MELAWAN PENJAJAH BARU
“SERDADU DUNIA MAYA”
Nanang Sutrisno
Era baru politik dunia pasca-kolonialisme dan imperialisme
Barat menunjukkan bahwa penjajahan tidak lagi menjelma dalam bentuk penaklukan
dan penindasan terhadap suatu kaum atau bangsa. Hal ini seiring dengan semakin
meningkatnya kesadaran masyarakat dunia mengenai hak asasi manusia, kebebasan,
kemanusiaan, dan kedaulatan negara-bangsa sehingga segala bentuk penjajahan
melalui kekuatan politik dan militer merupakan musuh bersama. Walaupun demikian,
penjajahan tidak pernah lenyap dari muka bumi ini karena faktanya masih banyak
bangsa-bangsa di dunia yang belum sepenuhnya merdeka dan berdaulat dalam
berbagai aspek kehidupan. Dengan kata lain, penjajahan menjelma dalam berbagai
bentuk ketergantungan suatu bangsa terhadap bangsa lain di dalam percaturan
politik dunia.
Penjajahan merupakan wacana kekuasaan yang memosisikan hubungan
antar-bangsa dalam konteks dominasi dan hegemoni yang demikian kompleks. Bangsa
penjajah tidak lagi teridentifikasi sebagai bangsa yang menaklukkan bangsa
lain, tetapi mereka yang memiliki kekuasaan lebih besar untuk menghegemoni
bangsa lain. Kalangan orientalis umumnya mendikotomikan “Barat” dan “Timur” dalam
kerangka kultural untuk melihat hubungan hegemonik di antara keduanya. Sulit
disangkal bahwa hegemoni Barat terhadap Timur (dan seluruh katagori negara
Dunia Ketiga lainnya) memang begitu kuat seiring dengan modernisasi yang
bergulir ke segenap penjuru dunia. Bagi masyarakat atau bangsa yang telah
menerima modernisasi, niscaya akan menerima budaya Barat dalam kehidupannya.
Modernisasi yang digerakkan oleh etos kerja kapitalistik dapat
dikatakan sebagai saluran utama penyebaran dan perluasan hegemoni budaya Barat.
Implikasinya bahwa seperangkan nilai yang menyertai budaya Barat seperti
rasionalisme, materialisme, individualisme, dan hedonisme juga turut menyebar
ke dalam masyarakat yang telah termodernkan. Mengingat nilai tersebut tidak
sepenuhnya sejalan dengan budaya Timur sehingga keterjajahan masyarakat Timur
karena hegemoni budaya Barat merupakan keniscayaan yang senantiasa membayang.
Apalagi modernisasi memiliki serdadu ampuh bernama ilmu pengetahuan dan
teknologi (IPTEK) yang siap menjadi gerbong raksasa untuk mengantarkan milyaran
umat manusia ke rumah budaya Barat.
Memosisikan IPTEK sebagai alat hegemoni budaya Barat tentu bukanlah
simpulan yang prematur. Faktanya, IPTEK selalu dimanfaatkan oleh Dunia Barat untuk
menjajah bangsa lain, baik melalui kekuatan militer maupun hegemoni budaya. Perang
Dunia telah membuktikan bahwa perlombaan teknologi persenjataan di Dunia Barat
telah memakan jutaan korban nyawa dan penderitaan masyarakat. Setelah keadaan
damai, juga IPTEK menjajah intelektualitas dan kedirian manusia sehingga melahirkan
manusia-manusia yang teralienasi dari lingkungan alam dan sosialnya. Pada
kenyataannya, pendewaan rasionalitas dengan mengabaikan moralitas dan
spiritualitas dalam pengembangan IPTEK telah melahirkan era kegelapan
intelektual dan barbarisme etik (Radhakrishnan, 2003). Sebuah era dimana ilmu
pengetahuan yang demikian mulia ternyata tidak sepenuhnya mampu memuliakan kehidupan
manusia dan semesta alam. Eksploitasi alam dan manusia terjadi begitu rupa,
tanpa batas, tanpa mengindahkan lagi kaidah-kaidah moral. Kemanusiaan telah
berada pada level terendah sehingga manusia modern kerap gagal mengenali
dirinya sendiri, apalagi menemukan jati dirinya.
Alih-alih menemukan Aku – Sang
Diri – realitas suci nan sempurna, justru manusia modern lebih suka
bermain-main dengan ‘ke-aku-annya’. Jawaban manusia atas pertanyaan “Siapa
Aku?” yang begitu sarat makna spiritual, akhirnya terdegradasi maknanya menjadi
persoalan material belaka “Aku adalah segala yang kumiliki”. Wirya (kekuasaan), artha (kekayaan), dan wasis (pengetahuan)
yang sepatutnya ‘hanya’ sebagai sarana kehidupan agar hidup manusia lebih
bermakna, ternyata malah kehilangan makna karena menjadi tujuan hidup. Realitas
semu (maya) ini, bahkan terus diburu dan diperjuangkan dalam setiap hembusan
nafas manusia modern sehingga moralitas dan kemanusiaan pun kerap dikorbankan demi
pemenuhan hasrat berkuasa.
Sekali lagi, kecanggihan IPTEK telah menyediakan arena yang
menyenangkan bagi para hedonis pemuja maya
tersebut. Sebuah “dunia maya’ berhasil dikonstruksi untuk memuaskan hasrat dan
libido manusia modern dalam membangun eksistensinya. Melalui teknologi informasi,
dunia maya melipat semesta yang demikian besar nan luas ke dalam tas laptop dan kantung handphone, serta menyatukan
masyarakat dunia dalam satu komunitas yang menyatakan diri sebagai ‘masyarakat
informasi’. Dunia maya mengambil-alih seluruh batas negara-bangsa dan mentransformasikannya
menjadi dunia tanpa batas (borderless).
Di dalam dan melalui dunia inilah manusia modern membangun eksistensinya pada
berbagai ranah kehidupan, bahkan untuk sekadar menyatakan dirinya eksis.
Waktu, tubuh, dan perjumpaan yang konon merupakan simpul
realitas sosial kini tidak penting lagi, karena dalam dunia maya semua sudah
terwakili oleh ekspresi dan interaksi. Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa dunia
maya menjadi arena eksistensialisme baru, yakni dunia eksistensi yang
semata-mata menjadi persoalan ekspresi dan representasi dalam lingkup konsumsi
media. Nyaris tidak ada lagi pembedaan antara urusan privat dan publik sejauh
itu dapat dijadikan komoditas yang layak dikonsumsi oleh para pengguna dunia
maya dan menjadikannya eksis dalam dunia ini. Mengumbar aib sendiri atau aib
orang lain, memajang kemolekan tubuh dan aurat, mengekspresikan perasaan suka
atau duka, seluruhnya dapat dijadikan komoditas yang patut dipertontonkan dalam
dunia maya. Tidak ada nilai yang membatasi kebebasan tersebut karena setiap
keputusan untuk menilai patut dan tidaknya informasi tersebut sepenuhnya berada
di tangan konsumen. Lihat saja misalnya, ungkapan rasa sedih dan berduka saat
seseorang meninggal dianggap sebagai ekspresi persahabatan yang paling niscaya,
walaupun kebenaran di balik itu tiada siapapun yang tahu.
Dunia maya memang menyediakan ruang seluas-luasnya kepada
masyarakat untuk menampilkan atau menyembunyikan kebenaran tanpa adanya
keharusan untuk memberikan pertanggung-jawaban moral. Segala informasi yang
telah dilempar ke publik sepenuhnya menjadi milik konsumen untuk memaknai
kebenarannya karena kebebasan berekspresi adalah legitimasi moral yang utama.
Walaupun demikian, dunia maya juga dapat bertransformasi menjadi kekuatan
penggerak sosial yang begitu dahsyat pengaruhnya pada masyarakat. Tidak sedikit
persoalan kemanusiaan, ketidakadilan, dan ketimpangan sosial yang sebelumnya
tidak pernah diketahui publik, akhirnya terungkap jelas dan terang karena peran
serta dunia maya. Dunia maya sebagai produk budaya modern memang mewarisi sifat
dasar modernitas yang problematis dan paradoks dalam dirinya sendiri. Artinya,
budaya modern memang menciptakan berbagai problematika kehidupan, tetapi pada
saat bersamaan juga dapat menjadi solusi atas berbagai problematika tersebut.
Demikian besarnya ketergantungan dan keterikatan masyarakat
modern pada informasi kian memperkokoh posisi dunia maya sebagai ‘penjajah
baru’ yang sulit dibendung kekuatannya. Ia menjajah masyarakat melalui suguhan
informasi dengan aneka paradoks yang menantang intelektualitas dan moralitas
individu untuk menemukan sendiri kebenarannya. Kegagalan dalam menyaring
informasi yang tersebar di dunia maya pada titik yang paling merugikan akan
menjadi serangan berbahaya terhadap intelektualitas dan moralitas manusia.
Sebaliknya, juga dunia maya dapat dijadikan serdadu untuk melawan berbagai
bentuk penindasan dan penjajahan melalui gerakan intelektual dan moral yang
sarat pencerahan. Di sinilah kebijaksanaan (wiweka
jnana) menemukan panggilannya untuk membangun kesadaran masyarakat tentang
manfaat dan kegunaan dunia maya bagi kehidupan. Keberadaan dunia maya harus
direspons secara positif sebagai media pencerahan bagi peningkatan kualitas
intelektual, moral, dan spiritual manusia. Rahayu!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar