HAKIKAT KARMA KANDA
DALAM KAKAWIN ARJUNA WIWAHA
Oleh
Nanang Sutrisno
Kakawin
Arjuna Wiwaha (KAW)
karya Mpu Kanwa adalah sastra religius Jawa Kuna yang cukup populer, baik
dalam dunia pewayangan Jawa maupun tradisi mabebasan
di Bali. Keunggulan karya ini karena Sang
Kawi begitu mumpuni dalam memadukan struktur naratif, naluri estetis, dan ekspresi
religius. Keseluruhan inti cerita dibungkus dalam manggala kakawin, yakni Sang
Paramartha Pandita, huwus limpat sangkeng sunyata (’pandita utama yang
telah melampaui kesunyataan’) (KAW, I.1).
Sang Paramartha Pandita menggambarkan
kondisi jivanmukti, yaitu orang yang
mencapai kelepasan dalam kehidupan fana. Setelah kondisi ini tercapai, Sang Jivanmukti kembali dalam kehidupan
nyata untuk menciptakan kebahagiaan dunia melalui kerja tanpa pamrih (’tan sangkeng wisaya prayojananira, lwir
sanggraheng lokika, siddhaning yasa wirya, sukaning rat kininkin nira’) (KAW, I.1). Oleh karena itu, kesadaran karma kanda menjadi konsep inti yang
terkandung dalam keseluruhan makna kakawin
ini.
Kesadaran karma
kanda utamanya dapat disimak dalam bait Kakawin Arjuna Wiwaha XII.6, yang dalam tradisi mabebasan ditembangkan dengan wirama
Rajani (Manda Malon) sebagai berikut.
Kadi hana pùrwakarma dinalih sang akarya hayu,
ulah apagêh magêgwana rasàgama buddhi têpêt,
ya juga sudhìra munggu ri manah nira sang nipuna,
karana nikang sukhàbhyudaya niskala yan katêmu
Terjemahan :
Seperti ada pùrwakarma, selalu dibicarakan oleh
orang yang berbuat baik,
Perilaku yang
teguh berpegang pada rasa, agama, dan
buddhi secara tepat,
Itu juga yang
selalu berada dalam pikiran orang yang arif bijaksana,
Itulah penyebab
kebahagiaan lahir dan batin, bila ditemukan.
Bait kakawin ini
menceritakan tentang pùrwakarma atau
hakikat karma (Yasa, 2009:1). Seorang karmin atau penganut karma kanda
adalah orang yang selalu berbuat baik (’sang
akarya hayu’) dengan berpegang teguh (‘ulah
apagêh’) pada rasa, àgama, dan buddhi, secara tepat (têpêt).
Ketiga kesadaran inilah yang selalu diupayakan dengan benar ”amuter tutur pinahayu’, karena ketiganya
adalah penyebab kebahagiaan lahir dan batin, bila ditemukan (sukhàbhyudaya niskala yan katêmu). Melalui
olah rasa orang mengalami keindahan (sundharam), melalui olah àgama mengalami kesucian (sivam), dan melalui olah buddhi mengalami kebenaran dan
kebijaksanaan (satyam). Tidak
diragukan lagi, satyam, sivam, dan sundharam adalah hakikat Hinduisme
sebagaimana diapresiasi dalam kitab-kitab Upanisad
(Zimmer, 2003; Mehta, 2005). Ketiga
kesadaran ini dimiliki oleh Sang Arjuna yang telah mendapatkan anugerah
Bhattara Śiwa karena ketulusan bhaktinya (’stutinira tan tulus’) (KAW, XII.1). Karma dan bhakti (karma kanda) adalah laku utama Sang Jivanmukti.
Orang yang dengan
sadar melaksanakan ajaran karma kanda
berdasarkan kebenaran (sat atau buddhi atau satyam); kesucian (cit atau agama atau siwam);
dan keindahan (anandam atau rasa atau sundaram) akan
mendapatkan kebahagiaan duniawi dan rohani. Ketiga pilar tersebut adalah puncak teologi
Hindu yang tidak lain adalah ”wajah” ke-Tuhan-an Hindu dalam tiga dimensi
yang disebut trisula atau juga trikona, yakni atribut
utama Bhattara Śiwa (Yasa, 2005:15). Inilah anugerah utama yang diterima Arjuna dari Bhattara
Śiwa, yaitu pasupati sastra kàstu (KAW,
XII.1). Pasupati sastra berwujud
panah (manah: kesadaran) menjadi
senjata Arjuna untuk melaksanakan swadharma.
Artinya, kesadaran rasa, agama, dan buddhi adalah senjata utama untuk
melaksanakan karma kanda.
Tiga dimensi ketuhanan ini menjadi dasar
pengembangan kebudayaan Hindu selama berabad-abad. Trikona menjadi konsep kerja kebudayaan Hindu yang bercirikan
komunal-ekspresif-religius. Komunalitas (sistem sosial) dibangun melalui
sublimasi buddhi (kebenaran –
kebijaksanaan), yaitu perpaduan sempurna antara yang benar dan yang baik.
Sublimasi rasa melahirkan
simbol-simbol yang menjadi inti sistem budaya. Secara bersama-sama, puncak
aktivitas sosial dan budaya merupakan wujud bhakti
(pelayanan dan persembahan) kepada Realitas Tertinggi yang menjadi inti
sistem keagamaan. Inilah landasan kerja kreatif yang dibangun Mpu Kanwa melalui
Kakawin Arjuna Wiwaha. Hal ini
sekaligus menegaskan karakter local
genious Hindu Indonesia yang menempatkan catur marga (karma, bhakti,
jnana, dan raja yoga) sebagai
kesatuan esensial, tanpa dapat dipisahkan satu dengan yang lain. Dalam ajaran karma kanda inilah transfigurasi
kesadaran terjadi, yaitu ketika agama menjadi spirit kemanusiaan.
Transfigurasi atau spiritualisasi dalam pandangan
eksistensialis Nietszchean (Roberts, 2002:112) merupakan cara untuk mewujudkan
eksistensi manusia, yakni kebebasan spirit. Nietzsche membangun gagasan
spiritualitas postreligiusnya secara ekstrim bahwa kebebasan spirit diperoleh
melalui “perahmatan” yang bukan hanya milik Tuhan dan wakil-wakilNya di dunia,
melainkan transfigurasi. Manusia bisa menjadikan dirinya “tuhan”, bila ia berhasil
melakukan transfigurasi praktik hidup ketuhanan. Boleh jadi, Nietzsche ingin
menyampaikan pentingnya transformasi kesadaran ketuhanan (divine consciousness) menjadi
kesadaran kemanusiaan (human
consciousness) dalam kalimat yang lebih lunak. Dengan demikian, agama tidak
lagi menjadi sekumpulan doktrin iman dan ibadat, tetapi diimplementasikan dalam
tindakan nyata untuk mewujudkan kebahagiaan dunia (sukaning rat).
Daftar Kepustakaan
Mehta, Rohit. 2005. Bertemu Tuhan Dalam Diri. Denpasar:
Sarad
Robert, Tyler T. 2002. Spiritualitas
Postreligius Eksplorasi Hermeneutis Transfigurasi Agama dalam Praksis Filsafat
Nietzsche. Yogyakarta: Qalam.
Tim. Penyusun. Tt. Kakawin
Arjunawiwaha. Singaraja: Yayasan A.A. Panji Tisna.
Yasa, I Wayan Suka. 2005. “Yajna Sang Kawi”. Artikel. Dimuat dalam Majalah Dharmasmerti. Denpasar: Universitas
Hindu Indonesia.
_________________. 2009. Teori
Rasa: Memahami Taksu, Ekspresi, dan Metodenya. Denpasar:
Fakultas Ilmu Agama UNHI Denpasar bekerjasama Penerbit Widya Dharma.
Zimmer, Henrich. 2003. Sejarah
Filsafat India. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Zoetmulder, P.J. 2000. Manunggaling
Kawula lan Gusti. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.[1]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar