SUSILA AGAMA HINDU
Oleh
Dr. Nanang Sutrisno, S.Ag, M.Si
A. Tri Kaya Parisudha
Trikaya parisuddha
artinya tiga perilaku yang harus disucikan, yaitu kayika parisuddha perbuatan yang disucikan, wacika parisuddha perkataan yang disucikan, manacika parisuddha pikiran
yang disucikan (Pudharta dkk, 2002:120). Trikaya
parisuddha mempengaruhi keberadaan manusia dalam hidupnya di dunia. Manacika parisuddha adalah berpikir yang
benar dan suci. Pikiran memegang peranan penting karena yang dikatakan dan yang
dilakukan orang semuanya berasal dari pikirannya. Pikiran menjadi sumber segala
tindakan manusia dan pikiran perlu dikendalikan. Mengendalikan pikiran itu
tidaklah mudah, sebab ia amat lincah, suka bertamasaya kesana kemari dan amat
cepat pula perginya Dalam Sarasamuscaya 81 disebutkan :
Nihan ta kramanikang manah, bharanta lungha
swabhawanya, akweh inangenangenya, dadi prarthana, dadi angsaya, pinawaknya,
hana pwa wwang ikang wenang humrt manah, sira tika manggen amanggih sukha, mangke ring paraloka
waneh
Artinya :
Keadaan
pikiran itu demikianlah : tidak berkententuan jalan-jalan, banyak yang
dicita-citakan, terkadang berkeinginan, terkadang penuh kesangsian, demikianlah
kenyataannya, jika ada orang dapat mengendalikannya pasti orang itu mendapatkan
kebahagiaan, baik sekarang maupun di dunia lain.
Dengan kemauan yang tetap dan
usaha yang terus dan teratur, kemungkinannya kita akan dapat mengendalikan
pikiran kita. Demikan pula dalam mengendalikan indriya, bersumber pada
pengendalian pikiran, karena alam pikiranlah asalnya indriya itu. Pikiranlah
yang menjadi penentuutama baik orang menderita tau bahagia, karena pikiran
adalah penguasa indriya, pikiranlah yang menyebabkan orang berbuat bak atau
buruk. Oleh karena itu ia cenderung gelisah, ragu, penuh curiga, ambigu dan
penuh dengan aneka ragam keinginan, maka pikran hendaknya dikendalikan. Sarasmuscaya 80 menyebutkan :
Apan ikangmanah ngaranya, ya ika witning indriya,
maprawrtti ta ya ring subha asubhakarma, matangyan ikang manah juga prihen
kahrtnya sakareng.
Artinya :
Sebab yang
disebut pikran itu, adalah sumbernya nafsu, ia yang mengerakkan perbuatan yang
baik dan buruk oleh karena itu pikiranlah yang segera patut dikendalikan.
Ketekunan dalam pengendalian pikiran akan mendapat
keberhasilan, kebahagiaan lahir bathin. Tanpa kesadaran orang tidaklah berguna.
Sebaliknya orang yang hidup ditengah-tengah gemilang harta duniawi dengan
mengendalikan pikirannya mencapai kebahagiaan. Tidak ada kebijaksanaan pada
pikran yang tidk terkendali dan tidak ada pekerjaan yang dapt diselesaikan
tanpa konsentrasi pikran. Oleh karean itu, pikiran agar dikendalikan pada tiga
hal, yaitu (a) tidak iri hati akan milik oramg lain dan keberuntungan orang
lain; (b) tidak marah dan benci pada sesama mahluk, dan (c) tidak mengingkari
kebenara hukum karmaphala.
Wacika parisuddha berarti berkata yang benar dan baik. Dari
kata-kata dapat diduga dan diketahui isi hati seseorang dan dengan kata-kata
mendapatkan bermacam-macam pengetahuan. Dengan kata-kata orang memberikan
hiburan, namun karena kata-kata pula
orang dapat menyusahkan dirinya dan orang lain. Kata-kata itu memegang
peranan penting dalam menentukan selamat celakanya kehidupan orang. Dalam
Nitisatra V. 3 disebutkan :
Wasita
nimittanta manemu laksmi
Wasita
nimittanta manemu duhka
Wasita
nimittanta pati kapangguh
Wasita
nimittanta manemu mitra.
Artinya :
Karena perkataan engkau akan mendapatkan bahagia
Karena perkataan engkau akan menemui kesusahan
Karena perkataan engkau akan menemui ajal
Karena perkataan engkau akan mendapat sahabat.
Pepatah Bali “ngontelang layah
tanpa tulang”, untuk itu hati-hatilah dalam berbicara agar tidak mendatangkan
akibat kurang menyenangkan. Dalam
berkata harus selalu memperhatikan siapa lawan bicara, seberapa akrab dengan
orang tersebut. Oleh karena itu, ketengan dan kesadaran diri adalah faktor
penting pada waktu berbicara. Kata-kata itu merupakan tirta amerta yang sejuk
dan nyaman, namun pula merupakan racun yang menghancurkan dan merusak jiwa
seseorang. Sarasamuscaya 120,
menjelaskan:
Ikang ujar ahala tan pahi lawan hru, songkabnya
sakatempuhan deenya juga alara, resep ri hati, tatan keneng pangan turtu ring
rahina wengi ikang wwang denya, matangnyan tan iunjaraken ika de sang dhira
purusa, sang ahning maneb manah nira
Artinya :
Perkatan yang
mengandung maksud jahat tiada bedanya dengan anak panah, yang dilepaskan setiap
orang ditempuhnya merasa sakit, perkataan itu meresap kedalam hati, sehingga
menyebabkan tidak bisa makan dan tidur pada siang dan malam hari, oleh sebab
itu tidak diucapkan perkataan itu oleh orang yang budiman dan wira perkasa juga
oleh orag yang tetap suci hatinya.
Kayika ialah segala
prilaku yang berhububungan dengan badan. Hidup adalah untuk berbuat. Tanpa
berbuat sesuatu hidup di dunia ini akan sia-sia belaka. Berbuat yang baik dan benar
akan mengantarkan kepada keselamatan masa datang. Dalam Bhagawadgita III. 8 secara tegas diajarakan tentang kerja:
Lakukanlah pekerjaanyang diberikan padamu, karena
melakukan perbuatan itu lebih baik sifatnya daripada tidak melakukan apa-apa,
sebagai juga untuk memelihara badanmu tidak akan mungkin jika engkau tidak
bekerja
Dalam bekerja hendaknyalah
dijalan kebenaran, segala yang disebut dengan tidak benar, cemar terlarang
janganlah dilakukan. Mpu Kanwa dalam Arjuna Wiwaha XII : 7 menyuratkan :
Syapa kari tan temung hayu masadhana sarwa hayu, nyata
katemwaning hala masadhana sarwa hala (‘siapakah yang tidak mendapat kerahayuan jika
mengamalkan yag serba baik, pastilah ia menemukan derita jika melaksanakan yang
serba jahat dan keliru’).
Agar rahayu (selamat) dalam
berbuat yang dijadikan sadhana adalah
subha karma (makasadhana subhakarma).,
seperti disebutkan dalam Sarasamuscaya 76:
Nihan yang tan ulahakena, syamati mati,
mangahal-ahal, si paradara, nahan tang telu tan ulahakena ring asing ring
paribhasaa, ring apatkalaa, ring pangipyan tuwi singgahana juga.
Artinya :
Inilah yang
tidak patut dilaksanakan membunuh, mencuri, berbuat zina, ketiganya itu
janganlah hendaknya dilakukan terhadap siapapun baik secara berolok-olok dalam
keadaan dirundung malang dalam khayalan sekalipun, hendaknya dihindari semua
itu.
B. Hubungan Catur Asrama dan Catur Purusa Artha
Kakawin Nitisastra, Bab V, Sloka 1, menjelaskan sebagai berikut.
Taki-takining sewaka guna widya,
Smara- wisaya rwang puluh ing ayusya
Tengah i atuwuh sang wecana gegon-ta
Patilareng atmeng tanu paguruakena”
Artinya :
Seorang
pelajar wajib menuntut pengetahuan dan keutamaan
Jika sudah
berumur duapuluh tahun orang harus kawin
Jika sudah
setengah tua berguru pada ucapan yang baik
Hanya perginya
atma harus selalu dipelajari.
Petikan sloka tersebut menegaskan
bahwa Hindu mengedepankan pendidikan seumur hidup yang dilaksanakan secara
berjenjang menurut catur asrama, yaitu brahmacari, grehasta, wanaprasta, dan bhiksuka. Brahmacari
menurut Sudharta (2001:49) adalah tingkatan hidup manusia pada waktu sedang
mengejar ilmu pengetahuan yang bermanfaat (guna
widya). Masa ini merupakan masa untuk mengembangkan dan membangun diri,
yaitu membentuk identitas dan jati diri. Kemudian, grehasta adalah masa untuk mengaplikasikan seluruh pengetahuan yang
dimiliki dalam kehidupan keluarga dan masyarakat guna terwujudnya kesejahteraan
hidup duniawi (jagadhita). Masa wanaprasta dan bhiksuka lebih diarahkan kepada pembentukan keseimbangan kehidupan
antara fisik dan psikis, yaitu kematangan dan kedewasaan. Oleh karena itu,
pendidikan lebih diarahkan untuk membangun landasan kehidupan rohani melalui
penguatan ilmu-ilmu gelar pati atau brahma vidya. Dengan demikian, manusia
dalam seluruh proses kehidupannya selalu memerlukan pendidikan guna mencapai
kesempurnaan hidup, jasmani dan rohani.
Kesempurnaan hidup
merupakan tujuan agama Hindu yang disebut Catur Purusha Artha, yaitu dharma (kebenaran),
artha (kesejahteraan), kama (kenikmatan duniawi), dan moksa (kebebasan
sejati). Pada uraian sebelumnya dijelaskan bahwa sraddha merupakan dasar
untuk mencapai satya atau dharma (kebenaran). Dharma juga menjadi tujuan hidup dan
kehidupan (Purushartha). Dalam
maknanya sebagai tujuan hidup, dharma adalah
jalan yang menentukan arah bagi pencapaian tujuan-tujuan berikutnya. Ibarat
orang yang berjalan ke satu tujuan, tentu dia harus tahu terlebih dahulu jalan
yang harus dilalui agar tidak tersesat. Dalam perjalanan tersebut, dia juga
harus memahami aturan-aturan yang berlaku sehingga bisa selamat sampai
tujuan. Di sini, dharma adalah jalan hidup (way
of life) yang akan mengantarkan manusia pada tujuannya. Dalam rangka mencapai kesejahteraan hidup di dunia (jagadhita), yakni terpenuhinya
kemakmuran (artha) dan keinginan (kama) maka dharma harus menjadi landasannya. Hal ini dijelaskan dalam kitab Sarasamuccaya, sloka 12, sebagai
berikut.
Yan paramarthanya, yan
arthakama sadhyan, dharma juga lekasakena rumuhun, niyata katemwaning arthakama
mene tan paramartha wi katemwaning arthakama deningsar sakeng dharma.
Artinya :
Pada hakikatnya, jika artha
dan kama dituntut dharma harus dilaksanakan terlebih dahulu, tidak tersangsikan lagi, pasti akan
diperoleh artha dan kama itu nanti. Sebab, tidak ada artinya
kama dan artha, jika diperoleh dengan cara yang menyimpang dari dharma.
Dalam Sarasamuccaya,
sloka 14, juga diilustrasikan bahwa jika tujuan hidup manusia adalah
mencapai sorga, maka dharma adalah
jalan untuk menuju ke sana. Seperi dijelaskan berikut ini.
“Ikang dharma
ngaranya, henuning mara ri swarga ika, kadi gatining perahu, an henuning
banyaga nentasing tasik”.
Artinya :
Yang disebut dharma adalah jalan
untuk pergi ke sorga, seperti perahu yang digunakan pedagang untuk mengarungi
lautan.
Dharma adalah prinsip kehidupan yang terus menerus hadir secara
konsekuen sepanjang garis eksistensi manusia. Dharma menentukan jalan hidup, menetapkan aturan-aturan,
kewajiban-kewajiban, serta mengarahkan manusia pada tujuan tertinggi dalam
kehidupannya. Di sini, dharma adalah
ikatan yang membebaskan. Ini merupakan kebijaksanaan mahatinggi dalam Upanishad bahwa melaksanakan kewajiban, aturan,
hukum, baik alam, sosial maupun moral, akan menjauhkan manusia dari rasa
ketakutan yang membelenggu jiwa. Dalam ranah spiritualitas, menghilangkan rasa
takut adalah mutlak dilakuklan untuk menuju tingkatan yang lebih tinggi (Rama,
2002). Oleh karena itu, mereka yang selalu berjalan di rel dharma, segala tujuan hidupnya pasti akan tercapai. Demikian juga
berlaku sebaliknya, bahwa siapa saja yang meninggalkan jalan dharma maka malapetakalah yang akan
diperoleh - “dharma raksatah, dharma
raksitah”. Siapa yang menegakkan dharma
akan dilindungi oleh dharma.
Masa
brahmacari adalah masa untuk mencari dharma sebagai landasan hidup untuk mendapatkan
artha, kama dan moksa. Masa grehasta adalah
masa mencari artha dan kama berdasarkan dharma. Masa wanaprasta adalah
masa untuk mencari kama dalam arti
‘kepuasan rohani’, hidup bersahaja, dan mulai meninggalkan ikatan keduniawian.
Puncaknya adalah masa bhiksuka, yaitu
masa-masa untuk mencapai kesempurnaan rohani dengan tujuan utama mencapai moksa (jiwanmukta). Dengan demikian, antara catur asrama dan catur
purusha artha keduanya saling berhubungan satu sama lain demi terwujudnya
tujuan hidup manusia.
C. Sadripu
Pikiran menjadi sumber segala perilaku. Pikiranlah juga menjadi sumber nafsu yang menggerakkan perbuatan yang baik maupun yang buruk. Indriya adalah sorga dan neraka, sumber bahagia
dan celaka. Bila dapat dikendalikan orang akan mendapatkan sorga, tetapi
bila tidak akan mendapatkan neraka.
Dalam Sarasamuscaya 71 disebutkan :
Nyan pajara waneh, indriya ikang sinangguh
swarganaraka, kramanya yan kawasa kahretanya, yaika saksat swarga ngaranya,
yapwan tan kawasa kahretanya saksat naraka ika
Artinya :
Inilah lagi yang akan diuraikan, nafsu yang dianggap penyebab sorga ataupun
neraka. Jika nafsu itu dapat dikuasai pengendaliannya itulah merupakan sorga
namanya apabila tidak dapat dikuasai pengekangannya ituah merupakan neraka.
Nafsu
yang tidak terkendali menjadi sebab awidya
(kegelapan rohani). Awidya adalah
sumber dari sad ripu (enam musuh
dalam diri), yaitu keinginan (kama), kebodohan (moha),
kerakusan (lobha), kemabukan (mada), kemarahan (krodha), dan keirihatian (matsarya).
Keenam musuh ini secara potensial telah ada dalam diri manusia dan seluruhnya
merupakan sumber masalah. Kama akan
menjerumuskan manusia pada ke-liar-an sehingga gagal mencapai tujuan hidupnya. Kama yang tidak terkendali dan selalu
dikejar pemenuhannya akan menyebabkan manusia terjebak dalam kerakusan (lobha) dan kemabukan (mada) karena manusia cenderung memiliki
sifat tidak pernah puas. Ketika satu keinginan terpenuhi, manusia cenderung
mengejar pemenuhan keinginan yang lain, begitu berlaku seterusnya sehingga
sifat rakus itu tidak pernah menjauh darinya. Selanjutnya, ketika semakin
banyak keinginan yang terpenuhi maka manusia cenderung mabuk dengan
kepemilikannya. Mabuk dengan harta, mabuk kerupawanan, mabuk kebangsawanan, dan
seterusnya. Sebaliknya, kama yang
tidak terkendali dan gagal untuk dipenuhi akan menjerumuskan manusia pada
kemarahan (krodha) dan keirihatian (matsarya). Semua ini muncul karena
manusia terkurung dalam kebodohan (moha).
Tidak tahu membedakan keinginan dan kebutuhan, tidak tahu potensi yang ada
dalam dirinya, dan lebih celaka lagi tidak tahu tujuan hidupnya sendiri.
Transformasi
sad ripu berarti menjadikan sumber
masalah sekaligus sumber pemecahan. Kama
berarti nafsu atau keinginan yang mendorong orang berbuat sesuatu; yang membuat
orang bergairah dalam hidup ini. Dalam kitab Santi Parwa dijelaskan bahwa kama
adalah orang tua dari dharma dan artha. Tanpa kama, orang tidak akan menginginkan dharma dan artha, sebaliknya
kama tanpa dharma adalah menyesatkan. Dengan demikian kama hendaknya dijadikan sumber motivasi individu untuk
melaksanakan dharma. Keinginan yang
kuat dalam pelaksanaan dharma, selanjutnya
menjadi kekuatan untuk mensublimasi emosi (rasa)
yang lain.
Kama mensublimasi kebodohan (moha)
menjadi ‘rasa bodoh’ sehingga manusia terdorong untuk terus menerus belajar.
Kerakusan (lobha) dan kemabukan (mada)
disublimasi menjadi ‘rasa tidak puas’ sehingga manusia selalu termotivasi
untuk meningkatkan kualitas diri, mencapai tingkat pemenuhan kebutuhan hidup
yang lebih tinggi. Termasuk di dalamnya adalah ‘kemabukan spiritual’ sehingga
mendorong manusia untuk mengejar kebajikan, kebenaran, dan kesucian. Kemarahan
(krodha) disublimasi menjadi ‘rasa
berani, wira’ yang membebaskan
manusia dari keragu-raguan dalam pelaksanaan dharma. Sementara itu, keirihatian (matsarya) disublimasi menjadi ‘rasa jengah’, yaitu daya kompetitif (competitive
pride) dalam berbagai bidang kehidupan. Sublimasi sad ripu sebagai potensi bawaan yang kemudian diasah melalui proses
pendidikan akan melahirkan insan-insan yang memiliki kompetensi tinggi.
D.
Tri Hita Karana
Susila
agama Hindu dijabarkan dalam falsafah Tri
Hita Karana, yaitu (1) parhyangan
sebagai kongkretisasi tempat pemujaan kepada Sang Hyang Widhi Wasa yang mengatur kegiatan manusia dalam
melakukan hubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa dalam wujud upacara keagamaan;
(2) pawongan sebagai perwujudan
hubungan manusia dengan sesamanya dalam melaksanakan berbagai kegiatan sosial;
dan (3) palemahan atau wilayah berupa
perwujudan hubungan manusia dengan alam yang menjadi tempat pemukiman dan sumber
kehidupan masyarakat. Hal ini dapat diterapkan dalam kehidupan umat Hindu di desa pakraman.
Desa pakraman adalah ruang untuk mewujudkan kebahagiaan (sukerta), yaitu sukerta tata agama, artinya menata tertib hidup beragama; sukerta tata pawongan, artinya menata
hubungan harmonis antarkrama
(manusia); dan sukerta tata palemahan, artinya menata wilayah
desa (tata ruang desa) agar tercipta lingkungan yang seimbang. Sukerta tata agama, pawongan, dan palemahan merupakan refleksi dari
hakikat dan tujuan hidup manusia dalam perspektif Hindu. Hakikat hidup dalam
pandangan Hindu merupakan kesatuan dan keseluruhan dari tiga penyebab
kesejahteraan, yaitu Tuhan, manusia, dan alam (sekala dan niskala). Umat
Hindu yang memiliki tiga kecerdasan di atas
merupakan layak disebut manusia Susila, yaitu manusia yang (a) Subuddhi,
yaitu krama desa yang berbudi luhur dan
berakhlak mulia; (b) Susatya, yaitu krama
desa yang cinta pada kebenaran dan setia kawan; (c) Sudharma,
yaitu krama desa yang mengerti dan mampu
melaksanakan tugas dan menjalankan kewajibannya; (d) Sukarya,
yaitu krama desa yang bermental kuat dan
pekerja keras; dan (d) Subhakti, yaitu krama
desa yang tulus menjadi pelayan Tuhan, Alam/lingkungan, dan sesamanya.
Daftar Pustaka
Gunadha, Ida Bagus. 2003. Refleksi
Nilai-Nilai Susila Hindu Dalam Pengembangan Ilmu Pengetahuan, Sains dan
Tekhnologi, Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam Bidang Etika Hindu,
Univesitas Hindu Indonesia, Denpasar.
Kadjeng,
I Nyoman. 2005. Sarasamuccaya. Surabaya:
Paramita.
Pendit,
Nyoman S. 2002. Bhagavadgita. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Radhakrishnan,
S. 1987. The Present Crisis of Faith. New
Delhi: Orient Paperback.
Sura,
I Gede. 1985. Pengendalian Diri dan Etika
Dalam Ajaran Agama Hindu. Jakarta: Hanuman Sakti.
Yasa,
I Wayan Suka, dkk., 2006. Yoga Marga Rahayu. Denpasar: Fakultas Ilmu
Agama Universitas Hindu Indonesia bekerjasama dengan Penerbit Widya Dharma.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar