Selasa, 23 Agustus 2016

SIWA BUDDHA

SIWA – BUDDHA TATTWA:
KAJIAN STRUKTUR, FUNGSI, DAN MAKNA

Oleh
Nanang Sutrisno


I.   Pendahuluan

“rwaneka dhatu winuwus wara buddha wiswa/
bhineka rakwa ring apan kena parwanosen/
mangka ng Jinatwa kalawan Siwatwa tunggal/
bhineka tunggal ika tan hana dharma mangrwa//

 (disebutkan dua perwujudan Beliau, yaitu Buddha dan Siwa/
berbeda konon, tetapi kapankah dapat dibagi dua/
demikianlah kebenaran Buddha dan kebenaran Siwa itu satu/
berbeda itu satu, tidak ada dharma yang mendua//)
(kakawin Sutasoma)

Itulah sepenggal ajaran dari Mpu Tantular yang mengajarkan tentang kemanunggalan antara Siwa dan Buddha. Hal ini menarik untuk dicermati tentang proses yang melatarbelakangi dua buah agama besar dapat dipersatukan di tanah Jawa. Local genious sebagai filter kebudayaan nusantara dalam interaksinya dengan kebudayaan yang datang dari India dapat dijadikan pisau bedah untuk merenungi manunggalnya ajaran Siwa-Buddha di Indonesia. Mengingat Buddha sebagai aliran filsafat yang didirikan oleh Siddharta Gautama merupakan sebuah tradisi filsafat, etika, agama dan budaya mengkritisi, bahkan kebenaran ajaran-ajaran Veda. Oleh karena itu, disebut nastika bersama jaina dan carwaka.
Buddha inilah yang disebut mashab Hinayana dan sekitar tahun 300 SM pernah menguasai hampir seluruh daratan India selama 500 tahun, sebelum kemudian kaum Brahmana di India membuat gerakan untuk mengalahkan agama Buddha di India sehingga agama Buddha nyaris habis dan sebagian besar melarikan diri ke Tibet, China, dan wilayah Asia Timur lainnya (Phalgunadi, 2010). Dalam perkembangannya kemudian Buddha mengalami evolusi sehingga muncul banyak mashab, di antaranya mashab Vajrayana, Teravada, Mahayana, Tantrayana, dan lain-lain. Bahkan di Indonesia, antara agama Hindu dan Buddha yang semula bertentangan di India malah bisa bercampur menjadi satu.  Hal ini menarik untuk dicermati karena kemenyatuan Siwa-Buddha hanya ada di Indonesia, tidak pernah terjadi di India atau belahan dunia lainnya (Suamba,2005).
2. Pembahasan
2.1 Perkembangan Struktur Ajaran Siwa-Buddha di Indonesia
Hinduisme (Sivaisme) dan Buddhisme (Mahayana) pada zaman silam nampaknya datang secara langsung dari India. Tidak ada bukti sejauh ini ditemukan kemungkinan kedua agama besar ini dipekenalkan di nusantara oleh perantara-perantara dari negara lain, seperti halnya kasus Islam (Suamba, 2005). Hal ini dapat dilacak dari beberapa bukti, baik yang berupa karya sastra, prasasti maupun artefak kebudayaan lainnya yang menyatakan adanya kontak awal kebudayaan India di nusantara. Misalnya, kitab Brahmanda Purana yang disusun pada masa Gupta, juga mengungkapkan saudagar-saudagar India yang mengunjungi Indonesia. Kitab ini menyebutkan pulau Borne dengan nama Brahinadvipa. Beberapa kitab purana menyebutkan kunjungan Rsi Agastya ke Barhinadvipa, Kusadvipa, Varahadvipa, Sankhadvipa, Malayadvipa, dan Javadvipa. Ia tinggal untuk beberapa waktu di gunung Maha-malaya parvata di Malayadvipa. Kitab Raghuvamsa yang disusun Kalidasa sekitar abad ke-5 Masehi, juga ada mengacu kepada lavanga (cengkeh) impor dari Dvipantara yang kemudian bernama Sumatera. Wolters (Phalgunadi dalam Suamba, 2005) percaya Dvipantara adalah nama lain Indonesia.
Kumar (2006) menyatakan bahwa hubungan antara Indonesia dan India semakin kuat pada masa kerajaan Hindu sekitar abad ke-4 dan ke-5 Masehi. Dalam tulisannya lebih lanjut dikemukakan sebagai berikut.
“Purnawarman, the king Taruma, released Sanskrit inscriptions during his reign periods. The king performed Brahmanical rites. But Buddhism penetrated in the heart of mass people and it become religion of common people. This is becaused of a large number of Buddhist vestiges are discovered from different parts of Java including a Buddha image. From the Chinese source, it appears that Java was a center of Buddhist learning. During 5th century. Fa-hien stopped in Java studied Buddhist texts. A monk Gunavarman who was the Prince of Khasmir (India) stayed at She P’o (Java) and preached Buddhism in around 424 A.D. By Fifth century, Java appears to be melting pot of different religions i.e. Hinduism and its Brahmanic sect as well as Buddhism. People of Java accepted the alien religions an began practising its rites and rituals”1.

Tulisan di atas menyatakan bahwa pada masa pemerintahan Purnawarman di Tarumanegara telah terjadi bibit-bibit penyatuan antara agama Siva (Brahmana) dan Buddha. Dikatakan bahwa raja melaksanakan ritual-ritual agama Brahmana, tetapi Buddha telah merebut hati masyarakat kebanyakan dan menjadi agama masyarakat pada umumnya. Oleh sebab itu, pada masa sekitar abad ke-5 Masehi, masyarakat Indonesia telah menerima penyatuan ajaran Siwa-Budha dan melaksanakannya dalam kehidupan ritual keagamaan. Bahwa penyatuan antara Siwa-Buddha telah terjadi di Jawa Barat, juga dipertegas lagi oleh naskah Sanghyang Siksakanda ng Karesian yang ditulis pada zaman kerajaan Sunda. Naskah ini memperlihatkan bahwa pengaruh Hindu sangat jelas walaupun rupanya pada waktu itu kedua agama sudah luluh menjadi agama “baru”. Pada bagian 3 naskah ini menyuratkan :
“...ini na lalukonon, talatah sang sadu jati hongkara namo sewya, sembah ing hulun si Sanghyang pancatatagatha; panca ngaran ing lima, tata ma ngaran ing sabda, gata ma ngaran ing raga, ya eta ma pahayuon sareanana...”

(inilah yang harus dilakukan, (yaitu) amanat sang baik hati (atau: terpercaya) yang sejati, selamatlah (hendaknya) dengan nama Siwa, menyembahlah hamba kepada Sanghyang Tatagatha (Buddha); panca berarti lima, tata itu artinya sabda, gata artinya raga, ya itulah kebaikan semuanya) (Puponegoro dan Notosusanto, dalam Suamba, 2005).

Perkembangan religi di Jawa lebih lanjut, yaitu pada akhir abad ke-7 adalah bahwa Hindu Tantrayana, yaitu penyembahan pada sakti, kekuatan istri (bukan “istri” dalam percakapan sehari-hari) telah dilaksanakan oleh masyarakat, terbukti ditemukannya arca Mahisasura Mardini di Losari, Cirebon, Jawa Barat. Mahisasura Mardini ini yang lebih dikenal dengan nama Bhatari Durga. Durga Mahisasura Mardini digambarkan sebagai kekuatan yang menakutkan, bertangan banyak, membawa banyak senjata, dan berdiri di atas kerbau (mahesa) dan tengkorak-tengkorak manusia. Hal ini menunjukkan bahwa raja pada masa itu, selain mengutamakan kehidupan yang damai dan sejahtera dalam kerajaan, juga memuja kekuatan-kekuatan sakti, baik untuk menjaga kedaulatan kerajaan maupun untuk tujuan perluasan wilayah (Kumar, 2006).
Ajaran tantra, baik Siwatantra maupun Buddhatantra rupanya tetap eksis hingga sekarang dan berpengaruh besar pada pekembangan dunia spiritual. Meskipun demikian ajaran ini sering mendapatkan cap negatif di masyarakat karena suka memperlihatkan kemampuan supranatural untuk membuat orang lain celaka atau menderita, di samping kekuatan positif yang diabdikan untuk tujuan-tujuan kebaikan. Sarkar (dalam Suamba, 2006) mencatat teks-teks Buddha sungguh-sungguh berbicara tentang kekuatan-kekuatan itu melibatkan kapasitas “memproyeksikan bayangan seseorang buatan pikiran, menjadi tidak dapat dilihat oleh mata, menembus benda-benda padat seperti dinding, menembus dasar pada seolah-olah cair, berjalan di atas air, terbang di angkasa, menyentuh matahari dan bulan, naik ke surga-surga yang lebih tinggi, dan sebagainya. Pencapaian kekuatan-kekuatan supernatural atau perolehan siddhi-siddhi yang berbeda-beda adalah juga salah satu tujuan utama praktik umum tantra siwa.
Perkembangan ajaran Siwa-Buddha di Indonesia tampak mulai pesat pada masa Mataram kuno, di Jawa Tengah sekitar abad ke-8 Masehi. Terutama ditandai oleh adanya dua keluarga (wangsa) besar, sanjayawangsa yang beragama Siwa dan syailendrawangsa beragama Buddha. Dari kedua keluarga inilah maka di Jawa tengah lahir banyak sekali candi-candi, baik candi Siwa maupun candi Buddha. Candi-candi Hindu antara lain Prambanan, Gedongsanga, Dieng, Lorojonggrang, dan Ratu Baka. Sedangkan Candi Buddha antara lain Borobudur, Kalasan, Mendut, Sewu, dan Plaosan. Pada masa ini pula filsafat dan agama mendapatkan perhatian serius. Konsep karmaphala, kelahiran setelah kematian atau reinkarnasi, dan pembebasan sejati atau sunyavada (moksa) sudah banyak dikenal oleh masyarakat. Pelaksanaan ritual-ritual keagamaan dan pemujaan dewa-dewa, baik Hindu maupun Buddha berkembang pesat di masyarakat (Kumar, 2006). Hal ini dapat dilihat dari Candi Prambanan misalnya, di sana dipuja Maharsi Agastya sebagai Bhatara Guru, Ganesa, Lorojonggrang (Durga atau Uma), dan Siwa sendiri. Artinya, keseluruhan aspek agama Hindu, baik tattwa (filsafat), etika, dan acara agama telah dilaksanakan secara simultan pada masa ini sebagai kelanjutan dari masa-masa sebelumnya.
Ajaran Siwa-Buddha semakin berkembang dan meluas pengaruhnya pada masa kerajaan di Jawa Timur sekitar abad ke-11. Spirit toleransi secara meluas dicerminkan dalam kesusasteraan-kesusasteraan berbahasa Jawa Kuno yang menyatakan bahwa Buddha dan Siwa adalah satu. Dalam kitab Sanghyang Kamahayanikan dikatakan bahwa “Buddha tunggal lawan Siwa”, artinya Buddha tunggal dengan Siwa. Catatan yang dikeluarkan oleh Raja Airlangga pada tahun 1034 Masehi menyatakan bahwa Beliau memberikan perhargaan dan penghormatan yang sama kepada Siwa-Sogata-Rsi. Kemanunggalan ajaran Siwa-Buddha, juga digambarkan saat para Raja meninggal selalu diarcakan dalam dua candi, yaitu candi Siwa dan candi Buddha.
Dalam perkembangannya, penyatuan ajaran Siwa-Buddha di Indonesia dapat dilihat dari ajaran-ajaran yang mendekatkan keduanya. Antara lain; (1) cerita Bubuksah-Gagangaking; (2) Kitab Tattwa berbahasa Jawa Kuna yang menyebutkan bahwa Padmasana sebagai sthana Siwa-Buddha; (3) Sutasoma menyatakan kemanunggalan Siwa dengan Buddha dalam semboyan “Bhinneka Tunggal Ika”; dan (4) adanya beberapa kesamaan prinsip ajaran Siwa-Buddha, seperti tabel berikut.
NO
KONSEP
AGAMA SIWA
AGAMA BUDDHA
1
Prinsip tertinggi
Parama Siwa
Parama Buddha
2
Dwi Tunggal
Siwa – Durga
Adhi Budha-Pradnyaparamita
3
Kelepasan
Moksa, Sunya
Sunya, Nirbana
4
Tiga Dewa
Tri Murti :
Brahma, Wisnu, Iswara
Ratnatraya :
Sakyamuni, Lokeswara, dan Bajrapani atau Wairocana, Amitabha, Aksobhya, atau Wairocana, Ratnasambhawa, dan Amogasiddhi. Ketiganya disebut juga Buddha, Darma, dan Sangga, merupakan esensi dari Kaya, Wak, dan Citta (Tri Kaya).
5
Lima Dewa
Panca Dewata/ Panca Brahma :
Sadyojata (Iswara : Sa), Bamadewa (Brahma: Ba), Tatpurusa Mahadewa:Ta), Aghora (Wisnu: A) dan Isana (Siwa: I)
Panca Tatagatha :
Wairocana (tengah), Ratnasambhawa (selatan), Amitabha (Barat), Amogasiddhi (utara), dan Aksobya (Timur).
6
Lima Aksara
Panca Aksara : Sang, Bang, Tang, Ang, Ing
Panca Aksara : Ah, Hum, Tram, Hrih, A
7
Dewi Ilmu Pengetahuan
Saraswati
Pradnya Paramita
8
Pendeta
Dang Acarya
Dang Upadhyaya
9
Istilah nama
Siwa
Jina, Buddha, Sogata.
Sumber : Suamba, 2005.

2.2 Fungsi Ajaran Siwa-Buddha
2.2.1 Fungsi Koalisi
Dalam membahas hubungan Siwa-Buddha di Indonesia J.H.C Kern lebih memfokuskan studinya pada inskripsi-inskripsi berbahasa Sansekerta, prasasti-prasasti berbahasa Jawa Kuna, dan kitab-kitab berbahasa Jawa Kuna. Mengenai Siwa-Buddha di Indonesia Kern menggunakan istilah vermenging (percampuran). Percampuran yang dimaksud adalah antara Siwaisme dan Buddhisme Mahayana khususnya dalam pemberian makna Prinsip Tertinggi yang tunggal. Menurut H. Kern percampuran Siwa-Buddha di Indonesia sesungguhnya telah terjadi di tempat asal kelahiran dua agama ini, India. H.Kern membandingkan data dari Orissa abad ke-7 Masehi dan bukti-bukti yang tercantum dalam Kakawin Sutasoma sehingga ia sampai pada simpulan bahwa terjadi pencampuran antara Siwa dan Buddha. Meskipun demikian kedua agama ini tetap dibedakan satu sama lain.
Di Jawa Tengah (Mataram Kuna) Siwa dan Buddha merupakan dua agama besar yang hidup berdampingan secara serasi, selaras, dan harmonis dalam satu negara (Suamba, 2007:91). Mengikuti catatan Rassers (1926:6) bahwa Siwa atau Buddha adalah agama negara yang terkait erat dengan wangsa-wangsa kerajaan tertentu yang berkuasa, yaitu Sanjaya (Saiwa) dan Syailendra (Buddha) (Sedyawati, 2009:19). Oleh karena itu, J. Gonda dan Haryati Soebadio (Sedyawati, 2009:33) menyebut penyatuan Saiwa dan Buddha di Majapahit dengan istilah “koalisi”, yaitu sebagai prinsip tertinggi atau kebenaran tertinggi dan segala manifestasinya, tetapi dalam praktiknya tetaplah terpisah. Koalisi ini semakin jelas dintunjukkan oleh Candi Prambanan dan Candi Borobudur sebagai simbol kebesaran kedu agama ini.

2.2.2 Fungsi Akulturasi
Untuk membahas hubungan Siwa-Buddha di Indonesia, Rassers menolak pandangan Kern yang seolah-olah menganggap ada hubungan genetik langsung antara apa yang terjadi di Jawa dengan di India beberapa abad terdahulu dalam hal pertautan antara Siwaisme dan Buddhisme khususnya Mahayana. Di samping itu Rassers juga menganggap bahwa Kern telah mengabaikan pengaruh kebudayaan Jawa purba dalam mengkaji pertautan kedua agama tersebut di Jawa. Oleh karena itu, Rassers memfokuskan perhatiannya pada struktur masyarakat Jawa purba. Menurutnya kebudayaan Jawa asli dicirikan dengan sistem pembagian dua phratrie, sebagai dua yang azasi. Dia berpendapat bahwa kebudayaan Jawa asli merupakan kemungkinan penyebab terjadinya pertautan antara Siwaisme dan Buddhisme di Jawa.
Dengan menganalisis cerita Bubuksah – Gagak Aking, Rassers berpendapat bahwa Gagak Aking yang dipersamakan Pendeta Siwa dipandang sebagai saudara tua dari Bubuksah yang dipersamakan dengan Pendeta Buddha adalah cara manusia Jawa untuk menyesuaikan mitos nenek moyang dengan keadaan yang berlaku pada zaman itu, yaitu zaman Hindu di Jawa Timur. Dalam hubungan ini Rassers juga menunjukkan bahwa Siwa dan Buddha sebagai “agama negara” yang terjadi di Jawa Tengah berbeda dengan di Jawa Timur. Di Jawa Tengah antara Siwa dan Buddha dipisahkan dalam maknanya sebagai agama negara, tetapi di Jawa Timur keduanya disamakan karena hanyalah dua aspek dari agama yang sama, yakni Siwa-Buddha. Dengan demikian pandangan Rassers mengenai sinkritisme Siwa-Buddha di Indonesia terjadi karena adanya pengaruh kebudayaan Jawa asli.
Pendapat ini diperkuat oleh Supomo, berdasarkan kajiannya terhadap karya Pu Tantular di antaranya Kakawin Arjunawijaya yang juga mengarang Sutasoma, S. Supomo menyatakan bahwa Pu Tantular tidak memuja Siwa atau Buddha, melainkan dewa pujaannya sendiri (ista dewata) yang disebutnya Sri Parwathadewaraja atau Dewa Gunung. Oleh karena itu Supomo lebih berkonsentrasi untuk mengungkap tentang Sri Parwathadewaraja tersebut. Dari pembandingan naskah-naskah Jawa Kuno, Supomo berkesimpulan bahwa yang dimaksud dengan Sri Parwathadewaraja bukanlah Siwa ataupun Buddha, melainkan Siwa-Buddha itu sendiri yang disebut oleh Prapanca sebagai Natha ning Anatha (Pelindung dari Yang Mutlak), Pati ning Jagatpati (Raja dan Raja dunia) dan Hyang ning Hyang Inisti (Dewa dari segala dewa pribadi). Siwa dan Buddha adalah perwujudan daripadanya. Mengenai munculnya pemujaan kepada Dewa Gunung ini, Supomo berpendapat bahwa alam pegunungan merupakan tempat para Wiku (disebut Karesyan) membahas ajaran Siwa dan Buddha sehingga para Raja pun datang ke sana. Pada prinsipnya, baik Rasser maupun Supomo menegaskan pentingnya peran kebudayaan asli Jawa dalam akulturasi Siwa dan Buddha di Indonesia.

(c) Fungsi Sinkretis
Berkaitan dengan Siwa dan Buddha terdapat dalam Prasasti Klurak (782 M) dalam Bahasa Sansekerta dan dikeluarkan dalam rangka pendirian suatu bangunan suci agama Buddha untuk pemujaan Manjusri (salah satu wujud kebudhaan tertinggi). Adapun isi prasasti Klurak terkait dengan Siwa-Buddha terdapat dalam bait 13, 14, dan 15 sebagai berikut.
“Kirttistambho’yam atulo dharmasetur anutarah raksathamsarvasatvanam
 mamjusripratimakrtih”
 ((bangunan) penguat kejayaan, yang tiada bandingnya ini adalah jembatan yang kokoh menuju Dharma (ajaran yang benar), dilengkapi dengan arca Manjusri demi pemeliharaan segenap makhluk) (bait 13).

atra buddhasca dharmmasca sanghascantargatah stitah drstavyo drsyaratne’smin smararati-nisudane”
(di situlah terletak di dalamnya Buddha, Dharma, dan Sangha hendaknya dipandang, di bangunan itu yang merupakan permata yang indah, penakluk segala kenikmatan duniawi) (bait 14).

ayam sa vajradhrk sriman brahma visnur mahesvarah sarvadevamayah suami manjuvag iti giyate”
(ia itu yang membawa wajra dan bercahaya (adalah) Brahma, Wisnu, maupun Mahesvara (ia adalah) junjungan yang memperlihatkan diri sebagai segala dewa, (ia) dipuja dalam nyanyian sebagai Manjuwag) (bait 15).

Terkait dengan Siwa-Buddha dapat dipahami bahwa dewa-dewa tertinggi dalam Agama Hindu, yaitu Tri Murti (Brahma, Visnu, dan Mahesvara) disebutkan dalam rangka memaparkan keagungan bangunan suci Buddha. Dalam prasasti ini prinsip kebuddhaan tertinggi adalah Manjusri yang didalamnya terdapat Buddha, Dharma, dan Sangha yang menaklukkan segala kenikmatan duniawi. Manjusri sebagai prinsip kebuddhaan tertinggi dapat mengambil wujud Brahma, Wisnu, dan Maheswara. Oleh karena itu Brahma, Wisnu dan Maheswara adalah titik awal menuju Manjusri dan selanjutnya mencapai ajaran yang benar, yaitu dharma.
Sinkretisme ajaran ini semakin jelas dalam kata Bhineka Tunggal Ika terdapat dalam salah satu bait Kakawin Sutasoma Bab 139, bait ke-5 sebagai berikut.
rwanekadhatu winuwus wara Buddha Wiswa,
 bhinneki rakwa ring apan kena parwanosen,
 Mangkaang Jinatwa kalawan Siwatattwa tunggal,
 Bhineka tunggal ika tan hana dharma mangrwa”.

Artinya,
Dikatakan bahwa (mereka) yang terpilih, Buddha dan Wiswa (Siwa), merupakan dua elemen dasar, tidak tunggal, terpisah itu konon, karena dapat segera dibagi dua. Akan tetapi, bagaimana keduanya dibedakan karena ke-Jina-an (kebenaran Buddha) dan Kasiwaan (kebenaran Siwa) itu tunggal. Berbeda itu, tunggal itu, tidak ada kebenaran yang mendua.

Mengikuti pendapat J.Gonda dan Hariati Subadio mengenai sinkretisme Siwa-Buddha terjadi berkaitan dengan prinsip tertinggi. Padahal, pada beberapa hal prinsip sesungguhnya ajaran itu memiliki perbedaan. Misalnya, perbedaan antara konsep Brahman dan Nirvana. Kata Brahman dalam agama Hindu sesungguhnya telah terdapat dalam kitab Rg Veda Samhita dalam kaitannya dengan kurban suci. Kemudian pengertian kata ini berkembang pada masa Brahmana khususnya dalam Satapatha Brahmana, yaitu sebagai prinsip tertinggi yang merupakan kekuatan penggerak dewa-dewa. Namun demikian kata Brahman menjadi konsep kunci dalam Upanisad dan akhirnya dalam Sad Darsana (enam sistem filsafat India) terutama dalam Vedanta. Konsep Brahman menjadi yang terpenting dalam pemikiran Upanisad sebagai azas tunggal semesta. Brahman adalah jiwa semesta, jiwa semua makluk, atman. Hanya Brahman yang benar-benar hakiki dan ia bersifat jiwa, bukan materi. Oleh karena itu semua yang material dan ditangkap oleh indriya manusia sesungguhnya adalah tipuan belaka, disebut maya.
Dalam perkembangannya konsep Braman menjadi inti pembicaraan Vedanta, terutama Advaita Vedanta oleh Sankaracarya. Sankara membedakan Brahman dari penampakkan dunia ini yang bersifat tak nyata, yang pada hakikatnya tidak bebas dari penderitaan dan ketaksempurnaan. Inilah esensi Brahman, bukan sifat-sifat-Nya. Brahman adalah satu-satunya realitas dari mana dunia ini ada. Ia tertinggi, sempurna, dan absolut. Atman adalah Brahman. Definisi Tuhan bukanlah deskripsinya karena deskripsi tentu tidak akan menyenuh esensi Brahman Yang Absolut. Oleh karena itu, Brahman adalah nirguna (tanpa sifat), tanpa nama dan tanpa rupa.
Sementara itu prinsip tertinggi dalam Buddha adalah Nirvana. Secara etimologis berarti “terhembus habis”. Nirvana bukan jiwa dan bukan materi, melainkan ketiadaan yang mutlak. Oleh karena itu Nirvana adalah sebuah konsep abstrak yang tak terdeskripsikan dengan sifat apapun. Dalam perkembangannya kata Nirvana “diturunkan” pengertiannya menjadi Sunyata berarti kekosongan, sebuah kata benda yang masih mungkin dijangkau oleh pikiran manusia. Jadi, perbedaan esensial dari Brahman dan Nirvana, Brahman adalah “ke-ada-an” yang mutlak, sedangkan Nirvana adalah ketiadaan yang mutlak.
Dua konsep mengenai Yang Tertinggi menurut Hindu dan Buddha ini dalam perkembangannya sama-sama mengembangkan teori emanasi, yaitu mengalir dari konsep yang abstrak menuju yang lebih konkret. Brahman yang pada hakikatnya adalah nirguna beremanasi menjadi nirguna-saguna, dan akhirnya menjadi saguna. Demikian halnya dengan Nirvana sebagai konsep yang sangat abstrak beremanasi menjadi Sunyata. Dalam konsep inilah “kebenaran tertinggi” yang pada awalnya tanpa sifat, mulai disifatkan dan dipersonifikasikan sebagai tokoh kedewataan tertinggi, seperti misalnya Siwa, Wisnu, Adhi Budha dan dalam praktik religius selanjutnya, diwujudkan lebih konkret dalam sistem simbol. Jadi, konsep personifikasi inilah yang memungkinkan terjadinya pendekatan antara agama Hindu dan Buddha, di samping pengaruh lainnya seperti ajaran Tantra, kesamaan kancah budaya, dan lain sebagainya. Dari sinilah, Siwa-Buddha mengalami sinkretis pada prinsip-prinsip ajaran.

(d) Refleksi Kritis
Koalisi, akulturasi, dan sinkretisme sesungguhnya merupakan perbedaan pendapat yang muncul dalam memahami percampuran Siwa-Buddha di Indonesia. Akan tetapi, sesungguhnya terdapat tiga faktor yang memungkinkan “Pendekatan” Saiwa-Buddha di Indonesia.
Pertama, konsep tentang Yang Tertinggi (kedewataan), di mana keduanya menerima dan mengembangkan Teori Emanasi. Dengan teori ini dimungkinkan bahwa konsep tertinggi dalam Hindu, yaitu Brahman dan Nirvana dalam Buddha yang sungguh-sungguh abstrak, dikonkretkan dalam personifikasi-personifikasi atau perwujudan/perwujudan dewata. Dalam konsep personifikasi inilah kedua sistem religi Siwa dan Buddha ini dapat disatukan misalnya, keserupaan antara konsep lima dewa penjuru mata angin, yakni Panca Brahma dalam Hindu dan Panca Tathagatha dalam Buddha.
Kedua, pendekatan Siwa dan Buddha juga disebabkan kedua agama ini berkembang di kancah budaya yang sama. Perjumpaan antara kedua agama ini dengan pemikiran Jawa asli (menurut Rassers) memungkinkan kedua agama ini didekatkan, setidak-tidaknya pada tataran luarnya (surface structure) misalnya, ditunjukkan pada kesamaan langgam seni, baik pada candi Siwa maupun pada candi Buddha. Kuatnya pengaruh mistisisme Jawa dalam hal ini juga dapat digunakan bahan analisis tentang konsep Siwa-Buddha sebagai tunggal, mengingat dalam mistis cenderung hadir pemikiran pantheis bahwa yang berbeda-beda sesungguhnya tunggal.
Ketiga, kuatnya pengaruh ajaran Tantra, juga menjadi faktor yang mendekatkan kedua agama ini. Baik Siwa maupun Buddha di Jawa khususnya, keduanya sama-sama mempraktikkan Yoga Tantra. Yoga Tantra berintikan konsentrasi pada kekuatan-kekuatan dalam diri (disebut kundalini) yang terdapat dalam sad cakra untuk dipersatukan dengan yang Tertinggi, Siwa. Kuatnya pengaruh Tantra dalam penyatuan konsep Siwa-Buddha ditunjukkan dalam Kitab Pararaton dan Negarakertagama bahwa Kertanegara yang penganut Tantra dikatakan menjadi Siwa-Buddha atau mokteng siwabuddhaloka setelah ia wafat.

2.5 Makna Ajaran Siwa-Buddha
Sejarah Siwa-Buddha di Indonesia telah berhasil menunjukkan betapa bangsa ini memiliki kemampuan kreatif dalam membangun kehidupan berbangsa dan bernegara. Inilah lokal genius. Haryati Soebadio (Ayatrohaedi, 1986:18-19) mengartikan local genius sejajar dengan apa yang dewasa ini dikenal dengan culture identity, yaitu identitas atau kepribadian budaya suatu bangsa yang mampu menyerap dan mengolah pengaruh kebudayaan dari luar sehingga sesuai dengan watak dan karakter pribadinya. Bhinneka Tunggal Ika adalah hasil kreatif bangsa Majapahit dalam menjawab tantangan kehidupan di bidang keagamaan (Sedyawati, 2009:27). Kearifan masa lalu ini telah menginspirasi founding father bangsa Indonesia untuk menetapkannya sebagai semboyan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Seperti juga Bung Karno yang selalu menegaskan Jas Merah (jangan lupakan sejarah), maka Bhinneka Tunggal Ika adalah landasan negara untuk membangun bangsa yang plural dengan pengakuan terhadap kelompok-kelompok masyarakat yang mempunyai latar belakang ras, suku, adat-istiadat, dan agama yang berbeda.
Pemilihan semboyan Bhinneka Tunggal Ika dari bait Sutasoma – kitab suci Siwa-Buddha ini – tentu bukanlah kebetulan. Ini merupakan kerja reflektif historis yang menegaskan betapa bangsa Indonesia adalah bangsa yang religius. Penegasan ini salah satunya dapat dirujuk dari pelacakan hermeneutis-historis terhadap arkeologi kebudayaan Indonesia yang dilakukan oleh Jacob Sumardjo (2002:1—10). Dari kajian tersebut ditemukan bahwa sifat religius bangsa ini sudah tertanam dalam berbagai kebudayaan lokal, bahkan sebelum Hindu sebagai agama pertama masuk ke Indonesia. Selanjutnya, persentuhan antara agama-agama lokal dengan agama-agama besar yang datang kemudian seperti, Hindu, Buddha, Islam, Kristen, dan Kong Hu Cu, semakin meneguhkan sifat religius bangsa ini. Oleh karena itu, tidaklah berlebihan jika para pendiri bangsa ini menempatkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama Pancasila. Demikian juga, dalam Undang-undang Dasar 1945, pasal 29 yang menyatakan bahwa negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Artinya, negara kesatuan ini adalah negara yang berketuhanan, bukan negara agama dan bukan pula negara sekuler.
Karakter bangsa Indonesia yang religius ini sesungguhnya bisa menjadi modal penting bagi suksesnya pembangunan nasional. Mengingat agama berisikan ajaran-ajaran mengenai kebenaran yang tertinggi dan mutlak tentang eksistensi manusia, serta petunjuk-petunjuk untuk hidup selamat di dunia dan akhirat. Agama sebagai sistem keyakinan dapat menjadi bagian sistem nilai yang ada dalam kebudayaan masyarakat bersangkutan, menjadi pendorong atau penggerak, serta pengontrol dari tindakan-tindakan para anggota masyarakat tersebut untuk tetap berjalan sesuai dengan nilai-nilai kebudayaan dan ajaran-ajaran agamanya (Ghazali, 2000:59). Secara sosiologis, agama dalam realitas kehidupan juga akan bersentuhan dengan pemenuhan kebutuhan hidup manusia, baik yang bersifat fisik-biologis, sosial, ekonomi dan politik. Demikian juga agama akan bersentuhan dengan kebutuhan-kebutuhan integratif yang menyangkut hal-hal yang sangat penting dalam kehidupan manusia, yaitu keinginan untuk hidup beradab, bermoral, tenteram, dan damai (Notingham, 2002:36). Dengan demikian, keberagamaan itu saling kait-mengait antara hal-hal yang bersifat normatif dengan dimensi kehidupan yang bersifat praksis aktual, baik pada level individual maupun kolektif.

3. Penutup
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa struktur ajaran Siwa-Buddha di Indonesia terutama terdapat kesamaan pada prinsip-prinsip tertinggi. Kesamaan struktur ajaran inilah yang kemudian memainkan fungsi, baik sebagai koalisi, akulturasi, dan sinkretisme. Keduanya dipersatukan oleh local genius yang hanya dimiliki bangsa Indonesia. Karena percampuran Siwa-Buddha tidak pernah terjadi di India. Adapun makna yang dapat ditangkap dari percampuran Siwa-Buddha adalah multikulturalisme, yakti simbol kehidupan yang harmonis antara berbagai macam agama yang ada di Indonesia.

4.     Daftar Pustaka

Berg, C.C, 1985, Penulisan Sejarah Jawa, Jakarta: Bhatara.

De Graaf, H.J, 1985, Awal Kebangkitan Mataram: Masa Pemerintahan Senapati, Jakarta: Grafiti Pers.
_________, 1987, Disntergrasi Mataram: Di Bawah Mangkurat I, Jakarta: Grafiti Pers.

Kahmad, H. Dadang, 2000, Sosiologi Agama, Bandung: Pt. Remaja Rosdakarya.

Mantra, Ida Bagus, dkk. 2002. Siwa-Buddha Puja di Indonesia. Denpasar: Yayasan Dharma Sastra.

Nottingham, Elizabeth K. 1985. Agama dan Masyarakat. Jakarta: CV.Rajawali.

Rassers, Willem Huibert. 1926. Siwa en Boeddha in den Indischen Archipel, edisi Translation Series – KITLV, No. 3. 1959 oleh Nijhoff.
                      
Sedyawati, Edi. 2009. Saiwa dan Bauddha di Masa Jawa Kuna. Denpasar: Widya Dharma.

Suamba, I.B. Putu. 2007. Siwa-Buddha di Indonesia Ajaran dan Perkembangannya. Denpasar: Program Magister Ilmu Agama dan Kebudayaan berkerjasama dengan Penerbit Widya Dharma.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar