SAKTI:
Feminisme Hindu
Oleh
Nanang Sutrisno
Sejak akhir abad ke-18 hingga milenium ketiga ini, feminisme
terus digelorakan untuk memperjuangkan kesetaraan dan keadilan hak kaum
perempuan dengan laki-laki. Tidak salah memang, karena faktanya diskriminasi
terhadap perempuan masih terjadi dalam berbagai bidang. Ideologi patriarki kerap
dianggap sebagai kambing hitamnya, meskipun perempuan memang memiliki kekhasan
yang secara kodrati tidak mungkin dipersamakan dengan laki-laki. Sebatas untuk
melawan ketidakadilan dan diskriminasi atas perempuan yang membuat perempuan
marjinal dan teraniaya, feminisme dapat diterima. Di luar itu, feminisme ala
Barat perlu disaring kembali karena tidak seluruhnya sejalan dengan pemikiran,
pandangan hidup, dan budaya masyarakat Timur.
Dalam Hindu – baik sebagai agama maupun pemikiran – feminisme
sesungguhnya bukan hal yang baru. Teks suci Hindu telah memuat begitu banyak
pemikiran tentang kemuliaan perempuan dan kesetaraannya dengan laki-laki.
Gagasan tentang perempuan dalam Hindu, bahkan telah diabstraksi ke tataran
metafisis-teologis dengan disebutkannya beberapa nama-nama ‘dewa feminin’ dalam
Weda, seperti Dewi Saraswati, Dewi Gangga, dan Dewi Savitri. Dalam perkembangan
selanjutnya, teologi feminis Hindu semakin mapan dalam gagasan tentang shakti.
Kata ‘shakti’ berarti
kekuatan, kekuasaan, energi (supreme
power). Dalam Shaktisme, Shakti dipuja
sebagai dewi yang utama (Tuhan), tetapi dalam tradisi Hindu shakti dipuja sebagai penjelmaan energi
aktif atau kekuatan dari dewa laki-laki (purusha).
Kalangan awam umumnya mengartikan shakti sebagai
isteri dari dewa-dewa. Di Indonesia, ada tiga shakti (Tri Shakti) yang paling dikenal, yaitu Dewi Saraswati sebagai shakti Dewa Brahma; Dewi Shri atau Dewi Laksmi sebagai shakti Dewa
Wisnu; dan Dewi Parwati, Dewi Uma, dan Dewi Durga sebagai shakti Dewa Shiwa.
Dewi Saraswati diyakini sebagai dewi pengetahuan. Dalam
hubungannya dengan Dewa Brahma sebagai pencipta (kreator), juga Dewa Saraswati adalah
simbol kreativitas. Pengetahuan dan kreativitas tidak dapat dipisahkan karena
kreativitas muncul dari pengetahuan, begitu juga sebaliknya. Dewi Shri atau
Laksmi adalah dewi kesuburan, kemakmuran, dan kesejahteraan. Kesuburan,
kemakmuran, dan kesejahteraan diperlukan untuk memelihara hidup dan kehidupan
sehingga Dewi Laksmi adalah perwujudan kekuatan Dewa Wisnu dalam memelihara
alam semesta. Terakhir, Shakti Dewa
Shiwa memiliki dua aspek, yaitu Dewi Parwati atau Uma sebagai simbol kebenaran,
kebijaksanaan, dan kebahagiaan, serta Dewi Durga sebagai simbol penghancur (pralina).
Dalam konteks feminisme, teologi feminis Hindu menegaskan
bahwa perempuan “dewi” adalah simbol kekuatan, kekuasaan, dan energi yang
kedudukannya setara dengan laki-laki “dewa”. Perempuan akan berposisi lemah dalam
budaya patriarki, ketika dia tidak memiliki keunggulan yang bisa menaikkan daya
tawar dirinya dalam berbagai ranah sosial. Atas dasar itulah, feminisme Hindu
dapat dimaknai sebagai gerakan pemberdayaan perempuan sehingga memiliki
keunggulan diri yang dapat memosisikan dirinya sejajar dengan laki-laki.
Kompetensi unggul dari perempuan Hindu yang harus diupayakan adalah cerdas
secara intelektual, moral, dan spiritual (Dewi Saraswati); mampu bersaing dalam
dunia kerja, memiliki spirit pelayanan, dan profesional (Dewi Laksmi); serta
berani melakukan perubahan terhadap tradisi yang salah (Dewi Durga). Prinsip
ini mengacu transfigurasi kesadaran ketuhanan (divine consciousness) menjadi kesadaran kemanusiaan (human consciousness) dengan menjadikan shakti sebagai basis ideologi feminisme
Hindu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar