MIGRASI GALUNGAN
Nanang Sutrisno
Galungan adalah ritual keagamaan Hindu yang dilaksanakan
secara rutin setiap Budha Kliwon Dungulan.
Rutinitas ini menandai terjadinya perulangan religiusitas. Artinya, ritual ini
telah dilaksanakan berulang kali oleh umat Hindu dan dihadirkan kembali pada
ruang-waktu sakral yang ditentukan. Kehadiran Yang Sakral dalam ritual agama
menegaskan ciri religiusnya, sekaligus membedakannya dengan aktivitas rutin
lainnya yang bersifat profan. Oleh karena itu, perayaan Galungan hendaknya
dipahami dalam dimensi religiusitas umat Hindu sehingga tidak menjadi tradisi
yang kaku dan beku, apalagi nihil makna.
Religiusitas menjadi inti agama karena berpusat pada rasa dan
kesadaran manusia akan hubungan dan ikatannya dengan Tuhan. Dalam religiusitasnya,
manusia
menyadari hubungannya dengan Tuhan sebagai sumber pertama
dan utama yang menciptakan
dan memberikannya eksistensi. Dari kesadaran ini, manusia bersedia mengikatkan dirinya pada Tuhan melalui ketundukan dan kepatuhan untuk melaksanakan
ajaran-ajaranNya. Dengan demikian, religiusitas menjadi asas, prinsip
pengarah, dan penggerak tindakan umat beragama dalam kehidupannya.
Seiring berjalannya waktu, juga religiusitas manusia dapat
mengalami pengenduran, bahkan acapkali terlupakan. Oleh karena itu, diperlukan
ruang, waktu, dan tindakan religius sebagai momentum manusia untuk merenungkan
dan membangun kembali religiusitasnya. Di antaranya adalah melalui penyelenggaraan
ritual-ritual keagamaan, baik sehari-hari, berkala, maupun insidental. Melalui
ritual-ritual tersebut manusia tidak hanya menuntaskan kewajibannya dalam
beragama, tetapi lebih penting lagi adalah memupuk rasa dan kesadaran
keagamaan. Singkatnya, ritual keagamaan merupakan momentum untuk melakukan migrasi
religiusitas. Dalam konteks inilah, hadirnya kembali ritual Galungan dalam
rutinitas keagamaan umat Hindu perlu dibaca ulang dalam medan pemaknaan yang
begitu luas.
Narasi tentang Galungan umumnya dibangun seputar perayaan kemenangan
dharma melawan adharma. Pemaknaan ini tampaknya lahir dari hasil pembacaan dan
penafsiran para tokoh Hindu terhadap sejumlah teks kesusasteraan Hindu, seperti
Sri Aji Jaya Kasunu, Purana Bali
Dwipa, Panji Malat Rasmi, dan Sundarigama.
Misalnya, upacara ini kerap dikaitkan dengan mitologi kemenangan Bhatara
Indra atas Maya Danawa seperti diceritakan dalam lontar Sri Aji Jaya Kasunu. Malahan ada juga pihak yang berusaha mengaitkannya
dengan perayaan upacara Durgapuja (Nawaratri) dan Sraddha Wijaya Dasami di
India. Penggalian makna secara tekstual rupanya semakin memperkuat narasi tersebut,
bahkan berhasil membangun struktur kognitif umat Hindu tentang makna hari raya
Galungan.
Walaupun demikian, justru perayaan Galungan dalam teks sosial
acapkali menampilkan fenomena yang berbeda. Galungan cenderung identik sebagai ritual
keagamaan yang dirayakan dengan penuh suka-cita, bahkan tidak jarang bernuansa foya-foya.
Ritual ini telah dipersiapkan begitu rupa sejak jauh hari sebelumnya. Pada satu
sisi, perayaan Galungan berhasil mempertontonkan ekspresi religiusitas umat
Hindu yang demikian mengesankan. Kegairahan umat Hindu dalam melakukan pemujaan
dan persembahan dibalut dengan indahnya atribut-atribut ritual, seperti penjor dan wastra palinggih. Namun pada sisi yang lain, juga Galungan acapkali
menjadi arena perayaan hasrat liar manusia, seperti berjudi dan mabuk-mabukan.
Perayaan Galungan seolah-olah menjadi momentum paling tepat untuk melampiaskan
hasrat yang sebelumnya terkekang oleh berbagai aturan sosial. Begitu
permisifnya dunia sosial terhadap berbagai aktivitas umat Hindu pada saat
Galungan, sepertinya hendak menegaskan bahwa “saat Galungan, apapun wajar dan
sah dilakukan”.
Tampaknya diperlukan kehati-hatian untuk mengurai kesenjangan
yang terjadi antara kondisi ideal dan fenomena aktual dalam perayaan Galungan.
Mengingat keduanya memiliki kebenarannya masing-masing terutama dalam konteks
tradisi. Galungan merupakan tradisi ritual yang telah diwarisi dan dilaksanakan
umat Hindu secara turun temurun. Boleh jadi, perilaku umat Hindu dalam
merayakan Galungan pada masa kini merupakan pengulangan tindakan dari masa lalu.
Hal ini sejalan dengan pandangan Giddens (2003) bahwa tradisi berkaitan dengan
memori kolektif. Artinya, terjadinya pengulangan tindakan merupakan keniscayaan
karena tradisi telah mengkonstitusi memori masyarakat mengenai tindakan
tersebut. Walaupun demikian, mempertahankan tradisi dengan mengabaikan
perubahan ruang, waktu, dan kesadaran, justru berlawanan dengan hakikat tradisi
yang senyatanya begitu cair dan dinamis.
Gagasan tersebut sekaligus menjadi undangan moral bagi umat
Hindu untuk segera melakukan ‘migrasi Galungan’. Migrasi dimaksud adalah
perpindahan dari tradisi lama ke tradisi baru dalam rangka pengembangan religiusitas.
Pernyataan ini tidak berarti bahwa umat Hindu harus meninggalkan tradisi
Galungan dan mencari tradisi ritual yang baru. Akan tetapi, spirit perayaan
Galungan yang sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi zamanlah yang harus segera
ditinggalkan, lalu menggantikannya dengan spirit baru yang lebih sarat dengan pencerahan.
Migrasi ini mensyaratkan keseriusan dan kesungguhan umat Hindu untuk melakukan
reinterpretasi dan rekontekstualisasi Galungan yang selaras dengan kondisi
zaman. Dengan cara demikian, tradisi ini akan tetap terpelihara dan senantiasa
fungsional bagi umat Hindu dalam meniti kehidupan pada masa sekarang serta
memimpin kehidupan menuju masa depan.
Migrasi Galungan harus dimulai dengan kesadaran bahwa tradisi
lama sudah tidak mampu lagi menyediakan ruang yang nyaman bagi penyemaian
nilai-nilai religiusitas. Degradasi dan dekadensi nilai yang terjadi pada
berbagai aspek kehidupan masyarakat telah meluluh-lantakkan keluhuran makna
Galungan. Dharma yang menjadi inti
nilai perayaan Galungan kian sumir dan samar, seiring dengan sikap permisif
masyarakat terhadap perilaku-perilaku adharma.
Hubungan dan ikatan dengan Tuhan terasa hanya berhenti pada rutinitas
ritual yang terbatas pada ruang-waktu tertentu saja. Di luar itu, arena-arena
sosial berubah menjadi panggung terbuka bagi perayaan hasrat individu. Malahan
nilai ritual itu sendiri, juga semakin terdegradasi seturut dengan menguatnya
gejala schizofrenia (‘kegilaan’)
beragama. Bagaimana tidak! Seluruh energi material, nyaris dihabiskan
sepenuhnya hanya untuk merayakan Galungan, apalagi dibumbui aroma persaingan
antar-individu dengan perilaku jor-joran.
Seolah-olah, Galungan menjadi satu-satunya kesempatan untuk berpesta
menuntaskan segala nafsu-keinginan dan tidak peduli lagi dengan yang akan
terjadi esok.
Apabila tradisi lama telah menjadi memori kolektif yang sulit
dikontrol pengaruhnya, maka perlu dibangun tradisi baru yang dapat dimulai dari
kesadaran individu menuju kesadaran kolektif. Melalui reinterpretasi,
kontekstualisasi, dan restrukturisasi tradisi lama, setiap individu dapat menjadikan
dirinya aktor sekaligus agen untuk membangun tradisi baru. Tentu saja, tradisi
baru ini harus menjadi arena yang produktif bagi pengembangan religiusitas
individu-individu di dalamnya, terutama dalam konteks perayaan Galungan. Religiusitas
dikembangkan melalui penataan kembali hubungan dan ikatan manusia dengan Tuhan,
sesamanya, serta alam-lingkungannya. Dharma
harus menjadi prinsip pengarah dan penggerak tindakan manusia dalam ketiga
aspek tersebut demi terwujudnya kesejahteraan dan kebahagiaan hidup. Dengan demikian,
tradisi baru ini benar-benar dapat mencapai maksud dan tujuannya menjadi rumah paling nyaman bagi pengembangan
religiusitas umat Hindu.
Kiranya, migrasi Galungan hanya mungkin diwujudkan di dalam
dan melalui aktivitas praksis. Mengingat hakikat rekonstruksi dan reproduksi
sosial adalah tindakan praktis yang berakar pada nilai-nilai keseharian dengan
penekanan yang kuat pada ruang dan waktu. Tradisi Galungan dengan elastisitas
dan kedinamisannya harus dipertahankan dengan melakukan reinterpretasi dan
rekontekstualisasi nilai secara berkesinambungan. Dengan demikian, dharma yang menjadi inti nilai Galungan
akan senantiasa memimpin umat Hindu dalam mengarungi perubahan zaman. Rahayu!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar