Selasa, 23 Agustus 2016

SUSILA AGAMA HINDU

SUSILA AGAMA HINDU

Oleh
Dr. Nanang Sutrisno, S.Ag, M.Si

A.    Tri Kaya Parisudha
Trikaya parisuddha artinya tiga perilaku yang harus disucikan, yaitu kayika parisuddha perbuatan yang disucikan, wacika parisuddha perkataan yang disucikan, manacika parisuddha pikiran yang disucikan (Pudharta dkk, 2002:120). Trikaya parisuddha mempengaruhi keberadaan manusia dalam hidupnya di dunia. Manacika parisuddha adalah berpikir yang benar dan suci. Pikiran memegang peranan penting karena yang dikatakan dan yang dilakukan orang semuanya berasal dari pikirannya. Pikiran menjadi sumber segala tindakan manusia dan pikiran perlu dikendalikan. Mengendalikan pikiran itu tidaklah mudah, sebab ia amat lincah, suka bertamasaya kesana kemari dan amat cepat pula perginya Dalam Sarasamuscaya 81 disebutkan :
Nihan ta kramanikang manah, bharanta lungha swabhawanya, akweh inangenangenya, dadi prarthana, dadi angsaya, pinawaknya, hana pwa wwang ikang wenang humrt manah, sira tika  manggen amanggih sukha, mangke ring paraloka waneh
Artinya :
Keadaan pikiran itu demikianlah : tidak berkententuan jalan-jalan, banyak yang dicita-citakan, terkadang berkeinginan, terkadang penuh kesangsian, demikianlah kenyataannya, jika ada orang dapat mengendalikannya pasti orang itu mendapatkan kebahagiaan, baik sekarang maupun di dunia lain.
           
Dengan kemauan yang tetap dan usaha yang terus dan teratur, kemungkinannya kita akan dapat mengendalikan pikiran kita. Demikan pula dalam mengendalikan indriya, bersumber pada pengendalian pikiran, karena alam pikiranlah asalnya indriya itu. Pikiranlah yang menjadi penentuutama baik orang menderita tau bahagia, karena pikiran adalah penguasa indriya, pikiranlah yang menyebabkan orang berbuat bak atau buruk. Oleh karena itu ia cenderung gelisah, ragu, penuh curiga, ambigu dan penuh dengan aneka ragam keinginan, maka pikran hendaknya dikendalikan. Sarasmuscaya 80 menyebutkan :
Apan ikangmanah ngaranya, ya ika witning indriya, maprawrtti ta ya ring subha asubhakarma, matangyan ikang manah juga prihen kahrtnya sakareng.
Artinya :
Sebab yang disebut pikran itu, adalah sumbernya nafsu, ia yang mengerakkan perbuatan yang baik dan buruk oleh karena itu pikiranlah yang segera patut dikendalikan.

Ketekunan dalam pengendalian pikiran akan mendapat keberhasilan, kebahagiaan lahir bathin. Tanpa kesadaran orang tidaklah berguna. Sebaliknya orang yang hidup ditengah-tengah gemilang harta duniawi dengan mengendalikan pikirannya mencapai kebahagiaan. Tidak ada kebijaksanaan pada pikran yang tidk terkendali dan tidak ada pekerjaan yang dapt diselesaikan tanpa konsentrasi pikran. Oleh karean itu, pikiran agar dikendalikan pada tiga hal, yaitu (a) tidak iri hati akan milik oramg lain dan keberuntungan orang lain; (b) tidak marah dan benci pada sesama mahluk, dan (c) tidak mengingkari kebenara hukum karmaphala.
Wacika parisuddha berarti berkata yang benar dan baik. Dari kata-kata dapat diduga dan diketahui isi hati seseorang dan dengan kata-kata mendapatkan bermacam-macam pengetahuan. Dengan kata-kata orang memberikan hiburan, namun karena kata-kata pula  orang dapat menyusahkan dirinya dan orang lain. Kata-kata itu memegang peranan penting dalam menentukan selamat celakanya kehidupan orang. Dalam Nitisatra V. 3 disebutkan :
Wasita nimittanta manemu laksmi
Wasita nimittanta manemu duhka
Wasita nimittanta pati kapangguh
Wasita nimittanta manemu mitra.
Artinya :
Karena perkataan engkau akan mendapatkan bahagia
Karena perkataan engkau akan menemui kesusahan
Karena perkataan engkau akan menemui ajal
Karena perkataan engkau akan mendapat sahabat.

Pepatah Bali “ngontelang layah tanpa tulang”, untuk itu hati-hatilah dalam berbicara agar tidak mendatangkan akibat kurang menyenangkan.           Dalam berkata harus selalu memperhatikan siapa lawan bicara, seberapa akrab dengan orang tersebut. Oleh karena itu, ketengan dan kesadaran diri adalah faktor penting pada waktu berbicara. Kata-kata itu merupakan tirta amerta yang sejuk dan nyaman, namun pula merupakan racun yang menghancurkan dan merusak jiwa seseorang. Sarasamuscaya 120, menjelaskan:
Ikang ujar ahala tan pahi lawan hru, songkabnya sakatempuhan deenya juga alara, resep ri hati, tatan keneng pangan turtu ring rahina wengi ikang wwang denya, matangnyan tan iunjaraken ika de sang dhira purusa, sang ahning maneb manah nira
Artinya :
Perkatan yang mengandung maksud jahat tiada bedanya dengan anak panah, yang dilepaskan setiap orang ditempuhnya merasa sakit, perkataan itu meresap kedalam hati, sehingga menyebabkan tidak bisa makan dan tidur pada siang dan malam hari, oleh sebab itu tidak diucapkan perkataan itu oleh orang yang budiman dan wira perkasa juga oleh orag  yang tetap suci hatinya.

Kayika ialah segala prilaku yang berhububungan dengan badan. Hidup adalah untuk berbuat. Tanpa berbuat sesuatu hidup di dunia ini akan sia-sia belaka. Berbuat yang baik dan benar akan mengantarkan kepada keselamatan masa datang. Dalam Bhagawadgita III. 8 secara tegas diajarakan tentang kerja:
Lakukanlah pekerjaanyang diberikan padamu, karena melakukan perbuatan itu lebih baik sifatnya daripada tidak melakukan apa-apa, sebagai juga untuk memelihara badanmu tidak akan mungkin jika engkau tidak bekerja

Dalam bekerja hendaknyalah dijalan kebenaran, segala yang disebut dengan tidak benar, cemar terlarang janganlah dilakukan. Mpu Kanwa dalam Arjuna Wiwaha XII : 7 menyuratkan :
Syapa kari tan temung hayu masadhana sarwa hayu, nyata katemwaning hala masadhana sarwa hala (‘siapakah yang tidak mendapat kerahayuan jika mengamalkan yag serba baik, pastilah ia menemukan derita jika melaksanakan yang serba jahat dan keliru’).

Agar rahayu (selamat) dalam berbuat yang dijadikan sadhana adalah subha karma (makasadhana subhakarma)., seperti disebutkan dalam Sarasamuscaya 76:
 Nihan yang tan ulahakena, syamati mati, mangahal-ahal, si paradara, nahan tang telu tan ulahakena ring asing ring paribhasaa, ring apatkalaa, ring pangipyan tuwi singgahana juga.
Artinya :
Inilah yang tidak patut dilaksanakan membunuh, mencuri, berbuat zina, ketiganya itu janganlah hendaknya dilakukan terhadap siapapun baik secara berolok-olok dalam keadaan dirundung malang dalam khayalan sekalipun, hendaknya dihindari semua itu.

B.    Hubungan Catur Asrama dan Catur Purusa Artha
Kakawin Nitisastra, Bab V, Sloka 1, menjelaskan sebagai berikut.
Taki-takining sewaka guna widya,
Smara- wisaya rwang puluh ing ayusya
Tengah i atuwuh sang wecana gegon-ta
Patilareng atmeng tanu paguruakena”
Artinya :
Seorang pelajar wajib menuntut pengetahuan dan keutamaan
Jika sudah berumur duapuluh tahun orang harus kawin
Jika sudah setengah tua berguru pada ucapan yang baik
Hanya perginya atma harus selalu dipelajari.

Petikan sloka tersebut menegaskan bahwa Hindu mengedepankan pendidikan seumur hidup yang dilaksanakan secara berjenjang menurut catur asrama, yaitu brahmacari, grehasta, wanaprasta, dan bhiksuka. Brahmacari menurut Sudharta (2001:49) adalah tingkatan hidup manusia pada waktu sedang mengejar ilmu pengetahuan yang bermanfaat (guna widya). Masa ini merupakan masa untuk mengembangkan dan membangun diri, yaitu membentuk identitas dan jati diri. Kemudian, grehasta adalah masa untuk mengaplikasikan seluruh pengetahuan yang dimiliki dalam kehidupan keluarga dan masyarakat guna terwujudnya kesejahteraan hidup duniawi (jagadhita). Masa wanaprasta dan bhiksuka lebih diarahkan kepada pembentukan keseimbangan kehidupan antara fisik dan psikis, yaitu kematangan dan kedewasaan. Oleh karena itu, pendidikan lebih diarahkan untuk membangun landasan kehidupan rohani melalui penguatan ilmu-ilmu gelar pati atau brahma vidya. Dengan demikian, manusia dalam seluruh proses kehidupannya selalu memerlukan pendidikan guna mencapai kesempurnaan hidup, jasmani dan rohani.
Kesempurnaan hidup merupakan tujuan agama Hindu yang disebut Catur Purusha Artha, yaitu dharma (kebenaran), artha (kesejahteraan), kama (kenikmatan duniawi), dan moksa (kebebasan sejati). Pada uraian sebelumnya dijelaskan bahwa sraddha merupakan dasar untuk mencapai satya atau dharma (kebenaran). Dharma juga menjadi tujuan hidup dan kehidupan (Purushartha). Dalam maknanya sebagai tujuan hidup, dharma adalah jalan yang menentukan arah bagi pencapaian tujuan-tujuan berikutnya. Ibarat orang yang berjalan ke satu tujuan, tentu dia harus tahu terlebih dahulu jalan yang harus dilalui agar tidak tersesat. Dalam perjalanan tersebut, dia juga harus memahami aturan-aturan yang berlaku sehingga bisa selamat sampai tujuan.  Di sini, dharma adalah jalan hidup (way of life) yang akan mengantarkan manusia pada tujuannya. Dalam rangka mencapai kesejahteraan hidup di dunia (jagadhita), yakni terpenuhinya kemakmuran (artha) dan keinginan (kama) maka dharma harus menjadi landasannya. Hal ini dijelaskan dalam kitab Sarasamuccaya, sloka 12, sebagai berikut.
Yan paramarthanya, yan arthakama sadhyan, dharma juga lekasakena rumuhun, niyata katemwaning arthakama mene tan paramartha wi katemwaning arthakama deningsar sakeng dharma.
Artinya :
Pada hakikatnya, jika artha dan kama dituntut dharma harus dilaksanakan terlebih dahulu, tidak tersangsikan lagi, pasti akan diperoleh artha dan kama itu nanti. Sebab, tidak ada artinya kama dan artha, jika diperoleh dengan cara yang menyimpang dari dharma.

Dalam Sarasamuccaya, sloka 14, juga diilustrasikan bahwa jika tujuan hidup manusia adalah mencapai sorga, maka dharma adalah jalan untuk menuju ke sana. Seperi dijelaskan berikut ini.
“Ikang dharma ngaranya, henuning mara ri swarga ika, kadi gatining perahu, an henuning banyaga nentasing tasik”.
Artinya :
Yang disebut dharma adalah jalan untuk pergi ke sorga, seperti perahu yang digunakan pedagang untuk mengarungi lautan.

Dharma adalah prinsip kehidupan yang terus menerus hadir secara konsekuen sepanjang garis eksistensi manusia. Dharma menentukan jalan hidup, menetapkan aturan-aturan, kewajiban-kewajiban, serta mengarahkan manusia pada tujuan tertinggi dalam kehidupannya. Di sini, dharma adalah ikatan yang membebaskan. Ini merupakan kebijaksanaan mahatinggi dalam Upanishad bahwa melaksanakan kewajiban, aturan, hukum, baik alam, sosial maupun moral, akan menjauhkan manusia dari rasa ketakutan yang membelenggu jiwa. Dalam ranah spiritualitas, menghilangkan rasa takut adalah mutlak dilakuklan untuk menuju tingkatan yang lebih tinggi (Rama, 2002). Oleh karena itu, mereka yang selalu berjalan di rel dharma, segala tujuan hidupnya pasti akan tercapai. Demikian juga berlaku sebaliknya, bahwa siapa saja yang meninggalkan jalan dharma maka malapetakalah yang akan diperoleh - “dharma raksatah, dharma raksitah”. Siapa yang menegakkan dharma akan dilindungi oleh dharma.
Masa brahmacari adalah masa untuk mencari dharma sebagai landasan hidup untuk mendapatkan artha, kama dan moksa. Masa grehasta adalah masa mencari artha dan kama berdasarkan dharma. Masa wanaprasta adalah masa untuk mencari kama dalam arti ‘kepuasan rohani’, hidup bersahaja, dan mulai meninggalkan ikatan keduniawian. Puncaknya adalah masa bhiksuka, yaitu masa-masa untuk mencapai kesempurnaan rohani dengan tujuan utama mencapai moksa (jiwanmukta). Dengan demikian, antara catur asrama dan catur purusha artha keduanya saling berhubungan satu sama lain demi terwujudnya tujuan hidup manusia.

C.    Sadripu
Pikiran menjadi sumber segala perilaku. Pikiranlah juga menjadi sumber nafsu yang menggerakkan perbuatan yang baik maupun yang buruk. Indriya adalah sorga dan neraka, sumber bahagia dan celaka. Bila dapat dikendalikan orang akan mendapatkan sorga, tetapi bila tidak akan mendapatkan neraka. Dalam Sarasamuscaya 71 disebutkan :
Nyan pajara waneh, indriya ikang sinangguh swarganaraka, kramanya yan kawasa kahretanya, yaika saksat swarga ngaranya, yapwan tan kawasa kahretanya saksat naraka ika
Artinya :
Inilah lagi yang akan diuraikan, nafsu yang dianggap penyebab sorga ataupun neraka. Jika nafsu itu dapat dikuasai pengendaliannya itulah merupakan sorga namanya apabila tidak dapat dikuasai pengekangannya ituah merupakan neraka.

Nafsu yang tidak terkendali menjadi sebab awidya (kegelapan rohani). Awidya adalah sumber dari sad ripu (enam musuh dalam diri), yaitu keinginan (kama), kebodohan (moha), kerakusan (lobha), kemabukan (mada), kemarahan (krodha), dan keirihatian (matsarya). Keenam musuh ini secara potensial telah ada dalam diri manusia dan seluruhnya merupakan sumber masalah. Kama akan menjerumuskan manusia pada ke-liar-an sehingga gagal mencapai tujuan hidupnya. Kama yang tidak terkendali dan selalu dikejar pemenuhannya akan menyebabkan manusia terjebak dalam kerakusan (lobha) dan kemabukan (mada) karena manusia cenderung memiliki sifat tidak pernah puas. Ketika satu keinginan terpenuhi, manusia cenderung mengejar pemenuhan keinginan yang lain, begitu berlaku seterusnya sehingga sifat rakus itu tidak pernah menjauh darinya. Selanjutnya, ketika semakin banyak keinginan yang terpenuhi maka manusia cenderung mabuk dengan kepemilikannya. Mabuk dengan harta, mabuk kerupawanan, mabuk kebangsawanan, dan seterusnya. Sebaliknya, kama yang tidak terkendali dan gagal untuk dipenuhi akan menjerumuskan manusia pada kemarahan (krodha) dan keirihatian (matsarya). Semua ini muncul karena manusia terkurung dalam kebodohan (moha). Tidak tahu membedakan keinginan dan kebutuhan, tidak tahu potensi yang ada dalam dirinya, dan lebih celaka lagi tidak tahu tujuan hidupnya sendiri.
Transformasi sad ripu berarti menjadikan sumber masalah sekaligus sumber pemecahan. Kama berarti nafsu atau keinginan yang mendorong orang berbuat sesuatu; yang membuat orang bergairah dalam hidup ini. Dalam kitab Santi Parwa dijelaskan bahwa kama adalah orang tua dari dharma dan artha. Tanpa kama, orang tidak akan menginginkan dharma dan artha, sebaliknya kama tanpa dharma adalah menyesatkan. Dengan demikian kama hendaknya dijadikan sumber motivasi individu untuk melaksanakan dharma. Keinginan yang kuat dalam pelaksanaan dharma, selanjutnya menjadi kekuatan untuk mensublimasi emosi (rasa) yang lain.
Kama mensublimasi kebodohan (moha) menjadi ‘rasa bodoh’ sehingga manusia terdorong untuk terus menerus belajar. Kerakusan (lobha) dan kemabukan (mada) disublimasi menjadi ‘rasa tidak puas’ sehingga manusia selalu termotivasi untuk meningkatkan kualitas diri, mencapai tingkat pemenuhan kebutuhan hidup yang lebih tinggi. Termasuk di dalamnya adalah ‘kemabukan spiritual’ sehingga mendorong manusia untuk mengejar kebajikan, kebenaran, dan kesucian. Kemarahan (krodha) disublimasi menjadi ‘rasa berani, wira’ yang membebaskan manusia dari keragu-raguan dalam pelaksanaan dharma. Sementara itu, keirihatian (matsarya) disublimasi menjadi ‘rasa jengah’, yaitu daya kompetitif (competitive pride) dalam berbagai bidang kehidupan. Sublimasi sad ripu sebagai potensi bawaan yang kemudian diasah melalui proses pendidikan akan melahirkan insan-insan yang memiliki kompetensi tinggi.

D.    Tri Hita Karana
Susila agama Hindu dijabarkan dalam falsafah Tri Hita Karana, yaitu (1) parhyangan sebagai kongkretisasi tempat pemujaan kepada Sang Hyang Widhi Wasa yang mengatur kegiatan manusia dalam melakukan hubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa dalam wujud upacara keagamaan; (2) pawongan sebagai perwujudan hubungan manusia dengan sesamanya dalam melaksanakan berbagai kegiatan sosial; dan (3) palemahan atau wilayah berupa perwujudan hubungan manusia dengan alam yang menjadi tempat pemukiman dan sumber kehidupan masyarakat. Hal ini dapat diterapkan dalam kehidupan umat Hindu di desa pakraman.
Desa pakraman adalah ruang untuk mewujudkan kebahagiaan (sukerta), yaitu sukerta tata agama, artinya menata tertib hidup beragama; sukerta tata pawongan, artinya menata hubungan harmonis antarkrama (manusia); dan  sukerta tata palemahan, artinya menata wilayah desa (tata ruang desa) agar tercipta lingkungan yang seimbang. Sukerta tata agama, pawongan, dan palemahan merupakan refleksi dari hakikat dan tujuan hidup manusia dalam perspektif Hindu. Hakikat hidup dalam pandangan Hindu merupakan kesatuan dan keseluruhan dari tiga penyebab kesejahteraan, yaitu Tuhan, manusia, dan alam (sekala dan niskala). Umat Hindu yang memiliki tiga kecerdasan di atas merupakan layak disebut manusia Susila, yaitu manusia yang (a) Subuddhi, yaitu krama desa yang berbudi luhur dan berakhlak mulia; (b) Susatya, yaitu krama desa yang cinta pada kebenaran dan setia kawan; (c) Sudharma, yaitu krama desa yang mengerti dan mampu melaksanakan tugas dan menjalankan kewajibannya; (d) Sukarya, yaitu krama desa yang bermental kuat dan pekerja keras; dan (d) Subhakti, yaitu krama desa yang tulus menjadi pelayan Tuhan, Alam/lingkungan, dan sesamanya.

Daftar Pustaka

Gunadha, Ida Bagus. 2003. Refleksi Nilai-Nilai Susila Hindu Dalam Pengembangan Ilmu Pengetahuan, Sains dan Tekhnologi, Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam Bidang Etika Hindu, Univesitas Hindu Indonesia, Denpasar.

Kadjeng, I Nyoman. 2005. Sarasamuccaya. Surabaya: Paramita.

Pendit, Nyoman S. 2002. Bhagavadgita. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Radhakrishnan, S. 1987. The Present Crisis of Faith. New Delhi: Orient Paperback.

Sura, I Gede. 1985. Pengendalian Diri dan Etika Dalam Ajaran Agama Hindu. Jakarta: Hanuman Sakti.

Yasa, I Wayan Suka, dkk., 2006. Yoga Marga Rahayu. Denpasar: Fakultas Ilmu Agama Universitas Hindu Indonesia bekerjasama dengan Penerbit Widya Dharma.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar