Sabtu, 20 Agustus 2016

POLITIK HINDU

SEKALI LAGI!
POLITIKA HINDU

Nanang Sutrisno

“Politik itu kotor, penuh trik dan intrik”. Ungkapan ini lumrah terlontar ketika realitas politik tidak mampu memenuhi ekspektasi masyarakat. Perilaku para politikus dan penyelenggara negara yang kerap melanggar aturan hukum dan norma moral, serta kesejahteraan masyarakat yang tak kunjung membaik, kian menambah coreng-moreng wajah politik Indonesia saat ini. Implikasinya bahwa apatisme politik yang berujung pada memudarnya kepercayaan masyarakat terhadap para pemimpinnya, akan menjadi ancaman terbesar bagi keberlangsungan sistem politik dan ketatanegaraan di negeri ini.
Padahal tujuan ideal dari proses politik adalah terciptanya sistem kepemimpinan dan pemerintahan yang mampu mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dalam rangka mewujudkan kesejahteraan bersama. Nyatanya, tujuan politik yang begitu mulia tersebut nyaris terbenam dalam lumpur pragmatisme politik yang semata-mata hanya berorientasi pada kekuasaan. Politik dan kekuasaan memang tidak dapat dipisahkan, karena senyatanya politik adalah salah satu cara untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan. Walaupun demikian, acapkali proses politik hanya berhenti sampai di sini sehingga ketika kekuasaan telah diraih, seolah-olah tidak ada lagi kepentingan yang harus diperjuangkan oleh para politikus dan penyelenggara negara.
Kesenjangan antara kondisi negara ideal (ideal state) dan perpolitikan modern yang cenderung memaknai politik sebagai tindakan teknis untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan, tentu bertentangan dengan tujuan hakiki dari politik itu sendiri. Hindu, baik sebagai agama maupun pandangan hidup (way of life) memiliki pandangan tersendiri mengenai politik. Politika Hindu merupakan sebuah kerangka yang tidak terpisahkan dari upaya pencapaian tujuan hidup manusia yang paling utama (purushārtha). Doktrin triwarga (‘tiga dasar kehidupan’) dan triparartha (‘tiga tujuan hidup’), yaitu dharma, artha, dan kama telah menjadi pusat pembahasan yang begitu penting dalam teks-teks kesusasteraan politik Hindu.
 Hindu memberikan apresiasi yang begitu tinggi terhadap politik, bahkan mengandaikan seluruh aktivitas kehidupan manusia harus dikendalikan ’oleh’ dan ’melalui’ sistem politik. Hal ini tergambar dari nasihat Bhisma kepada Yudhistira dalam kitab Santi Parwa berikut ini.
”Manakala politik telah sirna, Weda pun sirna pula, semua aturan hidup hilang musnah, dan semua kewajiban manusia akan terabaikan. Ketika tujuan hidup manusia – dharma, artha, kama – semakin menjauh, juga ketika pembagian masyarakat semakin kacau, maka pada politiklah semua berlindung; pada politiklah semua awal tindakan diwujudkan; pada politiklah semua kegiatan agama dan yajna diikatkan; pada politiklah semua pengetahuan dipersatukan; dan pada politiklah semua dunia terpusatkan”.

Sloka tersebut menegaskan bahwa politik adalah panglima kehidupan yang mengendalikan sistem pengetahuan, mengontrol sistem nilai, dan mengawasi sistem tindakan masyarakat. Politik dan agama, dipandang memiliki hubungan demikian erat dan padu. Tujuan politik Hindu adalah memastikan tegaknya dharma yang menjadi inti ajaran Weda. Maharsi Kautilya dalam kitab Arthasastra, menempatkan dharma sebagai prinsip universal, yaitu menyangkut pemahaman secara utuh dan menyeluruh tentang eksistensi manusia, baik sebagai makhluk individu maupun sosial. Dharma dalam kehidupan individu disebut swadharma, yakni ketetapan mengenai kewajiban dan tanggung jawab setiap individu dalam kehidupannya. Dalam ranah sosial, dharma menjadi dasar dalam membangun solidaritas dan kesetiakawanan sosial. Dalam kehidupan beragama, dharma adalah ajaran untuk mewujudkan realisasi diri yang  sempurna. Selanjutnya, dalam konteks vyavahara atau charitra (peraturan yang diundangkan) dharma adalah sumber keadilan (baca: M.V. Krishna Rao dalam Studies of Kautilya, 2003).
Pandangan tersebut kiranya dapat menyempurnakan sebagian anggapan masyarakat bahwa politik merupakan aktivitas yang kotor dan penuh intrik, bahkan membenarkan segala cara untuk mencapai kekuasaan. Agama Hindu secara tegas mengajarkan bahwa politik merupakan kekuatan dan kebijaksanaan untuk mewujudkan kesejahteraan dan kemuliaan semua makhluk. Dalam hal ini, triwarga menjadi doktrin yang harus mendasari seluruh proses politik secara integral dan holistik. Dharma merupakan basis nilai, norma, dan aturan politik bagi suatu masyarakat, bangsa, dan/atau negara. Kama ditransformasikan menjadi hasrat berkuasa, motivasi, integritas, dan komitmen moral dalam berpolitik. Selanjutnya, artha mencerminkan seluruh instrumen, sarana, dan prasarana yang diperlukan dalam mencapai tujuan politis. Semuanya berpusat pada dharma, yaitu prinsip tertinggi yang mengatur kehidupan politik, sedangkan hasrat politik ’kekuasaan’ dan instrumen ’modal’ harus dibangun berdasarkan nilai kebenaran dan kebajikan.
Selanjutnya, seluruh proses politik harus diarahkan untuk mewujudkan tujuan hidup masyarakat (triparartha). Politik harus mampu menjamin terlaksananya seluruh aktivitas kerohanian di masyarakat sebagai bentuk pengamalan ajaran suci Weda (dharma). Misalnya ditegaskan dalam Kautilya Arthasastra bahwa memperbaiki tempat suci, memberi punia kepada guru-guru kerohanian, dan membangun tempat-tempat pertapaan adalah kewajiban pemerintah. Politik juga harus mampu memberikan perlindungan, rasa aman, dan nyaman bagi seluruh warga negara (kama), misalnya mengatasi serangan musuh, terhindar dari penyakit, dan gangguan keamanan lainnya. Puncaknya, politik harus mampu menciptakan masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera (artha). Konsepsi Arthasastra tentang wartta atau ilmu ekonomi, juga memberikan pemahaman secara luas dan mendalam mengenai partisipasi pemerintah dan negara dalam mengelola perekonomian masyarakat, seperti pertanian, peternakan, perdagangan, industri, dan pajak.
Untuk mewujudkan seluruh tujuan tersebut, politik Hindu menekankan pentingnya kesatu-paduan antara sistem politik (political system) yang berdaulat dan kepemimpinan (leadership) yang bermartabat. Berkenaan dengan sistem politik, Kautilya Arthasastra mengajukan dua syarat utama, yaitu penegakkan hukum dan ketertiban, serta kinerja administratif yang memadai. Penegakkan hukum dan ketertiban dilakukan dengan seperangkat denda dan sanksi (dandaniti), sedangkan kinerja administratif meliputi raksha (perlindungan dari agresi luar), palana (pemeliharaan ketertiban umum), dan yogakshema (menjamin kesejahteraan rakyat). Pada akhirnya, kepemimpinan (rajadharma atau rajaniti) menjadi kekuatan penentu bagi berjalannya sistem politik tersebut. Puncak seluruh sistem politik harus diarahkan pada suksesi kepemimpinan, yaitu lahirnya sosok pemimpin yang memiliki jiwa kenegarawanan, religius, bermoral, serta mampu mengemban amanat rakyat (rajarshi). Kewajiban seorang pemimpin adalah membangun kesejahteraan rakyat, bahkan Kautilya Arthasastra menegaskan bahwa seorang pemimpin dapat dihukum, apabila mengabaikan kesejahteraan rakyatnya.
Sekali lagi, politik Hindu patut mendapatkan apresiasi setinggi-tingginya untuk menata kembali dunia-kehidupan politik yang kian karut-marut di negeri ini. Pemikiran politik Hindu harus semakin lantang disuarakan kepada para penyelenggara negara dan pemimpin negeri ini, tentu dalam sistem tata negara dan pemerintahan kekinian. Sebuah langkah kecil nan strategis juga dapat diambil dengan memberikan pemahaman tentang politik Hindu kepada para politikus dan pemimpin yang beragama Hindu. Begitu juga kepada generasi muda Hindu yang akan meneruskan estafet kepemimpinan pada masa yang akan datang, kemuliaan politik Hindu harus mulai ditanamkan. Satu prinsip yang harus dipegang bahwa tanpa politik, dharma tidak mungkin ditegakkan, kehidupan masyarakat menjadi kacau, dan kian jauh dari kesejahteraan. Untuk itu, menjadi panggilan bagi para pemimpin Hindu masa depan untuk membaca kembali politik Hindu dan menerapkannya dalam praktik hidup bersama. Niscaya, kejayaan nusantara yang pernah dibangun oleh generasi Hindu masa lalu, akan kambali ke bumi persada. Rahayu!



Tidak ada komentar:

Posting Komentar