Selasa, 23 Agustus 2016

SEMBAHYANG MENURUT HINDU

SEMBAHYANG MENURUT HINDU

Oleh
Nanang Sutrisno, S.Ag, M.Si

(1)  Pengertian Sembahyang
Kelahiran manusia dan eksistensinya di dunia ini merupakan anugerah dan karunia Hyang Widhi. Hal ini menjadi dasar dari dharma sehingga memuja Hyang Widhi secara terus-menerus menjadi kewajiban umat Hindu. Oleh karena itu, sembahyang memiliki arti dan makna yang sangat penting dalam kehidupan umat Hindu sebagai bagian dari pelaksanaan dharma itu sendiri. Sembahyang berasal dari dua kata, yaitu “sembah” dan “hyang”. “Sembah” adalah sikap menghormati yang didasari oleh rasa bhakti dan penyerahan diri secara tulus ikhlas. Sementara itu kata “Hyang” berarti yang Beliau yang paling dihormati atau yang paling disucikan. 
-      Kata “Hyang” digunakan oleh umat Hindu untuk menyebutkan nama Tuhan, seperti Sang Hyang Widhi Wasa, Sang Hyang Tuduh, Sang Hyang Parama Kawi dan sebagainya.
-      Kata “Hyang” juga digunakan untuk menyebut orang suci (para Rsi), seperti Dang Hyang Nirartha, Dang Hyang Siddhimantra, Dang Hyang Astapaka, dan sebagainya.
-      Para leluhur yang disthanakan pada Rong Telu juga sering disebut Hyang, misalnya dalam kata “Sang Hyang Pitara” atau “Sang Hyang Dewa Pitara” atau “Bhatara Hyang Guru”.
-      Para Rsi dan para leluhur sangat disucikan dalam Agama Hindu karena mereka diyakini telah menyatu dengan Tuhan (amoring acintya).
-      Dengan demikian “sembahyang” berarti perwujudan rasa bhakti yang tulus ikhlas kepada yang Hyang Widhi dan segala manifestasiNya.
  Sembahyang didasari oleh keyakinan bahwa setiap manusia sejak kelahirannya telah memiliki tiga hutang yang harus dibayar, disebut Tri Rnam. Ketiga hutang itu adalah hutang kepada Tuhan (Dewa Rnam), hutang kepada para Rsi (Rsi Rnam), dan hutang kepada leluhur (Pitra Rnam). Manusia berhutang kepada Tuhan karena semua yang ada ini lahir dari Tuhan. Manusia berhutang kepada Para Rsi karena Beliaulah yang menerima wahyu suci dari Tuhan dan mengajarkannya kepada umat manusia. Manusia berhutang kepada leluhur karena dari melalui para leluhur manusia dilahirkan, tumbuh, dan berkembang dalam kemanusiaannya.
Dalam pelaksanaan sembahyang yang diutamakan adalah kesucian dan ketulusan hati. Kesucian diri harus dijaga dalam melaksanakan persembahyangan agar bhakti yang dihaturkan benar-benar dapat diterima oleh Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Sementara itu, ketulusan hati berarti bahwa sembahyang harus dilaksanakan tanpa pamrih apapun (lascarya), kecuali hanya untuk memuja Beliau. Kesucian dan ketulusan hati adalah bagian dari Atmanastuti, yaitu keyakinan dan rasa agama yang menuntun umat Hindu untuk melaksanakan bhakti yang benar-benar tulus dari hati yang suci.

(2)  Tata Cara dan Sikap Sembahyang
Untuk menjaga kesucian itu, maka dalam persembahyangan terdapat hal-hal penting yang perlu diperhatikan sebagai berikut.
(1)   Asuci Laksana, yaitu membersihkan diri sebelum menuju tempat sembahyang misalnya, dengan mandi dan mencuci rambut atau keramas.
(2)   Wesa atau pakaian yang dipakai dalam bersembahyang sepatutnya pakaian yang bersih, sopan, dan tidak dikotori oleh hal-hal yang sifatnya leteh.
(3)   Mempersiapkan sarana persembahyangan, seperti bunga dan dupa. Bunga yang akan digunakan sebagai sarana sembahyang hendaknya dipilih dari bunga yang benar-benar harum dan dibenarkan menurut sastra agama.
(4)   Menjaga prilaku di tempat sembahyang, baik pikiran, perkataan, maupun perbuatan yang seluruhnya ditujukan untuk menjaga kesucian.
(5)   Melakukan Asana dengan baik, yaitu bersimpuh (Bajrasana) bagi perempuan, dan duduk bersila (Silasana atau Padmasana) bagi laki-laki dengan sikap badan adalah tegak.
Dengan menjaga aturan-aturan kesucian ini maka manfaat dan tujuan dari persembahyangan tersebut akan dapat dicapai dengan baik. Semoga uraian singkat ini dapat memberikan sepercik pengetahuan kepada umat Hindu dalam rangka meningkatkan kualitas sradha dan bhakti.

(3)  Sarana Persembahyangan
Dalam persembahyangan terdapat beberapa sarana yang perlu disediakan, terutama Dupa, Tirtha, Bija, Bunga, dan Kwangen. Masing-masing dari sarana tersebut memiliki fungsi dan makna yang dapat diuraikan sebagai berikut.
Dupa adalah simbol dari Agni (api). Dalam tradisi Weda, Agni adalah sarana paling utama dalam sebuah persembahan. Keutaman Agni adalah  wakil dari Dewa Surya sebagai Saksi Agung dalam upacara yang dilaksanakan. Agni juga bermakna sebagai penuntun, yang menerangi jalan manusia dari tempat yang gelap menuju tempat yang terang. Agni juga berfungsi mengantarkan doa-doa umat kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
Tirtha adalah air yang telah disucikan (tirtha). Dalam Agama Hindu tirtha memiliki fungsi yang sangat penting. Pertama, Tirtha berfungsi untuk menyucikan diri umat, menyucikan semua sarana keagamaan dan persembahan yang dihaturkan. Kedua, Tirtha juga berfungsi sebagai sarana untuk menyelesaikan semua jenis upacara. Ketiga, Tirtha berfungsi sebagai perantara anugerah yang diberikan oleh Hyang Widhi atas Bhakti yang telah dilaksanakan. Keempat, ada beberapa jenis Tirtha yang dibuat untuk tujuan khusus, misalnya Tirtha Pengentas, Tirtha untuk pengobatan, dan sebagainya, berfungsi sebagai sarana untuk mendapatkan anugerah Tuhan sesuai dengan tujuan yang diinginkan.
Bija, berasal dari beras yang direndam dalam air dan digunakan setelah pelaksanaan upacara/persembahnyangan selesai. Sepatutnya beras yang akan digunakan sebagai Bija dipilih dari beras-beras yang utuh dan bagus karena Bija adalah simbol dari Dewi Sri. Bija dapat dimaknai sebagai anugerah berupa kemakmuran, kesejahteraan, dan kemuliaan. Di samping itu cara pemakaian Bija juga bisa dimaknai sebagai sarana penyucian Tri Kaya (pikiran, perkataan, dan perbuatan). 
Bunga adalah sarana untuk memuja kebesaran Hyang Widhi Wasa. Bunga menunjukkan ketulusan hati dari seorang bhakta sehingga bunga yang dipilih untuk dipersembahkan dan persembahyangan adalah bunga yang harum dan suci. Secara khusus ada aturan tentang jenis-jenis bunga yang dapat digunakan sebagai sarana persembahyangan. Ini termuat dalam Agastya Parwa sebagai berikut.
“iking ngaran sekar tan wenang kapujakena ring Bhatara. Sekar rwa lawas mekar, kembang munggah ring sema, kembang uleran, sekar tan arum gandania, sekar ruruh tan ingunduh........”

artinya :
“inilah beberapa jenis bunga yang tidak dapat engkau persembahkan kepada Tuhan. (yaitu) bunga yang telah layu, bunga yang tumbuh di kuburan, bunga yang dimakan ulat, bunga yang tidak harum baunya, dan bunga yang jatuh tanpa dipetik....”.

Oleh karena bunga adalah simbol ketulusan hati dari seorang bhakta maka aturan ini haruslah dipenuhi. Persembahan kepada Tuhan haruslah yang terbaik. Bunga yang berbau harum seperti sandat, cempaka, tunjung, adalah jenis bunga utama yang sebaiknya digunakan dalam persembahyangan.
Kwangen, dibuat dari daun pisang berbentuk segitiga (kojong) dilengkapi dengan daun-daunan, hiasan dari janur (cili), bunga, uang kepeng, dan porosan silih asih. Kwangen adalah simbol Omkara, yaitu kojong adalah simbol angka tiga, bagian atas yang lonjong merupakan simbol ardha-candra, pis bolong sebagai simbol windu, Cili dan bunga-bungaannya sebagai simbol nada. Dengan demikian kwangen adalah perwujudan simbol dari Tuhan itu sendiri. Sementara itu, Kwangen yang digunakan dalam upacara mendem pedagingan berfungsi sebagai pengurip-urip.

(4)  Implementasi dalam Kehidupan
Sembahyang merupakan bagian terpenting dari yadnya atau upacara (ritual). Upacara dari tinjauan filsafat menurut Panitya Tujuh Belas (1986:159) berarti cara-cara melakukan hubungan antara Atman dengan Parama Atman (Brahman) antara manusia dengan Sang Hyang Widhi serta semua manifestasinya dengan jalan Yajna untuk mendapatkan kesucian jiwa. Yajna menurut Sudharta dan Oka Punia Atmaja (2001:59) adalah kurban suci atau persembahan suci berdasarkan cinta kasih. Panitya Tujuh Belas (1986:169) mengatakan ada dua jenis yajna, yaitu sekala dan niskala. Yajna sekala yaitu yang bersifat nyata, berbentuk, dan berwujud seperti berupa barang-barang (benda-benda). Sedangkan yajna niskala bersifat tidak nyata, seperti ilmu pengetahuan, dharma, nasehat, pikiran, dan lain-lain. Kedua-duanya disebut yajna wahya adhyatmika, yaitu lahir batin. Sudharta dan Oka Puniatmaja (2001:59) mengatakan dalam agama Hindu ada lima upacara keagamaan yang terbesar disebut Panca Yajna, yaitu Dewa Yajna, Pitra Yajna, Rsi Yajna, Bhuta Yajna, dan Manusa Yajna.
Kepercayaan terhadap Hyang Widhi melahirkan upacara Dewa Yajna, dan di dalamnya terkandung nilai Sathya, yaitu kebenaran. Keyakinan terhadap Atma melahirkan upacara Pitra Yajna, dan di dalamnya terkandung nilai Dharma, yaitu kebajikan. Keyakinan terhadap Karma Phala melahirkan upacara Rsi Yajna, dan di dalamnya terkandung nilai Prema, yaitu kasih sayang. Keyakinan terhadap Punarbhawa melahirkan upacara Bhuta Yajna, dan di dalamnya terkandung nilai Ahimsa, yaitu tanpa kekerasan. Keyakinan terhadap Moksa melahirkan upacara Manusa Yajna, dan di dalamnya terkandung nilai Santih, yaitu kedamaian. Kelima nilai tersebut, menurut Bhagawan Sri Sathya Narayana (Kasturi, 1981) menjadi lima pilar nilai-nilai kemanusiaan Hindu. Di jelaskan pula bahwa kelima dasar nilai-nilai kemanusiaan ini bersumber dari rasa kasih sayang (prema). Karena itu, beliau berkata sebagai berikut :
·       Love as thought is truth” (‘kasih sayang dalam bentuk pikiran adalah kebenaran, sathya’).
·       Love as action is right conduct” (‘kasih sayang dalam wujud perbuatan adalah kebajikan, dharma’).
·       Love as feeling is peace” (‘kasih sayang dalam wujud rasa adalah kedamaian, shanti’).
·       Love as understanding is nonviolence” (kasih sayang dalam wujud pengertian adalah tidak melakukan kekerasan, ahimsa’). 
   
Dalam Agastya Parwa (2002:34) disebutkan bahwa orang yang sudah menguasai dengan sempurna yajna itu dan yang mengetahui hakikat segala yang ada akan membawa kebahagiaan padanya. Demikian halnya dalam kitab Atharwa Weda, XII.1.1 dijelaskan “ Satyam brhad rtam ugram diksa, tapo brahma yajna prthiwim dharayanti ”. (Sesungguhnya Satya, Rta, Diksa, Tapa, Brahma dan Yajna yang menyangga dunia). Sloka ini menjelaskan bahwa dunia ini ditunjang oleh Satya, yaitu kebenaran (sifat, kejujuran dan setia; Rta, yaitu bentuk hukum Tuhan yang murni dan absolut transendental (dijabarkan kedalam alam manusia sebagai dharma); Diksa, berarti penyucian, penasbihan, inisiasi, dan abhiseka;  Tapa, berarti pengendalian indrya; Brahma berarti pujian yaitu doa sehari-hari yang disebut mantra atau stuti; dan Yajna, artinya memuja atau memberi pengorbanan atau menjadikan suci. Inilah yang harus dilakukan umat Hindu dalam kehidupannya.  

Daftar Pustaka.
Suamba, I.B (ed.). 1996. Yajna Basis Kehidupan. Denpasar: Warta Hindu Dharma.

Nala, Ngurah dan Adia Wiratmadja. 1993. Murdha Agama Hindu. Denpasar: Upada Sastra.

Panitya Tujuh Belas. 1986. Pedoman Pelaksanaan Agama Hindu Dalam Masa Pembangunan. Jakarta: Yayasan Merta Sari.

Punyatmadja, Ida Bagus Oka. 1987. Pancha Cradha. Jakarta: Yayasan Wisma Karma.

Sudharta, Tjok Rai dan Ida Bagus Oka Punyatmaja. 2001. Upadesa Agama Hindu. Surabaya: Paramita.

Sura, I Gde. dkk. 2002. Agastya Parwa teks dan terjemahan. Denpasar: Widya Dharma.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar