SIWA – BUDDHA TATTWA:
KAJIAN STRUKTUR, FUNGSI, DAN
MAKNA
Oleh
Nanang Sutrisno
Nanang Sutrisno
I.
Pendahuluan
“rwaneka dhatu winuwus wara buddha wiswa/
bhineka rakwa ring apan kena parwanosen/
mangka ng Jinatwa kalawan Siwatwa tunggal/
bhineka tunggal ika tan hana dharma mangrwa//
(disebutkan dua perwujudan Beliau, yaitu
Buddha dan Siwa/
berbeda konon, tetapi
kapankah dapat dibagi dua/
demikianlah kebenaran
Buddha dan kebenaran Siwa itu satu/
berbeda itu satu,
tidak ada dharma yang mendua//)
(kakawin Sutasoma)
Itulah sepenggal ajaran dari Mpu
Tantular yang mengajarkan tentang kemanunggalan antara Siwa dan Buddha. Hal ini
menarik untuk dicermati tentang proses yang melatarbelakangi dua buah agama
besar dapat dipersatukan di tanah Jawa. Local
genious sebagai filter kebudayaan nusantara dalam interaksinya dengan
kebudayaan yang datang dari India dapat dijadikan pisau bedah untuk merenungi
manunggalnya ajaran Siwa-Buddha di Indonesia. Mengingat Buddha sebagai aliran
filsafat yang didirikan oleh Siddharta Gautama merupakan sebuah tradisi
filsafat, etika, agama dan budaya mengkritisi, bahkan kebenaran ajaran-ajaran
Veda. Oleh karena itu, disebut nastika bersama
jaina dan carwaka.
Buddha inilah yang disebut mashab
Hinayana dan sekitar tahun 300 SM pernah menguasai hampir seluruh daratan India
selama 500 tahun, sebelum kemudian kaum Brahmana di India membuat gerakan untuk
mengalahkan agama Buddha di India sehingga agama Buddha nyaris habis dan
sebagian besar melarikan diri ke Tibet, China, dan wilayah Asia Timur lainnya (Phalgunadi,
2010). Dalam perkembangannya kemudian Buddha mengalami evolusi sehingga muncul
banyak mashab, di antaranya mashab Vajrayana, Teravada, Mahayana, Tantrayana,
dan lain-lain. Bahkan di Indonesia, antara agama Hindu dan Buddha yang semula
bertentangan di India malah bisa bercampur menjadi satu. Hal ini menarik untuk dicermati karena
kemenyatuan Siwa-Buddha hanya ada di Indonesia, tidak pernah terjadi di India
atau belahan dunia lainnya (Suamba,2005).
2.
Pembahasan
2.1 Perkembangan Struktur Ajaran Siwa-Buddha di Indonesia
Hinduisme (Sivaisme) dan Buddhisme
(Mahayana) pada zaman silam nampaknya
datang secara langsung dari India. Tidak ada bukti sejauh ini ditemukan
kemungkinan kedua agama besar ini dipekenalkan di nusantara oleh
perantara-perantara dari negara lain, seperti halnya kasus Islam (Suamba,
2005). Hal ini dapat dilacak dari beberapa bukti, baik yang berupa karya
sastra, prasasti maupun artefak kebudayaan lainnya yang menyatakan adanya
kontak awal kebudayaan India di nusantara. Misalnya, kitab Brahmanda Purana yang disusun pada masa Gupta, juga mengungkapkan
saudagar-saudagar India yang mengunjungi Indonesia. Kitab ini menyebutkan pulau
Borne dengan nama Brahinadvipa. Beberapa
kitab purana menyebutkan kunjungan
Rsi Agastya ke Barhinadvipa, Kusadvipa,
Varahadvipa, Sankhadvipa, Malayadvipa, dan Javadvipa. Ia tinggal untuk beberapa waktu di gunung Maha-malaya parvata di Malayadvipa. Kitab Raghuvamsa yang disusun Kalidasa sekitar abad ke-5 Masehi, juga ada
mengacu kepada lavanga (cengkeh)
impor dari Dvipantara yang kemudian
bernama Sumatera. Wolters (Phalgunadi dalam Suamba, 2005) percaya Dvipantara adalah nama lain Indonesia.
Kumar (2006) menyatakan bahwa
hubungan antara Indonesia dan India semakin kuat pada masa kerajaan Hindu
sekitar abad ke-4 dan ke-5 Masehi. Dalam tulisannya lebih lanjut dikemukakan
sebagai berikut.
“Purnawarman,
the king Taruma, released Sanskrit inscriptions during his reign periods. The
king performed Brahmanical rites. But Buddhism penetrated in the heart of mass
people and it become religion of common people. This is becaused of a large
number of Buddhist vestiges are discovered from different parts of Java
including a Buddha image. From the Chinese source, it appears that Java was a
center of Buddhist learning. During 5th
century. Fa-hien stopped in Java studied Buddhist texts. A monk Gunavarman who
was the Prince of Khasmir (India) stayed at She P’o (Java) and preached
Buddhism in around 424 A.D. By Fifth century, Java appears to be melting pot of
different religions i.e. Hinduism and its Brahmanic sect as well as Buddhism.
People of Java accepted the alien religions an began practising its rites and
rituals”1.
Tulisan di atas
menyatakan bahwa pada masa pemerintahan Purnawarman di Tarumanegara telah
terjadi bibit-bibit penyatuan antara agama Siva (Brahmana) dan Buddha.
Dikatakan bahwa raja melaksanakan ritual-ritual agama Brahmana, tetapi Buddha
telah merebut hati masyarakat kebanyakan dan menjadi agama masyarakat pada
umumnya. Oleh sebab itu, pada masa sekitar abad ke-5 Masehi, masyarakat Indonesia
telah menerima penyatuan ajaran Siwa-Budha dan melaksanakannya dalam kehidupan
ritual keagamaan. Bahwa penyatuan antara Siwa-Buddha telah terjadi di Jawa
Barat, juga dipertegas lagi oleh naskah Sanghyang
Siksakanda ng Karesian yang ditulis pada zaman kerajaan Sunda. Naskah ini
memperlihatkan bahwa pengaruh Hindu sangat jelas walaupun rupanya pada waktu
itu kedua agama sudah luluh menjadi agama “baru”. Pada bagian 3 naskah ini
menyuratkan :
“...ini
na lalukonon, talatah sang sadu jati hongkara namo sewya, sembah ing hulun si
Sanghyang pancatatagatha; panca ngaran ing lima, tata ma ngaran ing sabda, gata
ma ngaran ing raga, ya eta ma pahayuon sareanana...”
(inilah yang harus dilakukan, (yaitu) amanat
sang baik hati (atau: terpercaya) yang sejati, selamatlah (hendaknya) dengan
nama Siwa, menyembahlah hamba kepada Sanghyang Tatagatha (Buddha); panca
berarti lima, tata itu artinya sabda, gata artinya raga, ya itulah kebaikan
semuanya) (Puponegoro dan Notosusanto, dalam Suamba, 2005).
Perkembangan religi di
Jawa lebih lanjut, yaitu pada akhir abad ke-7 adalah bahwa Hindu Tantrayana,
yaitu penyembahan pada sakti, kekuatan
istri (bukan “istri” dalam percakapan
sehari-hari) telah dilaksanakan oleh masyarakat, terbukti ditemukannya arca Mahisasura
Mardini di Losari, Cirebon, Jawa Barat. Mahisasura
Mardini ini yang lebih dikenal
dengan nama Bhatari Durga. Durga
Mahisasura Mardini digambarkan sebagai kekuatan yang menakutkan, bertangan
banyak, membawa banyak senjata, dan berdiri di atas kerbau (mahesa) dan tengkorak-tengkorak manusia.
Hal ini menunjukkan bahwa raja pada masa itu, selain mengutamakan kehidupan
yang damai dan sejahtera dalam kerajaan, juga memuja kekuatan-kekuatan sakti, baik untuk menjaga kedaulatan
kerajaan maupun untuk tujuan perluasan wilayah (Kumar, 2006).
Ajaran tantra, baik Siwatantra maupun
Buddhatantra rupanya tetap eksis hingga sekarang dan berpengaruh besar pada
pekembangan dunia spiritual. Meskipun demikian ajaran ini sering mendapatkan
cap negatif di masyarakat karena suka memperlihatkan kemampuan supranatural
untuk membuat orang lain celaka atau menderita, di samping kekuatan positif
yang diabdikan untuk tujuan-tujuan kebaikan. Sarkar (dalam Suamba, 2006)
mencatat teks-teks Buddha sungguh-sungguh berbicara tentang kekuatan-kekuatan
itu melibatkan kapasitas “memproyeksikan bayangan seseorang buatan pikiran,
menjadi tidak dapat dilihat oleh mata, menembus benda-benda padat seperti
dinding, menembus dasar pada seolah-olah cair, berjalan di atas air, terbang di
angkasa, menyentuh matahari dan bulan, naik ke surga-surga yang lebih tinggi,
dan sebagainya. Pencapaian kekuatan-kekuatan supernatural atau perolehan siddhi-siddhi yang berbeda-beda adalah
juga salah satu tujuan utama praktik umum tantra
siwa.
Perkembangan ajaran
Siwa-Buddha di Indonesia tampak mulai pesat pada masa Mataram kuno, di Jawa
Tengah sekitar abad ke-8 Masehi. Terutama ditandai oleh adanya dua keluarga (wangsa) besar, sanjayawangsa yang beragama Siwa dan syailendrawangsa beragama Buddha. Dari kedua keluarga inilah maka
di Jawa tengah lahir banyak sekali candi-candi, baik candi Siwa maupun candi
Buddha. Candi-candi Hindu antara lain Prambanan, Gedongsanga, Dieng,
Lorojonggrang, dan Ratu Baka. Sedangkan Candi Buddha antara lain Borobudur,
Kalasan, Mendut, Sewu, dan Plaosan. Pada masa ini pula filsafat dan agama
mendapatkan perhatian serius. Konsep karmaphala,
kelahiran setelah kematian atau reinkarnasi, dan pembebasan sejati atau sunyavada (moksa) sudah banyak dikenal
oleh masyarakat. Pelaksanaan ritual-ritual keagamaan dan pemujaan dewa-dewa,
baik Hindu maupun Buddha berkembang pesat di masyarakat (Kumar, 2006). Hal ini
dapat dilihat dari Candi Prambanan misalnya, di sana dipuja Maharsi Agastya
sebagai Bhatara Guru, Ganesa, Lorojonggrang (Durga atau Uma), dan Siwa sendiri.
Artinya, keseluruhan aspek agama Hindu, baik tattwa (filsafat), etika, dan acara agama telah dilaksanakan secara
simultan pada masa ini sebagai kelanjutan dari masa-masa sebelumnya.
Ajaran Siwa-Buddha
semakin berkembang dan meluas pengaruhnya pada masa kerajaan di Jawa Timur
sekitar abad ke-11. Spirit toleransi secara meluas dicerminkan dalam
kesusasteraan-kesusasteraan berbahasa Jawa Kuno yang menyatakan bahwa Buddha
dan Siwa adalah satu. Dalam kitab Sanghyang Kamahayanikan dikatakan bahwa “Buddha tunggal lawan Siwa”, artinya
Buddha tunggal dengan Siwa. Catatan yang dikeluarkan oleh Raja Airlangga pada
tahun 1034 Masehi menyatakan bahwa Beliau memberikan perhargaan dan
penghormatan yang sama kepada Siwa-Sogata-Rsi.
Kemanunggalan ajaran Siwa-Buddha, juga digambarkan saat para Raja meninggal
selalu diarcakan dalam dua candi, yaitu candi Siwa dan candi Buddha.
Dalam perkembangannya,
penyatuan ajaran
Siwa-Buddha di Indonesia dapat dilihat dari ajaran-ajaran yang mendekatkan
keduanya. Antara lain; (1) cerita
Bubuksah-Gagangaking; (2) Kitab Tattwa berbahasa Jawa Kuna yang
menyebutkan bahwa Padmasana sebagai sthana Siwa-Buddha; (3) Sutasoma menyatakan kemanunggalan Siwa dengan Buddha dalam semboyan “Bhinneka Tunggal Ika”;
dan (4) adanya beberapa kesamaan prinsip ajaran Siwa-Buddha, seperti tabel berikut.
NO
|
KONSEP
|
AGAMA
SIWA
|
AGAMA
BUDDHA
|
1
|
Prinsip tertinggi
|
Parama Siwa
|
Parama Buddha
|
2
|
Dwi Tunggal
|
Siwa – Durga
|
Adhi Budha-Pradnyaparamita
|
3
|
Kelepasan
|
Moksa, Sunya
|
Sunya, Nirbana
|
4
|
Tiga Dewa
|
Tri Murti :
Brahma, Wisnu, Iswara
|
Ratnatraya :
Sakyamuni, Lokeswara, dan Bajrapani atau Wairocana, Amitabha, Aksobhya, atau Wairocana, Ratnasambhawa, dan
Amogasiddhi. Ketiganya disebut juga Buddha, Darma, dan Sangga, merupakan
esensi dari Kaya, Wak, dan Citta (Tri Kaya).
|
5
|
Lima Dewa
|
Panca Dewata/ Panca Brahma :
Sadyojata (Iswara : Sa), Bamadewa (Brahma: Ba),
Tatpurusa Mahadewa:Ta), Aghora (Wisnu: A) dan Isana (Siwa: I)
|
Panca Tatagatha :
Wairocana (tengah), Ratnasambhawa (selatan),
Amitabha (Barat), Amogasiddhi (utara), dan Aksobya (Timur).
|
6
|
Lima Aksara
|
Panca Aksara : Sang, Bang, Tang, Ang, Ing
|
Panca Aksara : Ah, Hum, Tram, Hrih, A
|
7
|
Dewi Ilmu Pengetahuan
|
Saraswati
|
Pradnya Paramita
|
8
|
Pendeta
|
Dang Acarya
|
Dang Upadhyaya
|
9
|
Istilah nama
|
Siwa
|
Jina, Buddha, Sogata.
|
Sumber
: Suamba, 2005.
2.2 Fungsi Ajaran
Siwa-Buddha
2.2.1 Fungsi Koalisi
Dalam membahas hubungan Siwa-Buddha di Indonesia J.H.C Kern lebih
memfokuskan studinya pada inskripsi-inskripsi berbahasa Sansekerta,
prasasti-prasasti berbahasa Jawa Kuna, dan kitab-kitab berbahasa Jawa Kuna.
Mengenai Siwa-Buddha di Indonesia Kern menggunakan istilah vermenging (percampuran). Percampuran yang dimaksud adalah antara
Siwaisme dan Buddhisme Mahayana khususnya dalam pemberian makna Prinsip
Tertinggi yang tunggal. Menurut H. Kern percampuran Siwa-Buddha di Indonesia
sesungguhnya telah terjadi di tempat asal kelahiran dua agama ini, India.
H.Kern membandingkan data dari Orissa abad ke-7 Masehi dan bukti-bukti yang
tercantum dalam Kakawin Sutasoma sehingga ia sampai pada simpulan bahwa terjadi
pencampuran antara Siwa dan Buddha. Meskipun demikian kedua agama ini tetap
dibedakan satu sama lain.
Di Jawa Tengah
(Mataram Kuna) Siwa dan Buddha merupakan dua agama besar yang
hidup berdampingan secara serasi, selaras, dan harmonis dalam satu negara (Suamba, 2007:91). Mengikuti
catatan Rassers (1926:6) bahwa Siwa atau Buddha adalah agama negara yang
terkait erat dengan wangsa-wangsa kerajaan tertentu yang berkuasa, yaitu
Sanjaya (Saiwa) dan Syailendra (Buddha) (Sedyawati, 2009:19). Oleh karena itu,
J. Gonda dan Haryati Soebadio (Sedyawati, 2009:33) menyebut penyatuan Saiwa dan Buddha di Majapahit dengan istilah “koalisi”, yaitu sebagai prinsip
tertinggi atau kebenaran tertinggi dan segala manifestasinya, tetapi dalam
praktiknya tetaplah terpisah. Koalisi ini semakin jelas dintunjukkan oleh Candi
Prambanan dan Candi Borobudur sebagai simbol kebesaran kedu agama ini.
2.2.2 Fungsi Akulturasi
Untuk membahas hubungan Siwa-Buddha di Indonesia, Rassers menolak
pandangan Kern yang seolah-olah menganggap ada hubungan genetik langsung antara
apa yang terjadi di Jawa dengan di India beberapa abad terdahulu dalam hal
pertautan antara Siwaisme dan Buddhisme khususnya Mahayana. Di samping itu
Rassers juga menganggap bahwa Kern telah mengabaikan pengaruh kebudayaan Jawa
purba dalam mengkaji pertautan kedua agama tersebut di Jawa. Oleh karena itu, Rassers memfokuskan
perhatiannya pada struktur masyarakat Jawa purba. Menurutnya kebudayaan
Jawa asli dicirikan dengan sistem pembagian dua phratrie, sebagai dua yang azasi. Dia berpendapat bahwa kebudayaan
Jawa asli merupakan kemungkinan penyebab terjadinya pertautan antara Siwaisme
dan Buddhisme di Jawa.
Dengan menganalisis cerita Bubuksah – Gagak Aking, Rassers berpendapat
bahwa Gagak Aking yang dipersamakan Pendeta Siwa dipandang sebagai saudara tua
dari Bubuksah yang dipersamakan dengan Pendeta Buddha adalah cara manusia Jawa
untuk menyesuaikan mitos nenek moyang dengan keadaan yang berlaku pada zaman
itu, yaitu zaman Hindu di Jawa Timur. Dalam hubungan ini Rassers juga
menunjukkan bahwa Siwa dan Buddha sebagai “agama negara” yang terjadi di Jawa
Tengah berbeda dengan di Jawa Timur. Di Jawa Tengah antara Siwa dan Buddha
dipisahkan dalam maknanya sebagai agama negara, tetapi di Jawa Timur keduanya disamakan
karena hanyalah dua aspek dari agama yang sama, yakni Siwa-Buddha. Dengan demikian pandangan Rassers mengenai sinkritisme
Siwa-Buddha di Indonesia terjadi karena adanya pengaruh kebudayaan Jawa asli.
Pendapat ini diperkuat oleh Supomo, berdasarkan
kajiannya terhadap karya Pu Tantular di antaranya Kakawin
Arjunawijaya yang juga mengarang Sutasoma, S. Supomo menyatakan bahwa Pu
Tantular tidak memuja Siwa atau Buddha, melainkan dewa pujaannya sendiri (ista dewata) yang disebutnya Sri
Parwathadewaraja atau Dewa Gunung. Oleh karena itu Supomo lebih berkonsentrasi
untuk mengungkap tentang Sri Parwathadewaraja tersebut. Dari pembandingan
naskah-naskah Jawa Kuno, Supomo berkesimpulan bahwa yang dimaksud dengan Sri
Parwathadewaraja bukanlah Siwa ataupun Buddha, melainkan Siwa-Buddha itu
sendiri yang disebut oleh Prapanca sebagai Natha
ning Anatha (Pelindung dari Yang Mutlak), Pati ning Jagatpati (Raja dan Raja dunia) dan Hyang ning Hyang Inisti (Dewa dari segala dewa pribadi). Siwa dan
Buddha adalah perwujudan daripadanya. Mengenai munculnya pemujaan kepada Dewa
Gunung ini, Supomo berpendapat bahwa alam pegunungan merupakan tempat para Wiku (disebut Karesyan) membahas ajaran
Siwa dan Buddha sehingga para Raja pun datang ke sana. Pada prinsipnya, baik Rasser maupun Supomo
menegaskan pentingnya peran kebudayaan asli Jawa dalam akulturasi Siwa dan
Buddha di Indonesia.
(c) Fungsi Sinkretis
Berkaitan dengan Siwa dan Buddha terdapat dalam Prasasti Klurak (782 M)
dalam Bahasa Sansekerta dan dikeluarkan dalam rangka pendirian suatu bangunan
suci agama Buddha untuk pemujaan Manjusri (salah satu wujud kebudhaan
tertinggi). Adapun isi prasasti Klurak terkait dengan Siwa-Buddha terdapat
dalam bait 13, 14, dan 15 sebagai berikut.
“Kirttistambho’yam atulo
dharmasetur anutarah raksathamsarvasatvanam
mamjusripratimakrtih”
((bangunan) penguat
kejayaan, yang tiada bandingnya ini adalah jembatan yang kokoh menuju Dharma
(ajaran yang benar), dilengkapi dengan arca Manjusri demi pemeliharaan segenap
makhluk) (bait 13).
“atra buddhasca dharmmasca sanghascantargatah
stitah drstavyo drsyaratne’smin smararati-nisudane”
(di
situlah terletak di dalamnya Buddha, Dharma, dan Sangha hendaknya dipandang, di
bangunan itu yang merupakan permata yang indah, penakluk segala kenikmatan
duniawi) (bait 14).
“ayam sa vajradhrk sriman brahma visnur
mahesvarah sarvadevamayah suami manjuvag iti giyate”
(ia
itu yang membawa wajra dan bercahaya
(adalah) Brahma, Wisnu, maupun Mahesvara (ia adalah) junjungan yang
memperlihatkan diri sebagai segala dewa, (ia) dipuja dalam nyanyian sebagai
Manjuwag) (bait 15).
Terkait dengan Siwa-Buddha dapat dipahami bahwa dewa-dewa tertinggi
dalam Agama Hindu, yaitu Tri Murti (Brahma, Visnu, dan Mahesvara) disebutkan
dalam rangka memaparkan keagungan bangunan suci Buddha. Dalam prasasti ini
prinsip kebuddhaan tertinggi adalah Manjusri yang didalamnya terdapat Buddha, Dharma, dan Sangha yang
menaklukkan segala kenikmatan duniawi. Manjusri sebagai prinsip kebuddhaan
tertinggi dapat mengambil wujud Brahma, Wisnu, dan Maheswara. Oleh karena itu
Brahma, Wisnu dan Maheswara adalah titik awal menuju Manjusri dan selanjutnya
mencapai ajaran yang benar, yaitu dharma.
Sinkretisme ajaran ini semakin jelas dalam kata “Bhineka Tunggal Ika” terdapat dalam salah satu bait Kakawin Sutasoma Bab 139, bait ke-5
sebagai berikut.
“rwanekadhatu winuwus wara Buddha Wiswa,
bhinneki rakwa ring apan kena parwanosen,
Mangkaang Jinatwa kalawan Siwatattwa tunggal,
Bhineka tunggal ika tan hana dharma mangrwa”.
Artinya,
Dikatakan
bahwa (mereka) yang terpilih, Buddha dan
Wiswa (Siwa), merupakan dua elemen
dasar, tidak tunggal, terpisah itu konon, karena dapat segera dibagi dua. Akan tetapi, bagaimana keduanya dibedakan
karena ke-Jina-an
(kebenaran Buddha)
dan Kasiwaan (kebenaran Siwa) itu tunggal. Berbeda itu, tunggal itu, tidak ada kebenaran yang mendua.
Mengikuti pendapat J.Gonda dan Hariati Subadio mengenai sinkretisme Siwa-Buddha terjadi berkaitan dengan prinsip
tertinggi. Padahal, pada beberapa
hal prinsip sesungguhnya ajaran itu memiliki perbedaan. Misalnya, perbedaan
antara konsep Brahman dan Nirvana. Kata Brahman dalam agama Hindu sesungguhnya
telah terdapat dalam kitab Rg Veda Samhita dalam kaitannya dengan kurban suci.
Kemudian pengertian kata ini berkembang pada masa Brahmana khususnya dalam Satapatha
Brahmana, yaitu sebagai prinsip tertinggi yang merupakan kekuatan penggerak
dewa-dewa. Namun demikian kata Brahman menjadi
konsep kunci dalam Upanisad dan
akhirnya dalam Sad Darsana (enam
sistem filsafat India) terutama dalam Vedanta.
Konsep Brahman menjadi yang
terpenting dalam pemikiran Upanisad sebagai
azas tunggal semesta. Brahman adalah
jiwa semesta, jiwa semua makluk, atman. Hanya
Brahman yang benar-benar hakiki dan
ia bersifat jiwa, bukan materi. Oleh karena itu semua yang material dan ditangkap
oleh indriya manusia sesungguhnya adalah tipuan belaka, disebut maya.
Dalam perkembangannya konsep Braman
menjadi inti pembicaraan Vedanta, terutama
Advaita Vedanta oleh Sankaracarya. Sankara
membedakan Brahman dari penampakkan
dunia ini yang bersifat tak nyata, yang pada hakikatnya tidak bebas dari
penderitaan dan ketaksempurnaan. Inilah esensi Brahman, bukan sifat-sifat-Nya. Brahman adalah satu-satunya
realitas dari mana dunia ini ada. Ia tertinggi, sempurna, dan absolut. Atman adalah Brahman. Definisi Tuhan bukanlah deskripsinya karena deskripsi tentu
tidak akan menyenuh esensi Brahman Yang Absolut. Oleh karena itu, Brahman adalah nirguna (tanpa sifat), tanpa nama
dan tanpa rupa.
Sementara itu prinsip tertinggi dalam Buddha adalah Nirvana. Secara etimologis berarti
“terhembus habis”. Nirvana bukan jiwa
dan bukan materi, melainkan ketiadaan yang mutlak. Oleh karena itu Nirvana adalah sebuah konsep abstrak
yang tak terdeskripsikan dengan sifat apapun. Dalam perkembangannya kata Nirvana “diturunkan” pengertiannya
menjadi Sunyata berarti kekosongan,
sebuah kata benda yang masih mungkin dijangkau oleh pikiran manusia. Jadi,
perbedaan esensial dari Brahman dan Nirvana, Brahman adalah “ke-ada-an” yang
mutlak, sedangkan Nirvana adalah
ketiadaan yang mutlak.
Dua konsep mengenai Yang Tertinggi menurut Hindu dan Buddha ini dalam
perkembangannya sama-sama mengembangkan teori emanasi, yaitu mengalir dari
konsep yang abstrak menuju yang lebih konkret. Brahman yang pada hakikatnya adalah nirguna beremanasi menjadi nirguna-saguna,
dan akhirnya menjadi saguna. Demikian
halnya dengan Nirvana sebagai konsep
yang sangat abstrak beremanasi menjadi Sunyata.
Dalam konsep inilah “kebenaran tertinggi” yang pada awalnya tanpa sifat,
mulai disifatkan dan dipersonifikasikan sebagai tokoh kedewataan tertinggi,
seperti misalnya Siwa, Wisnu, Adhi Budha dan
dalam praktik religius selanjutnya, diwujudkan lebih konkret dalam sistem
simbol. Jadi, konsep personifikasi inilah yang memungkinkan terjadinya
pendekatan antara agama Hindu dan Buddha, di samping
pengaruh lainnya seperti ajaran Tantra, kesamaan kancah budaya, dan lain
sebagainya. Dari sinilah, Siwa-Buddha mengalami sinkretis pada prinsip-prinsip
ajaran.
(d)
Refleksi Kritis
Koalisi, akulturasi, dan sinkretisme
sesungguhnya merupakan perbedaan pendapat yang muncul dalam memahami
percampuran Siwa-Buddha di Indonesia. Akan tetapi, sesungguhnya terdapat tiga
faktor yang memungkinkan “Pendekatan” Saiwa-Buddha di Indonesia.
Pertama,
konsep tentang Yang Tertinggi
(kedewataan), di mana keduanya menerima dan mengembangkan Teori Emanasi. Dengan
teori ini dimungkinkan bahwa konsep tertinggi dalam Hindu, yaitu Brahman dan Nirvana dalam Buddha yang sungguh-sungguh abstrak, dikonkretkan
dalam personifikasi-personifikasi atau perwujudan/perwujudan dewata. Dalam
konsep personifikasi inilah kedua sistem religi Siwa dan Buddha ini dapat
disatukan misalnya, keserupaan antara konsep lima dewa penjuru mata angin,
yakni Panca Brahma dalam Hindu dan Panca Tathagatha dalam Buddha.
Kedua,
pendekatan Siwa dan Buddha
juga disebabkan kedua agama ini berkembang di kancah budaya yang sama.
Perjumpaan antara kedua agama ini dengan pemikiran Jawa asli (menurut Rassers)
memungkinkan kedua agama ini didekatkan, setidak-tidaknya pada tataran luarnya
(surface structure) misalnya,
ditunjukkan pada kesamaan langgam seni, baik pada candi Siwa maupun pada candi
Buddha. Kuatnya pengaruh mistisisme Jawa dalam hal ini juga dapat digunakan
bahan analisis tentang konsep Siwa-Buddha sebagai tunggal, mengingat dalam
mistis cenderung hadir pemikiran pantheis bahwa yang berbeda-beda sesungguhnya
tunggal.
Ketiga,
kuatnya pengaruh ajaran
Tantra, juga menjadi faktor yang mendekatkan kedua agama ini. Baik Siwa maupun
Buddha di Jawa khususnya, keduanya sama-sama mempraktikkan Yoga Tantra. Yoga
Tantra berintikan konsentrasi pada kekuatan-kekuatan dalam diri (disebut kundalini) yang terdapat dalam sad cakra untuk dipersatukan dengan yang
Tertinggi, Siwa. Kuatnya pengaruh
Tantra dalam penyatuan konsep Siwa-Buddha ditunjukkan dalam Kitab Pararaton dan
Negarakertagama bahwa Kertanegara yang penganut Tantra dikatakan menjadi
Siwa-Buddha atau mokteng siwabuddhaloka setelah
ia wafat.
2.5 Makna Ajaran
Siwa-Buddha
Sejarah Siwa-Buddha di Indonesia telah berhasil
menunjukkan betapa bangsa ini memiliki kemampuan kreatif dalam membangun
kehidupan berbangsa dan bernegara. Inilah lokal genius. Haryati Soebadio (Ayatrohaedi, 1986:18-19) mengartikan
local genius sejajar dengan apa yang
dewasa ini dikenal dengan culture
identity, yaitu identitas atau kepribadian budaya suatu bangsa yang mampu
menyerap dan mengolah pengaruh kebudayaan dari luar sehingga sesuai dengan
watak dan karakter pribadinya. Bhinneka Tunggal Ika adalah hasil kreatif bangsa
Majapahit dalam menjawab tantangan kehidupan di bidang keagamaan (Sedyawati,
2009:27). Kearifan masa lalu ini telah menginspirasi founding
father bangsa Indonesia untuk menetapkannya sebagai semboyan Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Seperti juga Bung Karno yang selalu menegaskan Jas Merah (jangan lupakan sejarah), maka Bhinneka Tunggal Ika adalah landasan negara untuk membangun bangsa yang plural dengan pengakuan terhadap
kelompok-kelompok masyarakat yang mempunyai latar belakang ras, suku, adat-istiadat, dan agama yang berbeda.
Pemilihan semboyan Bhinneka Tunggal Ika dari bait Sutasoma
– kitab suci Siwa-Buddha ini – tentu
bukanlah kebetulan. Ini merupakan kerja reflektif historis yang menegaskan
betapa bangsa Indonesia adalah bangsa yang religius. Penegasan ini salah
satunya dapat dirujuk dari pelacakan hermeneutis-historis
terhadap arkeologi kebudayaan Indonesia yang dilakukan oleh Jacob Sumardjo
(2002:1—10). Dari kajian tersebut ditemukan bahwa sifat
religius bangsa ini sudah tertanam dalam berbagai kebudayaan lokal, bahkan
sebelum Hindu sebagai agama pertama masuk ke Indonesia. Selanjutnya,
persentuhan antara agama-agama lokal dengan agama-agama besar yang datang
kemudian seperti, Hindu, Buddha, Islam, Kristen, dan Kong Hu Cu, semakin
meneguhkan sifat religius bangsa ini. Oleh karena itu, tidaklah berlebihan jika
para pendiri bangsa ini menempatkan
Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama Pancasila. Demikian juga, dalam Undang-undang Dasar 1945, pasal 29 yang
menyatakan bahwa negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Artinya,
negara kesatuan ini adalah negara yang berketuhanan, bukan negara agama dan
bukan pula negara sekuler.
Karakter bangsa Indonesia yang
religius ini sesungguhnya bisa menjadi modal penting bagi
suksesnya pembangunan nasional. Mengingat agama berisikan ajaran-ajaran
mengenai kebenaran yang tertinggi dan mutlak tentang eksistensi manusia, serta
petunjuk-petunjuk untuk hidup selamat di dunia dan akhirat. Agama sebagai
sistem keyakinan dapat menjadi bagian sistem nilai yang ada dalam kebudayaan
masyarakat bersangkutan, menjadi pendorong atau penggerak, serta pengontrol
dari tindakan-tindakan para anggota masyarakat tersebut untuk tetap berjalan
sesuai dengan nilai-nilai kebudayaan dan ajaran-ajaran agamanya (Ghazali, 2000:59). Secara sosiologis, agama dalam realitas
kehidupan juga akan bersentuhan dengan pemenuhan kebutuhan hidup manusia, baik
yang bersifat fisik-biologis, sosial, ekonomi dan politik. Demikian juga agama
akan bersentuhan dengan kebutuhan-kebutuhan integratif yang menyangkut hal-hal
yang sangat penting dalam kehidupan manusia, yaitu keinginan untuk hidup
beradab, bermoral, tenteram, dan damai (Notingham,
2002:36). Dengan demikian, keberagamaan itu saling kait-mengait antara hal-hal
yang bersifat normatif dengan dimensi kehidupan yang bersifat praksis aktual,
baik pada level individual maupun kolektif.
3. Penutup
Berdasarkan uraian
di atas dapat disimpulkan bahwa struktur ajaran Siwa-Buddha di Indonesia
terutama terdapat kesamaan pada prinsip-prinsip tertinggi. Kesamaan struktur
ajaran inilah yang kemudian memainkan fungsi, baik sebagai koalisi, akulturasi,
dan sinkretisme. Keduanya dipersatukan oleh local
genius yang hanya dimiliki bangsa Indonesia. Karena percampuran Siwa-Buddha
tidak pernah terjadi di India. Adapun makna yang dapat ditangkap dari
percampuran Siwa-Buddha adalah multikulturalisme, yakti simbol kehidupan yang
harmonis antara berbagai macam agama yang ada di Indonesia.
4.
Daftar Pustaka
Berg,
C.C, 1985, Penulisan Sejarah Jawa, Jakarta: Bhatara.
De
Graaf, H.J, 1985, Awal Kebangkitan
Mataram: Masa Pemerintahan Senapati, Jakarta: Grafiti Pers.
_________,
1987, Disntergrasi Mataram: Di Bawah
Mangkurat I, Jakarta: Grafiti Pers.
Kahmad,
H. Dadang, 2000, Sosiologi Agama,
Bandung: Pt. Remaja Rosdakarya.
Mantra,
Ida Bagus, dkk. 2002. Siwa-Buddha Puja di
Indonesia. Denpasar: Yayasan Dharma Sastra.
Nottingham, Elizabeth K. 1985. Agama dan Masyarakat. Jakarta:
CV.Rajawali.
Rassers, Willem
Huibert. 1926. Siwa en Boeddha in den
Indischen Archipel, edisi Translation
Series – KITLV, No. 3. 1959 oleh Nijhoff.
Sedyawati, Edi.
2009. Saiwa dan Bauddha di Masa Jawa
Kuna. Denpasar: Widya Dharma.
Suamba, I.B.
Putu. 2007. Siwa-Buddha di Indonesia
Ajaran dan Perkembangannya. Denpasar: Program Magister Ilmu Agama dan
Kebudayaan berkerjasama dengan Penerbit Widya Dharma.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar