Selasa, 23 Agustus 2016

NYEPI

HARI RAYA NYEPI
Oleh
Nanang Sutrisno, S.Ag, M.Si

A.    Landasan Sastra
Hari raya Nyepi dilaksanakan oleh umat Hindu setiap tahun, yaitu pada tileming sasih kesanga atau sekitar bulan Maret – April dalam kalender Masehi. Hari raya Nyepi dilaksanakan untuk menyambut datangnya tahun baru Saka (Isaka Warsa) yang dikaitkan dengan penobatan Raja Kaniskha I di India. Penetapan tarik pertama Tahun baru Saka adalah 78 Masehi menandai keberhasilan Raja Kaniskha dalam mempersatukan suku-suka di India yang sebelumnya terlibat perang satu sama lain. Berbeda dengan perayaan pergantian tahun baru pada umumnya, justru pergantian tahun Saka dilaksanakan dengan berbagai ritual, seperti Melis, Tawur Kasanga, Catur Braya Panyepian, dan Ngembak Gni. Seluruh ritual ini menjadi satu rangkaian yang tidak dapat dpisahkan.
Bagi umat Hindu, Hari Raya Nyepi tidak hanya dimaknai sebagai rutinitas belaka, tetapi menjadi ekspresi religius (yadnya). Yadnya ini merupakan wujud kepercayaan (sraddha), pelayanan dan pemujaan (bhakti) kepada Hyang Widhi – pencipta alam semesta dan segala isinya. Oleh karena itu, pendalaman makna hari raya Nyepi penting dilakukan untuk menguatkan keyakinan umat Hindu pada tradisi religiusnya sekaligus agar nilai ini dapat direvitalisasi dalam konteks kekinian. Pada saat bersamaan, juga fenomena global menunjukkan kekhawatiraan masyarakat dunia pada terjadinya perubahan iklim, naiknya suhu bumi, dan kerusakan lingkungan yang mengancam kehidupan manusia. Artikel ini pada dasarnya hendak memaknai Nyepi, baik sebagai ekspresi religius maupun kearifan lingkungan Hindu sehingga memberikan sumbangan yang berharga bagi alam dan manusia.
Pelaksanaan hari suci keagamaan merupakan bagian dari yajna, yakni persembahan suci kepada Sang Hyang Widhi/Tuhan Yang Maha Esa. Swami Mukhyananda (1996) (dalam Suamba 1996; 1), menjelaskan kata “Yajna” adalah sebuah kata dalam Bahasa Sansekerta. Terbentuk dari akar kata “yuj” yang berarti memuja, menyembah, atau berdoa. Pemujaan atau penyembahan ini ditujukan kepada makhluk-makhluk yang lebih tinggi derajatnya, yakni para dewa, bhatara, dan para pitara.  Selain itu, juga ada persembahan kepada spirit-spirit yang memiliki sifat-sifat baik, bahkan juga buruk melalui materi-materi tertentu, seperti dupa, jagung, biji-bijian, kue-kue dan juga korban binatang. Persembahan (sacrificial) telah menjadi kegiatan ritual yang lumrah pada berbagai tipe masyarakat, sejak masa yang paling purba di seluruh dunia.
Konsep yajna benar-benar mampu mencakup berbagai aspek kehidupan yang beragam, serta seluruh eksistensi kehidupan menjadi satu kesatuan. Yajna, baik sebagai ide pemujaan secara umum maupun model-model ritual secara khusus yang meliputi segala jenis persembahan, kewajiban, doa-doa, korban material ke dalam api, memperlihatkan pelayanan yang berdedikasi dan ikhlas. Bermula dari ritualisme, yajna tumbuh dan berkembang menjadi dimensi-dimensi yang besar dalam cara-caranya yang berbeda-beda, dengan perkembangan ide-ide kosmologi dan religi-filosofi yang sangat mendasar. Ritualitas ini mencakup seluruh manifestasi kosmis alam semesta dalam berbagai eksistensinya. Kemudian, ia menukik jauh sampai ke Yajamana, sang pelaku yajna. Konsep ini merangkul manifestasi mikrokosmis secara keseluruhan, yaitu pasangan makrokosmis yang ada di dalamnya.
Sloka-sloka tentang yadnya yang tertuang dalam Bhagavad Gita menjadi filosofi etika kehidupan yang secara kolektif dapat mengarahkan tercapainya kesejahteraan sosial (abhyudaya) dan secara individu dapat mengarahkan tercapainya realisasi diri, summum bonum (nihshreyasa). Konsep-konsep Yajna yang bercampur dengan ritual-ritual puja yang terjadi pada masa-masa selanjutnya dan keempat sistem Yoga, yaitu Karma, Bhakti, Jnana, dan Raja yoga. Redaksi Majalah Vivekananda Kendra Patrika (1996) (dalam Suamba, 1996:37) menyebutkan bahwa Yajna mempunyai tiga tujuan pokok. Pertama, di dunia ini Yajna menjemput semua anugrah atau karunia atas umat manusia dan seluruh makhluk hidup, dengan pertolongan para dewa. Kedua, Yajna mengantarkan manusia mendekati dunia Illahi dan kehidupan yang bahagia, sekarang dan yang akan datang. Ketiga, apabila Yajna dilaksanakan dengan ikhlas tanpa suatu keinginan apapun untuk meraih buah atau hasilnya dan benar-benar dilakukan dengan ketakmelekatan maka akan tercapai keberhasilan mental, dan dikatakan mulai berjalan pada jalur kebajikan guna sampai pada kebahagiaan abadi yang juga disebut pembebasan (moksha).

B.    Upacara dan Upakara Hari Raya Nyepi
Hari Suci Nyepi diawali dengan upacara Melis, Melasti, Makiyis, atau Jaladri Puja. Bentuk upacaranya adalah menyucikan seluruh arca, pratima, dan simbol-simbol keagamaan lainnya ke laut, muara sungai, danau, atau sumber-sumber air yang disucikan. Upacara ini dilaksanakan 3 (tiga) hari sebelum Nyepi. Dalam lontar Sundarigama dijelaskan bahwa Melasti adalah “Anganyutaken Papa, Klesa Letehing Bhuwana Angamet Sarining Tirta Amerta Kamandalu” (‘menghanyutkan segala kekotoran dunia untuk mendapatkan air suci kehidupan dari tengah samudera’). Secara ekologi, upacara ini dapat dimaknai sebagai upaya pelestarian sumber-sumber air, seperti laut, danau, sungai, dan mata air yang bermanfaat bagi kehidupan umat manusia. Melalui upacara melasti inilah sumber-sumber air tersebut dimohonkan kelestariannya kepada Hyang Widhi sehingga bermanfaat sebesar-besarnya bagi kehidupan manusia dan alam.
Upacara pacaruan atau tawur kasanga dalam berbagai tingkatannya dilaksanakan pada tingkat keluarga, desa, kecamatan, kabupaten, provinsi, dan negara. Upacara ini tergolong dalam bhuta yajna sehingga dalam pelaksanaannya dibarengi dengan pawai ogoh-ogoh, yaitu gambaran sosok raksasa yang diarak berkeliling dan kemudian dibakar bersamaan dengan puncak upacara pacaruan. Dalam filsafat Samkhya, bhuta merupakan unsur paling kasar yang menjadi dasar penyusun alam semesta dan segala isinya (macro cosmos dan micro cosmos) yang terdiri atas lima unsur (panca mahabhuta), yaitu prthivi (tanah), apah (air), teja (api), vayu (angin), dan akasa (ether/ozon). Penggambaran bhuta dalam wujud raksasa sesungguhnya mengindikasikan bahwa unsur alam yang tidak seimbang akan berakibat mengerikan bagi manusia misalnya, api yang besar mengakibatkan kebakaran; air yang berlebihan mengakibatkan banjir, tsunami; atau lapisan ozon yang berlubang dapat mengakibatkan pemanasan global. Oleh karena itu, tujuan utama dari upacara bhuta yajna termasuk tawur kasanga adalah untuk mengharmoniskan unsur-unsur alam tersebut (bhutahita) sehingga keberadaannya dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kebahagiaan semua makhluk (sarwa prani hitangkarah).
Puncak perayaan Nyepi adalah pelaksanaan catur brata penyepian, berarti empat macam pengendalian diri (brata). Keempat brata yang harus dilaksanakan adalah amati gni (tidak menyalakan api); amati karya (tidak beraktivitas); amati lelungan (tidak berpergian); dan amati lelanguan (tidak menikmati keindahan). Keempat brata ini dilaksanakan umat Hindu selama 24 jam penuh. Dalam praktiknya, keempat brata ini dilaksanakan dengan memadamkan lampu, tidak berkendaraan, tidak menyalakan media hiburan, dan tidak memasak. Secara filosofis-teologis, amati gni berarti mengendalikan nafsu-hasrat yang ada dalam diri manusia; amati karya berarti mengendalikan aktivitas inderawi; amati lelungan berarti duduk diam, meditasi, instrospeksi diri, dan larut dalam pemujaan kepada Hyang Widhi; sedangkan amati lelanguan berarti tidak mengumbar kesenangan duniawi. Seluruh brata ini dilaksanakan agar umat Hindu mampu menjalani tahun Saka yang akan datang dengan semangat baru yang lebih religius dibandingkan tahun sebelumnya. Sementara itu, dari perspektif ekologi dapat dimaknai bahwa pelaksanaan catur brata penyepian dapat memberikan dampak positif bagi lingkungan alam, seperti penghematan energi listrik, penghematan bahan bakar, mengurangi emisi karbon, dan bebas polusi lingkungan. Setidak-tidaknya, dalam 24 jam alam Bali terbebas dari berbagai aktivitas manusia yang dapat mencemari lingkungan dan alamnya.
Ngembak gni yang berarti kembali menyalakan api atau mulai beraktivitas setelah melaksanakan catur brata penyepian. Upacara ngembak gni biasanya dirangkai dengan kegiatan dharma santih, yaitu kegiatan saling kunjung-mengunjungi sanak saudara, teman, dan handai-taulan untuk saling bermaaf-maafan. Artinya, ketika alam semesta dan manusia telah berada dalam keseimbangan dan keselarasan maka kedamaian pasti terwujud. Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa Hari Raya Nyepi memiliki makna yang mendalam, baik sebagai ekspresi religius maupun kearifan lingkungan Hindu. Untuk itu, nilai Hari Raya Nyepi harus direvitalisasi kembali dalam konteks kekinian sehingga dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kehidupan manusia demi terwujudnya kedamaian dan kebahagiaan umat manusia, santi lan jagadhita.

C.    Fungsi dan Makna
Nyepi adalah hari raya yang sarat akan makna filosofis dan religius. Tujuan kontemplasi yang dilakukan umat pada hari khusus ini adalah menyederhanakan derasnya aliran pikiran sampai pada titik tertentu di mana riaknya lenyap sama sekali. Catur Brata Penyepian menjadi sangat signifikan di dalam upaya ini. Amati Geni adalah lenyapnya bahan bakar yang mengobarkan letupan arus pikiran. Amati Karya adalah terputusnya gerak di mana rantai karma kehilangan kekuatannya untuk memenjarakan manusia ke dalam samsara tanpa tepi. Stabilitas diri dengan mengendalikan mekanisme tubuh (robot-like) yang setalu mencari suasana baru dicapai melalui Amati Lelungan. Terakhir, menunjukkan tendensi indriya menikmati objek-objeknya direalisasikan melalui Amati Lelanguan.
Makna Catur Brata Penyepian tersebut sifatnya sangat pribadi di mana di setiap fragmennya menyajikan keintiman ilahi antara pelaku dengan keberadaannya. Secara tradisi makna esensi tersebut sulit diraih dengan berbagai alasan. Pertama, agama tidak pernah sosial meskipun masyarakat secara sosial beragama. Agama selalu individu sebab agama memerlukan entitas sebagai ladang untuk tumbuh dan berkembang. Sedangkan society tidak memiliki kesatuan entitas, hanya kerumunan yang terdiri dari individu-individu yang berbeda. Agama secara sosial tidak pernah berkembang (secara kualitas), dan bahkan cenderung berbahaya dengan munculnya sikap fanatisme, arogansi yang berlebihan, dan fundamentalisme. Masyarakat disebut religius hanya ketika individu-individunya mengalami perkembangan secara spiritual.
Kedua, agama yang dimaknai secara sosial cenderung pragmatis. Agama akan dibawa ke dalam bingkai-bingkai tendensi masyarakat di mana agama itu diperagakan. Seperti misalnya, mereka yang memiliki hobi makan, maka Nyepi adalah ajang untuk masak besar dan menikmati berbagai macam hidangan. Oleh karenanya tidak salah supermarket atau pasar tiba-tiba sesak oleh pengunjung beberapa hari menjelang Nyepi. Bagi mereka yang cenderung formal, Nyepi akan dimaknai sebagai keseragaman langkah dan perayaan Nyepi disebut berhasil apabila tidak terjadi hal-hal di luar aturan. Bagi yang selebritis atau entertainer, apakah itu seleb yang memang artis maupun ‘seleb spiritual’, makna Nyepi adalah lahan entertain, meskipun tidak disebut demikian. Dalam ranah religius, mereka tidak tertarik dengan esensi Nyepi, atau makna esensinya mengalami mutasi menjaidi bentuk entertainment, atau paling tidak pelaku mengalihkan kegiatannya yang bersifat entertain.
Ketiga, makna esensi Nyepi yang ideal selalu dihadapkan pada evolusi kesadaran yang beragam dari individu-individu pembentuk = masyarakat. Kehidupan beragama sepenuhnya tergantung pada kesadaran akan pencarian diri masing-masing. Sehingga makna Nyepi tergantung pada kesadaran tersebut. Mustahil kesadaran religius yang seragam terbentuk, terkecuali pada hal-hal yang bersifat teknis dan pragmatis. Oleh karena demikian lembaga formal yang memiliki kekuatan kebijakan tidak memiliki basis logis untuk berperan di ranah kesadaran ini. Peran yang mungkin bisa adalah hanya sebagai fasilitator yang bersifat sosial teknis dan bukan masalah keyakinan individual.

D.    Implementasi dalam Kehidupan
Dalam telaah Vedanta ada tiga jenis manusia yang dibedakan berdasarkan intensitas keinginannya untuk menjalankan agama di dalam upaya mencapai pembebasan (mumuksuta), yakni manda, madhyama, dan pravrddha. Manda adalah tahap awal yang energinya sedikit sekali ditujukan pada hal-hal spiritual. Pada tahap ini kedalaman religius hanya berkisar pada regulasi, rutinitas, atau tampak luarnya saja. Tahap ini adalah tahap kegirangan semata. Secara sosial religius sebagian besar keberadaan manusia berada pada posisi ini. Mereka merayakan hari raya karena tradisi dan girang. Perayaan hari suci dimaknai sebagai bentuk kegiatan hiburan dari kejenuhan rutinitas atau bahkan mungkin ada yang menganggap tradisi sebagai rutinitas. Kesemarakan beragama baru sebatas mengalihkan atau memulai bentuk kegiatan baru, seperti misalnya pergi sembahyang ke pura, melaksanakan upacara dengan penuh antusiasme, dan bentuk-bentuk lainnya yang sejenis. Mereka semarak bersama dengan motivasinya masing-masing.
Madhyama adalah tahap kedua. Tahap ini lebih baik dari tahap pertama. Mereka memaknai hidup ini mesti seimbang antara materi dengan rohani. Di samping mengejar materi, mereka juga tekun melakukan kegiataan keagamaan. Mereka menganggap harmoni itu seperti timbangan. Berat materi di satu sisi equal dengan berat spiritual atau kegiatan keagamaan di sisi lainnya. Mereka menapakkan satu kaki di sisi materi dan kaki lainnya di sisi spiritual. Mereka melaksanakan hari raya dengan penuh intensitas, dan di hari lainnya juga melakukan kegiatan rutin dengan intensitas yang sama. Seperti misalnya pada saat Nyepi, mereka akan dengan sungguh-sungguh mengikuti Brata Penyepian dan mungkin melakukan puasa atau mauna sehari penuh. Tetapi pada hari lain, mereka bisa menikmati makanan yang banyak, enak dan melimpah.
Terakhir adalah pravrddha, di mana yang ada hanyalah keinginan yang kuat untuk mencapai pembebasan. Tahap ini adalah tahap totalitas spiritual. Kemanapun ia melangkah hanya Brahman tujuannya. Baginya apa pun yang tampak adalah Brahman: Brahmapratyasantatirjagadato brahmaiva tatsarvatah, alam semesta ini bukanlah apa-apa tetapi Brahman itu sendiri, karena itu adalah seri  yang berkelanjutan atas persepsi tentang Brahman. Keseimbangan tidak terletak pada ada tidaknya materi dan pelaksanaan keagamaan. Keseimbangan bagi orang ini dimaknai sebagai apa pun tindakan kita mesti diarahkan kepada Brahman. Materi dan bentuk-bentuk kebahagiaan hanya konsekuensi bukan tujuan. Ketiga stratifikasi ini menyerupai piramida, di mana tahap manda menempati posisi paling bawah, madhyama di tengah-tengah dan pravrddha paling puncak. Peningkatan posisi dari manda menuju jenjang berikutnya tidak mungkin terjadi bersamaan. Menekan dengan cara-cara tertentu tidak akan menyelesaikan masalah. Intervensi akan berakibat pada hancurnya pertumbuhan kesadaran. Inilah perbedaan antara pelaksanaan aktivitas agama sebagai tradisi dan sebagai esensi.
Sebagai tradisi, Nyepi dilaksanakan secara bersama-sama oleh masyarakat, tetapi sebagai esensi setiap orang memiliki maknanya masing-masing. Oleh karena demikian Nyepi sebagai perayaan bagi seluruh umat Hindu, maka hal-hal yang mengatur tata caranya harus tetap berada pada pemaknaan tahap manda. Mereka yang telah berada pada tahap berikutnya tidak mengalami masalah, tetapi jika ditekankan pada pemaknaan pada madhyama atau pravrddha, mereka yang masih di bawah akan kesusahan dan tidak sanggup menjalankannya. Artinya, jika Catur Brata Penyepian, yakni Amati Geni dimaknai sebagai tidak menyalakan api atau lampu sehari penuh (24 jam), Amati Karya tidak bekerja, Amati Lelungan tidak bepergian, dan Amati Lelanguan tidak memuaskan objek indria berlebihan, maka secara tradisi mesti lakukan dengan aturan ini saja. Setiap orang akan merasakan suka cita. Namun, jika pelaksanaannya biar kelihatan lebih khusuk dan bermanfaat dengan mengupayakan hal-hal seperti pemadaman listrik, penutupan jaringan telepon, radio, dan televisi sepertinya tidak mungkin. Masyarakat umum memandang chating, internet dan telepon bukan termasuk pemuasan indria, tetapi sebuah kebutuhan yang sejajar dengan makan dan minum.
Masyarakat umum memandang Amati Geni sebagai tidak menghidupkan api dan lampu, tetapi kulkas, oven, mesin pompa, rokok, dan bahkan alat setrika masih hidup. Amati Karya dimaknai sebagai tidak bekerja di kantor, pasar, sawah, kebun, atau di tempat lainnya, tetapi kesempatan bagi mereka untuk menyelesaikan pekerjaan rumah. Amati Lelungan dimaknai tidak bepergian ke luar rumah, tetapi mereka mendapat kesempatan untuk berkumpul dengan keluarga. Terakhir, Amati Lelanguan dimaknai tidak mengumbar hawa nafsu seperti mabuk, judi, berpenampilan mewah, pesta, dan yang lainnya, tetapi saling telepon, chating, makan-makan bersama keluarga, dan ngerumpi di rumah masih berjalan. Masyarakat akan selalu mencari alternatif. Meskipun seandainya masyarakat ditekan untuk merayakan Nyepi dengan puasa dan mauna (tidak bicara), tidak melakukan apa-apa, hanya duduk berpasrah pada Tuhan, mereka akan selalu mencari altematif untuk mengisi kebiasaannya. Agama adalah perkembangan bathin, bukan jeruji yang mengikat. Jika saatnya tiba, maka mereka akan melaksanakannya dengan baik penuh dengan kesadaran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar