulis di Indonesia. Salah satu konsep kepemimpinan yang begitu populer di Indonesia adalah Asta Brata, yang semula termuat dalam kitab Manawadharmasastra dan mendapatkan penjabaran lebih jauh dalam Kakawin Ramayana. Pada intinya, seluruh ajaran kepemimpinan Hindu menjelaskan bahwa pemimpin yang baik adalah pemimpin yang mampu memberikan teladan, selalu mengusahakan kesejahteraan rakyat (sukanikang rat), dan menghindari kesenangan pribadi (tan agawe sukaning awak). Dalam Kautilya Arthasastra dijelaskan bahwa "apa yang menjadikan raja senang hendaknya tidak dianggap sebagai kebahagiaan, tetapi segala yang membuat rakyat bahagia itulah kesenangan yang harus selalu diupayakan oleh seorang raja" (Gunadha, 2003:iii). Ungkapan ini menegaskan bahwa sasaran politik Hindu adalah kebahagiaan rakyat, bukanlah kesejahteraan penguasanya karena penguasa yang berhasil membawa rakyatnya pada kebahagiaan tertinggi, kemuliaan niscaya diraih ("sang sura menanging ranaggana, mamukti sukha wibawa, bogha wiryawan").
Lebih lanjut dijelaskan dalam Kautilya Arthasastra bahwa seorang raja harus mengurus kebutuhan warganya, meningkatkan produksi, mendistribusikannya, serta melakukan upaya bagi kesejahteraan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat (Gunadha, 2003:v). Sampai di sini jelas bahwa Arthasastra menitikberatkan peranan pemerintah dalam menciptakan kesejahteraan yang dimakni sebagai keseluruhan proses dan aktivitas mensejahterakan warga negara dan menerangkan sistem pelayanan sosial dan skema perlindungan sosial bagi kelompok yang kurang beruntung (Suharto, 2005b), seperti cita-cita negara kesejahteraan (welfare state). Malahan, Arthasastra juga menegaskan bahwa seorang raja dapat dihukum apabila dia mengabaikan kesejahteraan umum (Rao, 2003:104). Dari sini dapat dilihat bahwa meskipun sistem politik Hindu pada masanya adalah bersifat monarkhi, namun bukanlah monarkhi absolute. Ini dibuktikan dengan posisi seorang raja sebagai pemegang kekuasaan dan pemerintahan tertinggi, ternyata bukanlah sosok yang kebal hukum. Dengan demikian, Hindu telah menanamkan benih-benih demokrasi dalam sistem monarkhi yang khas.



3.     Aspek-aspek Demokrasi dalam Arthasastra
Demokrasi dalam pengertian klasik setidak-tidaknya diartikan adalah “pemerintahan rakyat“ (dari kata demos yang berarti rakyat; dan kratos yang artinya pemerintahan). Dalam hal ini, baik sebagai sebuah konsepi maupun praktik, demokrasi mengalami perkembangan yang sangat panjang, yakni melalui perjalanan historis sepanjang lebih dari dua setengah milenium. Dalam pemikiran Yunani, mula-mula demokrasi berarti bentuk politik di mana rakyat sendiri memiliki dan menjalankan seluruh kekuasaan politik (Bagus, 2002:154). Selanjutnya, dalam pemikiran modern, demokrasi menjadi ide filosofis tentang kedaulatan rakyat. Artinya, semua kekuasaan politik dikembalikan kepada rakyat. Presiden Lincoln dalam pidatonya memberikan kesimpulan yang bergema kuat tentang definisi terbaik demokrasi dalam sejarah Amerika dengan menyatakan, “pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat” (Melvin I. Urofsky dalam Clack, 2001:2). Tekanan kepada kata “rakyat” diberikan untuk memberi kontras terhadap berbagai bentuk pemerintahan absolut lainnya, seperti raja-raja yang sumber otoritasnya berasal dari kekuasaan turun-temurun, dan/atau yang secara langsung maupun tidak menyatakan diri memiliki kekuasaan untuk memerintah berdasarkan sumber yang berasal dari kekuasaan Ilahi[1].
Demokrasi adalah sesuatu yang berat, bahkan mungkin merupakan bentuk pemerintahan yang paling rumit dan sulit. Demokrasi tidak dirancang demi efisiensi, tetapi demi pertanggungjawaban. Sebuah pemerintahan demokratis mungkin tidak bisa bertindak secepat pemerintahan diktator, namun sekali mengambil tindakan bisa dipastikan adanya dukungan publik untuk langkah ini. Ada bermacam-macam istilah demokrasi, antara lain ada yang dinamakan demokrasi konstitusionil, demokrasi parlementer, demokrasi terimpin, demokrasi pancasila, dan lain sebaginya (Budiardjo, l983:50; Triguna, 2004:7). Lebih lanjut dijelaskan bahwa dari sekian banyak demokrasi ada dua aliran yang paling penting, yaitu demokrasi konstitusionil dan satu kelompok aliran yang menamakan dirinya “demokrasi”, tetapi pada hakikatnya mendasarkan dirinya atas komunisme.
Ciri khas demokrasi konstitusionil adalah gagasan bahwa pemerintah yang demokratis adalah pemerintah yang terbatas kekuasaannya dan tidak dibenarkan bertindak sewenang-wenang terhadap warga negaranya. Pembatasan-pembatasan atas kekuasaan pemerintah tercantum dalam konstitusi, maka dari itu sering disebut pemerintahan berdasarkan konstitusi (Budiardjo, l983:52; Triguna, 2004:7). Konstitusi dirumuskan melalui proses hukum yang dituangkan dalam bentuk undang-undang. Menurut sistem demokrasi bahwa pemerintahan dapat dilakukan secara langsung atau melalui wakil-wakil rakyat. Wakil-wakil rakyat dipilih secara bebas dan rahasia menurut prinsip yang ditentukan oleh suara mayoritas rakyat. Wakil-wakil rakyat menduduki jabatan dalam waktu tertentu dengan diberikan hak dan kewajiban yang digariskan secara jelas. Selanjutnya, kepala negara dipilih oleh rakyat atau oleh wakil-wakilnya (Bagus, 2002:155). Bentuk pemerintahan konstituasi menurut Greg Russel (Clack, 2001:9-11) terdiri atas beberapa prinsip, yaitu kedaulatan rakyat, kekuasaan hukum, pemisahan kekuasaan dan sistem pengawasan serta pertimbangan, federalisme, dan perjuangan untuk hak-hak individu.
Ini berarti bahwa dalam perkembangannya, definisi demokrasi akhirnya harus menerima elemen “perwakilan”, yaitu sesuatu yang di kemudian hari diterima sebagai sebuah keniscayaan yang tak terelakkan karena alasan pemerintahan langsung oleh rakyat menjadi hampir tidak mungkin dikerjakan dalam masyarakat yang relatif jauh lebih besar jumlahnya dibandingkan dengan masyarakat di negara kota Athena dari mana konsepsi demokrasi itu dilahirkan dan dipraktikan. Sejak Abad XVIII dan sesudahnya, baik sebagai konsepsi maupun praktik, prinsip perwakilan merupakan hal yang melekat dalam pengertian demokrasi. Prinsip perwakilan sebagaimana dimengerti sesungguhnya juga telah mengalami sejarah perkembangan yang panjang. Sampai sebelum berakhirnya akhir Abad XIX, prinsip perwakilan dalam demokrasi hanya merujuk pada sejumlah kelompok kecil masyarakat. Walaupun terdapat “pemilihan wakil-wakil rakyat”, tidak semua warga negara memiliki hak memilih dan dipilih. Di Eropa, berawal di Inggris, anggota parlemen hanya terdiri atas mereka yang berasal dari kelompok bangsawan dan tuan tanah. Itu juga sering hanya untuk menghasilkan parlemen yang sampai batas-batas tertentu tidak lebih dari sekedar sebagai pendamping kekuasaan para raja. Di Eropa, dua kelompok masyarakat inilah yang sampai pada akhir Abad-18 menjadi klas sosial yang secara ekslusif memiliki priveledge dalam sistem perwakilan (Plato, 2002).
Hanya menjelang peralihan ke Abad ke-20 belakangan ini prinsip perwakilan semacam itu mengalami revolusi yang berarti.  Prinsip perwakilan pada akhirnya juga mencakup rakyat dalam arti yang lebih luas. Tidak hanya itu, konsepsi demokrasi pada akhirnya juga menyentuh hal yang paling mendasar dari hubungan kekuasaan, yaitu, di manapun demokrasi selalu mensyaratkan hadirnya “relasi-relasi yang bebas, merdeka, dan setara” di antara warga negara.  Sampai sebelum 1760 rupanya tidak sebuah negara manapun di dunia mengadopsi pemerintahan demokratik dalam pengertian yang dipakai sekarang. Pada 1919 demokrasi telah dipraktikkan di Inggris dan negara-negara dominion Inggris, seperti Kanada, Australia, dan Selandia Baru, di samping itu demokrasi juga dipraktikkan di Amerika Serikat, dan beberapa negara Eropa Utara dan Barat, seperti Perancis, Jerman, Italia, Swiss, Austria, Scandinavia. Pada akhir Abad XX, lebih dari separuh jumlah negara-negara di dunia mengadopsi demokrasi (Russel dan Urofsky dalam Clack, 2001:7—10).
Pada dasarnya pemahaman tentang esensi demokrasi yang berkembang sejak awal hingga pertengahan abad ini merujuk pada konsepsi pemisahan dan pembagian kekuasaan. Pemisahan kekuasaan (separation of power) memiliki fokus yang terutama berdimensi horizontal, sedangkan pembagian kekuasaan (distribution of power) memiliki fokus yang berdimensi vertikal. Pemisahan kekuasaan berbicara tentang bagaimana tugas dan kewenangan di antara tiga cabang pemerintahan dipisahkan untuk menghindarkan kemungkinan terjadinya absolutisme kekuasaan. Tiga cabang pemerintahan ini adalah lembaga yudisial, eksekutif, dan legislatif. Prinsip umum yang dipakai sebagai dasar untuk membuat pemisahan kekuasaan di antara tiga lembaga ini bersumber pada ajaran pokok tentang fungsi pengawasan dan keseimbangan kekuasaan (checks and balances) (Sparingga, 2007). Dalam konteks hubungan ini, eksekutif ditempatkan sebagai lembaga yang menjalankan amanah rakyat sebagaimana dirumuskan oleh wakil-wakil mereka di lembaga legislatif. Sementara itu, legislatif memainkan peran sebagai lembaga yang merumuskan aspirasi rakyat. Aspirasi inilah yang dipakai sebagai dasar untuk bekerja merumuskan program-program kebijakan yang pada dasarnya merupakan usaha mendistribusikan dan mengalokasikan sumber dan nilai. Pada tempat semacam inilah terdapat kebutuhan untuk membangun legislatif yang peka (sensitive) dan tanggap (responsive) terhadap dinamika dan perkembangan aspirasi yang terdapat dalam masyarakat (Sparringa, 2007). Sementara itu, lembaga yudisial memiliki posisi yang amat sentral untuk memastikan bahwa prinsip kebebasan dan keadilan (free and fairness) dalam politik itu terjadi. Lembaga ini mengantongi sebuah kewenangan tertinggi untuk menjalankan sebuah sistem peradilan yang bebas dari campur tangan kekuasaan lainnya. Lembaga yudisial bekerja dengan prinsip yang menjunjung tinggi keadilan – sebuah prinsip yang tak dapat dianulir oleh kekuasaan manapun termasuk kekuasaan mayoritas dalam legislatif (Sparringa, 2007).
Esensi lainnya yang terdapat dalam demokrasi menurut Sparringa (2007) adalah pembagian kekuasaan di antara pemerintah pusat, regional, dan lokal.  Dalam pembagian kekuasaan semacam ini terdapat pengaturan yang jelas tentang apa yang menjadi kekuasaan pemerintah di tingkat pusat dan daerah. Roh yang pada umumnya dipakai untuk melakukan pembagian ini pada umumnya dilakukan dengan dalil umum, seperti berikut ini.  Apa yang oleh konstitusi tidak diserahkan pengelolaan kekuasaannya kepada pemerintah pusat haruslah diserahkan pengelolaannya kepada pemerintah di tingkat regional (dalam kasus di Indonesia, provinsi). Apa yang oleh konstitusi dan undang-undang lainnya tidak diserahkan pengelolaan kekuasaannya kepada pemerintah pusat dan regional haruslah diserahkan pengelolaannya kepada pemerintah di tingkat lokal (dalam kasus di Indonesia, kabupaten/kota). Dalam praktiknya, roh semacam itu sedikit banyak juga dipengaruhi oleh bentuk negara yang dipakai (negara kesatuan atau federal) (Sparringa, 2007).
Sistem demokrasi berjalan dengan baik, apabila rakyat memiliki kematangan politik. Manakala terjadi perbedaan pandangan di antara mereka maka bagian yang lebih kecil dengan lapang dada harus mengikuti pemikiran yang disetujui oleh sebagian besar warga masyarakat (Triguna dalam Wesnawa, 2002:40). Artinya, rakyat  harus memiliki kesiapan untuk mengedepankan kepentingan umum daripada kepentingan pribadi. Keputusan-keputusan yang dicapai secara musyawarah haruslah diterima sebagai keputusan yang mengikat seluruh warga negara. Konsep esensial tersebut dalam sistem politik demokrasi memiliki unsur-unsur pokok, yaitu negara, kekuasaan, pengambilan keputusan, kebijaksanaan, dan pembagian atau alokasi (Budiardjo, l983:9). Menurut Melvin I. Urofsky (2001:3-5) ada beberapa unsur penting dalam sistem demokrasi, yaitu prinsip pemerintahan berdasarkan kostitusi; pemilihan umum yang demokratis; federalisme, pemerintahan negara bagian dan lokal; pembuatan undang-undang; sistem peradilan yang independen; kekuasaan lembaga kepresidenan; peran media yang bebas; peran kelompok-kelompok kepentingan; hak masyarakat untuk tahu; dan kontrol sipil atas militer. Sementara itu, Henry B. Mayo menjelaskan bahwa nilai-nilai umum yang mendasari sistem politik demokrasi adalah (l) menyelesaikan perselisihan secara damai dan melembaga, (2) menjamin terselenggaranya perubahan secara damai dalam suatu masyarakat yang sedang berubah, (3) menyelenggarakan pergantian pimpinan secara teratur, (4) membatasi pemakaian kekerasan sampai minimum, (5) mengakui serta menganggap wajar adanya keanekaragaman dalam masyarakat yang tercermin dalam keanekaragagaman pendapat, kepentingan, serta tingkah-laku (Budiarjo, l983:62-63; Triguna, 1999:5 dan 2002:9).
Atas dasar pengertian, unsur-unsur, dan nilai-nilai demokrasi tersebut tulisan ini mencoba menelusuri unsur-unsur negara dalam buku Arthasastra yang mengandung (benih) aspek atau nilai demokrasi dalam buku Arthasastra. Untuk itu penelusuran diawali dari pengertian negara yang dedifinisikan oleh Kautilya. Kautilya merumuskan negara sebagai suatu kumpulan dari bermacam-macam masyarakat yang diwujudkan atas dasar prinsip-prinsip militer dan dharma. Negara melambangkan dharma yang universal, yaitu suatu perlambang yang berisikan kebebasan individu (Rao, 2003:82). Bagi Kautilya, dharma adalah konsep yang bersifat etis. Dalam konteks individu dharma adalah swadharma atau kewajiban-kewajiban dan tanggung jawab; dalam konteks kemasyarakatan ia adalah solidaritas sosial; dalam konteks agama yang dipeluk masyarakat ia adalah realisasi diri yang disebut moksa; dan dalam konteks vyavahara, charitra, dan peraturan yang diundangkan dharma adalah keadilan (Rao, 2003:154). Kautilya menganjurkan agar negara dibangun berdasarkan empat kaki hukum: dhramasastra atau hukum suci, vyavahava atau kesaksian, carittara atau sejarah atau tradisi, dan  sasana atau maklumat raja-raja (Rao, 2003:41).
Buku Arthasastra pertama-tama menelaah tujuan masyarakat dengan menerangkan posisi Trayi (Veda), Anvikshaki (filsafat), vartta (ekonomi), dan dandaniti (hukum) dalam kerangka keberadaan manusia. Kemudian dilanjutkan dengan menjelaskan warnasrama dharma sebagai landasan tertib sosial dan kewajiban-kewajiban umum yang berlaku untuk semua orang. Sebagai seorang negarawan, Kautilya menaruh perhatian besar terhadap kerjaan dan kekuasaan. Dalam buku 6 bab I, Arthasastra menyebutkan unsur-unsur negara itu terdiri atas svami, amatya, janapada, durga, kosa, danda, dan mitra. Svami adalah yang dipertuan atau master, yaitu lebih menunjuk kepada seorang kepala negara atau presiden ketimbang sebagai seorang raja; Amatya adalah para menteri atau pejabat tinggi negara; Janapada adalah wilayah dan penduduknya; Durga adalah benteng; Kosa adalah perbendaharaan negara; Danda adalah tentara; dan mitra adalah sekutu. Kautilya menyusun buku Arthasastra atas sistem monarki-konstitusi. Svami diposisikan dalam struktur pemerintahan sebagai pemegang kekuasaan tertinggi. Kekuasaannya tidak absolut. Kedudukan dan fungsinya sebagai seorang svami ditentukan dan diatur secara ketat. Ada pelapisan dan distribusi kekuasaan yang jelas. Tugas dan kewajiban svami menurut Kautilya dibedakan menjadi tiga, yaitu tugas eksekutif, yudikatif, dan administratif. Ini menandakan adanya sistem pembagian kekuasaan, sebaigamana yang berkembang dalam sistem demokrasi.
Krishna Rao setelah mempelajari Arthasastra berkesimpulan bahwa negara Kautilya adalah negara monisme yang ditetapkan berdasarkan sifat pluralistik. Kautilya membicarakan negara tidak dalam pengertian nasional karena negaranya tidak terbatas pada satu ras, bahasa, dan agama (Rao, 2003:69). Dijelaskan pula bahwa negara merupakan lingkaran organisasi di mana emosi dan peradaban hidup rakyatnya bisa menyatu (Rao, 2003:11l). Atas dasar itu Kautilya menjelaskan tujuh unsur yang disebut saptangga yang membangun konsep negaranya. Dari saptangga itu ditemukan nilai-nilai yang menjadi unsur-unsur demokrasi sebagai berikut.
(1)       Negara menjamin kebebasan dalam berserikat atau berorganisasi. Di dalam negara ada serikat kerja, yaitu suatu kesatuan sosial tertentu yang dibangun atas tujuan bersama. Organisasi dibentuk atas dasar fungsi atau pandangan. Ada sejumlah istilah yang dipakai oleh Kautilya untuk menyatakan serikat kerja, yaitu sreni: kelompok perdamaian, pelayan militer, dan perdagangan; kula: dewan perwakilan atau oligarki pangeran-pangeran; puga: perserikatan bermacam-macam kasta yang tidak mempunyai jabatan; ghana: komfederasi gabungan sebuah perserikatan; dan sanggha: perserikatan politik. Semua unsur itu masing-masing mewakili bermacam-macam kehidupan sosial Hindu. Organisasi serikat kerja ini berbadan hukum dan svami wajib menghormati atau mengakuinya (Rao, 2003:116).
(2)       Kerjasama yang merdeka dan harmonis. Krishna Rao menjelaskan bahwa serikat pekerja dalam Arthasastra sebagai organisasi yang demokratis (Rao, 2003:35). Mengingat terdapat bukti kerjasama yang merdeka dalam semua bidang kehidupan.
(3)       Ada jaminan perlindungan hidup bagi warga negara. Negara didirikan untuk perlindungan hidup, perlindungan hak milik dan untuk menjamin kesempatan-kesempatan untuk kemajuan sosial (Rao, 2003:39). Ada departemen pemerintah pusat yang khusus terdiri atas para menteri dan komisaris disebut pradeshtarah untuk melindungi kepentingan para tukang dalam hubungannya dengan serikat kerjanya yang menjamin mereka dengan jaminan (Rao, 2003:42).
(4)       Kepala negara menyatakan diri sebagai perantara rakyat dan diberi kedudukan oleh hukum. Svami yang ideal bagi Kautilya adalah seorang rajarsi, yaitu raja yang memiliki kualitas, antara lain kelahiran mulia, cerdas, arif, gagah berani, gesit yang memandang dirinya sebagai perantara rakyat dan diberikan kedudukan oleh hukum (Rao, 2003:65).
(5)       Kebijakan kepala negara ditetapkan melalui pertimbangan. Negara dan svami ibarat badan dengan jiwanya. Setiap kebijakan dan tindakan svami harus ditetapkan melalui diskusi atau pertimbangan mantriparisad. Kabinet utama yang harus memutuskan kebijaksanaan ini terdiri atas mentri utama, panglima, purohita, dan yuvaraja. Peranan svami adalah dharmapravartaka, yaitu seorang kepala negara yang terus-menerus dalam pekerjaan yang benar demi negara. Tanggung jawabnya adalah mempertahankan dharma dan melindungi rakyatnya dengan keadilan. Kautilya berkata: “Svami tidak akan pernah memberikan rakyatnya menyimpang dari kewajiban-kewajiban mereka yang telah ditetapkan. Sebab barang siapa yang mendukung kewajibannya sendiri, berpatokan pada kebiasaan arya, mengikuti kewajiban-kewajiban kasta dan  varnasramadharma akan memperoleh kebahagiaan di dunia ini dan di akhirat (Rao, 2003:65). Dalam menjalankan kebijakan atau menyelesaikan konflik, svami menerapkan ajaran niti yang disebut sadguna, yaitu sama, bheda, danda, upeksa, maya, dan indrajala (Rao, 2003:96). Sama atau rekonsiliasi adalah hal yang pertama-tama dilaksanakan. Apabila rekonsiliasi gagal barulah diterapkan guna berikutnya. Ini artinya, Kautilya mendukung penyelesaian masalah secara damai.
(6)       Suksesi kepemimpinan dilaksanakan secara terencana. Putra-putra svami, sebelum ia diangkat menjadi svami, terlebih dahulu ia harus melewati masa pendidikan, pengajaran dan pelatihan. Kurikulum pengajaran dan pelatihan tersebut berisi, antara lain (a) mereka dididik untuk menjadi orang yang disiplin, menguasai dirinya. Kautilya menyatakan, tujuan tertinggi dari ilmu pengetahuan adalah penguasaan atas indria (Teks:1.6.3); (b) terdapat berbagai cabang ilmu pengetahuan yang harus dipelajari oleh putra-putra svami. Akan tetapi yang paling pokok yang harus dikuasai oleh putra svami adalah ilmu pemerintahan. Kemudian baru trayiveda, filsafat dan ekonomi. Yang menarik, calon svami juga harus mempelajari itihasa; dan (c) pelatihan yang paling utama adalah pelatihan keprajuritan. Seorang putra svami sebelum menjadi svami terlebih dahulu harus diuji keberanian dan keterampilannya dalam berperang. Demikian juga dalam menangani berbagai persoalan kenegaraan. Putra svami yang nantinya dipilih menjadi svami adalah putranya yang paling berkualitas berdasarkan kasih-sayang kemanusiaan dan dicintai rakyat.
(7)       Ada struktur pemerintahan dan pembagian tugas secara profesional. Sebagai kepala negara, svami memiliki tiga tugas pokok, yaitu eksekutif, yudikatif, dan administratif. Dalam bidang eksekutif, svami bertugas melindungi negara; menjaga perdamaian; memberi bantuan kepada yang membutuhkan; mengorganisir rakyat dalam menanggulangi bencana alam, mengangkat menteri, pejabat sipil, dan panglima tentara; berkonsultasi dengan mantripasad dan lembaga intelijen; mengonrol potensi keuangan, tentara; mengecek penerimaan dan pengeluaran negara; dan menetapkan kebijakan luar negeri dan pergerakan tentara. Berdasarkan penjabaran di atas jelas tampak bahwa ada distribusi kekuasaan. Svami dalam menjalankan roda pemerintahan didampingi dan dibantu oleh para menteri, amatya. Kautilya mengajarkan bahwa para menteri haruslah putra bangsa sendiri yang siap mengabdi sesuai dengan tugas yang dibebankan kepadanya.
(8)       Kedudukan dan fungsi pejabat negara ditentukan berdasarkan kualitas moral dan keahliannya. Menteri-menteri adalah bagikan dua mata svami, karena itu mereka haruslah orang yang arthacita, bercita-cita luhur; silavan, bertabiat mulya;  sampriya, suka membahagiakan orang lain atau masyarakat; prajna, cerdas; dakhya, kreatif; dan vagmi, berpengetahuan luas.
(9)       Hukum diubah dan dibuat dengan memperhatikan sumber dharma dan bersifat rasional. Dalam bidang yudikatif, svami bukan sumber hukum, tetapi memiliki kekuasaan tertinggi atas pengontrolan para hakim. Svami hanya bertugas mengadministrasikan institusi yang bertugas dalam membuat dan mengubah hukum. Kautilya menyatakan hukum haruslah rasional, berdasarkan dharma, sesuai dengan veda trayi, veda smrti, sista atau kebiasaan arif orang suci dan tradisi (Rao, 2003:104—105). Para hakim hendaknya menguasai dharmasastra. Interpretasi hukum hendaknya tidak memihak (Rao, 2003:l05).
(10)    Pemerintahan dijalankan berdasarkan hukum. Berdasarkan undang-undang administrasi, - dharmasthiya, hukum sipil dan kantaka sodhana, penal lawsvami mengkonsolidasi kerajaan dengan administrasi terpusat. Secara teknis pekerjaan administrasi ditangani oleh para pejabat birokrasi secara baik dan efisien (Rao, 2003:l09). Di samping mengontrol kerja para pejabat negara, svami juga berkewajiban memberi inspirasi dan dorongan fundamental bagi aktivitas negara.
(11)    Ada bantuan negara untuk kesejahtraan sosial. Perhatian terhadap kesejahtraan rakyat dalam bidang ekonomi adalah kewajiban svami, karena ia adalah ayah bagi rakyatnya. Bantuan negara yang diberikan adalah untuk membangkitkan industri-industri perorangan (Rao, 2003:114). Bantuan hendaknya diberikan secara langsung dan cepat kepada perorangan atau golongan (Rao, 2003:117). Negara membiayai rakyat yang tidak berpenghasilan (Rao, 2003:116). Ini berarti kesejahtraan rakyat adalah kesejahtraan svami. Kautilya menyatakan: “rasa tidak puas warga negara merupakan malapetaka serius bagi negara”.
(12)    Besar pajak dan keuntungan perdagangan diatur berdasarkan kesepakatan. Kekayaan kerajaan Mauria sengat tergantung kepada penghasilan negara dan pajak. Ada undang-undang yang mengatur mengenai perpajakan. Undang-undang ini dibuat atas kesepakatan raja dan rakyat (Rao, 2003:129). Contoh, pemasukan penghasilan dari tambang dikenai pajak 5% (Rao, 2003:125). Pengambilan keuntungan dalam berdagang dikendalikan. Kautilya mengatakan bahwa pengawas perdagangan memastikan keuntungan 5% atas barang-barang lokal, dan 10%  terhadap barang-barang  (Rao, 2003:43).
(13)    Rakyat yang berkualitas dan bebas dari rasa malas. Janapada adalah wilayah dan penduduk. Penduduk adalah warga negara yang dinamis dalam organisasinya dan mengaktifkan wilayahnya (Rao, 2003:44). Kautilya mengatakan rakyat haruslah individu-individu yang berhati tulus dan penuh cintakasih, bhakti-suci. Kreatif, giat bekerja untuk mendapatkan nafkah. Mau mengembangkan sumber daya yang terpendam dalam dirinya, kamasila karsakah. Bebas dari sifat malas dan acuh-tak acuh, pramada. Dikatakan pula bahwa individu bukan pribadi yang terisolir, tetapi bagian dari suatu tatanan sosial. Ada tiga kelas penduduk, yaitu negarawan, angkatan perang, dan para pekerja. Ketiga kelas penduduk itu masing masing mempunyai kewajiban yang telah ditetapkan dan dilarang untuk mencampur-adukkan kewajiban (Rao, 2003:65). Kautilya mengatakan, “baur dalam kewajiban dan rasa tidak puas warga negara dikatakan malapetaka serius bagi negara”.
(14)    Kesetaraan gender. Kautilya mempunyai pandangan yang sama dengan Manu tentang wanita, yaitu yatra naryasya pujyonte tatra  ramante devatah. Artinya, para dewa akan turun menjelajahi dunia bilamana para wanita dihormati. Kautilya menegaskan, ia yang menghormati kaum wanita berarti perduli terhadap peraturan pemerintah. Berzinah dengan gadis belum dewasa adalah tindakan kriminal. Memperkosa dan membunuh wanita mendapat hukuman yang berat. Kautilya menghargai perkawinan yang monogami. Hubungan antara suami dengan istrinya adalah hubungan yang saling mengasihi. Perkawinan merupakan suatu ikatan yang kooperatif terutama dalam kedekatan dan kebahagiaan. Suami-istri bukan saja bersikap sebagai teman, tetapi bersama-sama menanggung berat-ringannya pekerjaan. Suami harus memperlakukan istrinya dengan penuh hormat. Istri berhak mengklaim biaya hidup dan hasil yang diperoleh suaminya sesuai dengan proporsinya. Tidak dibenarkan di antara mereka berdua boleh melakukan kekejaman (Rao, 2003:145-146).

4.     Simpulan
Kerajaan atau negara yang diidealkan oleh Kautilya adalah negara dinamis yang dibangun dengan poros dharma untuk mencapai cita-cita jagaddhita: artha dan kama. Oleh karena itu, negara haruslah dipimpin oleh seorang svami, yaitu seorang raja yang berkualitas rsi. Artinya, seorang pemimpin negara yang telah berhasil menjelmakan dharma sebagai kepribadiannya. Negara dan svami ibarat tubuh dengan jiwanya. Svami adalah seorang grahastin, seorang ayah bagi rakyatnya, dharma-svami. Oleh sebab itu tujuan utamanya adalah mengusahakan artha untuk mendorong (kama) anak-anaknya untuk mendapatkan dharma, dan mengamalkan dharma-nya. Dharma dalam konteks kerajaan atau negara adalah hakikat demokrasi. Kautilya dengan tandas menyatakan bahwa dharma dalam konteks individu adalah kewajiban-kewajiban dan tanggung jawab; dalam konteks sosial adalah solidaritas sosial; dalam konteks agama yang dipeluk rakyat adalah realisasi diri; dalam konteks peraturan yang diundangkan adalah danda. Jiwa demokrasi ini kemudian dikonkretkan dalam unsur-unsur negara yang disebut astangga.
Dengan demikian di dalam Arthasastra tercermin unsur-unsur demokrasi, seperti dijelaskan dalam konsepsi demokrasi di atas, antara lain kerajaan atau negara mengakui keanekaan; rakyat bebas dalam berserikat atau berorganisasi; terdapat kerja sama yang merdeka dan harmonis; svami mengusahakan tegaknya keadilan; terdapat pemisahan dan pembagian kekuasaan; kekuasaan diperoleh berdasarkan hukum; pemilihan pejabat negara berdasarkan kualitas moral dan keahliannya; kebijakan pemerintah dijalankan berdasarkan hukum; suksesi kepemimpinan dilaksanakan secara terencana; ada kebebasan individu untuk mengembangkan bakat dan minat; menjamin perlindungan hak dan kesejahteraan sosial; besarnya pajak dan keuntungan perdagangan ditetapkan berdasarkan kesepakatan; dan penyelesaian perselisihan secara melembaga dengan mengutamakan perdamaian.
Mengakhiri pembahasan ini dihadirkan refleksi demokrasi Arthasastra dalam politik multikultural Hindu. Arthasastra telah menanamkan konsep-konsep demokrasi dalam sistem pemerintahan monarki. Demokrasi yang menempatkan kebebasan individu dalam kerangka kesetaraan dan kesejajaran telah diapresiasi begitu lugas dan brilian dalam Arthasastra. Artinya, Arthasastra telah mengubah pandangan logosentrisme yang mengklaim sistem monarki adalah absolutisme kekuasaan. Model kekuasaan mutlak yang menidakkan dan meniadakan multikulturalitas. Malahan politik multikultural begitu kental menjiwai kerangka demokrasi dengan diakuinya kelompok-kelompok intelektual dan profesional (kula, puga, srenggi) yang merepresentasikan golongan intelektual organis dalam tradisi Gramscian. Dengan demikian, demokrasi Arthasastra bukanlah tirani kekuasaan. puput.






5.     Daftar Pustaka

Bagus. Lorens, 2002. Kamus filsafat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Berg, C.C, 1985, Penulisan Sejarah Jawa, Jakarta: Bhatara.

Budiardjo, Miriam, 1983. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakata: Gramedia.

Carrithers, David Wallace. 1977. The Spirit of Laws by Montesquieu. Berkeley – Los Angeles- London: University of California Press.

Clack, George, 2001, Demokrasi (Jurnal), A March of The Lyberty: A Constitutional History of the United States (2nd ed, 2001).

De Graaf, H.J, 1985, Awal Kebangkitan Mataram: Masa Pemerintahan Senapati, Jakarta: Grafiti Pers.
_________, 1987, Disntergrasi Mataram: Di Bawah Mangkurat I, Jakarta: Grafiti Pers.

Kahmad, H. Dadang, 2000, Sosiologi Agama, Bandung: Pt. Remaja Rosdakarya.

Kimball, Charles.2003. Kala Agama Jadi Bencana. Bandung: PT.Mizan.

Machiavelli, The Art of War (terjemahan: E. Setyawati Alkhatab dan Toni Setiawan), Yogyakarta: Bentang Budaya.

Mantra, Ida Bagus, dkk. 2002. Siwa-Buddha Puja di Indonesia. Denpasar: Yayasan Dharma Sastra.

Nottingham, Elizabeth K. 1985. Agama dan Masyarakat. Jakarta: CV.Rajawali.

Plato, 2002, The Republic (terjemahan: Sylvester Sukur), Yogyakarta: Bentang Budaya.

Radendra S. Ida Bagus. 2005. Ekonomi dan Politik Dalam Arthasastra. Denpasar: Program Magister Ilmu Agama dan Kebudayaan UNHI Denpasar bekerjasama dengan Penerbit Widya Dharma. 

Rao, M.V.Krishna. 2003. Studies In Kautilya. Denpasar: Program Magister Ilmu Agama dan Kebudayaan UNHI Denpasar bekerjasama dengan Penerbit Widya Dharma.

Rassers, Willem Huibert. 1926. Siwa en Boeddha in den Indischen Archipel, edisi Translation Series – KITLV, No. 3. 1959 oleh Nijhoff.

Rousseau, Jean Jacques. The Social Contract Discourses.  Translated with Introduction by G.D.H.Cole,MA. London : J.M.Dent & Sons Ltd.

Schrieke, 1955, The Native Rulers (dalam Indonesian Sociological StudiesSelected Studies on Indonesia. Bandung: The Hague.

Sedyawati, Edi. 2009. Saiwa dan Bauddha di Masa Jawa Kuna. Denpasar: Widya Dharma.

Sen, Ajit Kumar. 1986. Hindu Political Thought. Delhi: Gian Publishing House.

Sparringa, Daniel, 2007, ”Kapita Selekta Politik Indonesia” (kumpulan materi kuliah), Denpasar: Propgram Pendidikan Doktor kajian Budaya, Program Pascasarjana, UNUD.

Suamba, I.B. Putu. 2007. Siwa-Buddha di Indonesia Ajaran dan Perkembangannya. Denpasar: Program Magister Ilmu Agama dan Kebudayaan berkerjasama dengan Penerbit Widya Dharma.

Triguna, I.B.G Yudha, 1999, “Strategi Adaptasi Budaya” (Modul Teori Adaptasi Budaya), Jakarta: Dikdasmen.
________,2002. “Strategi Pemberdayaan Masyarakat dan Kebudayaan Bali dalam Dinamika Multikultural” (Makalah). Denpasar: Balai Kajian.
________,2002. Hindu dan Modernitas: Refleksi Sosiologi Agama terhadap Fenomena Spiritualitas. Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam Bidang Sosiologi Agama. Denpasar: Universitas Hindu Indonesia.
________,2003. “Masyarakat Sipil dalam Tradisi Desa Pakraman untuk Masa Depan Masyarakat Bali” (Makalah, 14 Maret). Denpasar: Hotel Inna, Veteran.

Varma, S.P. 2001. Teori Politik Modern. Jakarta: RajaGrafindo Persada.

Wesnawa, Ida Bagus Putu. 2002. Revitalisasi Kebudayaan Hindu Untuk Ketahanan Masyarakat Bali. Denpasar: Sekretariat Dewan Perwakilan Daerah Propinsi Bali.




[1] Model pemerintahan dan sistem kekuasaan seperti ini, yang menganggap bahwa raja memiliki kekuasaan absolut, bahkan mewakili kekuasaan para dewa di bumi sehingga ucapan raja harus dipatuhi, dapat ditelusuri dalam sistem perintahan raja-raja di Jawa. Lihat, Berg, C.C, 1985;  De Graaf, H.J, 1985; dan De Graaf, H.J, 1987.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar