HARI
RAYA NYEPI
Oleh
Nanang Sutrisno, S.Ag, M.Si
A.
Landasan Sastra
Hari raya Nyepi dilaksanakan oleh umat
Hindu setiap tahun, yaitu pada tileming
sasih kesanga atau sekitar bulan Maret – April dalam kalender Masehi. Hari
raya Nyepi dilaksanakan untuk menyambut datangnya tahun baru Saka (Isaka Warsa) yang dikaitkan dengan penobatan Raja Kaniskha I di
India. Penetapan tarik pertama Tahun
baru Saka adalah 78 Masehi menandai
keberhasilan Raja Kaniskha dalam mempersatukan suku-suka di India yang
sebelumnya terlibat perang satu sama lain. Berbeda dengan perayaan pergantian
tahun baru pada umumnya, justru pergantian tahun Saka dilaksanakan dengan berbagai ritual, seperti Melis, Tawur Kasanga, Catur Braya Panyepian,
dan Ngembak Gni. Seluruh ritual
ini menjadi satu rangkaian yang tidak
dapat dpisahkan.
Bagi umat Hindu, Hari Raya Nyepi tidak
hanya dimaknai sebagai rutinitas belaka, tetapi menjadi ekspresi religius (yadnya). Yadnya ini merupakan wujud kepercayaan (sraddha), pelayanan dan pemujaan (bhakti) kepada Hyang Widhi – pencipta
alam semesta dan segala isinya. Oleh karena itu, pendalaman makna hari raya
Nyepi penting dilakukan untuk menguatkan keyakinan umat Hindu pada tradisi
religiusnya sekaligus agar nilai ini dapat direvitalisasi dalam konteks
kekinian. Pada saat bersamaan, juga fenomena global menunjukkan kekhawatiraan
masyarakat dunia pada terjadinya perubahan iklim, naiknya suhu bumi, dan
kerusakan lingkungan yang mengancam kehidupan manusia. Artikel ini pada
dasarnya hendak memaknai Nyepi, baik sebagai ekspresi religius maupun kearifan
lingkungan Hindu sehingga memberikan sumbangan yang berharga bagi alam dan
manusia.
Pelaksanaan hari suci keagamaan merupakan bagian dari yajna, yakni persembahan suci kepada
Sang Hyang Widhi/Tuhan Yang Maha Esa. Swami Mukhyananda (1996) (dalam Suamba
1996; 1), menjelaskan kata “Yajna”
adalah sebuah kata dalam Bahasa Sansekerta. Terbentuk dari akar kata “yuj” yang berarti memuja, menyembah,
atau berdoa. Pemujaan atau penyembahan ini ditujukan kepada makhluk-makhluk
yang lebih tinggi derajatnya, yakni para dewa,
bhatara, dan para pitara. Selain itu, juga ada persembahan kepada
spirit-spirit yang memiliki sifat-sifat baik, bahkan juga buruk melalui
materi-materi tertentu, seperti dupa, jagung, biji-bijian, kue-kue dan juga
korban binatang. Persembahan (sacrificial)
telah menjadi kegiatan ritual yang lumrah pada berbagai tipe masyarakat, sejak
masa yang paling purba di seluruh dunia.
Konsep yajna
benar-benar mampu mencakup berbagai aspek kehidupan yang beragam, serta seluruh
eksistensi kehidupan menjadi satu kesatuan. Yajna,
baik sebagai ide pemujaan secara umum maupun model-model ritual secara khusus
yang meliputi segala jenis persembahan, kewajiban, doa-doa, korban material ke
dalam api, memperlihatkan pelayanan yang berdedikasi dan ikhlas. Bermula dari
ritualisme, yajna tumbuh dan
berkembang menjadi dimensi-dimensi yang besar dalam cara-caranya yang
berbeda-beda, dengan perkembangan ide-ide kosmologi dan religi-filosofi yang
sangat mendasar. Ritualitas ini mencakup seluruh manifestasi kosmis alam
semesta dalam berbagai eksistensinya. Kemudian, ia menukik jauh sampai ke Yajamana, sang pelaku yajna. Konsep ini merangkul manifestasi mikrokosmis
secara keseluruhan, yaitu pasangan makrokosmis yang ada di dalamnya.
Sloka-sloka tentang yadnya yang tertuang dalam Bhagavad Gita menjadi filosofi etika kehidupan yang secara kolektif
dapat mengarahkan tercapainya kesejahteraan sosial (abhyudaya) dan secara individu
dapat mengarahkan tercapainya realisasi diri, summum bonum (nihshreyasa). Konsep-konsep Yajna
yang bercampur dengan ritual-ritual puja yang terjadi pada masa-masa selanjutnya dan
keempat sistem Yoga, yaitu Karma, Bhakti,
Jnana, dan Raja yoga. Redaksi
Majalah Vivekananda Kendra Patrika (1996) (dalam Suamba, 1996:37) menyebutkan
bahwa Yajna mempunyai tiga tujuan
pokok. Pertama, di dunia ini Yajna menjemput semua anugrah atau
karunia atas umat manusia dan seluruh makhluk hidup, dengan pertolongan para
dewa. Kedua, Yajna mengantarkan manusia mendekati dunia Illahi dan kehidupan
yang bahagia, sekarang dan yang akan datang. Ketiga, apabila Yajna
dilaksanakan dengan ikhlas tanpa suatu keinginan apapun untuk meraih buah atau
hasilnya dan benar-benar dilakukan dengan ketakmelekatan maka akan tercapai
keberhasilan mental, dan dikatakan mulai berjalan pada jalur kebajikan guna
sampai pada kebahagiaan abadi yang juga disebut pembebasan (moksha).
B. Upacara dan Upakara Hari Raya Nyepi
Hari Suci Nyepi
diawali dengan upacara Melis, Melasti,
Makiyis, atau Jaladri Puja. Bentuk
upacaranya adalah menyucikan seluruh arca,
pratima, dan simbol-simbol keagamaan lainnya ke laut, muara sungai, danau,
atau sumber-sumber air yang disucikan. Upacara ini dilaksanakan 3 (tiga) hari
sebelum Nyepi. Dalam lontar Sundarigama dijelaskan
bahwa Melasti adalah “Anganyutaken Papa, Klesa Letehing Bhuwana
Angamet Sarining Tirta Amerta Kamandalu” (‘menghanyutkan segala kekotoran
dunia untuk mendapatkan air suci kehidupan dari tengah samudera’). Secara
ekologi, upacara ini dapat dimaknai sebagai upaya pelestarian sumber-sumber
air, seperti laut, danau, sungai, dan mata air yang bermanfaat bagi kehidupan
umat manusia. Melalui upacara melasti inilah
sumber-sumber air tersebut dimohonkan kelestariannya kepada Hyang Widhi
sehingga bermanfaat sebesar-besarnya bagi kehidupan manusia dan alam.
Upacara pacaruan atau tawur kasanga dalam
berbagai tingkatannya dilaksanakan pada tingkat keluarga, desa, kecamatan,
kabupaten, provinsi, dan negara. Upacara ini tergolong dalam bhuta yajna sehingga dalam
pelaksanaannya dibarengi dengan pawai ogoh-ogoh,
yaitu gambaran sosok raksasa yang diarak berkeliling dan kemudian dibakar
bersamaan dengan puncak upacara pacaruan.
Dalam filsafat Samkhya, bhuta merupakan
unsur paling kasar yang menjadi dasar penyusun alam semesta dan segala isinya (macro cosmos dan micro cosmos) yang terdiri atas lima unsur (panca mahabhuta), yaitu prthivi
(tanah), apah (air), teja (api), vayu (angin), dan akasa (ether/ozon).
Penggambaran bhuta dalam wujud
raksasa sesungguhnya mengindikasikan bahwa unsur alam yang tidak seimbang akan
berakibat mengerikan bagi manusia misalnya, api yang besar mengakibatkan
kebakaran; air yang berlebihan mengakibatkan banjir, tsunami; atau lapisan ozon yang berlubang dapat mengakibatkan
pemanasan global. Oleh karena itu, tujuan utama dari upacara bhuta yajna termasuk tawur kasanga adalah untuk
mengharmoniskan unsur-unsur alam tersebut (bhutahita)
sehingga keberadaannya dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kebahagiaan
semua makhluk (sarwa prani hitangkarah).
Puncak perayaan Nyepi adalah pelaksanaan catur brata penyepian, berarti empat
macam pengendalian diri (brata).
Keempat brata yang harus dilaksanakan
adalah amati gni (tidak menyalakan
api); amati karya (tidak
beraktivitas); amati lelungan (tidak
berpergian); dan amati lelanguan (tidak
menikmati keindahan). Keempat brata ini
dilaksanakan umat Hindu selama 24 jam penuh. Dalam praktiknya, keempat brata ini dilaksanakan dengan memadamkan
lampu, tidak berkendaraan, tidak menyalakan media hiburan, dan tidak memasak.
Secara filosofis-teologis, amati gni berarti
mengendalikan nafsu-hasrat yang ada dalam diri manusia; amati karya berarti mengendalikan aktivitas inderawi; amati lelungan berarti duduk diam,
meditasi, instrospeksi diri, dan larut dalam pemujaan kepada Hyang Widhi;
sedangkan amati lelanguan berarti
tidak mengumbar kesenangan duniawi. Seluruh brata
ini dilaksanakan agar umat Hindu mampu menjalani tahun Saka yang akan datang dengan semangat baru yang lebih religius
dibandingkan tahun sebelumnya. Sementara itu, dari perspektif ekologi dapat
dimaknai bahwa pelaksanaan catur brata
penyepian dapat memberikan dampak positif bagi lingkungan alam, seperti
penghematan energi listrik, penghematan bahan bakar, mengurangi emisi karbon,
dan bebas polusi lingkungan. Setidak-tidaknya, dalam 24 jam alam Bali terbebas
dari berbagai aktivitas manusia yang dapat mencemari lingkungan dan alamnya.
Ngembak
gni yang
berarti kembali menyalakan api atau mulai beraktivitas setelah melaksanakan catur brata penyepian. Upacara ngembak gni biasanya dirangkai dengan
kegiatan dharma santih, yaitu
kegiatan saling kunjung-mengunjungi sanak saudara, teman, dan handai-taulan
untuk saling bermaaf-maafan. Artinya, ketika alam semesta dan manusia telah
berada dalam keseimbangan dan keselarasan maka kedamaian pasti terwujud.
Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa Hari Raya Nyepi memiliki
makna yang mendalam, baik sebagai ekspresi religius maupun kearifan lingkungan
Hindu. Untuk itu, nilai Hari Raya Nyepi harus direvitalisasi kembali dalam
konteks kekinian sehingga dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi
kehidupan manusia demi terwujudnya kedamaian dan kebahagiaan umat manusia, santi lan jagadhita.
C.
Fungsi dan Makna
Nyepi adalah hari raya
yang sarat akan makna filosofis dan religius. Tujuan kontemplasi yang dilakukan
umat pada hari khusus ini adalah menyederhanakan derasnya aliran pikiran sampai
pada titik tertentu di mana riaknya lenyap sama sekali. Catur Brata Penyepian menjadi sangat signifikan di dalam upaya ini.
Amati Geni adalah lenyapnya bahan
bakar yang mengobarkan letupan arus pikiran. Amati Karya adalah terputusnya gerak di mana rantai karma
kehilangan kekuatannya untuk memenjarakan manusia ke dalam samsara tanpa tepi.
Stabilitas diri dengan mengendalikan mekanisme tubuh (robot-like) yang setalu
mencari suasana baru dicapai melalui Amati
Lelungan. Terakhir, menunjukkan tendensi indriya menikmati objek-objeknya
direalisasikan melalui Amati Lelanguan.
Makna Catur Brata Penyepian tersebut sifatnya
sangat pribadi di mana di setiap
fragmennya menyajikan keintiman ilahi antara pelaku dengan keberadaannya.
Secara tradisi makna esensi tersebut sulit diraih dengan berbagai alasan. Pertama, agama tidak pernah sosial
meskipun masyarakat secara sosial beragama.
Agama
selalu individu sebab agama memerlukan entitas sebagai ladang untuk tumbuh dan
berkembang. Sedangkan society tidak
memiliki kesatuan entitas, hanya kerumunan yang terdiri dari individu-individu
yang berbeda. Agama secara sosial tidak pernah berkembang (secara kualitas),
dan bahkan cenderung berbahaya dengan munculnya sikap fanatisme, arogansi yang
berlebihan, dan fundamentalisme. Masyarakat
disebut religius hanya ketika individu-individunya mengalami perkembangan
secara spiritual.
Kedua,
agama yang dimaknai secara sosial cenderung pragmatis. Agama akan dibawa ke
dalam bingkai-bingkai tendensi masyarakat di mana agama itu diperagakan.
Seperti misalnya, mereka yang memiliki hobi makan, maka Nyepi adalah ajang
untuk masak besar dan menikmati berbagai macam hidangan. Oleh karenanya tidak
salah supermarket atau pasar tiba-tiba sesak oleh pengunjung beberapa hari
menjelang Nyepi. Bagi mereka yang cenderung formal, Nyepi akan dimaknai sebagai
keseragaman langkah dan perayaan Nyepi disebut berhasil apabila tidak terjadi
hal-hal di luar aturan. Bagi yang selebritis atau entertainer, apakah itu seleb
yang memang artis maupun ‘seleb spiritual’, makna Nyepi adalah lahan entertain,
meskipun tidak disebut demikian. Dalam ranah religius, mereka tidak tertarik
dengan esensi Nyepi, atau makna esensinya mengalami mutasi menjaidi bentuk
entertainment, atau paling tidak pelaku mengalihkan kegiatannya yang bersifat
entertain.
Ketiga,
makna esensi Nyepi yang ideal selalu dihadapkan pada evolusi kesadaran yang
beragam dari individu-individu pembentuk = masyarakat. Kehidupan beragama
sepenuhnya tergantung pada kesadaran akan pencarian diri masing-masing.
Sehingga makna Nyepi tergantung pada kesadaran tersebut. Mustahil kesadaran
religius yang seragam terbentuk, terkecuali pada hal-hal yang bersifat teknis
dan pragmatis. Oleh karena demikian lembaga formal yang memiliki kekuatan
kebijakan tidak memiliki basis logis untuk berperan di ranah kesadaran ini.
Peran yang mungkin bisa adalah hanya sebagai fasilitator yang bersifat sosial
teknis dan bukan masalah keyakinan individual.
D.
Implementasi
dalam Kehidupan
Dalam telaah Vedanta ada tiga jenis manusia yang
dibedakan berdasarkan intensitas keinginannya untuk menjalankan agama di dalam
upaya mencapai pembebasan (mumuksuta),
yakni manda, madhyama, dan pravrddha. Manda adalah tahap awal yang energinya sedikit sekali ditujukan
pada hal-hal spiritual. Pada tahap ini kedalaman religius hanya berkisar pada
regulasi, rutinitas, atau tampak luarnya saja. Tahap ini adalah tahap
kegirangan semata. Secara sosial religius sebagian besar keberadaan manusia
berada pada posisi ini. Mereka merayakan hari raya karena tradisi dan girang.
Perayaan hari suci dimaknai sebagai bentuk kegiatan hiburan dari kejenuhan
rutinitas atau bahkan mungkin ada yang menganggap tradisi sebagai rutinitas.
Kesemarakan beragama baru sebatas mengalihkan atau memulai bentuk kegiatan
baru, seperti misalnya pergi sembahyang ke pura, melaksanakan upacara dengan
penuh antusiasme, dan bentuk-bentuk lainnya yang sejenis. Mereka semarak bersama
dengan motivasinya masing-masing.
Madhyama
adalah tahap kedua. Tahap ini lebih baik dari tahap pertama. Mereka memaknai
hidup ini mesti seimbang antara materi dengan rohani. Di samping mengejar
materi, mereka juga tekun melakukan kegiataan keagamaan. Mereka menganggap
harmoni itu seperti timbangan. Berat materi di satu sisi equal dengan berat
spiritual atau kegiatan keagamaan di sisi lainnya. Mereka menapakkan satu kaki
di sisi materi dan kaki lainnya di sisi spiritual. Mereka melaksanakan hari
raya dengan penuh intensitas, dan di hari lainnya juga melakukan kegiatan rutin
dengan intensitas yang sama. Seperti misalnya pada saat Nyepi, mereka akan
dengan sungguh-sungguh mengikuti Brata Penyepian dan mungkin melakukan puasa
atau mauna sehari penuh. Tetapi pada hari lain, mereka bisa menikmati makanan
yang banyak, enak dan melimpah.
Terakhir adalah pravrddha, di mana yang ada hanyalah
keinginan yang kuat untuk mencapai pembebasan. Tahap ini adalah tahap totalitas
spiritual. Kemanapun ia melangkah hanya Brahman tujuannya. Baginya apa pun yang
tampak adalah Brahman: Brahmapratyasantatirjagadato brahmaiva tatsarvatah, alam
semesta ini bukanlah apa-apa tetapi Brahman itu sendiri, karena itu adalah
seri yang berkelanjutan atas persepsi
tentang Brahman. Keseimbangan tidak terletak pada ada tidaknya materi dan
pelaksanaan keagamaan. Keseimbangan bagi orang ini dimaknai sebagai apa pun
tindakan kita mesti diarahkan kepada Brahman.
Materi dan bentuk-bentuk kebahagiaan hanya konsekuensi bukan tujuan. Ketiga stratifikasi ini
menyerupai piramida, di mana tahap manda menempati posisi paling bawah,
madhyama di tengah-tengah dan pravrddha paling puncak. Peningkatan posisi dari
manda menuju jenjang berikutnya tidak mungkin terjadi bersamaan. Menekan dengan
cara-cara tertentu tidak akan menyelesaikan masalah. Intervensi akan berakibat
pada hancurnya pertumbuhan kesadaran. Inilah perbedaan antara pelaksanaan
aktivitas agama sebagai tradisi dan sebagai esensi.
Sebagai tradisi, Nyepi
dilaksanakan secara bersama-sama oleh masyarakat, tetapi sebagai esensi setiap
orang memiliki maknanya masing-masing. Oleh karena demikian Nyepi sebagai
perayaan bagi seluruh umat Hindu, maka hal-hal yang mengatur tata caranya harus
tetap berada pada pemaknaan tahap manda. Mereka yang telah berada pada tahap
berikutnya tidak mengalami masalah, tetapi jika ditekankan pada pemaknaan pada
madhyama atau pravrddha, mereka yang
masih di bawah akan kesusahan dan tidak sanggup menjalankannya. Artinya, jika Catur Brata Penyepian, yakni Amati Geni dimaknai sebagai tidak
menyalakan api atau lampu sehari penuh (24 jam), Amati Karya tidak bekerja, Amati
Lelungan tidak bepergian, dan Amati
Lelanguan tidak memuaskan objek indria berlebihan, maka secara tradisi
mesti lakukan dengan aturan ini saja. Setiap orang akan merasakan suka cita. Namun, jika
pelaksanaannya biar kelihatan lebih khusuk dan bermanfaat dengan mengupayakan
hal-hal seperti pemadaman listrik, penutupan jaringan telepon, radio, dan
televisi sepertinya tidak mungkin. Masyarakat umum memandang chating, internet
dan telepon bukan termasuk pemuasan indria, tetapi sebuah kebutuhan yang
sejajar dengan makan dan minum.
Masyarakat umum memandang
Amati Geni sebagai tidak menghidupkan api dan lampu, tetapi kulkas, oven, mesin
pompa, rokok, dan bahkan alat setrika masih hidup. Amati Karya dimaknai sebagai
tidak bekerja di kantor, pasar, sawah, kebun, atau di tempat lainnya, tetapi
kesempatan bagi mereka untuk menyelesaikan pekerjaan rumah. Amati Lelungan
dimaknai tidak bepergian ke luar rumah, tetapi mereka mendapat kesempatan untuk
berkumpul dengan keluarga. Terakhir, Amati Lelanguan dimaknai tidak mengumbar
hawa nafsu seperti mabuk, judi, berpenampilan mewah, pesta, dan yang lainnya,
tetapi saling telepon, chating, makan-makan bersama keluarga, dan ngerumpi di
rumah masih berjalan. Masyarakat
akan selalu mencari alternatif. Meskipun seandainya masyarakat ditekan untuk
merayakan Nyepi dengan puasa dan mauna (tidak bicara), tidak melakukan apa-apa,
hanya duduk berpasrah pada Tuhan, mereka akan selalu mencari altematif untuk
mengisi kebiasaannya. Agama adalah perkembangan bathin, bukan jeruji yang
mengikat. Jika saatnya tiba, maka mereka akan melaksanakannya dengan baik penuh
dengan kesadaran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar