SEKALI LAGI!
POLITIKA HINDU
Nanang Sutrisno
“Politik
itu kotor, penuh trik dan intrik”. Ungkapan ini lumrah terlontar ketika
realitas politik tidak mampu memenuhi ekspektasi masyarakat. Perilaku para
politikus dan penyelenggara negara yang kerap melanggar aturan hukum dan norma
moral, serta kesejahteraan masyarakat yang tak kunjung membaik, kian menambah
coreng-moreng wajah politik Indonesia saat ini. Implikasinya bahwa apatisme
politik yang berujung pada memudarnya kepercayaan masyarakat terhadap para pemimpinnya,
akan menjadi ancaman terbesar bagi keberlangsungan sistem politik dan
ketatanegaraan di negeri ini.
Padahal
tujuan ideal dari proses politik adalah terciptanya sistem kepemimpinan dan
pemerintahan yang mampu mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara dalam rangka mewujudkan kesejahteraan bersama. Nyatanya, tujuan
politik yang begitu mulia tersebut nyaris terbenam dalam lumpur pragmatisme
politik yang semata-mata hanya berorientasi pada kekuasaan. Politik dan
kekuasaan memang tidak dapat dipisahkan, karena senyatanya politik adalah salah
satu cara untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan. Walaupun demikian, acapkali
proses politik hanya berhenti sampai di sini sehingga ketika kekuasaan telah
diraih, seolah-olah tidak ada lagi kepentingan yang harus diperjuangkan oleh
para politikus dan penyelenggara negara.
Kesenjangan antara kondisi negara ideal (ideal
state) dan perpolitikan modern
yang cenderung memaknai politik sebagai tindakan teknis untuk merebut dan
mempertahankan kekuasaan, tentu bertentangan dengan tujuan hakiki dari politik
itu sendiri. Hindu, baik sebagai agama maupun pandangan hidup (way of life) memiliki pandangan
tersendiri mengenai politik. Politika Hindu merupakan sebuah kerangka yang tidak
terpisahkan dari upaya pencapaian tujuan hidup manusia yang paling utama (purushārtha). Doktrin triwarga (‘tiga dasar kehidupan’) dan triparartha
(‘tiga tujuan hidup’), yaitu dharma, artha, dan kama telah menjadi pusat pembahasan yang begitu penting dalam
teks-teks kesusasteraan politik Hindu.
Hindu memberikan apresiasi yang begitu tinggi terhadap politik, bahkan mengandaikan
seluruh aktivitas kehidupan manusia harus dikendalikan ’oleh’ dan ’melalui’
sistem politik. Hal ini tergambar dari nasihat Bhisma kepada Yudhistira dalam
kitab Santi Parwa berikut ini.
”Manakala politik telah sirna, Weda pun sirna pula, semua
aturan hidup hilang musnah, dan semua kewajiban manusia akan terabaikan. Ketika
tujuan hidup manusia – dharma, artha,
kama – semakin menjauh, juga ketika pembagian masyarakat semakin kacau,
maka pada politiklah semua berlindung; pada politiklah semua awal tindakan
diwujudkan; pada politiklah semua kegiatan agama dan yajna diikatkan; pada politiklah semua pengetahuan dipersatukan;
dan pada politiklah semua dunia terpusatkan”.
Sloka tersebut
menegaskan bahwa politik adalah panglima kehidupan yang mengendalikan sistem
pengetahuan, mengontrol sistem nilai, dan mengawasi sistem tindakan masyarakat.
Politik dan agama, dipandang memiliki hubungan demikian erat dan padu. Tujuan
politik Hindu adalah memastikan tegaknya dharma
yang menjadi inti ajaran Weda. Maharsi Kautilya dalam kitab Arthasastra, menempatkan dharma sebagai prinsip universal, yaitu menyangkut
pemahaman secara utuh dan menyeluruh tentang eksistensi manusia, baik sebagai makhluk
individu maupun sosial. Dharma dalam kehidupan
individu disebut swadharma, yakni
ketetapan mengenai kewajiban dan tanggung jawab setiap individu dalam
kehidupannya. Dalam ranah sosial, dharma
menjadi dasar dalam membangun solidaritas dan kesetiakawanan sosial. Dalam kehidupan
beragama, dharma adalah ajaran untuk
mewujudkan realisasi diri yang sempurna.
Selanjutnya, dalam konteks vyavahara atau charitra (peraturan yang diundangkan) dharma adalah sumber keadilan (baca: M.V. Krishna Rao dalam Studies of
Kautilya, 2003).
Pandangan tersebut kiranya dapat menyempurnakan sebagian anggapan
masyarakat bahwa politik merupakan aktivitas yang kotor dan penuh intrik,
bahkan membenarkan segala cara untuk mencapai kekuasaan. Agama Hindu secara
tegas mengajarkan bahwa politik merupakan kekuatan dan kebijaksanaan untuk
mewujudkan kesejahteraan dan kemuliaan semua makhluk. Dalam hal ini, triwarga menjadi doktrin yang harus
mendasari seluruh proses politik secara integral dan holistik. Dharma merupakan basis nilai, norma, dan
aturan politik bagi suatu masyarakat, bangsa, dan/atau negara. Kama ditransformasikan menjadi hasrat
berkuasa, motivasi, integritas, dan komitmen moral dalam berpolitik. Selanjutnya,
artha mencerminkan seluruh instrumen,
sarana, dan prasarana yang diperlukan dalam mencapai tujuan politis. Semuanya
berpusat pada dharma, yaitu prinsip tertinggi yang mengatur
kehidupan politik, sedangkan hasrat politik ’kekuasaan’ dan instrumen ’modal’
harus dibangun berdasarkan nilai kebenaran dan kebajikan.
Selanjutnya, seluruh proses politik harus diarahkan untuk mewujudkan tujuan
hidup masyarakat (triparartha). Politik
harus mampu menjamin terlaksananya seluruh aktivitas kerohanian di masyarakat
sebagai bentuk pengamalan ajaran suci Weda (dharma).
Misalnya ditegaskan dalam Kautilya Arthasastra
bahwa memperbaiki tempat suci, memberi punia
kepada guru-guru kerohanian, dan membangun tempat-tempat pertapaan adalah kewajiban
pemerintah. Politik juga harus mampu memberikan perlindungan, rasa aman, dan
nyaman bagi seluruh warga negara (kama),
misalnya mengatasi serangan musuh, terhindar dari penyakit, dan gangguan
keamanan lainnya. Puncaknya, politik harus mampu menciptakan masyarakat yang
adil, makmur, dan sejahtera (artha). Konsepsi
Arthasastra tentang wartta atau ilmu ekonomi, juga memberikan
pemahaman secara luas dan mendalam mengenai partisipasi pemerintah dan negara
dalam mengelola perekonomian masyarakat, seperti pertanian, peternakan, perdagangan,
industri, dan pajak.
Untuk mewujudkan seluruh tujuan tersebut, politik Hindu
menekankan pentingnya kesatu-paduan antara sistem politik (political system) yang berdaulat dan kepemimpinan (leadership) yang bermartabat. Berkenaan
dengan sistem politik, Kautilya Arthasastra
mengajukan dua syarat utama, yaitu penegakkan hukum dan ketertiban, serta kinerja
administratif yang memadai. Penegakkan hukum dan ketertiban dilakukan dengan
seperangkat denda dan sanksi (dandaniti),
sedangkan kinerja administratif meliputi raksha
(perlindungan dari agresi luar), palana
(pemeliharaan ketertiban umum), dan yogakshema
(menjamin kesejahteraan rakyat). Pada akhirnya, kepemimpinan (rajadharma atau rajaniti) menjadi
kekuatan penentu bagi berjalannya sistem politik tersebut. Puncak seluruh
sistem politik harus diarahkan pada suksesi kepemimpinan, yaitu lahirnya sosok
pemimpin yang memiliki jiwa kenegarawanan, religius, bermoral, serta mampu
mengemban amanat rakyat (rajarshi). Kewajiban seorang pemimpin adalah membangun kesejahteraan rakyat, bahkan Kautilya Arthasastra
menegaskan bahwa seorang pemimpin dapat dihukum, apabila mengabaikan
kesejahteraan rakyatnya.
Sekali lagi, politik Hindu patut mendapatkan apresiasi setinggi-tingginya
untuk menata kembali dunia-kehidupan politik yang kian karut-marut di negeri
ini. Pemikiran politik Hindu harus semakin lantang disuarakan kepada para
penyelenggara negara dan pemimpin negeri ini, tentu dalam sistem tata negara
dan pemerintahan kekinian. Sebuah langkah kecil nan strategis juga dapat
diambil dengan memberikan pemahaman tentang politik Hindu kepada para politikus
dan pemimpin yang beragama Hindu. Begitu juga kepada generasi muda Hindu yang
akan meneruskan estafet kepemimpinan pada masa yang akan datang, kemuliaan politik
Hindu harus mulai ditanamkan. Satu prinsip yang harus dipegang bahwa tanpa
politik, dharma tidak mungkin
ditegakkan, kehidupan masyarakat menjadi kacau, dan kian jauh dari kesejahteraan.
Untuk itu, menjadi panggilan bagi para pemimpin Hindu masa depan untuk membaca
kembali politik Hindu dan menerapkannya dalam praktik hidup bersama. Niscaya,
kejayaan nusantara yang pernah dibangun oleh generasi Hindu masa lalu, akan
kambali ke bumi persada. Rahayu!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar