SEMBAHYANG MENURUT HINDU
Oleh
Nanang Sutrisno, S.Ag,
M.Si
(1) Pengertian
Sembahyang
Kelahiran manusia dan eksistensinya
di dunia ini merupakan anugerah dan karunia Hyang Widhi. Hal ini menjadi dasar
dari dharma sehingga memuja Hyang
Widhi secara terus-menerus menjadi kewajiban umat Hindu. Oleh karena itu,
sembahyang memiliki arti dan makna yang sangat penting dalam kehidupan umat
Hindu sebagai bagian dari pelaksanaan dharma
itu sendiri. Sembahyang berasal dari dua kata, yaitu
“sembah” dan “hyang”. “Sembah” adalah sikap menghormati yang didasari oleh rasa
bhakti dan penyerahan diri secara tulus ikhlas. Sementara itu kata “Hyang”
berarti yang Beliau yang paling dihormati atau yang paling disucikan.
-
Kata “Hyang” digunakan oleh umat
Hindu untuk menyebutkan nama Tuhan, seperti Sang Hyang Widhi Wasa, Sang Hyang
Tuduh, Sang Hyang Parama Kawi dan sebagainya.
-
Kata “Hyang” juga digunakan untuk
menyebut orang suci (para Rsi), seperti Dang Hyang Nirartha, Dang Hyang Siddhimantra,
Dang Hyang Astapaka, dan sebagainya.
-
Para leluhur yang disthanakan pada
Rong Telu juga sering disebut Hyang, misalnya dalam kata “Sang Hyang Pitara”
atau “Sang Hyang Dewa Pitara” atau “Bhatara Hyang Guru”.
-
Para Rsi dan para leluhur sangat
disucikan dalam Agama Hindu karena mereka diyakini telah menyatu dengan Tuhan (amoring acintya).
-
Dengan demikian “sembahyang”
berarti perwujudan rasa bhakti yang tulus ikhlas kepada yang Hyang Widhi dan segala
manifestasiNya.
Sembahyang didasari oleh keyakinan bahwa setiap manusia sejak
kelahirannya telah memiliki tiga hutang yang harus dibayar, disebut Tri Rnam. Ketiga hutang itu adalah
hutang kepada Tuhan (Dewa Rnam),
hutang kepada para Rsi (Rsi Rnam),
dan hutang kepada leluhur (Pitra Rnam).
Manusia berhutang kepada Tuhan karena semua yang ada ini lahir dari Tuhan.
Manusia berhutang kepada Para Rsi karena Beliaulah yang menerima wahyu suci
dari Tuhan dan mengajarkannya kepada umat manusia. Manusia berhutang kepada
leluhur karena dari melalui para
leluhur manusia dilahirkan, tumbuh, dan berkembang dalam kemanusiaannya.
Dalam pelaksanaan sembahyang yang diutamakan adalah kesucian dan ketulusan hati.
Kesucian diri harus dijaga dalam melaksanakan persembahyangan agar bhakti yang
dihaturkan benar-benar dapat diterima oleh Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Sementara
itu, ketulusan hati berarti bahwa sembahyang harus dilaksanakan tanpa pamrih
apapun (lascarya), kecuali hanya
untuk memuja Beliau. Kesucian dan ketulusan hati adalah bagian dari Atmanastuti, yaitu keyakinan dan rasa agama yang menuntun umat Hindu
untuk melaksanakan bhakti yang benar-benar tulus dari hati yang suci.
(2) Tata
Cara dan Sikap Sembahyang
Untuk menjaga kesucian itu, maka dalam
persembahyangan terdapat hal-hal penting yang perlu diperhatikan sebagai berikut.
(1) Asuci Laksana, yaitu
membersihkan diri sebelum menuju tempat sembahyang misalnya, dengan mandi
dan mencuci rambut atau keramas.
(2) Wesa atau
pakaian yang dipakai dalam bersembahyang sepatutnya pakaian yang bersih, sopan, dan tidak
dikotori oleh hal-hal yang sifatnya leteh.
(3) Mempersiapkan sarana persembahyangan, seperti bunga dan dupa. Bunga yang akan digunakan sebagai sarana
sembahyang hendaknya dipilih dari bunga yang benar-benar
harum dan dibenarkan menurut sastra agama.
(4) Menjaga prilaku di tempat sembahyang, baik
pikiran, perkataan, maupun perbuatan yang seluruhnya ditujukan untuk menjaga kesucian.
(5) Melakukan Asana dengan baik, yaitu bersimpuh (Bajrasana) bagi perempuan, dan duduk
bersila (Silasana atau Padmasana) bagi laki-laki dengan sikap
badan adalah tegak.
Dengan menjaga aturan-aturan kesucian ini maka
manfaat dan tujuan dari persembahyangan tersebut akan dapat dicapai dengan
baik. Semoga uraian singkat ini dapat memberikan sepercik pengetahuan kepada
umat Hindu dalam rangka meningkatkan kualitas sradha dan bhakti.
(3) Sarana
Persembahyangan
Dalam persembahyangan terdapat beberapa sarana yang perlu disediakan, terutama Dupa, Tirtha, Bija, Bunga, dan
Kwangen. Masing-masing dari sarana tersebut memiliki fungsi dan makna yang
dapat diuraikan sebagai berikut.
Dupa adalah simbol dari Agni (api).
Dalam tradisi Weda, Agni adalah
sarana paling utama dalam sebuah persembahan. Keutaman Agni adalah wakil dari Dewa
Surya sebagai Saksi Agung dalam upacara yang dilaksanakan. Agni juga bermakna sebagai penuntun, yang menerangi jalan manusia
dari tempat yang gelap menuju tempat yang terang. Agni juga berfungsi mengantarkan doa-doa umat kehadapan Ida Sang
Hyang Widhi Wasa.
Tirtha adalah air yang telah disucikan (tirtha).
Dalam Agama Hindu tirtha memiliki fungsi yang sangat penting. Pertama, Tirtha berfungsi untuk menyucikan diri umat, menyucikan semua
sarana keagamaan dan persembahan yang dihaturkan. Kedua, Tirtha juga
berfungsi sebagai sarana untuk menyelesaikan semua jenis upacara. Ketiga, Tirtha berfungsi sebagai perantara anugerah yang diberikan oleh
Hyang Widhi atas Bhakti yang telah dilaksanakan. Keempat, ada beberapa jenis Tirtha
yang dibuat untuk tujuan khusus, misalnya Tirtha Pengentas, Tirtha untuk pengobatan, dan sebagainya,
berfungsi sebagai sarana untuk mendapatkan anugerah Tuhan sesuai dengan tujuan
yang diinginkan.
Bija, berasal dari beras yang direndam dalam air dan digunakan setelah
pelaksanaan upacara/persembahnyangan selesai. Sepatutnya beras yang akan
digunakan sebagai Bija dipilih dari
beras-beras yang utuh dan bagus karena Bija
adalah simbol dari Dewi Sri. Bija dapat dimaknai sebagai anugerah
berupa kemakmuran, kesejahteraan, dan kemuliaan. Di samping itu cara pemakaian Bija juga bisa dimaknai sebagai sarana
penyucian Tri Kaya (pikiran,
perkataan, dan perbuatan).
Bunga adalah sarana untuk memuja kebesaran Hyang Widhi Wasa. Bunga
menunjukkan ketulusan hati dari seorang bhakta
sehingga bunga yang dipilih untuk dipersembahkan dan persembahyangan adalah
bunga yang harum dan suci. Secara khusus ada aturan tentang jenis-jenis bunga
yang dapat digunakan sebagai sarana persembahyangan. Ini termuat dalam Agastya Parwa sebagai berikut.
“iking ngaran sekar tan wenang
kapujakena ring Bhatara. Sekar rwa lawas mekar, kembang munggah ring sema,
kembang uleran, sekar tan arum gandania, sekar ruruh tan ingunduh........”
artinya :
“inilah
beberapa jenis bunga yang tidak dapat engkau persembahkan kepada Tuhan. (yaitu)
bunga yang telah layu, bunga yang tumbuh di kuburan, bunga yang dimakan ulat, bunga
yang tidak harum baunya, dan bunga yang jatuh tanpa dipetik....”.
Oleh karena bunga adalah simbol ketulusan hati dari seorang bhakta maka aturan ini haruslah
dipenuhi. Persembahan kepada Tuhan haruslah yang terbaik. Bunga yang berbau
harum seperti sandat, cempaka, tunjung, adalah
jenis bunga utama yang sebaiknya digunakan dalam persembahyangan.
Kwangen, dibuat dari daun pisang berbentuk segitiga (kojong) dilengkapi dengan daun-daunan, hiasan dari janur (cili), bunga, uang kepeng, dan porosan silih asih. Kwangen adalah simbol Omkara, yaitu kojong adalah
simbol angka tiga, bagian atas yang lonjong merupakan simbol ardha-candra, pis
bolong sebagai simbol windu, Cili dan
bunga-bungaannya sebagai simbol nada. Dengan demikian kwangen adalah
perwujudan simbol dari Tuhan itu sendiri. Sementara itu, Kwangen yang digunakan dalam upacara mendem pedagingan berfungsi
sebagai pengurip-urip.
(4) Implementasi
dalam Kehidupan
Sembahyang merupakan bagian terpenting dari yadnya atau upacara (ritual).
Upacara dari tinjauan filsafat menurut Panitya Tujuh
Belas (1986:159) berarti cara-cara melakukan hubungan antara Atman dengan Parama Atman (Brahman) antara manusia dengan Sang Hyang Widhi serta semua
manifestasinya dengan jalan Yajna
untuk mendapatkan kesucian jiwa. Yajna
menurut Sudharta dan Oka Punia Atmaja (2001:59) adalah kurban suci atau
persembahan suci berdasarkan cinta kasih. Panitya Tujuh Belas (1986:169)
mengatakan ada dua jenis yajna, yaitu
sekala dan niskala. Yajna sekala yaitu yang bersifat nyata,
berbentuk, dan berwujud seperti berupa barang-barang (benda-benda). Sedangkan yajna niskala bersifat tidak nyata, seperti ilmu pengetahuan, dharma,
nasehat, pikiran, dan lain-lain. Kedua-duanya disebut yajna
wahya adhyatmika, yaitu lahir batin. Sudharta dan Oka Puniatmaja (2001:59)
mengatakan dalam agama Hindu ada lima upacara keagamaan yang terbesar disebut Panca Yajna, yaitu Dewa Yajna,
Pitra Yajna, Rsi Yajna, Bhuta Yajna, dan
Manusa Yajna.
Kepercayaan terhadap Hyang Widhi melahirkan upacara Dewa
Yajna, dan di dalamnya terkandung nilai Sathya,
yaitu kebenaran. Keyakinan terhadap Atma
melahirkan upacara Pitra Yajna, dan di dalamnya terkandung nilai Dharma, yaitu kebajikan. Keyakinan
terhadap Karma Phala melahirkan
upacara Rsi Yajna, dan di dalamnya terkandung
nilai Prema, yaitu kasih sayang.
Keyakinan terhadap Punarbhawa
melahirkan upacara Bhuta Yajna, dan
di dalamnya terkandung nilai Ahimsa,
yaitu tanpa kekerasan. Keyakinan terhadap Moksa
melahirkan upacara Manusa Yajna, dan
di dalamnya terkandung nilai Santih,
yaitu kedamaian. Kelima nilai tersebut, menurut Bhagawan Sri Sathya Narayana (Kasturi,
1981) menjadi
lima pilar nilai-nilai kemanusiaan Hindu. Di jelaskan pula bahwa kelima dasar
nilai-nilai kemanusiaan ini bersumber dari rasa kasih sayang (prema). Karena itu, beliau berkata
sebagai berikut :
· “Love as thought is truth”
(‘kasih sayang dalam bentuk pikiran adalah kebenaran, sathya’).
· “Love as action is right conduct”
(‘kasih sayang dalam wujud perbuatan adalah kebajikan, dharma’).
· “Love as feeling is peace”
(‘kasih sayang dalam wujud rasa adalah kedamaian, shanti’).
· “Love as understanding is
nonviolence” (kasih sayang dalam wujud pengertian adalah tidak melakukan
kekerasan, ahimsa’).
Dalam Agastya Parwa (2002:34) disebutkan bahwa orang yang
sudah menguasai dengan sempurna yajna
itu dan yang mengetahui hakikat segala yang ada akan membawa kebahagiaan
padanya. Demikian halnya dalam kitab Atharwa Weda, XII.1.1 dijelaskan “ Satyam brhad rtam ugram
diksa, tapo brahma yajna prthiwim dharayanti ”. (Sesungguhnya Satya,
Rta, Diksa, Tapa, Brahma dan Yajna yang menyangga dunia). Sloka ini menjelaskan bahwa dunia ini ditunjang oleh Satya, yaitu
kebenaran (sifat, kejujuran dan setia; Rta, yaitu bentuk hukum Tuhan
yang murni dan absolut transendental (dijabarkan kedalam alam manusia sebagai dharma);
Diksa, berarti penyucian, penasbihan, inisiasi, dan abhiseka; Tapa, berarti pengendalian indrya; Brahma
berarti pujian yaitu doa sehari-hari yang disebut mantra atau stuti;
dan Yajna, artinya memuja atau memberi pengorbanan atau menjadikan suci.
Inilah
yang harus dilakukan umat Hindu dalam kehidupannya.
Daftar Pustaka.
Suamba, I.B (ed.). 1996. Yajna Basis Kehidupan. Denpasar: Warta Hindu
Dharma.
Nala, Ngurah dan Adia
Wiratmadja. 1993. Murdha Agama Hindu. Denpasar: Upada Sastra.
Panitya Tujuh Belas. 1986. Pedoman Pelaksanaan Agama Hindu Dalam Masa Pembangunan. Jakarta: Yayasan Merta
Sari.
Punyatmadja, Ida Bagus Oka. 1987. Pancha Cradha. Jakarta: Yayasan Wisma Karma.
Sudharta, Tjok Rai dan Ida Bagus Oka Punyatmaja. 2001. Upadesa Agama Hindu. Surabaya: Paramita.
Sura, I Gde. dkk. 2002. Agastya Parwa teks dan terjemahan. Denpasar: Widya Dharma.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar