Sabtu, 20 Agustus 2016

MIGRASI GALUNGAN

MIGRASI GALUNGAN

Nanang Sutrisno

Galungan adalah ritual keagamaan Hindu yang dilaksanakan secara rutin setiap Budha Kliwon Dungulan. Rutinitas ini menandai terjadinya perulangan religiusitas. Artinya, ritual ini telah dilaksanakan berulang kali oleh umat Hindu dan dihadirkan kembali pada ruang-waktu sakral yang ditentukan. Kehadiran Yang Sakral dalam ritual agama menegaskan ciri religiusnya, sekaligus membedakannya dengan aktivitas rutin lainnya yang bersifat profan. Oleh karena itu, perayaan Galungan hendaknya dipahami dalam dimensi religiusitas umat Hindu sehingga tidak menjadi tradisi yang kaku dan beku, apalagi nihil makna.

Religiusitas menjadi inti agama karena berpusat pada rasa dan kesadaran manusia akan hubungan dan ikatannya dengan Tuhan. Dalam religiusitasnya, manusia menyadari hubungannya dengan Tuhan sebagai sumber pertama dan utama yang menciptakan dan memberikannya eksistensi. Dari kesadaran ini, manusia bersedia mengikatkan dirinya pada Tuhan melalui ketundukan dan kepatuhan untuk melaksanakan ajaran-ajaranNya. Dengan demikian, religiusitas menjadi asas, prinsip pengarah, dan penggerak tindakan umat beragama dalam kehidupannya. 

Seiring berjalannya waktu, juga religiusitas manusia dapat mengalami pengenduran, bahkan acapkali terlupakan. Oleh karena itu, diperlukan ruang, waktu, dan tindakan religius sebagai momentum manusia untuk merenungkan dan membangun kembali religiusitasnya. Di antaranya adalah melalui penyelenggaraan ritual-ritual keagamaan, baik sehari-hari, berkala, maupun insidental. Melalui ritual-ritual tersebut manusia tidak hanya menuntaskan kewajibannya dalam beragama, tetapi lebih penting lagi adalah memupuk rasa dan kesadaran keagamaan. Singkatnya, ritual keagamaan merupakan momentum untuk melakukan migrasi religiusitas. Dalam konteks inilah, hadirnya kembali ritual Galungan dalam rutinitas keagamaan umat Hindu perlu dibaca ulang dalam medan pemaknaan yang begitu luas.

Narasi tentang Galungan umumnya dibangun seputar perayaan kemenangan dharma melawan adharma. Pemaknaan ini tampaknya lahir dari hasil pembacaan dan penafsiran para tokoh Hindu terhadap sejumlah teks kesusasteraan Hindu, seperti Sri Aji Jaya Kasunu, Purana Bali Dwipa, Panji Malat Rasmi, dan Sundarigama. Misalnya, upacara ini kerap dikaitkan dengan mitologi kemenangan Bhatara Indra atas Maya Danawa seperti diceritakan dalam lontar Sri Aji Jaya Kasunu. Malahan ada juga pihak yang berusaha mengaitkannya dengan perayaan upacara Durgapuja (Nawaratri) dan Sraddha Wijaya Dasami di India. Penggalian makna secara tekstual rupanya semakin memperkuat narasi tersebut, bahkan berhasil membangun struktur kognitif umat Hindu tentang makna hari raya Galungan. 
Walaupun demikian, justru perayaan Galungan dalam teks sosial acapkali menampilkan fenomena yang berbeda. Galungan cenderung identik sebagai ritual keagamaan yang dirayakan dengan penuh suka-cita, bahkan tidak jarang bernuansa foya-foya. Ritual ini telah dipersiapkan begitu rupa sejak jauh hari sebelumnya. Pada satu sisi, perayaan Galungan berhasil mempertontonkan ekspresi religiusitas umat Hindu yang demikian mengesankan. Kegairahan umat Hindu dalam melakukan pemujaan dan persembahan dibalut dengan indahnya atribut-atribut ritual, seperti penjor dan wastra palinggih. Namun pada sisi yang lain, juga Galungan acapkali menjadi arena perayaan hasrat liar manusia, seperti berjudi dan mabuk-mabukan. Perayaan Galungan seolah-olah menjadi momentum paling tepat untuk melampiaskan hasrat yang sebelumnya terkekang oleh berbagai aturan sosial. Begitu permisifnya dunia sosial terhadap berbagai aktivitas umat Hindu pada saat Galungan, sepertinya hendak menegaskan bahwa “saat Galungan, apapun wajar dan sah dilakukan”.

Tampaknya diperlukan kehati-hatian untuk mengurai kesenjangan yang terjadi antara kondisi ideal dan fenomena aktual dalam perayaan Galungan. Mengingat keduanya memiliki kebenarannya masing-masing terutama dalam konteks tradisi. Galungan merupakan tradisi ritual yang telah diwarisi dan dilaksanakan umat Hindu secara turun temurun. Boleh jadi, perilaku umat Hindu dalam merayakan Galungan pada masa kini merupakan pengulangan tindakan dari masa lalu. Hal ini sejalan dengan pandangan Giddens (2003) bahwa tradisi berkaitan dengan memori kolektif. Artinya, terjadinya pengulangan tindakan merupakan keniscayaan karena tradisi telah mengkonstitusi memori masyarakat mengenai tindakan tersebut. Walaupun demikian, mempertahankan tradisi dengan mengabaikan perubahan ruang, waktu, dan kesadaran, justru berlawanan dengan hakikat tradisi yang senyatanya begitu cair dan dinamis.

Gagasan tersebut sekaligus menjadi undangan moral bagi umat Hindu untuk segera melakukan ‘migrasi Galungan’. Migrasi dimaksud adalah perpindahan dari tradisi lama ke tradisi baru dalam rangka pengembangan religiusitas. Pernyataan ini tidak berarti bahwa umat Hindu harus meninggalkan tradisi Galungan dan mencari tradisi ritual yang baru. Akan tetapi, spirit perayaan Galungan yang sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi zamanlah yang harus segera ditinggalkan, lalu menggantikannya dengan spirit baru yang lebih sarat dengan pencerahan. Migrasi ini mensyaratkan keseriusan dan kesungguhan umat Hindu untuk melakukan reinterpretasi dan rekontekstualisasi Galungan yang selaras dengan kondisi zaman. Dengan cara demikian, tradisi ini akan tetap terpelihara dan senantiasa fungsional bagi umat Hindu dalam meniti kehidupan pada masa sekarang serta memimpin kehidupan menuju masa depan.

Migrasi Galungan harus dimulai dengan kesadaran bahwa tradisi lama sudah tidak mampu lagi menyediakan ruang yang nyaman bagi penyemaian nilai-nilai religiusitas. Degradasi dan dekadensi nilai yang terjadi pada berbagai aspek kehidupan masyarakat telah meluluh-lantakkan keluhuran makna Galungan. Dharma yang menjadi inti nilai perayaan Galungan kian sumir dan samar, seiring dengan sikap permisif masyarakat terhadap perilaku-perilaku adharma. Hubungan dan ikatan dengan Tuhan terasa hanya berhenti pada rutinitas ritual yang terbatas pada ruang-waktu tertentu saja. Di luar itu, arena-arena sosial berubah menjadi panggung terbuka bagi perayaan hasrat individu. Malahan nilai ritual itu sendiri, juga semakin terdegradasi seturut dengan menguatnya gejala schizofrenia (‘kegilaan’) beragama. Bagaimana tidak! Seluruh energi material, nyaris dihabiskan sepenuhnya hanya untuk merayakan Galungan, apalagi dibumbui aroma persaingan antar-individu dengan perilaku jor-joran. Seolah-olah, Galungan menjadi satu-satunya kesempatan untuk berpesta menuntaskan segala nafsu-keinginan dan tidak peduli lagi dengan yang akan terjadi esok.

Apabila tradisi lama telah menjadi memori kolektif yang sulit dikontrol pengaruhnya, maka perlu dibangun tradisi baru yang dapat dimulai dari kesadaran individu menuju kesadaran kolektif. Melalui reinterpretasi, kontekstualisasi, dan restrukturisasi tradisi lama, setiap individu dapat menjadikan dirinya aktor sekaligus agen untuk membangun tradisi baru. Tentu saja, tradisi baru ini harus menjadi arena yang produktif bagi pengembangan religiusitas individu-individu di dalamnya, terutama dalam konteks perayaan Galungan. Religiusitas dikembangkan melalui penataan kembali hubungan dan ikatan manusia dengan Tuhan, sesamanya, serta alam-lingkungannya. Dharma harus menjadi prinsip pengarah dan penggerak tindakan manusia dalam ketiga aspek tersebut demi terwujudnya kesejahteraan dan kebahagiaan hidup. Dengan demikian, tradisi baru ini benar-benar dapat mencapai maksud dan tujuannya menjadi rumah paling nyaman bagi pengembangan religiusitas umat Hindu.

Kiranya, migrasi Galungan hanya mungkin diwujudkan di dalam dan melalui aktivitas praksis. Mengingat hakikat rekonstruksi dan reproduksi sosial adalah tindakan praktis yang berakar pada nilai-nilai keseharian dengan penekanan yang kuat pada ruang dan waktu. Tradisi Galungan dengan elastisitas dan kedinamisannya harus dipertahankan dengan melakukan reinterpretasi dan rekontekstualisasi nilai secara berkesinambungan. Dengan demikian, dharma yang menjadi inti nilai Galungan akan senantiasa memimpin umat Hindu dalam mengarungi perubahan zaman. Rahayu!


Tidak ada komentar:

Posting Komentar