Sabtu, 20 Agustus 2016

SHAKTI: FEMINISME HINDU

SAKTI:
Feminisme Hindu

                                                                       Oleh
Nanang Sutrisno

Sejak akhir abad ke-18 hingga milenium ketiga ini, feminisme terus digelorakan untuk memperjuangkan kesetaraan dan keadilan hak kaum perempuan dengan laki-laki. Tidak salah memang, karena faktanya diskriminasi terhadap perempuan masih terjadi dalam berbagai bidang. Ideologi patriarki kerap dianggap sebagai kambing hitamnya, meskipun perempuan memang memiliki kekhasan yang secara kodrati tidak mungkin dipersamakan dengan laki-laki. Sebatas untuk melawan ketidakadilan dan diskriminasi atas perempuan yang membuat perempuan marjinal dan teraniaya, feminisme dapat diterima. Di luar itu, feminisme ala Barat perlu disaring kembali karena tidak seluruhnya sejalan dengan pemikiran, pandangan hidup, dan budaya masyarakat Timur.
Dalam Hindu – baik sebagai agama maupun pemikiran – feminisme sesungguhnya bukan hal yang baru. Teks suci Hindu telah memuat begitu banyak pemikiran tentang kemuliaan perempuan dan kesetaraannya dengan laki-laki. Gagasan tentang perempuan dalam Hindu, bahkan telah diabstraksi ke tataran metafisis-teologis dengan disebutkannya beberapa nama-nama ‘dewa feminin’ dalam Weda, seperti Dewi Saraswati, Dewi Gangga, dan Dewi Savitri. Dalam perkembangan selanjutnya, teologi feminis Hindu semakin mapan dalam gagasan tentang shakti
Kata ‘shakti’ berarti kekuatan, kekuasaan, energi (supreme power). Dalam Shaktisme, Shakti dipuja sebagai dewi yang utama (Tuhan), tetapi dalam tradisi Hindu shakti dipuja sebagai penjelmaan energi aktif atau kekuatan dari dewa laki-laki (purusha). Kalangan awam umumnya mengartikan shakti sebagai isteri dari dewa-dewa. Di Indonesia, ada tiga shakti  (Tri Shakti) yang paling dikenal, yaitu Dewi Saraswati sebagai shakti Dewa Brahma; Dewi Shri atau Dewi Laksmi sebagai shakti Dewa Wisnu; dan Dewi Parwati, Dewi Uma, dan Dewi Durga sebagai shakti Dewa Shiwa. 
Dewi Saraswati diyakini sebagai dewi pengetahuan. Dalam hubungannya dengan Dewa Brahma sebagai pencipta (kreator), juga Dewa Saraswati adalah simbol kreativitas. Pengetahuan dan kreativitas tidak dapat dipisahkan karena kreativitas muncul dari pengetahuan, begitu juga sebaliknya. Dewi Shri atau Laksmi adalah dewi kesuburan, kemakmuran, dan kesejahteraan. Kesuburan, kemakmuran, dan kesejahteraan diperlukan untuk memelihara hidup dan kehidupan sehingga Dewi Laksmi adalah perwujudan kekuatan Dewa Wisnu dalam memelihara alam semesta. Terakhir, Shakti Dewa Shiwa memiliki dua aspek, yaitu Dewi Parwati atau Uma sebagai simbol kebenaran, kebijaksanaan, dan kebahagiaan, serta Dewi Durga sebagai simbol penghancur (pralina).
Dalam konteks feminisme, teologi feminis Hindu menegaskan bahwa perempuan “dewi” adalah simbol kekuatan, kekuasaan, dan energi yang kedudukannya setara dengan laki-laki “dewa”. Perempuan akan berposisi lemah dalam budaya patriarki, ketika dia tidak memiliki keunggulan yang bisa menaikkan daya tawar dirinya dalam berbagai ranah sosial. Atas dasar itulah, feminisme Hindu dapat dimaknai sebagai gerakan pemberdayaan perempuan sehingga memiliki keunggulan diri yang dapat memosisikan dirinya sejajar dengan laki-laki. Kompetensi unggul dari perempuan Hindu yang harus diupayakan adalah cerdas secara intelektual, moral, dan spiritual (Dewi Saraswati); mampu bersaing dalam dunia kerja, memiliki spirit pelayanan, dan profesional (Dewi Laksmi); serta berani melakukan perubahan terhadap tradisi yang salah (Dewi Durga). Prinsip ini mengacu transfigurasi kesadaran ketuhanan (divine consciousness) menjadi kesadaran kemanusiaan (human consciousness) dengan menjadikan shakti sebagai basis ideologi feminisme Hindu.  


Tidak ada komentar:

Posting Komentar